• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eucalyptus spp. merupakan salah satu tanaman yang bersifat fast growing (tanaman cepat tumbuh). Eucalyptus spp. juga dikenal sebagai tanaman yang dapat bertahan hidup pada musim kering. Tanaman ini mempunyai sistem perakaran yang dalam namun jika ditanam di daerah dengan curah hujan sedikit maka perakarannya cenderung membentuk jaringan rapat dekat permukaan tanah untuk memungkinkan menyerap setiap tetes air yang jatuh di cekaman tersebut. (Poerwowidodo, 1991).

Penyakit Daun Phaeophleospora pada Tanaman Eukaliptus (Eucalyptus spp.)

Penyakit Phaeophleospora ini disebabkan oleh jamur Phaeophleospora sp yang biasanya terdapat pada pembibitan dan menyerang tanaman jenis tertentu. Gejala yang ditunjukkan berupa bercak daun berwarna kemerahan pada permukaan atas daun dan adanya spora berwarna hitam pada bagian permukaan bawah daun (Old, et al., 2003 a).

Berikut taksonomi dari Phaeophleospora destructans Kingdom: Fungi Phylum : Ascomycota Kelas : Dothideomycetes Ordo : Capnodiales Famili : Mycosphaerellaceae Genus : Phaeophleospora

Patogen ini ditemukan pada tahun 2000, menyerang perkebunan klonal E. camaldulensis di timur Thailand dan pada tahun 2002 ditemukan untuk pertama kalinya di beberapa lokasi, meliputi selatan, tengah dan utara Vietnam, pada spesies E. camaldulensis, E. urophylla dan klon hibrid. Penyebaran yang cepat menunjukkan adanya serangan patogen ke tanaman hingga bahkan menyerang benih, dan hal ini berpotensi sebagai ancaman serius bagi eukaliptus di Asia Tenggara. Dalam rangka untuk membantu mengatasi penyakit ini, klon toleran dipilih dan ditempatkan di Sumatera (Barber, 2004).

Fungi Phaeophleospora destructans merupakan salah satu patogen daun yang paling banyak dilaporkan dan diteliti di dunia, terjadi pada berbagai spesies di banyak negara termasuk dari daerah subtropis. Dianggap sebagai patogen yang menyerang pembibitan di Australia dan India, menyebabkan kematian tanaman di Malawi dan Afrika Selatan, defoliasi perkebunan di Australia, dan kerusakan yang signifikan di pembibitan dan perkebunan di Indonesia. Gejala yang ditimbulkan bervariasi, spora dapat tersebar, dan menginfeksi bibit dan kebun klonal di pembibitan dengan sanitasi yang buruk (Barber, 2004).

Penyakit ini memiliki sifat menginfeksi, apabila satu daun tanaman telah terinfeksi patogen ini maka akan terjadi penularan penyakit pada daun yang berdekatan hingga dapat mengakibatkan kematian bibit tanaman. Penularan sering kali terlihat dimulai dari bagian pangkal bibit tanaman hingga mencapai daun bagian ujung tanaman. Patogen ini biasanya berada di bawah tajuk pohon dan dapat menyebabkan penghancuran secara signifikan pada semai di pembibitan (Old et al., 2003 b).

Penyakit ini umumnya ditemukan pada tanaman eukaliptus di Sumatera Utara. Plot percobaan dari E. globulus di Habinsaran terinfeksi dalam jumlah besar. Penyakit ini ditemukan pada areal pembibitan dan areal penanaman. Penyakit ini biasanya ditemukan pada daun dewasa, terutama pada bibit-bibit yang persediaannya berlebih. Jika tingkat infeksi sudah tinggi, penyakit ini dapat menyebabkan gugurnya daun pada usia muda (Alfenas, 1993).

Fungisida

Fungisida adalah senyawa kimia beracun untuk memberantas dan mencegah perkembangan fungi/ jamur. Penggunaan fungisida adalah termasuk dalam pengendalian secara chemis (kimia). Adapun keuntungan yang diperoleh adalah: mudah diaplikasikan, memerlukan sedikit tenaga kerja, penggunaanya praktis, jenis dan ragamnya bervariasi, hasil pengendalian tuntas

(Djojosumarto, 2000).

Menurut cara kerjanya di dalam tubuh tanaman sasaran yang diaplikasi fungisida dibagi menjadi 3. Pertama fungisida sistematik yaitu fungisida yang diabsorpsi oleh organ-organ tanaman dan ditranslokasikan kebagian tanaman lainnya lewat aliran cairan tanaman. Kedua fungisida nonsistematik yaitu fungisida yang tidak dapat diserap oleh jaringan tanaman, yaitu fungisida ini hanya membentuk lapisan penghalang di permukaan daun tanaman sehingga perkecambahan spora dan miselia jamur menjadi terhambat. Ketiga fungisida sistem lokal yaitu fungisida yang diabsorpsi oleh jaringan tanaman tetapi tidak ditransformasikan ke bagian tanaman lainnya. Pada fungisida, terutama fungisida sistematik dan nonsistematik, pembagian ini erat hubungannya dengan sifat dan aktivitas fungisida terhadap jasad sasarannya (Djojosumarto, 2000).

Fungisida Sistemik

Bahan-bahan aktif yang dapat ditemui terkandung di dalam fungisida sistemik adalah Benomyl, Metiram, Carbendazim, Mancozeb, Oksadisil, Propineb, dan Metalaksil. Benomyl adalah fungisida yang diperkenalkan pada tahun 1968 oleh Du Pont. Benomyl adalah fungisida sistemik benzimidazole yang bersifat racun selektif bagi mikroorganisme dan invertebrata, khususnya cacing tanah. Toksisitas selektif benomyl sebagai fungisida adalah efeknya tinggi terhadap jamur daripada mikrotubulus mamalia. Metiram 70% adalah senyawa dithiocarbamate dimetil yang digunakan sebagai suatu fungisida untuk mencegah penyakit jamur pada biji dan tanaman selain berfungsi juga sebagai bakterisida. Carbendazim adalah fungisida benzimidazole dengan spektrum luas yang banyak digunakan. Mancozeb adalah fungisida bisdithiocarbamate etilen tidak beracun yang banyak diaplikasikan. Mancozeb efektif terhadap penyakit tanaman yang disebabkan Phytophthora, Anthracnose, Botrytis, Fusarium, Pythium, Alternaria, Early and Late Blight, dan lain-lain. (Sastroutomo, 1992).

Fungisida Kontak

Fungisida kontak bekerja melalui paparan langsung pada cendawan. Fungisida kontak akan membunuh cendawan yang terkena paparan bahan aktif. Sebenarnya cara ini adalah cara yang tidak tepat, karena cendawan dewasa memiliki daya tahan hidup lebih kuat, sehingga cendawan yang tidak mati karena terkena paparan bahan aktif kontak dan dosis bahan aktif sistemik yang kurang, dapat menjadi resisten terhadap bahan aktif yang terkandung di dalam fungisida (Sembiring, 2008).

sangat aktif baik secara in vitro maupun in vivo untuk menekan pertumbuhan patogen golongan Oomycetes, serta penyebab penyakit hawar daun, rebah kecambah, busuk daun dan penyakit daun lainnya dengan daya aktif yang tinggi. Aplikasinya pada tanah atau daun dengan tekanan rendah

(Magallona, et.al., 1991). Fungisida Sistemik Lokal

Fungisida sistemik lokal diabsorbsi oleh jaringan tanaman, tetapi tidak ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya. Bahan aktif hanya akan terserap ke sel-sel jaringan yang tidak terlalu dalam dan tidak sampai masuk hingga pembuluh angkut. Menurut mekanisme kerjanya, fungisida dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

1. Multisite Inhibitor

Multisite inhibitor adalah fungisida yang bekerja menghambat beberapa proses metabolisme cendawan. Sifatnya yang multisite inhibitor ini membuat fungisida tersebut tidak mudah menimbulkan resistensi cendawan. Fungisida yang bersifat multisite inhibitor (merusak di banyak proses metabolisme) ini umumnya berspektrum luas. Contoh bahan aktifnya adalah maneb, mankozeb, zineb, probineb, ziram, Metiram.

2. Monosite Inhibitor

Monosite inhibitor disebut juga sebagai site specifik, yaitu fungisida yang bekerja dengan menghambat salah satu proses metabolisme cendawan, misalnya hanya menghambat sintesis protein atau hanya menghambat respirasi. Sifatnya yang hanya bekerja di satu tempat ini (spektrum sempit) menyebabkan mudah

timbulnya resistensi candawan. Contoh bahan aktifnya adalah tembaga oksida, metalaksil, oksadisil, dan benalaksil (Hriday dan Pundhir, 2006).

Metiram

Gambar 1. Rumus Bangun Metiram (sumber google.com, 2011)

Metiram 70% adalah senyawa dithiocarbamate dimetil yang digunakan sebagai suatu fungisida untuk mencegah penyakit jamur pada biji dan tanaman selain berfungsi juga sebagai bakterisida. Selain itu Metiram 70% juga digunakan untuk mencegah pembusukan tanaman berada dalam tempat penyimpanan maupun dalam transportasi.

Produk Metiram 70% dapat berupa serbuk kering, serbuk yang dapat diubah menjadi cairan, suspensi cairan atau juga dapat dicampur dengan produk fungisida lainnya.

1. Efek Toksologi Metiram 70%

Toksistas akut: Metiram 70% bersifat sedikit toksik jika dicerna dan dihirup, tapi akan bertambah tingkat toksisitasnya jika kontak melalui kulit. Kontak secara akut pada manusia dapat menyebabkan sakit kepala, pusing, kelelahan, diare dan gangguan pencernaan lainnya. Orang dengan gangguan sistem pernapasan atau penyakit kulit, resiko terekspos oleh Metiram 70% menjadi meningkat.

Toksisitas kronik : Ciri-ciri dari kontak kronis karena Metiram 70% pada manusia adalah rasa ngantuk, bingung, kehilangan hasrat untuk hubungan seks, kemampuan bicara berkurang dan menjadi lemah. Kontak yang berlangsung lebih lama lagi akan menyebabkan alergi seperti alergi kulit, mata berair dan sensitif terhadap cahaya.

2. Sifat Adsorpsi Metiram 70% pada Lingkungan

Pada tanah dan air tanah: Metiram 70% memiliki tingkat yang rendah dalam mempertahankan keberadaannya. Metiram 70% bersifat tidak mampu bergerak pada tanah liat maupun tanah yang memiliki tingkat kandungan zat organik yang tinggi. Karena sifat dengan tingkat kelarutan yang rendah dalam air (30 mg/L) dan memiliki kecenderungan yang kuat untuk mengadsorbsi partikel tanah, Metiram 70% memiliki kemungkinan yang kecil untuk mengkontaminasi air tanah.

Waktu paruh hidup Metiram 70% dalam tanah adalah 15 hari. Metiram 70% terdegradasi secara cepat pada tanah yang bersifat asam dan memiliki kandungan zat organik yang tinggi. Sebagai contoh, pada tanah humus di pH 3.5, Metiram terdekomposisi setelah 4 – 5 minggu, sedangkan pada pH 7.0, Metiram 70% terdekomposisi setelah 14-15 minggu.

Pada perairan: dalam air, Metiram 70% secara cepat akan rusak akibat hidrolisis dan fotodegradasi, terutama pada kondisi yang asam. Metiram 70% dapat teradsorpsi pada partikel suspensi atau sedimen di sekitar perairan.

Penelitian Terkait

Vogel (1990) dalam uji efektifitas fungisida sistemik dan fungisida non sistemik terhadap perkembangan penyakit hawar daun (Helminthosporium

turcicum) pada beberapa varietas tanaman jagung (Zea mays L) menyimpulkan bahwa fungisida non sistemik berbahan aktif Metiram 70% efektif dalam mengendalikan penyakit Helminthosporium turcicum dengan dosis 1,7 g/l air.

Tiancang (2008) dalam uji efektifitas fungisida sistemik dan fungisida non sistemik terhadap perkembangan penyakit bercak kelabu (Cercospora zeae -maydis) pada beberapa varietas tanaman jagung (Zea mays L) juga menyimpulkan bahwa fungisida kontak berbahan aktif Klorotalonil 75% efektif mengendalikan penyakit Cercospora zeae -maydis dengan dosis 4,5 g/3 l air.

Wingfield dan Crous (1996) dalam uji efikasi beberapa fungisida untuk mengendalikan Pythium spp pada pembibitan tanaman tembakau Deli (Nicotiana tabaccum L) menyimpulkan bahawa fungisida kontak berbahan aktif Propamocarb HCl efektif dalam mengendalikan penyakit Pythium spp di lapangan dengan dosis 2 cc/l, namun tidak efektif secara in vitro terhadap jamur Rhizoctonia lamellifera dengan dosis 2 cc/l.

PENDAHULUAN

Eucalyptus spp. merupakan salah satu tanaman yang bersifat fast growing (tanaman cepat tumbuh). Eucalyptus spp. juga dikenal sebagai tanaman yang dapat bertahan hidup pada musim kering. Tanaman ini mempunyai sistem perakaran yang dalam namun jika ditanam di daerah dengan curah hujan sedikit maka perakarannya cenderung membentuk jaringan rapat dekat permukaan tanah untuk memungkinkan menyerap setiap tetes air yang jatuh di cekaman tersebut. (Poerwowidodo, 1991).

Ditinjau dari segi kualitas hidup eukaliptus mempunyai banyak gangguan penyakit. Menurut Rahayu (1999) penyakit pohon Eucalyptus urophylla berupa

bercak daun (leaf spot disease) disebabkan kelas Deutromycetes, Macrophona sp., Curvularia sp., Pestalotia sp., Gleosporium sp., Helmintosporium sp. Bercak

daun umum terjadi di persemaian atau tanaman di lapangan.

Phaeophleospora (Kirramyces) adalah patogen yang menyerang daun Eukaliptus di manapun mereka tumbuh. Phaeophleospora sp. ditemukan hampir dimana-mana yang menyebabkan bintik-bintik dan perubahan warna pada tajuk yang lebih rendah, tapi tidak sering menyebabkan kerusakan serius. Namun pada tahun 1996 spesies Phaeophleospora yang baru teridentifikasi pada Eucalyptus grandis di Sumatera dan tingkat keparahan hawar daun menyebabkan fungi ini disebut Kirramyces (Old, et al.,2003).

Cara yang paling umum dikenal dalam pengendalian penyakit tumbuhan di lapangan adalah menggunakan senyawa kimia yang beracun bagi patogen. Bahan kimia tersebut baik yang menghambat perkecambahan, pertumbuhan dan perkembangbiakan patogen yang dipengaruhinya, senyawa kimia tersebut

dinamakan fungisida (untuk penyakit yang disebabkan oleh fungi), bakterisida (untuk penyakit yang disebabkan oleh bakteri), nematisida (untuk penyakit yang disebabkan oleh nematoda), virusida (untuk penyakit yang disebabkan oleh virus) dan herbisida (penyakit yang disebabkan oleh tumbuhan lain). Keefektifan suatu fungisida terhadap patogen perlu adanya pengujian di laboratorium

Sehubungan dengan peranannya sebagai patogen penyakit maka perlu dilakukan upaya pengendalian penyebarannya dengan cara pengendalian langsung yaitu dengan penggunaan fungisida. Penggunaan fungisida diharapkan mampu menekan pertumbuhan dan penyebarannya khususnya pada percobaan secara in vitro. Berbagai fungisida yang telah digunakan sebelumnya dapat menimbulkan resistensi pada Phaeophleospora (Kirramyces) maka dengan itu perlu dilakukan penelitian ini sebagai upaya mempelajari dan mengukur sejauh mana respon yang diberikan oleh Phaeophleospora (Kirramyces). terhadap pemberian fungisida berbahan aktif Metiram 70% secara in vitro.

Tujuan Penelitian

1. Mengukur respon fungi patogen Phaeophleospora sp. (luas, diameter, hambatan relatif, kerapatan spora) terhadap perlakuan konsentrasi fungisida Metiram 70% (0 , 0,4 , 0,8 , 1,2 dan 1,6 mg/ml).

2. Mengkarakterisasi pertumbuhan koloni (bentuk, warna, tekstur) dan perubahan hifa terhadap perlakuan konsentrasi fungisida Metiram 70% (0 , 0,4 , 0,8 , 1,2 dan1,6 mg/ml).

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang respon Phaeophleospora sp. terhadap pemberian fungisida berbahan aktif Metiram 70% .

Hipotesis

Terdapat respon yang berbeda pada pertumbuhan dan perkembangan (luas, diameter, hambatan relatif, kerapatan spora, bentuk, warna, tekstur) Phaeophleospora sp. terhadap pemberian fungisida berbahan aktif Metiram 70% .

ABSTRAK

JOSUA M SITANGGANG: Respon Phaeophleospora sp. Terhadap Fungisida Berbahan Aktif Metiram Secara in Vitro. Dibawah bimbingan Edy Batara Mulya Siregar dan Ridwanti Batubara.

Phaeophleospora sp. adalah salah satu penyakit yang menyerang tanaman Eucalyptus spp, terutama pada pembibitan tanaman Eucalyptus spp. Penyakit ini sudah tersebar di hampir seluruh dunia, di Sumatera Utara penyakit ini sudah terdapat di PT Toba Pulp Lestari. Pengendalian penyakit ini sendiri masih menggunakan fungisida yang salah satu fungisidanya adalah fungisida yang berbahan aktif Metiram 70%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon Phaeophleospora sp. terhadap perlakuan fungisida Metiram 70% dengan konsentrasi 0,4 , 0,8 , 1,2 dan 1,6 mg/ml. Respon yang diukur adalah pertumbuhan koloni (luas , diameter, kerapatan spora, dan perubahan yang terjadi pada hifa). Penelitian di lakukan di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera, menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap non faktorial dengan lima kali ulangan.

Hasil penelitian menunjukkan perlakuan fungisida Metiram 70% dengan konsentrasi 0,4 , 0,8 , 1,2 dan 1,6 mg/ml secara in vitro berpengaruh nyata terhadap perubahan luas, diameter, kerapatan spora dan bentuk hifa Phaeophleospora sp. Pada pengamatan makroskopis mengalamai perubahan dan bentuk koloni pada perlakuaan 0,4 , 0,8 , 1,2 , 1,6 mg/ml.

ABSTRACT

JOSUA M SITANGGANG :Response Phaeophleospora sp. of Active Substance Fungicide Metiram at on In Vitro. Under guidance of Edy Batara Mulya Siregar and Ridwanti Batubara.

Phaeophleospora sp is one of diseases which attack eucalyptus plant particulaily on eucalyptus nursery. This disease has been spread almost in the whole world. North Sumatera this diseases exist on fungicide used which one of them was fungicide with active substance of Metiram 70%. The purpose of this reseaech is to know the response of Phaeophleospora with fungicide Metiram substance 70% treatment with 0,4 ,0,8 ,1,2 and 1,6 mg/ml as concentrate. Response which measured was colony growth (wide, diameter, spora density, and change that happened to hifa). Research conducted at Forest Biothechnology Laboratory and Pest Plant Pathology Laboratory, Agriculture Faculty, University of North Sumatera. Used general linear non factorial with five times repetitions.

The result of the research shows that treatment fungicides dose 0 ,4 ,0,8 ,1,2 and 1,6, mg/ml giving effect obvious or the dose of fungicide is not effective in controlling blight disease. In macroscopisc observation there are chage of shape and color of the colonies in 0,4, 0,8, 1,2, 1,6 mg/ml

RESPON Phaeophleospora sp. TERHADAP FUNGISIDA

Dokumen terkait