• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu jenis ikan tilapia yangberasal dari Benua Afrika. Namun demikian, pada saat ini ikan nila telah menyebar di berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Ikan nila termasuk ikan komoditas penting, baik di Indonesia maupun di dunia. Data FAO (2012) menunjukkan permintaan di seluruh dunia terus bertambah dan menjadi makanan favorit peringkat 4 dari produk perikanan di Amerika pada tahun 2010. Ikan nila ukuran >500 g lebih digemari di pasar ekspor karena dapat menggantikan ikan kakap. Akan tetapi, untuk mencapai ukuran >500 g, budidaya ikan nila masih mengalami kendala. Secara dimorfisme seksual, ikan nila jantan dan ikan nila betina berbeda dalam kecepatan tumbuh. Ikan nila jantan lebih cepat tumbuh hampir dua kali lipat dibandingkan ikan nila betina (Popma dan Masser 1999). Selain itu, kematangan seksual dini pada ikan nila populasi campuran menjadi salah satu penghambat pertumbuhan pada ikan nila betina(Mair et al. 1995). Kematangan kelamin dini tersebut dapat menghambat pertumbuhan populasi karena energi yang digunakan untuk pertumbuhan sel somatik sebagian terbagi untuk perkembangan kematangan gonad.

Kematangan seksual pada ikan nila adalah fungsi dari usia, ukuran dan kondisi lingkungan. Populasi ikan nila di danau besar, matang gonad pada usia lanjut dan ukuran lebih besar dari spesies yang sama yang dibesarkan di kolam budidaya. Sebagai contoh, ikan nila di danau Afrika Timur matang gonad sekitar 10 sampai 12 bulan dengan ukuran 350 sampai 500 g. Dalam kondisi yang optimum, spesies yang sama akan mencapai kematangan seksual di kolam budidaya pada usia 5 sampai 6 bulan dengan ukuran 150 sampai 200 g. Ketika pertumbuhan lambat, kematangan seksual pada ikan nila lebih lambat satu atau dua bulan dan dapat bertelur pada bobot badan yang kurang dari 1 ons (20 g). Pada kondisi pertumbuhan yang baik di kolam, ikan nila mencapai kematangan seksual hanya dalam waktu 3 bulan, ketika bobot mencapai 60 sampai 100 gram (Popma dan Masser 1999), sehingga budidaya ikan nila menggunakan benih dengan kelamin jantan dan betina yang dicampurkan mengalami pertumbuhan

6

yang lebih lambat. Untuk itu budidaya monoseks jantan tetap menjadi pendekatan utama dalam industri budidaya ikan nila.

2.2 Determinasi dan diferensiasi kelamin

Proses diferensiasi kelamin merupakan proses perkembangan gonad ikan menjadi suatu jaringan yang definitif dan jenis kelamin individu ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan (Silverin et al. 2000). Secara genetik, jenis kelamin ditentukan oleh kromosom yang telah terbentuk pada saat pembuahan (Matty 1985).Selanjutnya perkembangan jaringan gonad dimulai setelah sel bakal gonad (primordial germ cell; PGC) berdiferensiasi menjadi testis atau ovarium. Sebelum diferensiasi terjadi, ikan mengalami fase labil karena PGC masih belum terdiferensiasi menjadi oogonia atau spermatogonia. Dalam proses diferensiasi ini, faktor lingkungan sangat berpengaruh (Van Winkoop dan Timmermans 1992) dan pada kondisi normal, individu dengan gonad XX akan berkembang menjadi betina yang memiliki ovarium, sedangkan individu dengan gonad XY akan berkembang menjadi jantan yang memiliki testis.

Fase labil pada ikan memungkinkan untuk dilakukan rekayasa diferensiasi kelamin. Jika selama periode labil tersebut larva diintervensi dengan bahan-bahan seperti hormon androgen atau estrogen, maka perkembangan gonad dapat berlangsung secara berlawanan dengan yang seharusnya (Park et al. 2004). Pada kondisi ini terjadi pengarahan morfologi jenis kelamin ikan, tingkah laku, serta fungsi pada saat periode kritis, di mana otak embrio yang telah terbentuk masih dalam keadaan bipotensial untuk mengarahkan jenis kelamin.Diferensiasi kelamin pada ikan nila terjadi hingga 30 hari setelah penyerapan kuning telur, atau 37 hari setelah menetas (Kwon et al. 2000).

2.3 Sex reversal

Sex reversal adalah suatu teknologi yang mengarahkan perkembangan kelamin menjadi betina atau jantan. Cara ini dilakukan pada waktu gonad ikan belum berdiferensiasi secara jelas menjadi jantan atau betina, danhal tersebut tidak mengubah genotipenya.Yamamoto (1969) menyatakan bahwa perubahan kelamin secara buatan akan sempurna jika dilakukan sebelum proses diferensiasi kelamin, dan berlanjut sampai diferensiasi kelamin terjadi. Tujuan utama dari

7

penerapan teknik sex reversaladalah menghasilkan populasi monoseks (tunggal kelamin). Dengan membudidayakan ikan monoseks akan didapatkan berbagai manfaat, antara lain mendapatkan ikan dengan pertumbuhan yang cepat, mencegah pemijahan liar, mendapatkan penampilan yang baik, dan menunjang genetika ikan (Zairin 2002).

Pada dasarnya ada dua metode yang digunakan untuk mendapatkan atau memperoleh populasi monoseks, yaitu cara langsung melalui terapi hormonal dan cara tidak langsung atau rekayasa kromosom. Pada terapi langsung, hormon androgen dan estrogen mempengaruhi fenotipe tetapi tidak mempengaruhi genotipe (Zairin 2002). Metode langsung dapat diterapkan pada semua jenis ikan, apapun jenis kromosom kelaminnya.

Peningkatan penggunaan hormon steroid sintetis untuk menghasilkan populasi monoseks ikan nila untuk sistem produktif yang intensif dapat menyebabkan masalah kesehatan lingkungan dan masyarakat, dan telah dilarang oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri No: Kep. 20/Men/2003 tentanglarangan penggunaan 17α-Methyl Testosterone (DKP 2003).Alasan penggunaan hormon steroid sintetis untuk ikan nila adalah karena ikan nila betina, umumnya sudah bereproduksi pada ukuran kecil, dan menunjukkan pertumbuhansomatik yang lambat pada kepadatan tinggi. Sementara itu, ikan nila jantan menunjukkan tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dan lebih disukai untuk budidaya monoseks (Hiness dan Watts 1995).

Mengingat adanya permasalahan dalam penggunaan hormon sintetik, maka diperlukan adanya bahan lain dalam sex reversal. Salah satu cara yang dianggap aman, yakni dengan penggunaan bahan alami yang ramah lingkungan, antara lain adalah dengan madu lebah hutan (Sukmara 2007, Utomo 2008). Perlakuan madu dalam sex reversal dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan perendaman induk atau larva (Martati 2006, Sukmara 2007), atau dengan pemberian pakan yang telah dicampur madu (Syaifuddin 2004, Mukti 2008, Utomo 2008). Pemilihan cara harus didasarkan pada efektivitas, efisiensi, palatabilitas, kemungkinan polusi, dan biaya. Metode perendaman adalah metode alternatif untuk mengatasi kelemahan yang terdapat pada pemberian melalui oral seperti terjadinya pencucian, teknis pencampuran yang mungkin

8

kurang homogen atau kurang efisien secara ekonomis. Dengan metode perendaman, diharapkan larutan yang digunakan akan masuk ke dalam tubuh ikan melalui proses difusi (Zairin 2002). Dengan demikian, penggunaan madu diharapkan mampu mengatasi masalah penggunaan hormon sintetik untuk kegiatan sex reversal dalam akuakultur, yang berdasarkan pada keamanan pangan dengan mengedepankan konsep back to nature(kembali ke alam).

2.4 Madu

Madu adalah cairan alami yang umumnya mempunyai rasa manis yang dihasilkan oleh lebah madu dari sari bunga tanaman (floral nektar), bagian lain dari tanaman (ekstra floral nektar), atau ekskresi serangga(SNI 2004). Karbohidrat merupakan fraksi terbesar dari madu, yakni kurang lebih 80%. Sebagian besar dari karbohidrat ini (85-95%) berupa monosakarida (fruktosa dan glukosa), berbentuk disakarida, oligosakarida dan polisakarida (White 1979 dalam Siregar 2002) sedangkan sisanya berupa kandungan mineral, vitamin, protein dan kandungan air.

Protein dalam madu berasal dari sisa-sisa larva, polen dan dari lebah itu sendiri. Protein madu terdapat dalam bentuk albumin, globulin,protease, pepton, histon, albumin,albuminoid, nukleoprotein dan asam-asam amino esensial (White 1979 dalam Siregar 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa asam amino bereaksi perlahan-lahan dengan gula dan membentuk senyawa kuning atau coklat.

Kandungan vitamin dalam madu sangat sedikit, sehingga tidak signifikan secara nutrisi bila dihubungkan dengan jumlah madu yang biasa dikonsumsi (Siregar 2002). Madu mengandung berbagai mineral seperti kalium, kalsium, magnesium dan natrium yang bersifat alkali (Marhiyanto 1999). Kandungan mineral-mineral tersebut dapat mengakibatkan tubuh lobster air tawar menjadi alkali yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup kromosom X dan Y, sesuai dengan sifat kromosom X dan Y. Kromosom Y lebih tahan lama pada keadaan basa, sedangkan kromosom X tidak dapat bertahan lama, sehingga pada saat spermiasi, jumlah kromosom Y yang dihasilkan induk jantan lebih banyak daripada kromosom X (Toelihere 1979 dalam Irawan 2000).Semakin tinggi kandungan mineral, biasanya semakin gelap warna madunya (Gojmerac 1980 dalam Siregar 2002). Kalium mengatur regulasi testosteron dalam tubuh

9

dan berperan mengarahkan dan mengendalikan tindakan androgen. Kekurangan kalium menyebabkan sekresi testosteron menurun pada tikus jantan (Conteras-Sanchez dan Fitzpatrick2001).

2.5 Flavonoid

Dengan menggunakan teknik HPLC, diketahui bahwa madu mengandung 16 flavonoid, diantaranya adalah chrysin yang besarnya rata-rata 13% dari total flavonoid(Ferreres et al. 2006).Senyawa kimia yang diklasifikasikan sebagai phytochemical (isoflavonoid, flavonoid danligan) adalah steroid alami dengan kemampuan sebagai aromatase inhibitor yang bisa menekan biosintesis estrogen dalam sel (Eng et al. 2001). Tindakan tersebut terkait dengan struktur phytochemical yang stabil, dan berat molekulnya rendah sehingga dapat melewati membran sel (Ososki danKenelly 2003).Zat chrysin merupakan salah satu jenis flavonoid yang diakui sebagai salah satu penghambat enzim aromatase atau lebih dikenal sebagai aromatase inhibitor (Dean 2004). Tingkat hidroksilasi pada molekul meningkatkan kemampuan enzimatik inhibitor. Oleh karena itu jika dosis yang diberikan lebih tinggi, maka akan meningkatkan aktivitas penghambatan (Krazeisen et al. 2002).

Flavonoid bertindak sebagai fitoestrogen, karena senyawa ini memiliki struktur yang dikenali mirip estrogen untuk reseptor estrogen, sehingga senyawa ini bersaing dengan estrogen endogen untuk berikatan dengan reseptor. Akibatnya, mereka dapat bertindak sebagai anti estrogen atau estrogen lemah (Miyahara et al. 2003). Fitoestrogen biasanya estrogen lemah karena afinitas mereka lebih rendah untuk diterima oleh reseptor estrogen.

2.6 Aromatase dan aromataseinhibitor

Diferensiasi kelamin dapat dipengaruhi oleh ekspresi dari gen yang menghasilkan enzim aromatase. Aromatase adalah enzim sitokrom P-450 yang mengkatalis perubahan dari androgen menjadi estrogen. Aktivitas enzim aromatase terbatas pada daerah dengan target estradiol dan berfungsi untuk mengatur jenis kelamin, reproduksi dan tingkah laku (Callard et al. 2001).Ada 2 bentuk gen aromatase pada ikan, yaitu aromatase tipe otak, dan tipe ovari.Aktivitas aromatase di otak berperan dalam pengendalian tingkah laku,

10

sedangkan aromatase pada ovari mempengaruhi maturasi folikel dan tingkat ovulasi (Silverine et al. 2000). Aromatase otakberperan sebagai pengatur perilaku seks spesifik pada mamalia dan burung (Schlinger dan Callard 1990 dalam Melo dan Ramsdell 2001)dan mengatur reproduksi pada ikan (Pasmanik et al. 1988 dalam Melo dan Ramsdell 2001). Aktivitas enzim aromatase pada otak teleostei 100-1000 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pada mamalia. Aktivitas enzim aromatase ovari kurang dari 1/10 kali aktivitas enzim aromatase otak (Tchaudakova dan Callard 1998 dalam Kitano et al. 2000).

Penghambatan aromatase bisa dikarenakan oleh faktor fisik, seperti suhu (Kitano et al. 2000, D’cottae et al. 2001), senyawa kimia steroid dan non steroidyang telah mencapai tingkat tertentu dalam keberhasilan sex reversalikan (Seralini dan Moslemi 2001). Hal ini dapat dianggap bahwa penghambatan tindakan aromatase oleh faktor fisikdan kimia bisa meniru efek pembalikan kelamin oleh pemberian androgen pada beberapa spesies ikan (Kwonet al. 2001).Aktivitas enzim aromatase berkorelasi dengan struktur gonad, yakni larva dengan aktivitas aromatase rendah akan mengarah pada terbentuknya testis, sedangkan aktivitas aromatase yang tinggi akan mengarah pada terbentuknya ovari (Sever et al. 1999).

Dengan RT-PCR transkripsi aromatase (cyp19a1a), suatu enzim yang bertanggung jawabuntuk memproduksi 17β-estradiol , terungkap hanya dalam gonad XXpada 5 hari setelah menetas. Sebaliknya, ekspresi mRNA steroid 11β-hidroksilase(Cyp11b2), enzim bertanggung jawab untuk sintesis 11-ketotestosterone (11-KT, yaitu androgen dalam ikan), ditemukan di gonad XY pada 35 harisetelah menetas (Ijiri et al. 2008).Estradiol-17β memainkan peran pentingdalam diferensiasi ovarium pada ikan nila, sedangkan peran untuk 11-KT pada diferensiasi testis masih dipertanyakan. Jenis kelamin ditandai dari ekspresi secara specifikdari foxl2 dan cyp19a1a pada gonad XX dan dmrt1 pada gonad XY selama awal diferensiasi gonad yaitu 5-6 hari setelah menetas. Hal ini sangat pentinguntuk gonad dalam membedakan menjadi ovariumatau testis pada ikan nila (Ijiri et al. 2008).

Pada ovarium mamalia berbeda dengan ovarium burung, reptil, dan vertebrata yang lebih rendah yakni tanpa adanya estrogen. Estrogen diproduksi

11

secara normal oleh konversi biosintesis androgen oleh enzim aromatase (CYP19), yang merupakan mediator tunggal reaksi ini. Aromatase inhibitor mampu membalikkan jenis kelamin betina menjadi jantan pada kura-kura dan ayam, karena itu peran aromatase sebagai penentu kelamin betina telah dipostulasikan untuk spesies di mana penentuan seks bergantung pada suhu (Jeyasuria dan Place 1998).

Gambar 1 Diferensiasi gonad ikan nila (Ijiri et al. 2008).

Selanjutnya dikatakan bahwa diduga terdapat saklar untuk menurunkan kelimpahan transkripsi aromatase dalam otak penyu betina bersamaan dengan kenaikan eksponensial transkripsi aromatase di ovarium. Tingkataromatase mRNA umumnya berkurang di otak oleh aplikasi estradiol.

13

III. BAHAN DAN METODE

Dokumen terkait