• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini memuat uraian mengenai Hakikat resiliensi, karakteristik remaja, dan bimbingan pribadi sosial.

A. Hakikat Resiliensi

1. Pengertian Resiliensi

Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam Klohnen, 1996) dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Secara spesifik resiliensi adalah:

“… a personality resource that allows individual to modify their characteristic level and habitual mode of expression of ego-control as the most adaptively encounter, function in and shape their immediate and long term environmental context.” (Block, dalam Klohnen, 1996, hal.45).

Dari definisi yang dikemukakan di atas, tampak bahwa ego resiliensi merupakan satu sumber kepribadian yang berfungsi membentuk konteks lingkungan jangka pendek maupun jangka panjang, di mana sumber daya tersebut memungkinkan individu untuk memodifikasi tingkat karakter dan cara mengekspresikan pengendalian ego yang biasa mereka lakukan.

Menurut Reivich dan Shatte (2002: 26) mendefinisikan resiliensi sebagai berikut:

“Resilience is the capacity to respond in healty and productive ways and when adversity or trauma, that it is essential for managing the daily stress of life.”

Dari definisi di atas, Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk melakukan respon dengan cara yang sehat dan produktif ketika berhadapan dengan adversity atau trauma, di mana hal tersebut sangat penting untuk mengendalikan tekanan hidup sehari-hari. Resiliensi merupakan mind-set yang mampu meningkatkan seseorang untuk mencari pengalaman baru dan memandang kehidupan sebagai proses yang meningkat. Resiliensi dapat menciptakan dan memelihara sikap positif untuk mengeksplorasi, sehingga seseorang dapat menjadi lebih percaya diri ketika berhubungan dengan orang lain, serta lebih berani mengambil risiko atas tindakannya.

Liquanti (1992), menyebutkan secara khusus bahwa resiliensi pada remaja merupakan kemampuan yang dimiliki remaja di mana mereka tidak mengalah saat menghadapi tekanan dan perbedaan dalam lingkungan. Mereka mampu terhindar dari penggunaan obat terlarang, kenakalan remaja, kegagalan di sekolah, dan dari gangguan mental.

Kimberly Gordon (dalam Hutapea, 2006) mengatakan bahwa resiliensi merupakan suatu proses tidak hanya memfokuskan pada kesulitan atau trauma masa lalu, melainkan juga kesulitan atau trauma masa kini dan antisipasi terhadap kesulitan atau trauma masa depan,

sehingga pada akhirnya seseorang dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Resiliensi disebut juga oleh Wolin & Wolin (1999) sebagai keterampilan coping saat dihadapkan pada tantangan hidup atau kapasitas individu untuk tetap “sehat” (wellness) dan terus memperbaiki diri (self repair).

Menurut Jackson (2002) resiliensi adalah kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan baik meskipun dihadapkan dengan keadaan sulit. Dalam ilmu perkembangan manusia, resiliensi memiliki makna yang luas dan beragam, mencakup kepulihan dari masa traumatis, mengatasi kegagalan dalam hidup, dan menahan stress agar dapat berfungsi dengan baik dalam mengerjakan tugas sehari-sehari.

Kamus Merriam Webster (2005) mengartikan resiliensi sebagai, “the capability of a (strained) body to recover its site and shape after deformator causal especially by compressive stress”

yaitu kemampuan suatu benda untuk menegang (melenting), kemudian memperoleh kembali tempat dan bentuknya setelah melalui akibat perusakan bentuk, khususnya oleh tekanan yang sangat luar biasa. Hal ini sesuai dengan kata dasar resiliensi yang berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa inggis bermakna to jump (or bounce) back, artinya melompat atau melenting kembali (Resiliency Center, 2004)

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan individu layaknya sebuah per yang mampu melenting kembali pada bentuk semula meskipun telah mendapat tekanan. Resiliensi merupakan gambaran individu untuk menjadi tangguh

dan kuat dalam menghadapi serta mengatasi tekanan hidup dengan cara yang sehat dan produktif, seperti mampu beradaptasi, mengendalikan emosi, bersikap tenang walaupun berada di bawah tekanan, mampu mengontrol dorongannya, membangkitkan pemikiran yang mengarah pada pengendalian emosi, bersifat optimis mengenai masa depan yang baik, mampu mengidentifikasi penyebab dari masalah mereka secara akurat, memiliki empati, memiliki keyakinan diri akan berhasil, dan memiliki kompetensi untuk mencapai sesuatu.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

Masten & Coatswort (Davis, 1999) mengemukakan bahwa individu mampu mencapai resiliensi dalam dirinya didukung oleh faktor-faktor, antara lain:

a. Faktor Individu

Faktor individual meliputi kemampuan kognitif, konsep diri, harga diri, dan kompetensi sosial yang dimiliki individu.

b. Faktor Keluarga

Keluarga merupakan lingkaran pertama karena lingkungan keluarga adalah lingkungan yang paling dekat dengan pembentukan kepribadian individu. Hubungan yang dekat dengan keluarga memiliki kepedulian, dukungan dan perhatian, dan pola asuh yang hangat, teratur dan kondusif dalam perkembangan individu, memiliki hubungan harmonis antar anggota keluarga. Sebagian besar kehidupan manusia dihabiskan bersama keluarga.

c. Faktor Komunitas/ Masyarakat Sekitar

Faktor komunitas/masyarakat sekitar yang memberikan pengaruh terhadap resiliensi individu adalah mendapatkan perhatian dari lingkungan, aktif dalam organisasi masyarakat. Melalui komunitas individu merasa dihargai keberadaannya oleh orang lain, individu akan merasakan hubungan dan dukungan yang membantu mereka dalam beradaptasi dengan kondisi yang ada dan mengatasi konsekuensi negative yang sering kali dihadapi individu.

3. Prinsip Dasar Keterampilan Resiliensi

Empat prinsip menurut Reivich dan Shatte (2002) yang dijadikan dasar bagi keterampilan resiliensi adalah:

a. Manusia Dapat Berubah

Manusia bukanlah korban dari leluhur atau masa lalunya. Setiap manusia bebas mengubah hidupnya kapan saja, memiliki keinginan dan dorongan. Setiap manusia dilengkapi dengan keterampilan yang sesuai. Individu merupakan pemimpin bagi keberuntungannya sendiri. b. Pikiran adalah Kunci untuk Meningkatkan Resiliensi

Kognisi mempengaruhi emosi. Emosi menentukan siapa yang tetap resilien dan mengalah. Beck mengembangkan sistem terapi yang dinamakan terapi kognitif di mana pasien belajar mengubah pikirannya untuk mengatasi deprivasi dan kecemasan.

c. Ketepatan Berpikir adalah Kunci

Optimisme realistis tidak mengasumsikan bahwa hal-hal baik akan datang dengan sendirinya. Hal-hal baik hanya akan terjadi melalui usaha, pemecahan masalah dan perencanaan.

d. Fokus Kekuatan Manusia

Positif psychology memiliki dua tujuan utama, yakni (1) meningkatkan pemahaman tentang kekuatan manusia (human strengths) melalui perkembangan sistem dan metode klasifikasi untuk mengukur kekuatan tersebut; dan (2) menanamkan pengetahuan ini ke dalam program dan intervensi efektif yang terutama dirancang untuk membangun kekuatan partisipan daripada untuk memperbaiki kelemahan mereka. Resiliensi merupakan kekuatan dasar yang mendasari semua karakteristik positif pada kondisi emosional dan psikologis manusia. Kurangnya resiliensi menjadi penyebab keberfungsian negatif. Tanpa resiliensi tidak akan ada keberanian, rasionalitas dan insight.

4. Ciri-ciri Siswa yang Memiliki Resiliensi

Menurut Reivich & Shatte (Wielia & Wirawan, 2005) ciri-ciri seseorang yang resilien adalah (a) mampu mengontrol emosi dan bersikap tenang meskipun berada di bawah tekanan, (b) mampu mengotrol dorongannya dan membangkitkan pemikiran yang mengarah pada pengendalian emosi, (c) bersifat optimis mengenai mengenai masa depan cerah, (d) mampu mengidentifikasi penyebab dari masalah mereka secara

akurat, (e) memiliki empati, (f) memiliki keyakinan diri, (g) memiliki kompetensi untuk mencapai sesuatu.

Sarafino (1994) menyatakan bahwa ciri-ciri siswa yang memiliki resiliensi yaitu (a) memiliki tempramen yang lebih tenang, sehingga mampu menjalin hubungan baik dengan keluarga dan lingkungan; (b) memiliki kemampuan untuk dapat bangkit dari tekanan dan berusaha untuk mengatasinya.

5. Aspek-aspek Resiliensi

Reivich & Shatte (2002) memaparkan mengenai tujuh aspek resiliensi. Penjelasannya sebagai berikut:

a. Regulasi Emosi (Emotion Regulation)

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang meskipun mengalami tekanan. Orang-orang yang memiliki resiliensi baik menggunakan seperangkat keterampilan yang sudah matang yang membantu mereka untuk mengontrol emosi, perhatian dan perilakunya. Terdapat dua hal penting terkait dengan pengaturan emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu mereka dalam meredakan emosi dan memfokuskan pikiran-pikiran yang positif.

Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh pada orang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi, mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan baik dengan

orang lain. Namun tidak semua emosi yang dirasakan individu harus dikontrol. Hal ini dikarenakan mengekspresikan emosi baik positif maupun negatif merupakan hal yang konstruktif dan sehat, bahkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi baik positif maupun negatif dan tepat merupakan bagian dari resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).

Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan dua buah keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi, yaitu tenang dan fokus. Dalam keadaan tenang individu dapat mengontrol dan mengurangi stres yang dialami. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk relaksasi dan membuat individu merasa dalam keadaan tenang, yaitu dengan mengontrol pernafasan, relaksasi otot dan membayangkan tempat yang tenang dan menyenangkan. Sedangkan untuk keterampilan fokus pada permasalahan yang ada akan mempermudah individu untuk menemukan solusi dari permasalahan yang ada. Dua buah keterampilan ini akan membantu individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali, menjaga fokus pikiran individu ketika banyak hal-hal yang mengganggu, serta mengurangi stres yang dialami oleh individu.

b. Kontrol Terhadap Impuls (Impuls Control)

Kontrol terhadap impuls merupakan kemampuan individu untuk mengendalikan impuls atau dorongan-dorongan, keinginan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dalam dirinya, kemudian akan

membawanya kepada kemampuan berpikir jernih dan akurat. Kontrol terhadap impuls ini bukan hanya berhubungan erat dengan pengaturan emosi, tetapi juga dengan keinginan tertentu dari individu yang dapat mengganggu serta menghambat perkembangannya (Reivich & Shatte, 2002).

Individu dengan kontrol terhadap impuls yang rendah pada umumnya percaya pada pemikiran impulsifnya yang mengenai situasi sebagai kenyataan dan bertindak sesuai dengan situasi tersebut. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif dan berlaku agresif. Tentunya perilaku ini akan membuat orang di sekitar merasa kurang nyaman, pada akhirnya akan berdampak buruk bagi hubungan sosialnya.

Reivich dan Shatte (2002), mengatakan bahwa individu dapat melakukan pencegahan terhadap impulsivitasnya. Pencegahan ini dapat dilakukan dengan menguji keyakinan individu dan mengevaluasi kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah. Seperti memberikan pertanyaan-pertanyaan pada diri sendiri; „apakah benar apa yang saya lakukan?‟, „apakah manfaat dari semua ini?‟, dll. Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan kemampuan regulasi emosi yang ia miliki. Individu yang memiliki skor resilience question yang tinggi pada faktor regulasi emosi, cenderung memiliki skor resilience question yang tinggi pula pada faktor pengendalian impuls.

c. Optimisme (Optimism)

Orang yang memiliki resiliensi merupakan orang yang optimis. Optimis berarti memiliki kepercayaan bahwa segala sesuatu akan menjadi lebih baik. Individu memiliki kontrol dan harapan atas kehidupannya. Individu yang optimis memiliki kemungkinan yang kecil untuk mengalami depresi, berprestasi lebih baik di sekolah, lebih produktif dalam pekerjaan, dan berprestasi di berbagai bidang. Mereka percaya bahwa situasi yang sulit dapat berubah menjadi situasi yang lebih baik. Mereka percaya bahwa mereka dapat memegang kendali dan arah hidupnya.

Hal ini merefleksikan self-efficacy yang dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Dikarenakan dengan optimisme yang ada seorang individu terus didorong untuk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi yang lebih baik (Reivich & Shatte, 2002).

Optimisme yang dimaksud adalah optimisme realistis, yaitu sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa depan yang lebih baik dengan segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut. Perpaduan antara optimisme yang realistis dan self-efficacy merupakan kunci dari resiliensi dan kesuksesan.

d. Kemampuan Menganalisis Masalah (Causal Analysis)

Kemampuan menganalisis masalah menunjukan bahwa individu memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab masalahnya secara akurat. Jika seseorang mampu mengidentifikasi penyebab masalah secara akurat, maka ia tidak akan melakukan kesalahan yang sama terus menerus. Kemampuan menganalisis masalah dilakukan individu untuk mencari penjelasan dari suatu kejadian.

Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002) mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan saya), permanen (selalu tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua).

Individu dengan gaya berpikir “Saya-Selalu-Semua” merefleksikan keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari individu tersebut (Saya), hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (Selalu), serta permasalahan yang ada akan cenderung mempengaruhi seluruh aspek hidupnya (Semua). Sementara individu yang memiliki gaya berpikir “Bukan Saya-Tidak Selalu-Tidak semua” meyakini bahwa permasalahan yang terjadi disebabkan oleh orang lain (Bukan Saya), di mana kondisi tersebut masih memungkinkan untuk diubah (Tidak Selalu) dan permasalahan yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar hidupnya (Tidak semua).

Gaya berpikir explanatory, memegang peranan penting dalam konsep resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang terfokus pada “Selalu-Semua” tidak mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi. Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya berpikir “Tidak selalu-Tidak semua” dapat merumuskan solusi dan tindakan yang akan mereka lakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir explanatory. Mereka tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga self- esteem mereka atau membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan.

e. Empati (Empathy)

Empati merupakan kemampuan individu untuk mampu membaca dan merasakan begaimana perasaan dan emosi oranglain, sehingga individu mampu membaca sinyal-sinyal mengenai kondisi emosional dan psikologis mereka melalui isyarat non-verbal, dan kemudian

menentukan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang lain. Empati adalah pemahaman pikiran dan perasaan orang lain dengan cara menempatkan diri ke dalam kerangka psikologis orang tersebut (Kartono dalam Nashori, 2008).

Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002). Hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai. Individu yang tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut, tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain. Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain, dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal. Individu dengan empati yang rendah cenderung menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain

f. Efikasi Diri (Self Efficacy)

Efikasi diri menggambarkan perasaan seseorang mengenai keyakinan bahwa individu dapat memecahkan masalah, keyakinan mengalami dan memiliki keberuntungan dan kemampuan untuk sukses. Mereka yang tidak yakin tentang kemampuannya akan mudah tersesat.

Self-efficacy memiliki pengaruh terhadap prestasi yang diraih, kesehatan fisik dan mental, perkembangan karir, bahkan perilaku

memilih dari seseorang. Self-efficacy memiliki kedekatan dengan konsep perceived control, yaitu suatu keyakinan bahwa individu mampu mempengaruhi keberadaan suatu peristiwa yang mempengaruhi kehidupan individu tersebut.

g. Pencapaian (Reaching Out)

Pencapaian menggambarkan kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya yang mencakup keberanian individu dalam mengatasi ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam kehidupannya.

Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out. Hal ini dikarenakan, sejak kecil individu telah diajarkan untuk sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan. Mereka adalah individu-individu yang lebih memilih untuk memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk berlebih-lebihan dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa mendatang. Mereka memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir.

B. Hakikat Remaja 1. Pengertian Siswa

Siswa adalah individu yang datang pada institusi pendidikan dengan tujuan belajar. Individu ini sedang mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun pikiran. Sebagai individu yang sedang mengalami perkembangan, dan pertumbuhan, Ia memerlukan bantuan, bimbingan dan arahan untuk melewati tahap-tahap tugas perkembangannya. Menurut Sanjaya, Siswa adalah individu yang unik. Keunikan itu terlihat dari adannya perbedaan baik bakat, minat, dan kemampuan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjelaskan bahwa Siswa adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jarum, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Jadi dapat disimpulkan Siswa adalah individu yang unik, sedang berada pada tahap perkembangan dan pertumbuhan, dan secara sengaja datang pada institusi pendidikan dengan tujuan belajar.

Siswa umumnya berada pada fase balita hingga fase remaja dengan rentang usia 3-18 tahun. Di Indonesia, Siswa melewati beberapa tahap pendidikan diantaranya; Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK). Siswa yang menjadi subyek dalam penelitian ini yaitu siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang sedang berada pada fase remaja awal.

2. Pengertian Remaja

Papalia dan Olds (2008), berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa antara kanak-kanak dan dewasa. Adapun Anna Freud (dalam Hurlock, 1990), berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, di mana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.

Menurut Papalia dan Olds (2008), masa remaja adalah perjalanan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditandai oleh periode transisional yang ditandai dengan adanya perubahan baik secara biologis, psikologi, kognitif, dan psikososial. Masa remaja dimulai pada usia 11 atau 12 sampai awal usia dua puluhan.

Adapun Hurlock (1990), membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang telah mendekati masa dewasa.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum remaja diartikan sebagai salah satu tahap perkembangan yang merupakan transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan baik fisik, kognitif, dan psikososial.

2. Karakteristik Masa Remaja

Masa remaja, seperti pada masa sebelumnya memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan masa sebelumnya dan sesudahnya. Berikut ini adalah karakteristik pada masa remaja menurut Hurlock (1980):

a. Masa remaja sebagai periode yang penting. Dikatakan penting karena semua perkembangan dalam remaja menimbulkan perlu adanya penyesuaian mental, sikap, nilai, dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan. Periode peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, dimana remaja meninggalkan sifat kekanak-kanakan dan mempelajari pola perilaku yang baru.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan. Perubahan pada masa remaja adalah meninggikan emosi, perubahan tubuh, minat dan peran dalam kelompok sosial, perubahan minat dan pola perilaku, memiliki sifat ambivalen, menuntut kebebasan namun belum ragu atas kemampuan untuk bertanggungjawab.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah. Banyaknya perubahan yang terjadi dalam diri remaja membuat sebagian remaja mengalami kegagalan dalam penyesuaian dengan pola perilaku yang baru.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas. Pada masa ini mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-teman dalam segala hal.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan karena adanya stereotip bahwa remaja itu masa yang negatif, dianggap anak yang

tidak rapih, tidak dapat dipercaya, dan bersifat merusak, sehingga timbul ketakutan akan adanya stereotip dari masyarakat.

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik. Remaja selalu mempunyai harapan atau angan-angan dan cita-cita yang tinggi, namun belum dapat memahami kemampuan yang sesungguhnya.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Menjelang menginjak masa dewasa, mereka merasa gelisah untuk meninggalkan masa belasan tahunnya. Mereka belum cukup untuk berperilaku sebagai orang dewasa, mereka mulai berperilaku sebagai status orang dewasa seperti cara berpakaian, merokok, menggunakan obat-obat dan sebagainya yang dipandang dapat memberikan citra seperti yang diinginkan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, karakteristik masa remaja adalah masa penting, peralihan, perubahan, usia bermasalah, mencari identitas, usia penuh ketakutan, masa yang tidak realistik, dan ambang kedewasaan.

3. Tugas Perkembangan Remaja

Yusuf (2010) mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja antara lain:

a. Menerima keadaan fisiknya dan memanfaatkannya secara efektif. b. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau orang dewasa

lainnya.

d. Memilih dan mempersiapkan suatu pekerjaan. e. Mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga.

f. Mengembangkan konsep dan ketrampilan intelektual yang perlu bagi kompetensi sebagai warga Negara.

William Kay (dalam Jahja, 2011), mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja sebagai berikut:

a. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.

b. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau figur-figur yang mempunyai otoritas.

c. Mengembangkan ketrampilan komunikasi interpersonal dan bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok.

d. Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya.

e. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri.

Dokumen terkait