• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hijauan dan Konsentrat

Pakan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan produktivitas dan keuntungan sapi perah. Menurut Tyler dan Enseminger (2006) pakan merupakan kontributor utama terbesar sebagai biaya produksi dalam industri peternakan yaitu sekitar 45-55%. Menurut Sudono et al. (2003), menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pakan di Indonesia mencapai 60-70% dari total biaya produksi. Kondisi tersebut menyarankan pemberian pakan yang baik akan sangat menguntungkan bagi para peternak.

Pemberian pakan pada ternak hendaknya memperhatikan dua hal yaitu kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan produksi. Pada sapi dara, pemberian pakan dapat menunjang kebutuhan hidup pokok dan produksi, dengan fokus utama adalah pertambahan bobot badan (PBB). Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian pakan adalah kecukupan bahan kering (BK), protein kasar (PK), dan energi (TDN). Pakan sapi perah yang ideal ditinjau dari segi biologis dan ekonomis, terdiri dari sejumlah hijauan dan konsentrat sebagai tambahan. Pakan sapi perah yang hanya terdiri dari hijauan saja akan sulit untuk mencapai produksi yang tinggi. Akan tetapi apabila pakan sapi perah hanya terdiri konsentrat saja, produksinya akan tinggi, dengan biaya akan menjadi relatif mahal dan ada kemungkinan terjadinya gangguan pencernaan yang menjuruskan sapi perah ke arah penggemukan. Padahal penggemukan ini bertentangan dengan efesiensi produksi susu (Sudono et al. 2003).

Hijauan dan konsentrat sebagai komponen pakan sapi perah merupakan zat-zat makanan yang dibutuhkan sapi perah untuk berbagai fungsi tubuhnya. Agar zat-zat makanan yang dibutuhkan itu dapat terpenuhi, hijauan dan konsentrat perlu diformulasikan menjadi suatu ransum. Dengan demikian, formulasi ransum sapi perah bertujuan untuk menyusun suatu ransum yang dapat memenuhi zat-zat makanan yang dibutuhkan sapi perah. Oleh karena itu tanpa mengetahui komposisi zat-zat makanan dari bahan pakan dan kebutuhan zat-zat makanan, formulasi ransum tidak akan dapat dilakukan. Pada formulasi ransum, kebutuhan

air tidak diikutsertakan. Hal ini dikarenakan air minum pada sapi perah terutama sedang laktasi, harus selalu cukup tersedia (Agenậs et al. 2006).

Hijauan

Gambar 1. Hubungan antara tujuan dan kebutuhan pakan sapi perah (Tyler & Enseminger, 2006)

Berkenaan hubungan antara konsumsi pakan dengan faktor iklim, hal yang harus diperhatikan adalah pengaruh iklim terhadap tingkat konsumsi. Rahardja (2007) menyatakan bahwa faktor iklim berpengaruh langsung terhadap konsumsi pakan dalam hal perilaku merumput, pengambilan dan penggunaan makanan (feed intake), pengambilan dan penggunaan water intake (air minum), efesiensi penggunaan makanan, dan hilangnya zat-zat makanan karena berkeringat dan air liur. Pengaruh tidak langsung iklim terhadap tingkat konsumsi adalah ketersediaan sumber makanan di wilayah tersebut.

Jumlah zat-zat makanan yang dibutuhkan Formulasi ransum Sapi Perah Air Minum Pokok Hidup :

• Pengganti sel-sel tubuh yang sudah rusak

• Basal metabolis

• Regulasi suhu tubuh

Produksi : • Pertumbuhan • Penggemukan • Reproduksi • Produksi susu Konsentrat Hijauan

Pertumbuhan Sapi Dara

Usaha pembesaran sapi dara di tingkat peternakan rakyat masih belum banyak dilakukan karena dipandang belum menguntungkan dan biayanya mahal. Pemeliharaan sapi dara merupakan bagian penting dalam upaya pengembangan sapi perah karena merupakan calon penghasil bakalan. Peningkatan efisiensi usaha pemeliharaan sapi perah dara perlu dilakukan melalui efisiensi biaya pakan. Perkembangan organ reproduksi terjadi selama masa pertumbuhan sehingga status fisiologis sapi dara harus benar–benar diperhatikan, karena kekurangan gizi dapat menyebabkan tidak berfungsinya ovarium sebaliknya bisa mengalami gangguan reproduksi seperti terjadinya kegagalan kebuntingan dan terjadinya kemajiran bila berat badan meningkat secara berlebihan (McNeilly 2001).

Pembesaran sapi dara berhubungan erat dengan efisiensi reproduksi; keberhasilannya tergantung pada pola pemeliharaan yang 95% dipengaruhi oleh pakan, kesehatan dan faktor lingkungan. Keberhasilan reproduksi dan produksi sapi dara diharapkan berat badan saat kawin sekitar 250 kg–300 kg, namun menurut Sudono et al. (2003) berat badan minimal 250 kg pada waktu kawin pertama jarang tercapai pada umur 15 bulan. Hal tersebut diduga disebabkan oleh rendahnya potensi pertumbuhan calon induk atau kurang terpenuhinya pakan.

Menurut Abeni et al. (2000) pertumbuhan ideal untuk sapi dara dengan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) 0.5 kg/hari membutuhkan protein kasar sekitar 291 g dan energi metabolis sebesar 5.99 Mkal bila berat badannya 100 kg. Bila target PBBH 0.5 kg/hari tersebut, maka berat badan minimal ideal untuk kawin pertama yakni sebesar 250 kg akan terpenuhi pada umur ± 16.5 bulan sehingga sapi dara langsung dapat dikawinkan untuk pertama kali, dengan demikian umur beranak pertama adalah pada umur 27 bulan.

National Research Council atau NRC (2001) telah menentukan kebutuhan nutrisi sapi perah untuk program pertumbuhan sapi dara dan efek selanjutnya mengenai kebutuhan nutrisi sapi laktasi. Ada beberapa laporan mengenai studi keperluan protein untuk sapi dara, yang menghubungkan untuk pertumbuhan, pengganti induk, dan kelangsungan produksi susu. Laporan tersebut bertujuan memperkirakan prediksi yang akurat tentang kebutuhan zat makanan sapi dara. Kebutuhan energi dan protein untuk pertumbuhan yang diestimasi dari kandungan

energi dan protein bahan pakan selama pertumbuhan. Jumlah energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dihitung dari deposit net energi. Pemakaian energi dapat dinyatakan dengan bermacam cara antara lain; DE (Digestible Energy), ME (Metabolizable Energy), NE (Netto Energy) dan TDN (Total Digestible Nutrient). Konversi energi dapat dikalkulasi nilai yang sama dari TDN yaitu :

o DE (Mkal/kg) = 0.04409 x TDN(%)

o ME (Mkal/kg) = 1.01x DE (Mkal/kg) – 0.45

o NEL (Mkal/kg) = 0.0245 x TDN(%) – 0.12

Berdasarkan penghitungan BK, kandungan protein kasar dan TDN yang diperlukan untuk pemeliharaan dan pertumbuhan telah ditentukan (NRC 2001) yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kebutuhan nutrisi harian sapi perah dara

No Berat Badan (kg) PBB (kg/hari) BK (kg/hari) TDN (%) PK (%) 1. 100 0.5 4.1 58.4 13.0 0.7 4.2 61.7 14.9 0.9 4.2 65.3 16.9 1.1 4.2 69.2 18.9 2. 200 0.5 5.1 58.4 11.9 0.7 5.2 61.7 13.4 0.9 5.2 65.3 15.0 1.1 5.2 69.2 16.6 3. 250 0.5 6.0 58.4 11.1 0.7 6.1 61.7 12.4 0.9 6.2 65.3 13.7 1.1 6.2 69.2 15.1 4. 300 0.5 6.9 58.4 10.6 0.7 7.0 61.7 11.7 0.9 7.1 65.3 12.9 1.1 7.1 69.2 14.1 5. 350 0.5 7.8 58.4 10.2 0.7 7.9 61.7 11.2 0.9 8.0 65.3 12.3 1.1 8.0 69.2 13.3

Sumber : National Research Council (NRC) (2001).

Energi pakan yang dikonsumsi ternak dapat digunakan dalam 3 cara: (1) menyediakan energi untuk aktivitas; (2) dapat dikonversi menjadi panas; dan (3) dapat disimpan sebagai jaringan tubuh. Kelebihan energi pakan yang dikonsumsi setelah terpenuhi untuk kebutuhan pertumbuhan normal dan metabolisme biasanya disimpan sebagai lemak. Kelebihan energi tersebut tidak dapat dibuang

(diekskresikan) oleh tubuh ternak. Prediksi jumlah intake pakan yang diperlukan untuk kebutuhan pemeliharaan sapi perah dara ini harus mempertimbangkan kebutuhan energi untuk proses metabolisme, aktifitas dan regulasi temperatur. Pengaruh lingkungan terhadap kebutuhan energi dihitung berdasarkan kehilangan panas relatif untuk produksi panas ternak, temperatur harian, isolasi internal dan eksternal (kandang dan penggembalaan), kecepatan angin, warna dan ketebalan bulu, dan kondisi fisiologi (NRC 2001).

Penelitian Fox dan  Tylutki (1998) yang ditunjukkan pada Tabel 2, memprediksi pengaruh lingkungan terhadap kebutuhan nutrisi sapi perah yang mempertimbangkan bobot badan ternak untuk beberapa daerah di Amerika Serikat.

Tabel 2 Prediksi pengaruh lingkungan terhadap performans sapi dara Peubah

Netrala Northernb SouthWestc

1 1 2 3 4 1 2 3 4 PBB kg/d 0.94 0.88 0.60 0.53 0.68 0.88 0.88 0.78 0.88 Umur, bulan 20.3 21.1 28.5 28.5 25.9 20.7 20.7 22.4 20.7 BB, kg 603 588 560 501 574 580 580 561 580

Sumber : Fox dan Tylutki (1998)

a

setara kebutuhan pemeliharaan NRC (1996, 2001)

b pertengahan temperatur perbulan antara daerah central utara dan tenggara Amerika Serikat. Situasi 1 = cerah dan kemarau, 2 = iklim sedang, 3 = kondisi 2 plus 10 cm mud dari November sampai Maret dan 4 = Kondisi 1 plus kecepatan angin 16 kph.

c

temperatur daerah barat daya Amerika Serikat

Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa kebutuhan energi untuk pertumbuhan tergantung oleh interaksi antara DMI/bahan kering, tambahan panas dari pakan, insulasi ternak dengan variabel yang dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, angin, produksi dan kehilangan panas ternak. Lingkungan yang menyebabkan stress akan menunda pubertas pada ternak, sehingga waktu melahirkan pertama sapi dengan interval yang lebih lama. Bobot badan induk melahirkan pertama menurun jika terjadi lingkungan yang stres.

Produksi Panas Ternak dalam Kandang

Ternak menghasilkan sejumlah panas metabolisme tergantung dari bobot badan dan jumlah makanan yang dikonsumsi, serta kondisi lingkungan mikro. Panas yang dihasilkan dalam kandang harus diprediksi untuk mendesain sistem

kontrol lingkungan. Panas yang dihasilkan kemudian dilepas oleh tubuh hewan terdiri atas sensible heat (panas sensibel) dan latent heat (panas laten). Panas sensibel dan panas laten yang dihasilkan oleh hewan dalam kandang merupakan komponen kritis keseimbangan panas untuk kondisi setimbang dalam struktur kandang.

Perolehan panas dari heat gain (luar tubuh) akan menambah beban panas bagi ternak, bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman. Sebaliknya, akan terjadi heat loss (kehilangan panas tubuh) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu nyaman. Perolehan dan penambahan panas tubuh ternak dapat terjadi secara

sensible melalui mekanisme radiasi, konduksi dan konveksi. Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman ternak, jalur utama pelepasan panas hewan terjadi melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit (sweating) Brown-Brandl et al. (2006a).

Gambar 2 Diagram produksi panas sapi perah pada suhu lingkungan. Pada sapi perah FH, penampilan produksi terbaik akan dicapai pada suhu lingkungan 18.3oC dengan kelembaban 55%. Secara fisiologis ternak atau sapi FH yang mengalami cekaman panas akan berakibat pada : 1) penurunan nafsu makan; 2) peningkatan konsumsi minum; 3) penurunan metabolisme dan peningkatan

  Dingin   Panas    optimun Batas suhu  Nyaman Cekaman panas  Cekaman panas  Puncak produksi Regulasi  produksi panas   Mati   Mat i   Produksi Panas 

Terendah  Batas kritis suhu 

maksimum

Batas kritis suhu 

maksimum  ‐15oC  13oC 18o27o C  Pro duk si Pan a s

katabolisme; 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan; 5) penurunan konsentrasi hormon dalam darah; 6) peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung (McNeily 2001); dan 7) perubahan tingkah laku (Philips 2002) dan 8) meningkatnya intensitas berteduh sapi (Schütz et al. 2008). Respons fisiologis sapi FH akibat cekaman panas dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4 yang menunjukkan respon yang berbeda pada temperatur yang nyaman dan temperatur tinggi.

Tabel 3 Suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi penapasan sapi FH Parameter

Suhu Lingkungan

Sumber Netral Cekaman

Suhu Rektal (oC) 38.7 40.0 McNeilly (2001) Schutz et al. (2008)

38.8 39.8 Purwanto et al. (1993) Denyut Jantung (kali per

menit)

77.0 79.0 McNeilly (2001) Schutz et al. (2008)

64.0 67.0 Purwanto et al. (1993) Pernapasan (kali per menit) 48.0 87.0 McNeilly (2001)

Schutz et al. (2008)

31.0 75.0 Purwanto et al. (1993)

Sumber : 1. sapi FH dengan suhu netral 24oC (McNeilly 2001) dan cekaman 32oC (Schutz et al. 2008)

2. Purwanto et al. (1993) sapi FH dengan suhu netral 15oC dan cekaman 30oC

Tabel 4 Produksi susu, volume urine, konsumsi air minum, konsumsi pakan Parameter Suhu lingkungan 18oC 30oC Produksi susu (kg/d) 19.5 15.0 Volume urine (ml) 10.0 13.6 Konsumsi air minum (kg/d) 57.9 74.7 Konsumsi konsentrat (kg/d) 9.7 8.4 Konsumsi hay (kg/d) 5.8 4.2 Evaporasi melalui (g m-2hari-1) :

- Permukaan tubuh - Respirasi 94.6 60.6 150.6 90.9

Faktor Suhu, Index Suhu dan Kelembaban (THI)

Menurut Rahardja (2007) bahwa faktor iklim, khususnya suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi. Suhu lingkungan yang naik sampai ± 27oC bagi sapi FH menyebabkan produksi susu menurun. Kemerosotan atau menurunnya produksi ini disebabkan oleh rendahnya napsu makan. Apalagi di masa ini, isu tentang global warming (pemanasan global) sangat memungkinkan naik dan turunnya produksi susu secara drastis sehingga dapat merugikan peternak tentunya. Di lingkungan yang suhu tergolong tinggi, meningkatkan pengeluaran panas dan bila diberikan pakan maka efek kalorigenik pakan (EKP) merupakan tambahan beban panas sehingga dapat menurunkan produksi susu sapi tersebut.

Iklim memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan sapi. Bagi sapi perah (FH serta PFH) pada suhu lingkungan yang naik di atas normal, lebih dari 30oC misalnya, merupakan lingkungan yang kritis. Suhu yang tinggi akan memaksa sapi yang tinggal di lingkungan tersebut harus beradaptasi berat. Sapi perah yang hidup di suatu lingkungan yang bersuhu tinggi tidak dapat hidup nyaman (not comfortable), napsu makan berkurang sehingga produksi susu menurun (Rahardja 2007).

Stres panas terjadi apabila temperatur lingkungan berubah menjadi lebih tinggi di atas zona termonetral (ZTN). Pada kondisi ini, toleransi ternak terhadap lingkungan menjadi rendah atau menurun, sehingga ternak mengalami cekaman. Stres panas ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan, reproduksi dan laktasi sapi perah termasuk di dalamnya pengaruh terhadap hormonal, produksi susu dan komposisi susu (Bond & McDowell 2008).

Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara penting, karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak. Kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran pernafasan Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban relatif (Relative Humidity = RH). Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas dan dengan demikian mempengaruhi keseimbangan termal ternak (Yani & Purwanto 2006).

Kemampuan berproduksi susu sapi perah FH menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bervariasi dengan adanya perbedaan temperatur. Seperti halnya penelitian pengaruh stres panas yang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Perubahan relatif pada konsumsi bahan kering dan produksi susu dan konsumsi air dengan meningkatnya temperatur lingkungan.

Temperatur (oC)

Perkiraan konsumsi dan produksi susu Konsumsi bahan

kering (lb)

Produksi susu (lb) Konsumsi air (Galon) 20 40.1 59.5 18.0 25 39.0 55.1 19.5 30 37.3 50.7 20.9 35 36.8 39.7 31.7 40 22.5 26.5 28.0

Sumber : Pennington dan van Devender (2004)

Tabel 5 menunjukkan perubahan relatif pada konsumsi bahan kering dan produksi susu dan konsumsi air dengan meningkatnya temperatur lingkungan. Temperatur lingkungan yang semakin tinggi membuat konsumsi air meningkat, mengurangi napsu makan seekor sapi sehingga berpengaruh terhadap produksi susunya. Perubahan temperatur lingkungan dari 95oF ke 104oF (35 ke- 40oC) menyebabkan ternak tersebut mengalami stres panas yang ditunjukkan produksi susu menurun drastis secara signifikan. Stres panas harus ditangani dengan serius, agar tidak memberikan pengaruh negatif yang lebih besar dengan usaha yang dapat dilakukan yaitu memodifikasi lingkungan agar ternak nyaman dengan kondisi tempat tinggalnya seperti perbaikan pakan, manajemen dan temperatur yang sesuai (Pennington & van Devender 2004).

Ternyata banyak tanda stres panas pada sapi laktasi, khususnya mengurangi produksi susu dan menunjukkan prilaku lesu pada sapi. Untuk mengurangi pengaruh stres panas tersebut perlu memperhatikan index temperatur dan kelembaban di lingkungannya (THI = Temperature Humidity Index). Supaya ternak dapat hidup nyaman dan proses fisiologi dapat berfungsi normal, dibutuhkan temperatur lingkungan yang sesuai. Banyak species ternak

membutuhkan temperatur nyaman 13 – 18 oC atau Temperature Humidity Index (THI) < 72. THI > 72 akan mengalami stress, dimana THI > 84 memungkinkan terjadi kematian pada sapi perah (West 2003 ; Pennington & van Devender 2004). Hubungan THI dengan tingkatan stress dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Indeks suhu dan kelembaban lingkungan

Sumber : Pennington dan van Devender, 2004. Aspek Fisiologi Termoregulasi

Termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh yang bergantung kepada produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas tersebut ke lingkungan, atau suatu proses yang terjadi pada hewan untuk mengatur suhu tubuhnya supaya tetap konstan, paling tidak, suhu tubuhnya tidak mengalami perubahan yang terlalu besar (Isnaeni 2006). Panas adalah sebuah bentuk energi yang ditransmisikan dari suatu tubuh ke yang lainnya karena adanya perbedaan suhu. Suhu mengacu pada kemampuan tubuh untuk menyerap panas. Energi didefinisikan sebagai kapasitas untuk melakukan kerja. Energi yang dibutuhkan untuk mendukung fungsi normal tubuh ternak seperti respirasi, pencernaan dan metabolisme untuk pertumbuhan dan produksi susu. Pada hewan yang lebih aktif, lebih banyak energi yang dikeluarkan untuk mendukung aktivitasnya dan faktor ekstrinsik yang paling besar mempengaruhi metabolisme adalah temperatur (Tyler

produksi panas dengan pelepasan panas (Gambar 2) dan faktor yang mempengaruhi produksi panas adalah ukuran tubuh, spesies dan bangsa, lingkungan, pakan dan air.

Menurut Brown-Brandl et al. (2006b), bahwa adanya kontinuitas produksi panas oleh tubuh, maka keseimbangan hanya mungkin jika ada kontinuitas aliran panas pada perbedaan temperatur antara tubuh dan lingkungan. Menurut Isnaeni (2006), kesulitan dalam pelepasan panas dengan secara sensible, menyebabkan ternak untuk melepaskan panas secara insensible (evaporasi). Menurut Short et al. (1990) dalam lfarez-Rodrīguez dan Sanz (2009), bahwa sapi meningkatkan panas secara evaporasi dengan panting dan sweating. Schütz et al. (2008) menyatakan, evaporasi pada dasarnya dikontrol oleh ternak dan stres panas yang secara tiba-tiba dapat segera menyebabkan proses fisiologis pada sapi. Pada saat istirahat, hewan lebih toleransi pada suhu tinggi.

Produksi panas tubuh ternak diukur dengan kalorimetri langsung dan tidak langsung. Kehilangan panas diketahui melalui kehilangan non evaporasi dan evaporasi (Martini 2007). Salah satu cara mengurangi kehilangan panas dengan mengurangi evaporasi. Keseimbangan panas, menurut Isnaeni (2006), dipengaruhi oleh panas metabolik (produksi panas basal, panas dari pencernaan, panas dari aktivitas ternak, naiknya metabolisme untuk proses produksi), panas yang hilang melalui evaporasi (kulit dan pernafasan), dan panas yang hilang atau diperoleh dari makanan atau minuman, konduksi, konveksi dan radiasi.

Panas yang dibentuk di dalam tubuh diperoleh dari panas hasil kegiatan metabolisme di dalam tubuh dan panas dari luar tubuh. Produksi panas di dalam tubuh antara lain berasal dari metabolisme basal, panas hasil kegiatan pencernaan, kerja pada otot dan metabolismeproses-proses produksi. Panas yang diperoleh dari luar tubuh berupa penyerapan panas dari radiasi matahari disekitar ternak (baik langsung maupun pantulannya), melalui konduksi dengan benda yang lebih panas dan melalui konveksi oleh aliran udara panas disekitarnya (Rahardja 2007).

Dipengaruhi oleh : Dipengaruhi oleh : Sumber : Luas permukaan tubuh Hormon kalorigenik Makanan Penutup tubuh Produksi : cadangan tubuh Pertukaran air susu fermentasi rumen/ Aliran darah daging sekum

Lingkungan : wool Lingkungan Suhu aktivitas otot

Kecepatan angin kebutuhan pokok Kelembaban

Sensible non sensible Radiasi evaporasi Konveksi - respirasi Konduksi - kulit

[ Pelepasan panas ] [ Pelepasan panas ]

Hipotermia Hipertermia

Normal

Suhu tubuh, oC

Gambar 3 Suhu tubuh sebagai keseimbangan antara pelepasan panas dengan produksi panas.

Suhu Rektal

Suhu tubuh menunjukkan kemampuan tubuh untuk melepas dan menerima panas. Pengukuran suhu tubuh pada dasarnya sulit dilakukan, karena pengukuran suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukuran di berbagai tempat (Frandson 1992). Suhu tubuh dapat dihitung pada beberapa lokasi yaitu salah satunya pada rektal, karena cukup mewakilkan dan kondisinya stabil. Weeth et al. (2008) menyatakan bahwa suhu rektal dan kulit saat siang hari meningkat akibat dehidrasi, dan frekuensi respirasi dan suhu tubuh berfluktuasi lebih besar pada saat tersebut.

Suhu tubuh yang diukur dengan termometer klinis bukan indikasi dari jumlah total panas yang diproduksi, tetapi hanya merefleksikan keseimbangan antara panas yang diproduksi dengan panas yang dilepaskan. Walaupun temperatur rektal tidak mengindikasikan suhu tubuh pada hewan, tetapi rektal adalah tempat yang tepat untuk menginformasikan temperatur tubuh. Suhu rektal ternak berumur di atas satu tahun berkisar 37.8-39.2 oC dan ternak dibawah satu tahun berkisar 38.6-39.8 oC (De Rensis & Scaramuzzi 2003).

Denyut Jantung

Jantung adalah struktur otot berongga yang bentuknya menyerupai kerucut dan siklus jantung adalah urutan peristiwa yang terjadi selama suatu denyut lengkap. Faktor fisiologis yang mempengaruhi denyut jantung pada hewan normal adalah spesies, ukuran, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, tahap kebuntingan, parturition, rangsangan, tahap laktasi, rangsangan, olahraga, posisi tubuh, aktivitas sistem pencernaan, ruminasi, temperatur lingkungan (Frandson 1992). Jantung memiliki suatu kapasitas yang kompleks untuk berkontraksi tanpa stimulus eksternal.

Denyut jantung normal pada sapi dewasa adalah 55-80 kali/menit, sedangkan pada pedet 100-120 kali/menit. Cara untuk mendeteksi denyut jantung adalah dengan meraba arteri menggunakan jari hingga denyutan terasa. Pada sapi jika dalam kondisi tenang, denyut jantung dapat dideteksi dari arteri pada rahang bawah, arteri median, arteri koksigeal bagian tengah pada ekor, ± 10 cm dibawah anus (Seath & Miller 2008).

Tucker et al. (2007) menyatakan bahwa ternak yang terekspos temperatur lingkungan yang sangat tinggi atau sangat rendah dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung. Mekanismenya adalah peningkatan suhu darah yang secara langsung mempengaruhi jantung, yang juga dipengaruhi oleh penurunan tekanan darah yang berasal dari vasodilatasi peripheral. Proses terakhir adalah peningkatan jumlah adrenalin dan nonadrenalin yang disekresikan untuk pembentukan energi, disertai sekresi hormon lainnya dari kelenjar endokrin sehingga menyebabkan peningkatan denyut jantung. Menurut Seath dan Miller (2008) bahwa perubahan pada suhu udara memiliki efek yang relatif kecil terhadap denyut jantung, dengan nilai korelasi sederhana dan parsial kurang dari 0.2.

Respirasi

Sistem respirasi memiliki fungsi untuk memasok oksigen kedalam tubuh serta membuang karbondioksida dari dalam darah. Fungsi-fungsi sekunder membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstaseluler dalam tubuh, membantu pengendalian suhu, eliminasi air, dan pembentukan suara. Sistem respirasi dapat mengatur kelembaban dan temperatur udara yang masuk (dingin atau panas) agar sesuai dengan suhu tubuh. Sistem respirasi terdiri dari paru-paru dan saluran yang memungkinkan udara dapat mencapai dan meninggalkan paru-paru. Pusat respirasi pada burung dan mamalia adalah medulla yang sensitive terhadap perubahan pH, temperatur darah, dan faktor-faktor lain (Frandson 1992).

Aktivitas respirasi ditandai dengan pergerakan tulang rusuk, tulang dada, dan perut (merespon kontraksi paru-paru dan pergerakan diafragma), observasi aktivitasrespirasi lebih diutamakan saat ternak dalam posisi berdiri, karena posisi berbaring akan mempengaruhi respirasi terlebih lagi pada ternak yang sedang sakit. Pengontrolan frekuensi respirasi dengan cara berdiri pada salah satu sisi ternak, lalu mengamati daerah dada dan perut, disarankan untuk mengobservasi ternak dari kedua sisi, untuk mengetahui similiritas pergerakan kedua sisi (Isnaeni 2006).

Kegiatan frekuensi respirasi normal pada ternak sapi dewasa adalah 10-30 kali/menit, sedangkan pada pedet sebanyak 15-40 kali/menit. mekanisme respirasi dikontrol oleh medulla yang sensitive terhadap CO2 pada tekanan darah. Jika tekanan meningkat sedikit, pernafasan menjadi lebih dalam dan cepat. Peningkatan frekuensi respirasi terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen yaitu setelah olahraga, terekspos oleh suhu lingkungan dan kelembaban relatif yang tinggi dan kegemukan (Frandson 1992).

Tingkah Laku dan Kesejahteraan Ternak

Faktor produksi susu sapi yang tinggi merupakan suatu gabungan dari paduan sifat tingkah laku yang unik dengan lingkungan yang menyenangkan dan manajemen yang tepat. Pengetahuan mengenai tingkah laku sapi atau defenisinya, memerlukan penanganan dan pemeliharaan ternak sapi sapi perah secara sukses. Menghubungkan interaksi antara prinsip-prinsip teori dan aplikasi

tingkah laku sapi perah memberikan produkrivitas yang maksimal pada kawanan sapi. Tingkah laku ternak merupakan hasil yang bersumber dari genetik, simple learning (latihan dan pengalaman), dan suatu pembelajaran yang kompleks (inteligen) (Tyler & Ensminger 2006).

Tingkah laku merupakan reaksi ternak untuk beberapa rangsangan atau

Dokumen terkait