• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit Tanaman Eukaliptus

Pada tanaman eukaliptus di Toba Pulp Lestari terdapat beberapa penyakit tanaman yang menyerang eukaliptus. Salah satu penyakit tanaman eukaliptus yang ada di Toba Pulp Lestari adalah jenis penyakit hawar daun I dan II. Penyabab utama penyakit hawar daun I pada eukaliptus ini disebabkan oleh fungi Pestalotia theae dan hawar daun II disebabkan oleh fungi Cylindrocladium reteaudii. Jenis tanaman yang paling tahan terhadap fungi penyebab hawar daun

I adalah tanaman Eukalyptus grandis x Eukalyptus pelita sedangkan virulensi patogen penyabab penyakit hawar daun II yang paling tinggi disebabkan oleh Cylindrocladium sp. terhadap jenis tanaman Eukalyptus grandis dan Eukalyptus

pelita (Sembiring, 2009).

Menurut pengamatan yang dilakukan di PT. Toba Pulp Lestari. Tbk terdapat dua jenis penyakit pada Eucalyptus yaitu jenis penyakit hawar I dan II. Jenis penyakit hawar ini terdapat pada bibit tanaman E. graandis x E. urophilla dan E.grandis x E. Pelita. Bagian tanaman yang paling banyak terinfeksi oleh

penyakit ini adalah bagian pangkal tanaman dimana daun bibit tanaman pada bagian tersebut sedikit mendapatkan cahaya matahari sehingga ketika dilakukan penyiraman daun bibit tanaman akan menyimpan air dalam selang waktu tertentu yang juga berpengaruh terhadap kelembaban tanah. Menurut pengamatan secara mikroskopis terhadap isolat penyebab penyakit atau patogen hawar daun I disebabkan oleh Pestalitia sp sedangkan pada penyakit hawar daun II disebabkan oleh Cylindrocladium sp. Gejala yang ditimbulkan oleh kedua jenis penyakit ini

tidak jauh berbeda, perbedaan gejala hawar daun I dan II adalah gejala hawar daun II dapat menembus organ daun bibit tanaman sedangkan pada hawar pada hawar daun I gejala tidak menembus organ daun bibit tanaman (Sembiring, 2009).

Fungisida

Fungisida adalah bahan kimia pembunuh fungi. Pembunuhan fungi dapat juga digunakan dengan cara lain seperti pemanasan, penyinaran dan sebagainya, tetapi hal ini tidak termasuk fungisida. Ditinjau dari fungsi kerjanya, fungisida dapat dibedakan menjadi: 1. Fungisida yang berarti membunuh fungi, 2. Fungistatik yang berarti tidak membunuh tetapi hanya menghambat pertumbuhan fungi, 3. Genestatik yang berarti mencegah terjadinya sporulasi. Aplikasi fungisida harus diingat dua hal ialah: dosis kurativa, yaitu kadar minimum yang tepat untuk mematikan fungi, dan dosis toksika, yaitu kadar minimum yang mulai merusakkan bagian tanaman. Suatu fungisida hanya dapat dipakai apabila dosis kurativa lebih rendah dari pada dosis toksika (Triharso, 2004)

Fungisida digunakan untuk mengendalikan serangan fungi. Fungi merupakan penyebab penyakit infeksi yang utama pada tanaman. Fungi adalah organisme tingkat rendah yang tidak memiliki klorofil, sehingga tidak dapat mengolah makanannya sendiri, misalnya melakukan penetrasi ke dalam jaringan sel tanaman. Untuk memilih cara pengendaliannya di perlukan pengetahuan mengenai siklus hidup fungi dan faktor lingkungan yang dapat menyebabkan menginfeksi jaringan tanaman. Fungi akan tumbuh subur di lingkungan yang lembab dan hangat. Beberapa jenis fungi juga bisa dibawa oleh serangga. Fungi dapat menginfeksi tanaman setelah jaringan

tanaman terluka oleh gigitan serangga. Dengan demikian, pengendalian serangga-serangga juga berpengaruh terhadap keberhasilan pengendalian fungi (Endah dan Novizan, 2002).

Fungisida adalah senyawa kimia untuk mengendalikan cendawan atau fungi. Menurut efeknya terhadap cendawan sasaran terdiri atas 2 macam, yaitu:

1. Senyawa-senyawa yang mempunyai efek fungistatik yakni senyawa yang hanya mampu menghentikan perkembangan cendawan. Cendawan akan berkembang lagi jika senyawa tersebut hilang.

2. Senyawa-senyawa yang mempunyai efek fungitoksik yakni senyawa yang mampu membunuh cendawan. Cendawan tidak akan berkembang lagi meski senyawa tersebut hilang, kecuali ada infeksi baru.

Fungisida Berdasarkan Cara Kerjanya

Menurut cara kerjanya didalam tubuh tanaman sasaran yang diaplikasi, fungisida terdiri atas :

1. Fungisida non-sistemik, yakni hanya membentuk lapisan penghalang dipermukaan tanaman (umumnya daun) tempat fungisida disemprotkan, fungisida ini mencegah infeksi cendawan dengan menghambat perkecambahan spora atau miselia fungi yang menempel di permukaan daun. 2. Fungisida sistemik, yaitu fungisida yang diabsorsi oleh organ-organ tanaman

dan ditranslokasi ke bagian tanaman lainnya lewat aliran cairan tanaman. 3. Fungisida sistemik lokal, yaitu fungisida yang diabsorbsi oleh jaringan

tanaman, tetapi tidak ditransformasikan kebagian tanaman lainnya. (Djojosumarto, 2000).

Fungisida sistemik adalah senyawa kimia yang apabila diaplikasikan terhadap tanaman, sebagian akan tertranslokasikan ke bagan lain, dalam kuantitas fungisidal. Aplikasi dapat melalui tanah untuk diabsorbsi oleh akar, atau melalui penetrasi daun, atau injeksi melalui batang. Mekanisme kerja fungisida sistemik meliputi : 1) menetralisasi enzim atau toksin yang terkait dalam invasi dan kolonisasi jamur, 2) akumulasi selektif fungisida karena dinding sel jamur menjadi lebih besar, 3) terjadinya kerusakan membran semipermeabel dan struktur infeksi jamur, 4) penghambatan sistem enzim jamur, sehingga mengganggu terbentuknya buluh kecambah, apresorium dan haustorium, 5) terjadinya chelat dan presipitasi zat kimia, 6) terjadinya antimetabolisme, 7) mempengaruhi sistesis asam nukleat dan protein. Syarat ideal fungisida sistemik adalah bekerja sebagai toksikan dalam tanaman inang, mengganggu metabolisme inang dan mengimbas ketahanan fisik maupun kimia terhadap patogen dan tidak mengurangi kuantitas, maupun kualitas tanaman (Djunaedy, 2008).

Menurut Misato dan Kakiki (1997) fungisida secara umum menghambat dan beraksi terhadap sel atau bagian-bagian patogen dan menghambat banyak fungsi metabolisme, menghambat penggabungan glicosamine dengan zat kitin pada dinding sel dan hal itu akan menimbulkan akumulasi uridine di phospat (UDP)-N-acetylgucosamine. Penambahan fungisida pada media tumbuh akan berpengaruh menekan koloni, walaupun dengan dosis rendah fungisida sistemik cukup kompatibel dan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan fungi. Hal ini tidak menghilangkan dampak negatif fungisida dalam mengendalikan fungi, karena pada dosis yang tinggi terbukti memilliki dampak negatif. Penghambatan

pertumbuhan fungi entamopatogen akan berdampak menurunnya daya infeksi fungi.

Metiram

Metiram selama ini digunakan sebagai fungisida untuk melindungi buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan tanaman pangan. Metiram termasuk kelas ethilen(bis)dithiocarbamate dan bersifat sistemik. Metiram pada suhu kamar berupa tepung berwarna kuning dengan rumus kimia (C16H33N11S16Zn3)x (Extention Texicologi Network, 1996).

Gambar 1. Struktur Kimia Fungisida Metiram

(Sumber :Daunderer-klinischeToxikologie-Pestizide)

Metiram pertama kali ada di Amerika Serikat pada tahun 1948 yang digunakan untuk melindungi tanaman apel, kentang dan tanaman hias seperti pakis dari kerusakan tanaman yang disebabkan oleh fungi di lapangan dan untuk melindungi tanaman yang akan dipanen. Metiram merupakan anggota dari etilena bisdthiocarbomate (EDBC) dan merupakan bahan aktif dari mancozeb dan maneb. Metiram adalah padatan kuning terang yang terurai pada 140oC dan memiliki bulk density dari 0,33-0,49 kg/L koefisien oktanol partisi/air 1,76-2,48 pada pH 7 dan 21oC. Metiram praktis tidak larut dalam air (2mg/L) dan pelarut organik, dan terurai di bawah asam dan basa kondisi yang kuat (Edwards, 2005).

Metiram adalah fungisida ethilen bisdithiocarbamate (EBDC) yang biasanya digunakan untuk melindungi tanaman seperti kentang dan anggun dari serangan fungi penyebab penyakit karat, downy mildews, dan leaf spot. Di Itali fungisida metiram sangat efektif dalam membasmi fungi penyebab downy mildews, dan leaf spot. Metiram menghambat sporulasi jamur (pembentukan

spora) dengan mengikat enzim dari fungi tersebut, sehingga menyebabkan perkembangan jamur tersebut menjadi terhambat dan tidak dapat berkembang (European Food Safety Authority, 2012).

Cylindrocaladium sp.

Cylindrocladium sp adalah fungi patogen yang menimbulkan penyakit

pada banyak macam tanaman di seluruh dunia dengan kisaran inang yang luas dan menimbulkan banyak macam penyakit pada tanaman, mulai dari akar, pucuk, hingga buah. Keduanya merupakan fungi penghuni tanah dan merupakan dua dari sekelompok pathogen penyebab penyakit lodoh pada tanaman. Cylindrocladium antara lain menyebabkan nekrosis pada akar pisang dan penyakit busuk hitam pada kacang tanah. Fungi patogen ini juga dilaporkan menyebabkan penyakit hawar pada Buxus di Inggris, bercak daun pada Myrtus communis di Portugal, busuk merah tajuk pada kedelai di Cina, serta bercak daun dan lesion batang pada Pistacia lenticus di Italia (Achmad dkk, 2012)

Menurut Gandjr dkk. (1999) cendawan Cylindrocladium sp. masuk ke dalam famili khusus Moniliaceae, kelas khusus Deuteromycetes. Cendawan ini mempunyai hifa yang bersekat, hifa membentuk konidior yang pada ujungnya bercabang dan menghasilkan konidia sebagai spora vegetatif (aseksual). Pada ujung hifa steril terdapat bagian yang menggelembung seperti gada disebut

vesikel. Konidia berbentuk panjang (batang) bersekat empat. Pada media PDA fungi dapat membentuk spora yang berdinding tebal untuk mempertahankan diri dari lingkungan yang tidak menguntungkan atau sering disebut spora istirahat/ dorman atau klamidospora.

Gambar 2. Cylindrocladium reteaidii.

(Sumber: A Manual of Diseases of Eucalyptus in South-East Asia) Genus Cylindrocladium dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama dengan bentuk mikrosklerotia ataupun klamidiospora pada jaringan tanaman yang terinfeksi maupun dalam tanah. Infeksi mulai terjadi pada bagian-bagian tanaman muda. Penyakit berkembang bila didukung dengan kondisi lingkungan dengan kelembaban tinggi, suhu antar 23°-27°C (Anggraeni dkk, 2010).

Biakan fungi Cylindrocladium sp. pada media PDA memiliki penampilan berwarna putih dan akan menebal, pertumbuhannya lambat, teksturnya seperti berbulu dan tebal, serta penyebarannya merata ke segala arah. Pada pengamatan mikroskopis dapat dilihat bahwa Cylindrocladium sp. mempunyai konodiospora yang bercabang dengan panjang antara 30-45 μm dan diameternya 1-2 μm. Klamidospora yang mengelembung pada bagian tengahnya dengan ukuran antara

45-100 μm dengan panjang antara 15-20 μm dan diameternya 3-5 μm

Cylindrocladium sp. menyebabkan penyakit pada pembibitan dan pada

tanaman termasuk akar dan leher akar, hawar tunas, hawar daun dan bercak daun. Penyakit menular terjadi apabila curah hujan tinggi dan pada daerah lembab. Penyebaran penyakit dengan konidia dalam jumlah sangat besar terjadi di atas permukaan daun. Selama hujan lebat, spora terpercik ke udara dan menempel pada daun dan pohon-pohon lain. Cylindrocladium sp. dapat hidup bertahan lama dalam tanah karena adanya dinding tebal Khlamidospora dan propagulnya. Penularan biasanya mulai dari daun cabang bawah menyebar sampai ke mahkota. Serangan penyakit yang disebabkan oleh Cylindrocladium sp. banyak ditemukan pada persemaian dan bagian batang pohon (Old dkk, 2003).

Gejala penyakit akar Cylindrocladium dan busuk tajuk biasanya terdiri dari busuk akar, nekrotik pada daun dan busuk batang, dan layu daun (klorosis). Daun tidak selalu menjadi klorosis pada tahap awal penyakit ini. Meski pada akhirnya, daun akan menjadi mati pucuk, abscise, dan Cylindrocladium sp. mungkin juga dapat mulai melakukan sporulasi pada bagian daun yang nekrosis dan batang yang lunak. Cylindrocladium sp. menyerang bagian tanaman yang tidak ditutup maupun yang ditutup setelah pemotongan. Penyakit ini dapat menyebar dengan mudah dalam satu ruangan pembiakan atau antar pot. Sangat sulit untuk dapat mengendalikannya terlebih dalam rumah kaca atau melalui operasi pelaksanaan pembibitan. Patogen ini mungkin berada dalam tanah yang telah terkontaminasi tanah bekas tanaman sebelumnya, material tanaman, atau pada tangan, pakaian atau peralatan penanaman (Leahy, 1994).

Penelitian Terkait

Menurut Dalimunthe (2015) pada pengamatan mikroskopis Cylindrocladium sp. terdapat beberapa ciri-ciri struktur dan bentuk hifa yang

rusak akibat pemberian fungisida mancozeb. Fungi Cylindrocladium sp. yang telah diberi fungisida dengan konsentrasi tertentu mengalami pembengkakan pada jaringan sel, pembengkakan pada percabangan, konidia yang semakin kecil, kumpulan konidiospora yang rapat dan terputusnya beberapa struktur hifa yang bersepta. Hal ini terjadi karena fungisida yang diberikan dapat mengganggu pertumbuhan fungi dengan merubah isothiocyanate dengan mematikan fungsi gugus sulphahydral pada enzim yang dihasilkan fungi sehingga merusak dinding sel fungi dan menghambat sistem kerja enzim dalam pembentukan ATP.

Alfiah (2015) pada pengamatan pertumbuhan jamur menunjukkan bahwa M. micranatha mampu menghambat pertumbuhan jamur. Senyawa saponin dapat

mengganggu stabilitas membran sel pada jamur sehingga menyebabkan kerusakan membran sel dan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel jamur yaitu protein, asam nukleat, dan nukleotida.

Sumardiyono (2012) dalam pengujian beberapa fungisida secara in vitro menyatakan bahwa fungisida campuran antara mancozeb dan kanberdazim (D) pada konsentrasi 0,4% mempunyai daya hambat yang besar terhadap pertumbuhan miselium Colletotrichum sp. mankozeb yang merupakan fungisida kontak dan kanberdazim adalah fungisida yang bersifat sistemik memberikan perlindungan yang lebih baik dibanding fungisida tunggal dengan masing-masing bahan aktif. Pencampuran fungisida tersebut akan menghambat timbulnya strain jamur tahan terhadap fungisida yang sering terjadi pada fungisida sistemik.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan tanaman industri (HTI) dikembangkan pertama kali di indonesia pada Tahun 1984/1985 dengan tujuan meningkatkan produksi industri kehutanan, disamping itu dikaitkan pula usaha merehabilitasi lahan yang rusak, sehingga kelestarian dan keseimbangan lingkungan dapat dipertahankan. Perluasan pembangunan Hutan tanaman industri telah lama dirintis dengan target luas areal 6,2 juta ha. Untuk keperluan ini telah dipilah beberapa jenis tanaman dengan pengelompokan penggunaan untuk memasok industri pertukangan , pulp, kertas dan energi. Dengan pembangunan HTI diharapkan pasokan bahan baku untuk industri yang menggunakan kayu sebagai bahan bakunya dapat terjamin dengan mantap dan berkesinambungan (Yunasfi, 2008).

Eucalyptus spp, seperti jenis Eucalyptus urophylla, E. grandis dan

E. pelita merupakan jenis tumbuhan cepat tumbuh yang dikembangkan sebagai

bahan baku industri pulp secara luas di PT. Toba Pulp Lestari dengan daur ulang 7-8 tahun. Selain itu, jenis Eucalyptus hibrid seperti Eucalyptus urograndis (E. urophylla x E. grandis) terseleksi telah berhasil dikembangkan secara luas

dengan karakter pertumbuhan yang lebih baik jika dibandingkan dengan tanaman tetuanya (Mindawati dkk, 2009).

Fungi Cylindrocladium sp. merupakan patogen penyebab penyakit Foliar blight pada pembibitan. Cylindrocladium sp. dapat menyerang akar,dan

leher akar, hawar tunas, hawar daun dan bercak daun. Penyebaran penyakit dengan konidia dalam jumlah yang sangat besar terjadi diatas permukaan daun.

Selama hujan lebat, spora-spora terpercik keudara dan menempel pada daun dan pohon-pohon lain. Cylindrocladium sp. dapat hidup bertahan lama dalam tanah karena adanya dinding khlamidospora. Struktur dormansinya (sklerotia) sangat besar dan mempunyai sel yang kebal terhadap serangan kimiawi sehingga menyebabkan sangat sulit untuk disingkirkan dari tanah dengan menggunakan teknik sterilisasi kimiawi (Old dkk, 2003).

Pengendalian penyakit tumbuhan secara kimia adalah pengendalian penyakit tumbuhan dengan menggunakan senyawa kimia yang beracun bagi patogen. Cara yang paling umum dikenal dalam pengendalian penyakit tumbuhan di lapangan adalah menggunakan senyawa kimia yang beracun bagi patogen. Bahan kimia tersebut baik yang menghambat perkecambahan, pertumbuhan dan perkembangbiakan patogen yang dipengaruhinya, senyawa kimia tersebut dinamakan fungisida (Semangun, 2000).

Keefektifan suatu fungisida terhadap patogen perlu adanya pengujian secara in vitro. Pada dasarnya dikenal tiga cara untuk menguji fungisida secara in vitro. Pertama, spora dikecambahkan di dalam air yang mengandung fungisida

yang akan diuji. Kedua, jamur patogen ditumbuhkan pada medium biakan yang mengandung fungisida yang akan diuji. Ketiga, mengukur respirasi dari jamur dalam pengaruh fungisida yang akan diuji (Semangun, 2000).

Metiram adalah salah satu bahan aktif fungisida yang digunaan untuk mengatasi penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi. Namun sampai saat ini belum ada penelitian yang membahas tentang tingkat konsentrasi bahan aktif metiram yang tepat untuk mengatasi penyakit tanaman yang disebabkan oleh

fungi Cylindrocladium sp. Maka dari itu diperlukan penelitian tentang respon Cylindrocladium sp. terhadap fungisida berbahan aktif metiram secara in vitro.

Tujuan Penelitian

1. Mengukur respon Cylindrocladium sp. (diameter, luas, hambatan relatif, dan kerapatan spora) terhadap perlakuan konsentrasi fungisida berbahan aktif metiram (0 mg/ml, 0.5 mg/ml, 1.0 mg/ml, 1.5 mg/ml, dan 2.0 mg/ml) secara in vitro.

2. Mengkarakterisasi pertumbuhan koloni (betuk, warna, tekstur) dan perubahan struktur hifa terhadap perlakuan konsentrasi fungisida berbahan aktif metiram (0 mg/ml, 0.5 mg/ml, 1.0 mg/ml, 1.5 mg/ml, dan 2.0 mg/ml) secara in vitro.

Manfaat penelitian

1. Sebagai informasi atau masukan tentang konsentrasi yang tepat yang disebabkan oleh Cylindrocladium sp. pada pembibitan Eucalyptus spp.

2. Sebagai informasi bagi HTI yang akan mengusahakan Eucalyptus spp.

Hipotesis

Fungisida berbahan aktif metiram berpengaruh nyata terhadap respon Cylindrocladium sp. (luas, diameter, hambatan relatif, kerapatan spora, bentuk,

ABSTRAK

Sri Martina Suseno : Respon Cylindrocladium sp. Terhadap Fungisida Berbahan Aktif Metiram Secara in Vitro. Dibawah bimbingan Edy Batara Mulya Siregar dan Ridwanti Batubara.

Cylindrocladium sp. merupakan patogen penyebab penyakit yang menyerang Eukaliptus dan merupakan jenis penyakit yang paling tinggi menyerang tanaman Eukaliptus di Toba Pulp Lestari. Fungisida digunakan untuk memberantas dan mencegah perkembangan patogen. Salah satu Fungisida yang digunakan adalah fungisida sistemik berbahan aktif Metiram 70%. Penelitian ini bertujuan mengukur luas, diameter, kerapatan spora dan mengkarakterisasi bentuk hifa Cylindrocladium sp. setelah diberi perlakuan Metiram 70 % secara in vitro dengan konsentrasi yang berbeda. Sampel yang digunakan diambil dari koleksi Cylindrocladium sp. yang di dapat dari penelitian sebelumnya.

Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi perlakuan fungisida yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan dan perkembangan luas Cylindrocladium sp. yaitu pada perlakuan 2.0 mg/ml. Pada pengamatan kerapatan spora dan struktur hifa Cylindrocladium sp. fungisida yang diberikan mampu memberikan pengaruh yang nyata, namun pada pengamatan hambatan relatif konsentrasi fungisida yang diberikan kurang berpengaruh dalam memberikan hambatan pada patogen Cylindrocladium sp.

`

ABSTRACT

Cylindrocladium sp. is a disease causing phatogens which attacks Eucalyptus and this is a type of disease that most potential attack Eucalyptus plant in Toba Pulp Lestari. Fungicides are use to eradicate and prevent the growth of pathogens. One fungicide that is used is a systemic fungicide with active ingredient Metiram 70%. This research is purposes to measure spacious, diameter, density of spore and characterize the shape of hyphae Cylindrocladium sp. after treated by Metiram 70% with diffrent concentration.The samples used were taken from Cylindrocladium sp. obtained from the previous research..

The result of this research shows fungicide concentration of 0 mg/ml, 0.5 mg/ml, 1.0 mg/ml, 1.5 mg / ml, 2.0 mg / ml didn’t significantly affect the average of diameter, relative barriers, spacious, spore density, shape, color, texture and changes in the structure of hyphae in Cylindrocladium sp.

RESPON Cylindrocladium sp. TERHADAP FUNGISIDA

Dokumen terkait