LAMPIRAN
Lampiran 1. Tally Sheet Harian Diameter dan Luas Koloni Fungi
Phaeophleospora sp.
a.Tally sheet harian control
Hari
b. Tally sheet harian konsentrasi 0,4 mg/ml
c. Tally sheet harian konsentrasi 0,8 mg/ml
d. Tally sheet harian konsentrasi 1,2 mg/ml
e. Tally sheet harian konsentrasi 1,6 mg/ml
Hari ke
Ulangan Rata-rata
Diameter
Rata-rata Luas
1 2 3 4 5
1 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0,5 0,19
2 1.23 1.31 1.25 1.29 1.25 1,26 1,25
3 2.12 2.31 2.23 2.2 2.22 2,22 3,88
4 3.1 3.21 3.19 3.2 3.18 3,17 7,91
5 3.54 3.67 3.53 3.49 3.38 3,52 9,74
6 3.93 4.01 3.89 3.94 3.84 3,92 12,07
7 4.37 4.51 4.25 4.37 4.29 4,35 14,91
8 4.71 5.14 4.97 4.98 3.91 4,94 19,18
9 4.98 5.51 5.35 5.47 5.45 5,35 22,51
10 5.32 5.84 5.74 5.88 5.73 5,70 25,53
11 5.78 6.24 6.15 6.07 6.03 6,05 28,78
12 6.21 6.73 6.39 6.28 6.22 6,36 31,84
13 6.64 7.23 6.94 6.74 6.68 6,84 36,82
14 6.73 7.6 7.28 7.19 7.12 7,18 40,57
Lampiran 2. Hasil Analisis Data Uji F Taraf 5% Diameter Koloni
Phaeophleospora sp.
a.Analisis data pengamatan I (4 HIS) Anova: Single
b.Analisi data pengamatan II (8 HIS)
c. Analisis data pengamatan III (12 HIS)
Lampiran 3. Hasil Analisis Uji DMRT Diameter Koloni Phaeophleospora sp a.Analisis data pengamatan I(4 HIS)
b.Analisis data pengamatan II(8 HSI) Diameter
groups in homogeneous subsets are displayed. observed means.
term is Mean Square(Error) = .132. armonic Mean Sample Size = 5.000.
0.05.
c.Analisis data pengamatan III(12 HSI) Diameter
groups in homogeneous subsets are displayed. observed means.
term is Mean Square(Error) = .209.
Diameter groups in homogeneous subsets are displayed.
observed means.
term is Mean Square(Error) = .043. armonic Mean Sample Size = 5.000.
armonic Mean Sample Size = 5.000. 0.05.
d.Analisis data pengamatan IV(14 HSI) Diameter
N Subset
1 2 3 4
5 7.1840
5 7.6100
5 7.8040 7.8040
5 8.0460
5 8.6300
1.000 .296 .196 1.000
groups in homogeneous subsets are displayed. observed means.
term is Mean Square(Error) = .082. armonic Mean Sample Size = 5.000.
Lampiran 4. Hasil Analisis Data Uji F Taraf 5% Luas Koloni
Phaeopphleospora sp.
a.Analisis data pengamatan I (4HSI)
Anova: Single Factor
Between Groups 151.6661 4 37.91651 23.25458
2.77E-3.055568 Within Groups 24.45745 15 1.630496
Total 176.1235 19
ANOVA
Source of Variati
on SS Df MS F P-value F crit
Between Groups 1199.657 4 299.9141 20.98537
5.28E-3.055568 Within Groups 214.3738 15 14.29158
Total 1414.03 19
c.Analisis data pengamatan III(12 HSI) Anova: Single Factor
Between Groups 1052.765 4 263.1913 8.887722 0.000692 3.055568 Within Groups 444.1936 15 29.61291
d.Analisis data pengamatan IV(14HSI) Anova: Single Factor
SUMMARY
Groups Count Sum Average Variance
59.82713 4 232.8161 58.20402 24.0953 53.94842 4 200.3453 50.08634 9.341613 50.24 4 189.0264 47.25661 11.96053 41.03423 4 186.5023 46.62559 5.466221 35.55493 4 167.3219 41.83047 6.027411
ANOVA
Source of Variati
on SS df MS F P-value F crit
Between Groups 583.099 4 145.7747 12.81174
9.88E-3.055568 Within Groups 170.6732 15 11.37821
Lampiran 5. Hasil Analsisi Uji DMRT Luas Koloni Phaeophleospora sp. a. Analisis data pengamatan I(4HSI)
Luas groups in homogeneous subsets are displayed.
observed means.
term is Mean Square(Error) = 1.450. armonic Mean Sample Size = 5.000.
0.05.
b. Analisis data pengamatan II(8HSI)
Luas groups in homogeneous subsets are displayed.
observed means.
term is Mean Square(Error) = 13.476. armonic Mean Sample Size = 5.000.
0.05.
c. Analisis data pengamatan III(12HSI)
N Subset
groups in homogeneous subsets are displayed. observed means.
term is Mean Square(Error) = 29.178. armonic Mean Sample Size = 5.000.
0.05.
d. alisis data pengamatan IV(14HSI)
Luas
groups in homogeneous subsets are displayed. observed means.
DAFTAR PUSTAKA
Alfenas, A.C. 1993. Potential and Present Status of Eucalyptus and Acacia mangium in Northern Sumatera. Universidade Federal de Vicosa. Departamento de Fitopatologia. Brazil.
Barber, P.A. 2004. Forest Pathology: The Threat of Disease to Plantation Forests in Indonesia. Plant Pathology Journal, 3 (2). pp. 97-104. Murdoch University.
Djojosumarto, P.A, 2000. Tehnik Aplikasi Fungisida Pertanian. Kanisius. Yogyakarta. Hlm 46.
Febrian. 2015. Respon Cylindroclaudium reteaudii Terhadap Fungisida Berbahan Aktif Metiram Secara In Vitro
Hanafiah, K. A. 2005. Rancangan Percobaan:Teori dan Aplikasi. PT Grafindo Persada, Jakarta.
Hriday dan V.S. Pundhir (2006). Crop Diseases and Their Management. Prentice-Hall of India Pvt.Ltd. ISBN 978-81-203-2674-3. Page.292-3
Magallona, E. D., Soehardjan and H. Lumban tobing, 1990. Pesticides in Estate Crop Protection in Indonesia. Directorate General Of Estate Crop. p. 38.
Old, K.M., K. Pongpanich, P.Q. Thu, M.J. Wingfield, and Z.Q. Yuan. 2003a. Phaeophleospora Destructans Causing Leaf Blight Epidemics in South East Asia.
Old, K.M., M.J. Wingfield, and Z.Q. Yuan, 2003b. A Manual of Diseases of Eucalypts in South-East Asia. Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor.
Poerwowidodo. 1991. Gatra Tanah dalam Pembangunan Hutan Tanaman di Indonesia. Penerbit Rajawali. Jakarta..
Sastroutomo, S. S., 1992. Pestisida, Dasar-Dasar Dan Dampak Penggunaanya. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Semangun, H. 2000. Penyakit- penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Thomson, W. T., 1992. Agriculure chemicals. Book IV: Fungicides, Thomson Publication, Fresno, California. p. 153.
Tiancang Z., Zhao H., Huang L., Xi H., Zhou D., & Cheng J. 2008. Efficacy of Propineb for Controling Leaf Blotch Caused by Marssonina coronaria and its Effect on Zinc Content in Apple Leaves. J. Acta Phytophyla Sinica 35(6): 519-524.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Program Studi
Kehutanan dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Program Studi
Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Penelitian
dilakukan pada bulan Februari sampai April 2015.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah media PDA, alkohol
70%, aquades, aluminium foil, kertas tissue, kalmicetine.
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kamera digital, mikroskop,
autoklaf, Laminar Airflow, cawan petri, erlenmeyer, pinset, gunting, gelas ukur,
tabung reaksi, pipet tetes, overhead stirrer, sarung tangan, masker, timbangan
analitik, kaca preparat, haemocytometer, lampu bunsen, gunting, alat tulis,
sungkup, plastik clingwrap, millipore dan sprayer.
Prosedur Penelitian Sampel uji
Sampel yang digunakan diambil dari koleksi Phaeophleospora sp. yang
di dapat dari penelitian sebelumnya.
Inokulasi jamur patogen
Ditimbang serbuk fungisida sebanyak 0,125 gram kemudian dilarutkan ke
dalam aquades 250 ml diaduk sampai homogen. Fungisida diteteskan dengan
konsentrasi 0 mg/ml, 0,4 mg/ml, 0,8 mg/ml, 1,2 mg/ml, 1,6 mg/ml ke media PDA.
ditengah-tengah cawan petri yang sudah diberi perlakuan sebelumnya, kemudian
diinkubasi pada suhu kamar, dan diamati pertumbuhannya selama 14 hari atau
Pengamatan
1. Diameter koloni Phaeophleospora sp.
Pengamatan dan pengukuran diameter dilakukan setiap hari selama 14 hari
atau sampai kontrol memenuhi cawan petri. Pengukuran diameter menggunakan
kertas millimeter block yang cara perhitungannya dengan membuat garis vertikal
dan horizontal yang titik potong kedua garisnya tepat di tengah koloni jamur. Cara
pengukuran pada cawan petri berdasarkan rumus sebagai berikut :
� =d1 + d2 2 Keterangan :
D = diameter jamur Phaeophleospora sp.
d1 = diameter vertikal koloni jamur Phaeophleospora sp.
d2 = diameter horizontal koloni jamur Phaeophleospora sp
2. Luas koloni Phaeophleospora sp.
Penentuan luas koloni jamur Phaeophleospora sp. berdasarkan jari-jari (r)
koloni jamur yang diukur dari masing-masing perlakuan kontrol. Pengukuran
jari-jari dilakuan pada keempat sisi koloni jamur tiap perlakuan. Keempat jari-jari-jari-jari
koloni jamur lalu dijumlahkan dan hasilnya dibagi empat untuk diketahui rata-rata
jari-jarinya. Luas lingkaran koloni jamur dihitung menggunakan rumus (A = πr2)
dan masukkan rata-rata jari-jari koloni jamur yang telah diukur
Nair. (2000)
3. Persentase hambatan relatif koloni Phaeophleospora sp.
Kemampuan hambatan relatif fungisida terhadap pertumbuhan jamur
dihitung menurut rumus Pande (1982) dalam Noveriza dan Tombe (2003) adalah
sebagai berikut:
HR =dk−dp
dk x 100%
Keterangan :
HR = hambatan relatif dk = diameter kontrol dp = diameter perlakuan
Pengaruh suatu fungisida dinilai dari kategori yang dikemukakan oleh Irasakti dan
Sukatsa (1987) sebagai berikut :
0 = tidak berpengaruh
>0-20 % = sangat kurang berpengaruh
>20-40 % = kurang berpengaruh
>40 – 60 % = cukup berpengaruh
>60 – 80 % = berpengaruh
>80 % = sangat berpengaruh
4. Kerapatan spora Phaeophleospora sp.
Perkembangan kerapatan spora dihitung berdasarkan rumus (Chi, 1997) sebagai
berikut :
S = t−d n x 0,25
Keterangan :
S = kerapatan spora per gram media
t = banyak spora yang dihitung pada kotak d = tingkat pengenceran
5. Analisis Data
Data dianalisis secara statistik menggunakan pola rancangan acak lengkap
(RAL) non faktorial dengan model linier sebagai berikut:
Yij
= μ + τ
i+ ε
ijKeterangan:
Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
μ = rataan umum
τi = pengaruh perlakuan ke-i
εij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j i = perlakuan ke-i (1, 2, 3, 4, 5)
j = ulangan ke-j (1, 2, 3, 4, 5) (Hanafiah, 2000)
Data yang diperoleh dari percobaan uji efikasi fungisida di laboratorium
dianalisis dengan uji F taraf 5%, jika berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan Secara Makroskopis
Pengamatan secara makroskopis dilakukan selama 14 hari dengan cara
mengukur pertambahan diameter fungi setelah diberi perlakuan dan mengamati
perubahan fungi seperti bentuk, tekstur dan warna. Pengamatan makroskopis
dilakukan dengan mengamati karakteristik diameter, luas dan hambatan relatif.
Menurut Semangun, (2000) bahwa Phaeophleospora sp. berwarna kemerahmudaan,
pertumbuhannya lambat, dan bertekstur lembut seperti bulu. Dari hasil isolasi
biakan murni diperoleh isolat dengan ciri fisik yang sama yaitu berwarna
kemerahmudaan dan bertekstur lembut seperti bulu.
Respon pertumbuhan antara kontrol dengan perlakuan 0,4, 0,8, 1,2 dan 1,6
mg/ml terlihat pada Gambar 2. Terlihat perbedaan yang nyata pada pertumbuhan
dan luas koloni fungi yang di akibatkan oleh perbedaan konsentrasi pada
perlakuan pertumbuhan Phaeophleospora sp. mulai terhambat pada perlakuan
dengan konsentrasi 0,8 mg/ml. Pemberian konsentrasi yang meningkat
memberikan pengaruh perkembangannya menjadi lambat. Hal ini sesuai dengan
fungisida dengan kombinasi bahan-bahan beresidu dan bersifat sistemik sangat
aktif baik secara in vitro maupun in vivo untuk menekan pertumbuhan patogen
golongan Oomycetes, serta penyebab penyakit hawar daun, rebah kecambah,
busuk daun dan penyakit daun lainnya dengan daya aktif yang tinggi. Aplikasinya
(a) (b) (c)
(d) (e)
Gambar 2. Tampilan Depan Phaeophleospora sp. (perlakuan 0 mg/ml (a), 0,4 mg/ml (b), 0,8 mg/ml (c), 1,2 mg/ml (d), 1,4 mg/ml (e), 1,6 mg/ml
Pengamatan makroskopis Phaeophleospora sp. membandingkan ciri-ciri
dari hasil isolasi sebelum diberi perlakuan dan setelah diberi p
erlakuan. Pada konsentrasi perlakuan 0,4 dan 0,8 belum terjadi perubahan fisik
yang kuantitatif jika dibandingkan dengan kontrol. Perubahan fisik pada fungi
yang kualitatif mulai tampak berbeda pada konsentrasi perlakuan 1,2 dan 1,6.
Penambahan fungisida yang bersifat sistemik memberi pengaruh terhadap
pertumbuhan walaupun bersifat kuantitatif. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Sembiring (2008) yang menyatakan penambahan fungisida pada media tumbuh
akan berpengaruh menekan pertumbuhan koloni Phaeophleospora sp. walaupun
dengan konsentrasi rendah fungisida sistemik cukup kompatibel dan berpengaruh
Hal ini sesuai dengan pernyataan Thomson (1992) yang menyatakan
bahwa Metiram termasuk ke dalam golongan fungisida sistemik. Cara kerja dari
fungisida ini adalah dengan menghambat kegiatan enzim yang ada pada jamur
dengan menghasilkan lapisan enzim yang mengandung unsur logam yang
berperan dalam pembentukan ATP serta berperan sebagai agen pengkelat
sehingga sintesis protein dan metabolisme di dalam sel fungi terganggu.
Bentuk dan Warna Koloni
Berdasarkan hasil pengamatan bentuk koloni fungi Phaeophleospora sp.
yang di berikan perlakuan kontrol memiliki warna kemerahmudaan dan memiliki
tekstur yang lembut sedangkan Phaeophleospora sp dengan perlakuan 0,4 ,
0,8 ,1,2 dan 1,6 mg/ml memiliki warna dan bentuk yang berbeda yaitu warna
putih kecoklatan dan bentuk tipis,tidak teratur dan tekstur tidak lembut. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Burgess et al. (2006) bahwa Phaeophleospora sp.
berwarna kemerahmudaan, pertumbuhannya lambat, dan bertekstur lembut seperti
bulu. Dari hasil isolasi biakan murni diperoleh isolat dengan ciri fisik tidak sama
yaitu berwarna putih kecoklatan dan tidak bertekstur dan tidak teratur, tipis,
tekstur tidak lembut. Hal ini dipengaruhi penambahan fungisida pada media
sehingga mempengaruhi pertumbuhan bentuk dan merubah warna pada fungi
Tabel 1. Bentuk dan Warna Koloni Phaeophleospora sp. Pada Pengamatan 14
HSI
No Perlakuan (mg/ml) Bentuk koloni Warna koloni
1 0 Bulat, tebal,
Hal ini juga sejalan dengan penelitian Febrian (2015) senyawa Metiram juga
merubah warna dan bentuk pada fungi jenis Cylindroclaudium reteaudii dari
warna kemerahmudaan ke putih kekuningan dan bentuk koloni dari bulat ,
tebal ,bertekstur lembut seperti bulu ke bentuk yang tidak bertekstur dan tidak
lembut . pada penelitian tersebut juga terjadi perubahaan yang sangat signifikan
pada perlakuaan dengan konsentrasi 1,2 mg/ml dan 1,6 mg/ml hal ini
menunjukkan bahwa fungisida berbahan aktif metiram cukup baik menekan
pertumbuhan dan perkembangan fungi Phaeophleospora sp.maupun
Diameter Koloni Phaeophleospora sp.
Diameter Phaeophleospora sp. (Gambar 3), menunjukkan pertumbuhan
fungi Phaeophleospora sp. setelah diberi perlakuan
Gambar 3. Pertumbuhan Diameter Koloni Fungi Phaeophleospora sp
Diameter dilakukan pada hari ke- 4 HSI. Pengukuran dilakukan setiap 4
hari sampai hari ke- 14 HSI. Gambar 3 menunjukkan pertumbuhan diameter
koloni fungi Phaeophleospora sp. Hasil pengamatan diameter pada Gambar
tersebut menunjukkan pertumbuhan diameter Phaeophleospora sp pada setiap
konsentrasi mengalami perlambatan.
Pertumbuhan diameter tertinggi pada kontrol, karena pada kontrol tidak
adanya faktor penghambat fungisida, sehingga pertumbuhan terus bertambah.
perlakuan 1.4 mg/ml petumbuhan Phaeophleospora sp. lambat, hal ini
dikarenakan penambahan fungisida pada media tumbuh akan berpengaruh
menekan pertumbuhan koloni Phaeophleospora sp. walaupun dengan konsentrasi
rendah fungisida sistemik cukup berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
Phaeophleospora sp. Hriday, (2006). Juga menyatakan, fungisida sistemik
merupakan fungisida yang bekerja dengan menghambat salah satu proses
metabolisme cendawan, misalnya hanya menghambat sintesis protein atau hanya
menghambat respirasi. Sehingga jika salah satu metabolisme cendawan di hambat
akan memperlambat diameter koloni cendawan.
Berdasarkan Uji F taraf 5%, diperoleh bahwa F hitung lebih besar dari F
table. Hal ini menunjukkan beda nyata dalam pertumbuhan diameter koloni fungi
Phaeophleospora sp. Sehingga di lakukan uji lanjut Duncan dengan taraf
kepercayaan 95%. Data pengujian disajikan pada Table 3.
Tabel 2. Rata-rata Diameter Koloni (cm) Phaeopphleospora.
Pengamatan Perlakuan
Keterangan : Agka yg diikuti notasi huruf yang tidak sama pada baris yang sama menunjukkan beda nyata dalam uji Duncan dengan kepercayaan 95%, sedangkan angka yang diikuti notasi huruf yang tidak sama berbeda nyata.
Berdasarkan uji Duncan dengan kepercayaan 95%, diperoleh bahwa
signifikan antara konsentrasi kontol dengan semua perlakuan, konsentrasi 0,4 juga
memiliki perbedaan dengan konsentrasi 0,8 mg/ml 1,2 mg/ml dan konsentrasi 1,6
mg/ml konsentrasi 0,8 juga berbeda dengan konsentrasi 1,2 dan konsentrasi 1,6
mg/ml dan konsentrasi 1,2 berbeda dengan konsentrasi 1,6 mg/ml. Pada
pengamatan 2 (8HSI) menunjukkkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara konsentrasi kontrol terhadap konsentrasi 0,4 mg/ml, konsentrasi 0,4 mg/ml
terhadap konsentrasi 0,8ml/mg , namun konsentrasi 0,8 mg/ml tidak memiliki
perbedaaan dengan konsentrasi 1,2 mg/ml, dan konsentrasi 1,2 mg/ml dengan
konsentrasi 1,6 memiliki perbedaan yang signifikan. Pada pengamatan 3 (12 HSI)
menunjukkan perlakuan kontrol tidak memiliki perbedaan dengan konsentrasi
0,4 ,namun dengan konsentrasi lainnnya memiliki perbedaan yang nyata begitu
juga dengan konsentrasi 0,4 berbeda dengan konsentrasi 0,8, konsentrsi 0,8 tidak
memiliki perbedaan dengan 1,2 dan konsentrasi 1,2 juga berbeda dengan 1,6
mg/ml. Pada pengamatan 4 (14 HIS) menunjukkan perlakuan kontrol tidak
memiliki perbedaan dengan konsentrasi 0,4 mg/ml namun dengan konsentrasi
0,8 ,1,2 ,1,6 mg/ml memiliki perbedaan yang signifikan, konsentrasi 0,4 tidak
berbeda dengan konsentrasi 0,8 mg/ml namun berbeda dengan konsentrasi 1,2 dan
konsentrasi 1,6 mg/ml, konsentrasi 0,8 berbeda dengan konsentrasi 1,2 dan
konsentrasi 1,6 mg/ml dan pada konsentrasi 1,2 mg/ml juga berbeda dengan
konsentrasi 1,6 mg.ml.
Berdasarkan hasil anailis data diatas, dapat dilihat bahwa fungisida
berbahan aktif Metiram 70% berpengaruh dalam menekan pertumbuhan fungi
Phaeophleospora sp hal ini juga sejalan dengan penelitian Hriday dan Pundhir
bekerja dengan menghambat salah satu proses metabolisme cendawan, misalnya
hanya menghambat sintesis protein atau hanya menghambat respirasi. Sehingga
jika salah satu metabolisme cendawan di hambat akan memperlambat diameter
koloni cendawan.
Hal ini juga sejalan dengan penelitian Febrian (2015) yang menyatakan
bahwa hasil dari perlakuan yang sama pada jenis fungi Cylindroclaudium reteaudii
diperoleh data diameter berbeda nyata antara perlakuan murni dengan perlakuan
yang memiliki konsentrasi senyawa Metiram 70% hal ini membuktikan bahwa
jenis fungisida berbahan aktif Metiram 70% cukup efektif untuk menghambat
pertumbuhan dan perkembangan diameter fungi Phaeophleospora sp dan
Cylindroclaudium reteaudii.
3. Luas Koloni Phaeophleospora sp.
Setelah dilakukan uji statistik terhadap respon pertumbuhan luas koloni
Phaeophleospora sp., disimpulkan adanya perbedaan respon pertumbuhan luas
antar perlakuan. Data hasil uji statistik dapat dilihat pada Lampiran 4.
Berdasarkan hasil Uji taraf F dengan kepercayaan 5% tersebut,dapat
dilihat bahwa besarnya luasan pertumbuhan koloni fungi berbeda nyata, maka
analisis data dapat dilanjutkan dengan Uji Duncan dengan taraf kepercayaan 95%.
Hasil dari uji Duncan dengan taraf kepercayaan 95% dapat di sajikan pada
Tabel 3. Rata- rata Luas Koloni (cm2) Fungi Phaeophleospora sp.
Keterangan : Agka yg diikuti notasi huruf yang tidak sama pada baris yang sama menunjukkan beda nyata dalam uji Duncan dengan kepercayaan 95%, sedangkan angka yang diikuti notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata
Berdasarkan tabel pengamtan hasil analisa Duncan dengan taraf taraf
kepercayaan 95% pada pengamatan 1 (4 HSI) dan pengamatan 2 (8 HSI), dapat
dilihat bahwa pertumbuhan luasan koloni fungi tetinggi terjadi pada perlakuaan
kontrol dan menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan perlakuaan lainnya,
begitu juga dengan perlakuaan 0,4 mg/ml memiliki perbedaan yang signifikan
dengan perlakuaan 0,8, 1,2 dan 1,6 mg/ml, namun pada perlakuaan 0,8 mg/ml
dengan 1,2 dan 1,6 mg/ml tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Pada
pengamatan 3 (12 HSI) dan pengamatan 4 (14 HSI) dapat dilihat perlakuan
kontrol tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan perlakuaan 0,4 mg/ml
namun dengan perlakuaan 0,8, 1,2 dan 1,6 memiliki perbedaan yang
signifikan.begitu juga dengan perlakuaan 0,4 tidak memiliki perbedaan yang
signifiakn dengan perlakuaan 0,8 namun dengan perlakuaan 1,2 dan 1,6 mg/ml
memiliki perbedaaan yang signifikan. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Sembiring (2008) yang menyatakan penambahan fungisida pada media tumbuh
akan berpengaruh menekan pertumbuhan koloni Phaeophleospora sp. walaupun
dengan konsentrasi rendah fungisida sistemik cukup kompatibel dan berpengaruh
penelitian Febrian (2015) yang menyatakan bahwa Metiram 70% cukup efektif
dalam menekan pertumbuhan dan perkembangan luas koloni fungi
Cylindroclaudium reteaudii, perbedaan tampak nyata pada perlakuan dengan
konsentrasi 1,2 dan 1,6 mg/ml.
4. Persentase hambatan relatif (HR) koloni Phaeophleospora sp.
Persentase hasil hambatan relatif respon fungi Phaeophleospora sp.
terhadap fungisida berbahan aktif Metiram 70% disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Persentase Hambatan Relatif (HR) Koloni Phaeophleospora sp.
Perlakuan (mg/ml) Rataan Hambatan Relatif (%)
0 0 : tidak berpengaruh
0,4 6,76 : sangat kurang berpengaruh
0,8 9,61 : kurang berpengaruh
1,4 11,81 : cukup berpengaruh
1,6 16,68 : berpengaruh
Berdasarkan Table 4, dapat dilihat bahwa pada semua konsentrasi tidak
memberikan pengaruh yang nyata dalam memberikan hambatan yang
berpengaruh pada pertumbuhan koloni fungi Phaleophleospora sp. Hal ini
ditunjukkan dari nilai rataan hambatan relatifnya yang berada pada persentase 40 %
saja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan bahan aktif tidak
sepenuhnya membasmi fungi Phaeophleospora sp. Sehingga perlu dilakukan
penelitian lanjutan untuk menentukan dosis konsentrasi yang lebih tepat untuk
menekan pertumbuhan fungi Phaeophleospora sp.
Metiram 70% adalah senyawa dithiocarbamate dimetil yang digunakan
sebagai suatu fungisida untuk mencegah penyakit jamur pada biji dan tanaman
selain berfungsi juga sebagai bakterisida. Selain itu Metiram 70% juga
penyimpanan maupun dalam transportasi sehingga fungisida Metiram menggangu
pertumbuhan dan perkembangan fungi Phaeophleospora sp. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Thomson, (1992) yang menyatakan cara kerja dari fungisida
Metiram adalah dengan menghambat kegiatan enzim yang ada pada jamur dengan
menghasilkan lapisan enzim yang mengandung unsur logam yang berperan dalam
pembentukan ATP serta berperan sebagai agen pengkelat sehingga sintesis protein
Pengamatan Mikroskopis 1.Pengamatan bentuk hifa
Pengamatan bentuk hifa bertujuan untuk mengetahui perubahan bentuk
nifa setelah fungi diberi perlakuan. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 4.
Hifa Hifa Hifa
(a) (b) (c)
Hifa
Hifa
(d) (e)
Gambar 4.Bentuk Hifa Phaeophleospora sp. (perlakuan (a) 0 mg/ml, (b) 0,4mg/ml,(c)
0,8 mg/ml, (d) 1.2 mg/ml, (e) 1,6 mg/ml).
Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis, pada bentuk hifa di
konsentrasi 0 mg/ml tidak terjadi pembengkakan dikarenakan pada perlakuan ini
tidak ada diberikan fungisida Metiram sehingga tidak ada terjadi efek penekanan
pada pertumbuhan dan perkembangan fungi Phaeophleospora sp. sedangkan pada
konsentarsi 0,8, 1,2 dan konsentrasi 1,6 mg/ml dapat dilihat bahwa terjadi
pembengkakan pada beberapa bagian kelompok hifa sedangkan konidia pada
masing-masing konsentrsi tersebut juga mengalami pengerdilan hal ini di
penekanan pertumbuhan dan perkembangan fungi Phaeophleospora sp. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Sembiring (2008) yang menyatakan penambahan
fungisida pada media tumbuh akan berpengaruh menekan pertumbuhan koloni
Phaeophleospora sp sehingga bentuk spora pada tiap-tiap konsentrasi akan
berbeda beda.
2. Kerapatan spora
Kerapatan spora dapat diketahui setelah fungi dipanen (14 HSI) dan diukur
dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Chi (1997) Kerapatan spora
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kerapatan Spora Phaeophleospora sp.
Perlakuan mg/ml) Kerapatan spora
0 241.24 x 105
0.4 50.50 x 105
0.8 19.81 x 105
1.2 18.00 x 105
1.6 8.50 x 105
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 5), kerapatan spora Phaeophleospora
sp. Pada perlakuan 1,6 mg/ml mengalamami perbedaan yang nyata dibandingkan
dengan perlakuan lainnya.
Dapat dilihat kerapatan spora pada konsentrasi 0 mg/ml dengan kerapatan
konsentrasi lainnya berbeda nyata, dengan kerapatan spora tertinggi terdapat pada
konsentrsi kontrol dan kerapatan terendah terdapat pada konsentrasi 1,6 mg/ml.
sangat aktif baik secara in vitro untuk menekan pertumbuhan patongen golongan
Oomycetes, serta penyebab penyakit hawar daun, rebah ,kecambah, busuk daun,
dan penyakit daun lainnya, sehingga jika pertumbuhan patongen di hambat akan
mempengaruhi kerapatan spora Hal ini juga sejalan dengan penelitian Febrian
(2015) bahwa data dari kerapatan spora mengalami perbedaan yang signifikan
antara perlakuan murni dengan perlakuan yang diberikan konsentrasi fungisida
Metiram 70% sehingga fungisida Metiram 70% cukup efektif untuk menekan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan1. Respon Phaeophleospora sp. terhadap konsentrasi perlakuan fungisida, 0,4,
0,8, 1,2, 1,6 mg/ml berpengaruh nyata terhadap (luas, diameter, hambatan
relatif, kerapatan spora) fungi Phaeophleospora sp.
2. Hifa mengalami perubahan bentuk setelah diberi perlakuan ditunjukkan
dengan adanya perbedaan bentuk, warna, dan tekstur pada konsentrasi
perlakuan 0,4, 0,8, 1,2, 1,6 mg/ml.
Saran
Masih diperlukan penelitian lanjutan uji respon Phaeophleospora sp.
terhadap fungisida berbahan aktif Metiram 70 % agar mendapatkan konsentrasi
yang lebih tepat untuk menekan pertumbuhan dan perkembangan
TINJAUAN PUSTAKA
Eucalyptus spp. merupakan salah satu tanaman yang bersifat fast growing
(tanaman cepat tumbuh). Eucalyptus spp. juga dikenal sebagai tanaman yang
dapat bertahan hidup pada musim kering. Tanaman ini mempunyai sistem
perakaran yang dalam namun jika ditanam di daerah dengan curah hujan sedikit
maka perakarannya cenderung membentuk jaringan rapat dekat permukaan tanah
untuk memungkinkan menyerap setiap tetes air yang jatuh di cekaman tersebut.
(Poerwowidodo, 1991).
Penyakit Daun Phaeophleospora pada Tanaman Eukaliptus (Eucalyptus spp.)
Penyakit Phaeophleospora ini disebabkan oleh jamur Phaeophleospora sp
yang biasanya terdapat pada pembibitan dan menyerang tanaman jenis tertentu.
Gejala yang ditunjukkan berupa bercak daun berwarna kemerahan pada
permukaan atas daun dan adanya spora berwarna hitam pada bagian permukaan
bawah daun (Old, et al., 2003 a).
Berikut taksonomi dari Phaeophleospora destructans
Kingdom: Fungi
Phylum : Ascomycota
Kelas : Dothideomycetes
Ordo : Capnodiales
Famili : Mycosphaerellaceae
Genus : Phaeophleospora
Patogen ini ditemukan pada tahun 2000, menyerang perkebunan klonal E.
camaldulensis di timur Thailand dan pada tahun 2002 ditemukan untuk pertama
kalinya di beberapa lokasi, meliputi selatan, tengah dan utara Vietnam, pada
spesies E. camaldulensis, E. urophylla dan klon hibrid. Penyebaran yang cepat
menunjukkan adanya serangan patogen ke tanaman hingga bahkan menyerang
benih, dan hal ini berpotensi sebagai ancaman serius bagi eukaliptus di Asia
Tenggara. Dalam rangka untuk membantu mengatasi penyakit ini, klon toleran
dipilih dan ditempatkan di Sumatera (Barber, 2004).
Fungi Phaeophleospora destructans merupakan salah satu patogen daun
yang paling banyak dilaporkan dan diteliti di dunia, terjadi pada berbagai spesies
di banyak negara termasuk dari daerah subtropis. Dianggap sebagai patogen yang
menyerang pembibitan di Australia dan India, menyebabkan kematian tanaman di
Malawi dan Afrika Selatan, defoliasi perkebunan di Australia, dan kerusakan yang
signifikan di pembibitan dan perkebunan di Indonesia. Gejala yang ditimbulkan
bervariasi, spora dapat tersebar, dan menginfeksi bibit dan kebun klonal di
pembibitan dengan sanitasi yang buruk (Barber, 2004).
Penyakit ini memiliki sifat menginfeksi, apabila satu daun tanaman telah
terinfeksi patogen ini maka akan terjadi penularan penyakit pada daun yang
berdekatan hingga dapat mengakibatkan kematian bibit tanaman. Penularan sering
kali terlihat dimulai dari bagian pangkal bibit tanaman hingga mencapai daun
bagian ujung tanaman. Patogen ini biasanya berada di bawah tajuk pohon dan
dapat menyebabkan penghancuran secara signifikan pada semai di pembibitan
Penyakit ini umumnya ditemukan pada tanaman eukaliptus di Sumatera
Utara. Plot percobaan dari E. globulus di Habinsaran terinfeksi dalam jumlah
besar. Penyakit ini ditemukan pada areal pembibitan dan areal penanaman.
Penyakit ini biasanya ditemukan pada daun dewasa, terutama pada bibit-bibit
yang persediaannya berlebih. Jika tingkat infeksi sudah tinggi, penyakit ini dapat
menyebabkan gugurnya daun pada usia muda (Alfenas, 1993).
Fungisida
Fungisida adalah senyawa kimia beracun untuk memberantas dan
mencegah perkembangan fungi/ jamur. Penggunaan fungisida adalah termasuk
dalam pengendalian secara chemis (kimia). Adapun keuntungan yang diperoleh
adalah: mudah diaplikasikan, memerlukan sedikit tenaga kerja, penggunaanya
praktis, jenis dan ragamnya bervariasi, hasil pengendalian tuntas
(Djojosumarto, 2000).
Menurut cara kerjanya di dalam tubuh tanaman sasaran yang diaplikasi
fungisida dibagi menjadi 3. Pertama fungisida sistematik yaitu fungisida yang
diabsorpsi oleh organ-organ tanaman dan ditranslokasikan kebagian tanaman
lainnya lewat aliran cairan tanaman. Kedua fungisida nonsistematik yaitu
fungisida yang tidak dapat diserap oleh jaringan tanaman, yaitu fungisida ini
hanya membentuk lapisan penghalang di permukaan daun tanaman sehingga
perkecambahan spora dan miselia jamur menjadi terhambat. Ketiga fungisida
sistem lokal yaitu fungisida yang diabsorpsi oleh jaringan tanaman tetapi tidak
ditransformasikan ke bagian tanaman lainnya. Pada fungisida, terutama fungisida
sistematik dan nonsistematik, pembagian ini erat hubungannya dengan sifat dan
Fungisida Sistemik
Bahan-bahan aktif yang dapat ditemui terkandung di dalam fungisida
sistemik adalah Benomyl, Metiram, Carbendazim, Mancozeb, Oksadisil, Propineb,
dan Metalaksil. Benomyl adalah fungisida yang diperkenalkan pada tahun 1968
oleh Du Pont. Benomyl adalah fungisida sistemik benzimidazole yang bersifat
racun selektif bagi mikroorganisme dan invertebrata, khususnya cacing tanah.
Toksisitas selektif benomyl sebagai fungisida adalah efeknya tinggi terhadap
jamur daripada mikrotubulus mamalia. Metiram 70% adalah senyawa
dithiocarbamate dimetil yang digunakan sebagai suatu fungisida untuk mencegah
penyakit jamur pada biji dan tanaman selain berfungsi juga sebagai bakterisida.
Carbendazim adalah fungisida benzimidazole dengan spektrum luas yang banyak
digunakan. Mancozeb adalah fungisida bisdithiocarbamate etilen tidak beracun
yang banyak diaplikasikan. Mancozeb efektif terhadap penyakit tanaman yang
disebabkan Phytophthora, Anthracnose, Botrytis, Fusarium, Pythium, Alternaria,
Early and Late Blight, dan lain-lain. (Sastroutomo, 1992).
Fungisida Kontak
Fungisida kontak bekerja melalui paparan langsung pada cendawan.
Fungisida kontak akan membunuh cendawan yang terkena paparan bahan aktif.
Sebenarnya cara ini adalah cara yang tidak tepat, karena cendawan dewasa
memiliki daya tahan hidup lebih kuat, sehingga cendawan yang tidak mati karena
terkena paparan bahan aktif kontak dan dosis bahan aktif sistemik yang kurang,
dapat menjadi resisten terhadap bahan aktif yang terkandung di dalam fungisida
(Sembiring, 2008).
sangat aktif baik secara in vitro maupun in vivo untuk menekan pertumbuhan
patogen golongan Oomycetes, serta penyebab penyakit hawar daun, rebah
kecambah, busuk daun dan penyakit daun lainnya dengan daya aktif yang tinggi.
Aplikasinya pada tanah atau daun dengan tekanan rendah
(Magallona, et.al., 1991).
Fungisida Sistemik Lokal
Fungisida sistemik lokal diabsorbsi oleh jaringan tanaman, tetapi tidak
ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya. Bahan aktif hanya akan terserap ke
sel-sel jaringan yang tidak terlalu dalam dan tidak sampai masuk hingga
pembuluh angkut. Menurut mekanisme kerjanya, fungisida dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu:
1. Multisite Inhibitor
Multisite inhibitor adalah fungisida yang bekerja menghambat beberapa
proses metabolisme cendawan. Sifatnya yang multisite inhibitor ini membuat
fungisida tersebut tidak mudah menimbulkan resistensi cendawan. Fungisida yang
bersifat multisite inhibitor (merusak di banyak proses metabolisme) ini umumnya
berspektrum luas. Contoh bahan aktifnya adalah maneb, mankozeb, zineb,
probineb, ziram, Metiram.
2. Monosite Inhibitor
Monosite inhibitor disebut juga sebagai site specifik, yaitu fungisida yang
bekerja dengan menghambat salah satu proses metabolisme cendawan, misalnya
hanya menghambat sintesis protein atau hanya menghambat respirasi. Sifatnya
timbulnya resistensi candawan. Contoh bahan aktifnya adalah tembaga oksida,
metalaksil, oksadisil, dan benalaksil (Hriday dan Pundhir, 2006).
Metiram
Gambar 1. Rumus Bangun Metiram (sumber google.com, 2011)
Metiram 70% adalah senyawa dithiocarbamate dimetil yang digunakan
sebagai suatu fungisida untuk mencegah penyakit jamur pada biji dan tanaman
selain berfungsi juga sebagai bakterisida. Selain itu Metiram 70% juga
digunakan untuk mencegah pembusukan tanaman berada dalam tempat
penyimpanan maupun dalam transportasi.
Produk Metiram 70% dapat berupa serbuk kering, serbuk yang dapat
diubah menjadi cairan, suspensi cairan atau juga dapat dicampur dengan produk
fungisida lainnya.
1. Efek Toksologi Metiram 70%
Toksistas akut: Metiram 70% bersifat sedikit toksik jika dicerna dan
dihirup, tapi akan bertambah tingkat toksisitasnya jika kontak melalui kulit.
Kontak secara akut pada manusia dapat menyebabkan sakit kepala, pusing,
kelelahan, diare dan gangguan pencernaan lainnya. Orang dengan gangguan
sistem pernapasan atau penyakit kulit, resiko terekspos oleh Metiram 70%
Toksisitas kronik : Ciri-ciri dari kontak kronis karena Metiram 70% pada
manusia adalah rasa ngantuk, bingung, kehilangan hasrat untuk hubungan seks,
kemampuan bicara berkurang dan menjadi lemah. Kontak yang berlangsung lebih
lama lagi akan menyebabkan alergi seperti alergi kulit, mata berair dan sensitif
terhadap cahaya.
2. Sifat Adsorpsi Metiram 70% pada Lingkungan
Pada tanah dan air tanah: Metiram 70% memiliki tingkat yang rendah
dalam mempertahankan keberadaannya. Metiram 70% bersifat tidak mampu
bergerak pada tanah liat maupun tanah yang memiliki tingkat kandungan zat
organik yang tinggi. Karena sifat dengan tingkat kelarutan yang rendah dalam air
(30 mg/L) dan memiliki kecenderungan yang kuat untuk mengadsorbsi partikel
tanah, Metiram 70% memiliki kemungkinan yang kecil untuk mengkontaminasi
air tanah.
Waktu paruh hidup Metiram 70% dalam tanah adalah 15 hari. Metiram 70%
terdegradasi secara cepat pada tanah yang bersifat asam dan memiliki kandungan
zat organik yang tinggi. Sebagai contoh, pada tanah humus di pH 3.5, Metiram
terdekomposisi setelah 4 – 5 minggu, sedangkan pada pH 7.0, Metiram 70%
terdekomposisi setelah 14-15 minggu.
Pada perairan: dalam air, Metiram 70% secara cepat akan rusak akibat
hidrolisis dan fotodegradasi, terutama pada kondisi yang asam. Metiram 70%
dapat teradsorpsi pada partikel suspensi atau sedimen di sekitar perairan.
Penelitian Terkait
Vogel (1990) dalam uji efektifitas fungisida sistemik dan fungisida non
turcicum) pada beberapa varietas tanaman jagung (Zea mays L) menyimpulkan
bahwa fungisida non sistemik berbahan aktif Metiram 70% efektif dalam
mengendalikan penyakit Helminthosporium turcicum dengan dosis 1,7 g/l air.
Tiancang (2008) dalam uji efektifitas fungisida sistemik dan fungisida non
sistemik terhadap perkembangan penyakit bercak kelabu (Cercospora zeae
-maydis) pada beberapa varietas tanaman jagung (Zea mays L) juga menyimpulkan
bahwa fungisida kontak berbahan aktif Klorotalonil 75% efektif mengendalikan
penyakit Cercospora zeae -maydis dengan dosis 4,5 g/3 l air.
Wingfield dan Crous (1996) dalam uji efikasi beberapa fungisida untuk
mengendalikan Pythium spp pada pembibitan tanaman tembakau Deli (Nicotiana
tabaccum L) menyimpulkan bahawa fungisida kontak berbahan aktif
Propamocarb HCl efektif dalam mengendalikan penyakit Pythium spp di
lapangan dengan dosis 2 cc/l, namun tidak efektif secara in vitro terhadap jamur
PENDAHULUAN
Eucalyptus spp. merupakan salah satu tanaman yang bersifat fast growing
(tanaman cepat tumbuh). Eucalyptus spp. juga dikenal sebagai tanaman yang
dapat bertahan hidup pada musim kering. Tanaman ini mempunyai sistem
perakaran yang dalam namun jika ditanam di daerah dengan curah hujan sedikit
maka perakarannya cenderung membentuk jaringan rapat dekat permukaan tanah
untuk memungkinkan menyerap setiap tetes air yang jatuh di cekaman tersebut.
(Poerwowidodo, 1991).
Ditinjau dari segi kualitas hidup eukaliptus mempunyai banyak gangguan
penyakit. Menurut Rahayu (1999) penyakit pohon Eucalyptus urophylla berupa
bercak daun (leaf spot disease) disebabkan kelas Deutromycetes, Macrophona
sp., Curvularia sp., Pestalotia sp., Gleosporium sp., Helmintosporium sp. Bercak
daun umum terjadi di persemaian atau tanaman di lapangan.
Phaeophleospora (Kirramyces) adalah patogen yang menyerang daun
Eukaliptus di manapun mereka tumbuh. Phaeophleospora sp. ditemukan hampir
dimana-mana yang menyebabkan bintik-bintik dan perubahan warna pada tajuk
yang lebih rendah, tapi tidak sering menyebabkan kerusakan serius. Namun pada
tahun 1996 spesies Phaeophleospora yang baru teridentifikasi pada Eucalyptus
grandis di Sumatera dan tingkat keparahan hawar daun menyebabkan fungi ini
disebut Kirramyces (Old, et al.,2003).
Cara yang paling umum dikenal dalam pengendalian penyakit tumbuhan di
lapangan adalah menggunakan senyawa kimia yang beracun bagi patogen. Bahan
kimia tersebut baik yang menghambat perkecambahan, pertumbuhan dan
dinamakan fungisida (untuk penyakit yang disebabkan oleh fungi), bakterisida
(untuk penyakit yang disebabkan oleh bakteri), nematisida (untuk penyakit yang
disebabkan oleh nematoda), virusida (untuk penyakit yang disebabkan oleh virus)
dan herbisida (penyakit yang disebabkan oleh tumbuhan lain). Keefektifan suatu
fungisida terhadap patogen perlu adanya pengujian di laboratorium
Sehubungan dengan peranannya sebagai patogen penyakit maka perlu
dilakukan upaya pengendalian penyebarannya dengan cara pengendalian langsung
yaitu dengan penggunaan fungisida. Penggunaan fungisida diharapkan mampu
menekan pertumbuhan dan penyebarannya khususnya pada percobaan secara in
vitro. Berbagai fungisida yang telah digunakan sebelumnya dapat menimbulkan
resistensi pada Phaeophleospora (Kirramyces) maka dengan itu perlu dilakukan
penelitian ini sebagai upaya mempelajari dan mengukur sejauh mana respon yang
diberikan oleh Phaeophleospora (Kirramyces). terhadap pemberian fungisida
berbahan aktif Metiram 70% secara in vitro.
Tujuan Penelitian
1. Mengukur respon fungi patogen Phaeophleospora sp. (luas, diameter,
hambatan relatif, kerapatan spora) terhadap perlakuan konsentrasi fungisida
Metiram 70% (0 , 0,4 , 0,8 , 1,2 dan 1,6 mg/ml).
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
respon Phaeophleospora sp. terhadap pemberian fungisida berbahan aktif
Metiram 70% .
Hipotesis
Terdapat respon yang berbeda pada pertumbuhan dan perkembangan (luas,
diameter, hambatan relatif, kerapatan spora, bentuk, warna, tekstur)
ABSTRAK
JOSUA M SITANGGANG: Respon Phaeophleospora sp. Terhadap Fungisida Berbahan Aktif Metiram Secara in Vitro. Dibawah bimbingan Edy Batara Mulya Siregar dan Ridwanti Batubara.
Phaeophleospora sp. adalah salah satu penyakit yang menyerang tanaman Eucalyptus spp, terutama pada pembibitan tanaman Eucalyptus spp. Penyakit ini sudah tersebar di hampir seluruh dunia, di Sumatera Utara penyakit ini sudah terdapat di PT Toba Pulp Lestari. Pengendalian penyakit ini sendiri masih menggunakan fungisida yang salah satu fungisidanya adalah fungisida yang berbahan aktif Metiram 70%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon Phaeophleospora sp. terhadap perlakuan fungisida Metiram 70% dengan konsentrasi 0,4 , 0,8 , 1,2 dan 1,6 mg/ml. Respon yang diukur adalah pertumbuhan koloni (luas , diameter, kerapatan spora, dan perubahan yang terjadi pada hifa). Penelitian di lakukan di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera, menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap non faktorial dengan lima kali ulangan.
Hasil penelitian menunjukkan perlakuan fungisida Metiram 70% dengan konsentrasi 0,4 , 0,8 , 1,2 dan 1,6 mg/ml secara in vitro berpengaruh nyata terhadap perubahan luas, diameter, kerapatan spora dan bentuk hifa Phaeophleospora sp. Pada pengamatan makroskopis mengalamai perubahan dan bentuk koloni pada perlakuaan 0,4 , 0,8 , 1,2 , 1,6 mg/ml.
ABSTRACT
JOSUA M SITANGGANG :Response Phaeophleospora sp. of Active Substance Fungicide Metiram at on In Vitro. Under guidance of Edy Batara Mulya Siregar and Ridwanti Batubara.
Phaeophleospora sp is one of diseases which attack eucalyptus plant particulaily on eucalyptus nursery. This disease has been spread almost in the whole world. North Sumatera this diseases exist on fungicide used which one of them was fungicide with active substance of Metiram 70%. The purpose of this reseaech is to know the response of Phaeophleospora with fungicide Metiram substance 70% treatment with 0,4 ,0,8 ,1,2 and 1,6 mg/ml as concentrate. Response which measured was colony growth (wide, diameter, spora density, and change that happened to hifa). Research conducted at Forest Biothechnology Laboratory and Pest Plant Pathology Laboratory, Agriculture Faculty, University of North Sumatera. Used general linear non factorial with five times repetitions.
The result of the research shows that treatment fungicides dose 0 ,4 ,0,8 ,1,2 and 1,6, mg/ml giving effect obvious or the dose of fungicide is not effective in controlling blight disease. In macroscopisc observation there are chage of shape and color of the colonies in 0,4, 0,8, 1,2, 1,6 mg/ml
RESPON Phaeophleospora sp. TERHADAP FUNGISIDA
BERBAHAN AKTIF METIRAM SECARA IN VITRO
SKRIPSI
JOSUA M SITANGGANG 101201165
BUDIDAYA HUTAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Peneletian : Respon Phaeophleospora sp. Terhadap Fungisida Berbahan Aktif Metiram Secara in Vitro
Nama : Josua M Sitanggang
NIM : 101201165
Program Studi : Kehutanan
Minat : Budidaya Hutan
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS Ridwanti Batubara, S.Hut.,MP
Ketua Anggota
Mengetahui,
ABSTRAK
JOSUA M SITANGGANG: Respon Phaeophleospora sp. Terhadap Fungisida Berbahan Aktif Metiram Secara in Vitro. Dibawah bimbingan Edy Batara Mulya Siregar dan Ridwanti Batubara.
Phaeophleospora sp. adalah salah satu penyakit yang menyerang tanaman Eucalyptus spp, terutama pada pembibitan tanaman Eucalyptus spp. Penyakit ini sudah tersebar di hampir seluruh dunia, di Sumatera Utara penyakit ini sudah terdapat di PT Toba Pulp Lestari. Pengendalian penyakit ini sendiri masih menggunakan fungisida yang salah satu fungisidanya adalah fungisida yang berbahan aktif Metiram 70%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon Phaeophleospora sp. terhadap perlakuan fungisida Metiram 70% dengan konsentrasi 0,4 , 0,8 , 1,2 dan 1,6 mg/ml. Respon yang diukur adalah pertumbuhan koloni (luas , diameter, kerapatan spora, dan perubahan yang terjadi pada hifa). Penelitian di lakukan di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera, menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap non faktorial dengan lima kali ulangan.
Hasil penelitian menunjukkan perlakuan fungisida Metiram 70% dengan konsentrasi 0,4 , 0,8 , 1,2 dan 1,6 mg/ml secara in vitro berpengaruh nyata terhadap perubahan luas, diameter, kerapatan spora dan bentuk hifa Phaeophleospora sp. Pada pengamatan makroskopis mengalamai perubahan dan bentuk koloni pada perlakuaan 0,4 , 0,8 , 1,2 , 1,6 mg/ml.
ABSTRACT
JOSUA M SITANGGANG :Response Phaeophleospora sp. of Active Substance Fungicide Metiram at on In Vitro. Under guidance of Edy Batara Mulya Siregar and Ridwanti Batubara.
Phaeophleospora sp is one of diseases which attack eucalyptus plant particulaily on eucalyptus nursery. This disease has been spread almost in the whole world. North Sumatera this diseases exist on fungicide used which one of them was fungicide with active substance of Metiram 70%. The purpose of this reseaech is to know the response of Phaeophleospora with fungicide Metiram substance 70% treatment with 0,4 ,0,8 ,1,2 and 1,6 mg/ml as concentrate. Response which measured was colony growth (wide, diameter, spora density, and change that happened to hifa). Research conducted at Forest Biothechnology Laboratory and Pest Plant Pathology Laboratory, Agriculture Faculty, University of North Sumatera. Used general linear non factorial with five times repetitions.
The result of the research shows that treatment fungicides dose 0 ,4 ,0,8 ,1,2 and 1,6, mg/ml giving effect obvious or the dose of fungicide is not effective in controlling blight disease. In macroscopisc observation there are chage of shape and color of the colonies in 0,4, 0,8, 1,2, 1,6 mg/ml
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Sidikalang pada 7 Agustus 1992 dari Ayah alm. J.
Sitanggang dan alm. R. Samosir. Menamatkan Sekolah Dasar dari SDN 030284
pada Tahun 2004. Kemudian melanjutkan sekolah di SMP N 1 Sidikalang lulus
tahun 2007. Melanjutkan ke SMA Negeri 2 Sidikalang lulus tahun 2010
Tahun 2010 melanjutkan ke Perguruan Tinggi Universitas Sumatera Utara
melalui jalur UMB dengan jurusan Kehutanan. Penulis melakukan penelitian
dengan judul Respon Phaeophleospora sp. Terhadap Fungisida Berbahan Aktif
Metiram Secara in Vitro.
Penulis masuk organisasi Himpunan Mahasiswa Silva tahun 2010,
mengikuti kegiatan P2EH (Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan) tahun 2012 di
Taman Hutan Raya Bukit Barisan, Tongkoh selama 10 hari. Penulis melakukan
PKL (Praktik Kerja Lapang) di HTI Ichi Hutani Manunggal, Kalimantan Timur
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul
“Respon Phaeophleospora sp. terhadap Fungisida Berbahan Aktif Metiram 70%
Secara in Vitro” ini dengan baik. Tujuan penelitian untuk mengukur efektifitas
fungisida dalam mengendalikan penyakit busuk daun, mengukur luas dan
diameter koloni jamur Phaeophleospora sp., menghitung kerapatan
Phaeophleospora sp., mengkarakterisasi bentuk Phaeophleospora sp. setelah
diberi perlakuan. Skripsi ini merupakan tugas akhir untuk menyelesaikan studi
pada jenjang Strata satu (S1) Kehutanan menurut kurikulum Program Studi
Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Penulis mengucakan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua
orang tua, ayahanda J. Sitanggang dan ibunda R. Samosir yang telah banyak
memberi dukungan dengan baik kepada penulis, saudara penulis (Peri Sitanggang
dan Ruth Indah Sitanggang) yang selalu memberi semangat dan doa kepada
penulis, Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S selaku ketua komisi pembimbing
dan Ridwanti Batubara S.Hut., MP selaku anggota komisi pembimbing dalam
penulisan skripsi ini, teman-teman satu penelitian, teman-teman seperjuangan
Helmud , Asi , Adrian , Noa, Mario, Riston, Septo, Gusti, dan semua teman-teman
BDH 2010 yang telah memberikan dukungan kepada penulis.
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebagai
dasar penelitian-penelitian selanjutnya dan dapat menyumbangkan pengetahuan
DAFTAR ISI
ManfaatPenelitian ... 2
Kerapatan Spora Phaeophleospora sp. ... 14
Analisis Data ... 15
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan Secara Makroskopis. ... 16
Bentuk dan Warna Koloni ... 18
Diameter Koloni Phaeophleospora sp. ... 20
Luas Koloni Phaeophleospora sp ... 23
Persentase Hambatan Relatif Koloni Phaeophleospora sp ... 24
Pengamatan Mikroskopis... 25
Pengamatan Bentuk Hifa ... 27
Kerapatan Spora ... 28
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 30
Saran ... 30
DAFTAR PUSTAKA ... 31
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Bentuk dan Warna Koloni Phaeophleospora sp. Pada Pengamatan
14 HSI 19
2. Rata-rata Diameter Koloni (cm) Phaeopphleospora sp ... 21
3. Rata- rata Luas Koloni (cm2) Fungi Phaeophleospora sp. ... 23
4. Persentase Hambatan Relatif (HR) Koloni Phaeophleospora sp ... 25
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Rumus Bangun Metiram ... 9
2. Tampilan Depan Phaeophleospora sp. ... 17
3. Bentuk Pertumbuhan Diameter Koloni Fungi Phaeophleospora sp .... 19
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Tally Sheet Harian Diameter & Luas Koloni Fungi Phaeophleospora ….. 31
2. Hasil Analisis Data Uji taraf 5% Diameter koloniPhaeophleospora………..33
3. Hasil Analisis Uji DMRT Diamater Koloni Phaeophleospora sp. ... …. 36
4. Hasil Analisis Data Uji F taraf 5% Luas Koloni Phaeophleospora sp…….. 38