2.1 Tinjauan tentang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
Teknologi informasi dan komunikasi dalam bahasa Inggris biasa disebut dengan istilah information and communication technology (ICT). Secara umum teknologi informasi dan komunikasi dapat diartikan sebagai semua teknologi yang berhubungan dengan pengambilan, pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, penyebaran, dan penyajian informasi (Jamal Ma’mur Asmani, 2011: 99). Sedangkan menurut Isjoni dan Moh. Arif H. Ismail (2008: 142) menerangkan teknologi informasi dan komunikasi merupakan perpaduan seperangkat teknologi terutama mikroelektronik komputer, teknologi komunikasi yang membantu proses pengumpulan, penyimpanan, pemrosesan, penghantaran, dan juga penyajian data informasi melalui berbagai media meliputi teks, audio, video, grafik, dan gambar.
Teknologi informasi dan komunikasi memiliki beberapa komponen utama yang mendukungnya. Komponen-komponen yang mendukung teknologi informasi dan komunikasi diantaranya adalah sistem komputer, komunikasi, dan keterampilan bagaimana menggunakannya (Jamal Ma’mur Asmani, 2011: 107).
1. Komputer (sistem komputer) Komputer meliputi perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), dan alat penyimpanan (storage). Sistem komputer terdiri dari komputer, software, informasi, pemrograman, manusia, dan komunikasi.
2. Komunikasi Beberapa fasilitas komunikasi yang sering digunakan diantaranya adalah modem, multiplexer, concentrator, pemroses depan, bridge, gateway, dan network card.
3. Keterampilan Penggunaan Semua kemajuan dan perkembangan teknologi yang ada akan sia-sia apabila sumber daya manusia yang ada tidak mampu menguasainya.
Sebaliknya kebermanfaatan teknologi informasi dan komunikasi akan semakin terasa apabila sumber daya manusia yang ada mengetahui apa, kapan, dan bagaimana teknologi informasi dan komunikasi tersebut dapat digunakan secara optimal
2.2 Paradigma Pembangunan Pedesaan Berbasis TIK
Paradigma merupakan suatu yang penting menjadi dasar dalam upaya memahami secara mendalam masalah-masalah kehidupan yang dihadapi dan mengatasinya secara mendasar. Pada tahapan praktis tertentu, paradigma pembangunan juga dapat dipandang sebagai kesatuan teori, model, strategi dan sistem pengelolaan tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan (Nawawi, 2009). Berbeda dengan konsep pembangunan tradisional yang umumnya menganalogikan masalah pembangunan dengan “keterbelakangan” (paradigma modernisasi) dan atau
“ketergantungan” (pada paradigma dependensia), sains baru melihat masalah itu sebagai akibat dari adanya tatanan yang mengalami stagnasi dan atau terisolasi dari lingkungannya (Amien, 2005). Kondisi itu sering dialami oleh desa yang mengalami stagnasi daam pembangunan dan terisolasi dari pusat pembangunan. Dalam rangka untuk mengatasi kesenjangan antar wilayah dan antara desa dan kota, perlu ada perubahan paradigma dalam melihat desa. Salah satunya menurut Zaini (2010) adalah melakukan perubahan paradigma pembangunan daerah tertinggal yang sebelumnya berbasis pada kawasan menjadi berbasis pada pedesaan (base on village). Berkaitan dengan pengembangan infrastuktur TIK di pedesaan, dalam UndangUndang No. 6 Tahun 2013 tentang Desa (UU Desa) dijelaskan bahwa sistem informasi pembangunan desa dan pembangunan kawasan akan menjadi salah satu prioritas dalam
Paradigma pembangunan pedesaan berbasis internet penting dilakukan di tengah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Karena menurut (Amien 2005) kesediaan informasi merupakan “hak asasi” setiap komponen, karena pada dasarnya komponen tatanan membutuhkan informasi yang akurat serta tepat waktu demi untuk memilih tanggapan yang tepat waktu demi untuk memilih tanggapan yang tepat demi untuk memilih mempertahankan keberlangsungan keberadaannya dan juga untuk meningkatkan kualitas partisipasinya dalam membangun tatanannya. Berdasarkan hasil penelusuran sumber data yang penulis lakukan diperoleh informasi bahwa paradigma pembangunan pedesaan yang dibangun melalui GDM dilakukan dengan beberapa tahapan (Suparyo, 2013): 1. Mengembangkan jaringan informasi pedesaan berbasis internet dengan membangun website desa-desa dengan domain desa.id; 2. Mendorong desa mandiri teknologi dengan migrasi ke teknologi open source; 3. Meningkatkan pelayanan publik dengan aplikasi mitra desa; 4. Mengelola sumber daya berdasarkan
profil desa dengan survei sumber daya dan data geospasial dengan aplikasi lumbung desa (lihat: mitra.or.id); 5. Membangun desa dengan interkoneksi sistem dan regulasi yang mendukung desa untuk mengambil inisiatif pembangunan.
2.3 Pariwisata Pedesaan
Desa wisata adalah suatu bentuk perkembangan pariwisata yang menitik beratkan pada kontribusi masyarakat sekitar pedesaan dan pelestarian lingkungan area pedesaan.
Desa wisata memiliki produk wisata yang benilai budaya dan memiliki karakteristik traditional yang kuat (Fandeli, Baiquni, Dewi, 2013) Begitupun menurut Inskeep (dalam Fandeli, Baiquni, Dewi, 2013) mendefinisikan wisata pedesaan yang dimana sekelompok wisatawan tinggal dalam suasana yang tradisional, tinggal di desa untuk mempelajari kehidupan di pedesaan.
Desa Wisata adalah sebuah area atau daerah pedesaan yang memiliki daya tarik khusus yang dapat menajadi daerah tujuan wisata. Di desa wisata, penduduk masih memegang tradisi dan budaya yang masih asli. Serta beberapa aktivitas pendukung seperti sistem bertani, berkebun serta makanan traditional juga berkontribusi mewarnai keberadaan desa wisata itu sendiri. Selain faktor tersebut, faktor lingkunganiyang masih asli dan terjaga merupakan faktoripenting yang harus ada disuatu desa wisata (Zakaria, 2014)
2.4 Pengembangan pariwisata
Menurut Kementerian Pariwisata dalam Rencana Strategis Pengembangan Destinasi dan Industri Pariwisata Tahun 2015-2019 disebutkan bahwa tujuan pembangunan pariwisata yaitu:
a) Meningkatkan kualitas dan kuantitas destinasi pariwisata yang berdaya saing di pasar internasional;
b) Mewujudkan industri pariwisata yang mampu menggerakkan perekonomian nasional sehingga Indonesia dapat mandiri dan bangkit bersama bangsa Asia lainnya;
c) Memasarkan destinasi pariwisata Indonesia dengan menggunakan strategi pemasaran terpadu secara efektif, efisien, dan bertanggung jawab serta yang intensif, inovatif dan interaktif sehingga kinerja pemasaran pariwsata mencapai produktifitas maksimal; dan
d) Mengembangkan Kelembagaan Kepariwisataan dan tata kelola pariwisata yang mampu mensinergikan Pembangunan Destinasi Pariwisata, Pemasaran Pariwisata, dan Industri Pariwisata secara profesional, efektif dan efisien, dan mencapai produktifitas maksimal. Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa tujuan pengembangan pariwisata adalah meningkatkan daya saing hingga kancah internasional, meningkatkan perekonomian negara, menerapkan strategi pemasaran yang terpadu, dan mengembangkan kelembagaan kepariwisataan dan tata kelola pariwisata.
Pengembangan merupakan suatu proses atau suatu cara menjadikan sesuatu menjadi maju, baik, sempurna dan berguna. Pengembangan suatu destinasi pariwisata diharapkan tidak hanya dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan ekonomi masyarakat namun tetap memperhatikan karakter destinasi, budaya, dan daerah.
Didukung dengan pernyataan Suardana (2013:5) bahwa pengembangan destinasi pariwisata memerlukan teknik perencanaan yang baik dan tepat. Teknik pengembangan harus menggabungkan beberapa aspek penunjang kesuksesan pariwisata. Aspek-aspek tersebut adalah aspek aksesibilitas (transportasi dan saluran pemasaran), karakteristik infrastruktur pariwisata, tingkat interaksi sosial, keterkaitan/kompatibilitas dengan sektor lain, daya tahan akan dampak pariwisata, tingkat resistensi komunitas lokal, dan seterusnya. Dalam pengembangan destinasi pariwisata semestinya tidak hanya mengacu pada peningkatan ekonomi saja tetapi karakter, sejarah dan budaya yang dimiliki oleh suatu destinasi perlu untuk diperhatikan dan dipertahankan karena dari karakter dan budaya yang telah tertanam semenjak turun temurun menjadikan suatu destinasi terlihat berbeda dari destinasi yang lainnya sehingga akan memiliki suatu identitas yang akan tetap terjaga kelestariannya.
2.5 Teori pengembangan destinasi pariwisata
Cooper (1993:84-86) berpendapat bahwa dalam mengembangkan suatu destinasi pariwisata harus ada empat unsur yaitu Attraction, Amenities, Access, Ancillary services yang disingkat dengan formulasi 4A. Berikut dijelaskan secara terperinci:
a) Attractions adalah hasil dari buatan manusia, keindahan alam ataupun event yang menjadi motivasi wisatawan untuk mengunjungi suatu destinasi. Pada umumnya atraksi terpisah dari industri pariwisata berdasarkan kepemilikannya. Untuk
pengembangan pariwisata di masa depan akan dibutuhkan ahli khusus untuk mengelola atraksi (management of atrractions).
b) Amenities adalah pendukung pariwisata berupa fasilitas dan layanan dalam suatu destinasi. Hal ini sangat berkaitan dengan sektor lainnya. Contohnya jumlah kamar di hotel akan dipengaruhi oleh jumlah wisatawan yang akan berkunjung ke hotel tersebut. Adapun bentuk dari amenitas seperti: akomodasi, food and beverage service, retail dan jasa lainnya.
c) Access adalah suatu sistem untuk mengefisienkan transportasi mulai dari akomodasi menuju atraksi dan sebaliknya. Sistem tersebut dapat berupa jalur bersepeda, bus, dan transport lainnya.
d) services Ancillary services melingkupi pemasaran, pengembangan dan koordinir aktivitas wisata. Organisasi ini dapat berupa organisasi publik/pemerintah dan swasta. Beberapa organisasi dapat mencakup regional ataupun nasional. Berikut beberapa layanan yang diberikan oleh organisasai berikut:
1) Promosi destinasi
2) Pengawasan dan koordinasi pengembangan
3) Penyediaan layanan informasi/reservasi untuk perdagangan dan umum 4) Mengkoordinasikan bisnis lokal
5) Menyediakan beberapa fasilitas (catering, sports, dan sebagainya) 6) Melaksanakan kepemimpinan dalam suatu destinasi
2.6 Peta Jalan (Roadmap) Penelitian
Tahap 1: mendorong isu wisata khas desa menjadi global dengan mendorong adanya web desa Id.
Tahap 2: Mendorong agar produk unggulan desa dapat dipromosikan dengan maksimal dengan mendorong riset pengembangan potensi desa yang mendukung wisata desa.
Tahap 3: Pengembangan dan peanfaatan aplikasi pendukung Sistem Informasi Desa untuk mendorong efektifitas kebijakan wisata desa
Tahap 4: Penyusunan standar prosedur operasional (SOP) penyediaan informasi dan pelayanan permintaan informasi oleh publik di desa sesuai UU No 14 tahun 2008 dan UU No 6 tahun 2014.
Tahap 5: Riset Pengembangan peningkatan kapasitas masyarakat desa dalam memantau maupun meminta informasi atas rencana dan pelaksanaan pembangunan wisata desa
Tahap 6 : Kolaborasi Pemerintah Desa, Pemerintah Daerah dan penyedia jasa internet (ISP) lokal untuk askes internet di desa serta Pengembangan aplikasi pariwisata desa.
Mapping Realitas Pembangunan Pariwisata Pedesaan Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi di Kecamatan Way Ratai Kabupaten Pesawaran