• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

TINJAUAN PUSTAKA

Sirih

Sirih merupakan tanaman herbal paranial, berdaun tunggal dengan letak daun alternet, bentuk bervariasi dari bundar telur sampai oval, ujung runcing, pangkal daun berbentuk jantung, dan agak bundar asimetris (Rosman dan Suhirman 2006). Berdasarkan jurnal Adate et al. 2012, tanaman ini termasuk dalam famili Piperaceae dengan superordo Nymphaeiflloraea, ordo Piperales, dan genus Piper. Sirih merupakan tanaman yang dapat dijumpai di daerah Sri Lanka, India, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Kepulauan Timur Afrika.

Gambar 1 Penyebaran sirih di dunia (Kumar et al. 2010)

Syukur dan Hernani (2002) mendeskripsikan tanaman sirih sebagai tanaman menjalar dan merambat dibatang pohon di sekelilingnya dengan batang lunak,

2

Daun sirih juga mengandung saponin (Widayat et al. 2008 dalam Wardani 2009) yang memacu pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang berperan dalam proses reepitelisasi. Senyawa saponin juga dapat bekerja sebagai antimikroba dengan merusak membran sitoplasma dan membunuh sel. Berdasarkan pemikiran diatas, maka perlu dilakukan kajian secara ilmiah mengenai efektivitas ekstrak sirih sebagai obat luka infeksi bakteri yang murah dan aman.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara ilmiah efektivitas sirih sebagai obat persembuhan luka infeksi bakteri dengan melihat gambaran makroskopis dan mikroskopis.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa penggunaan ekstrak etanol daun sirih sebagai obat luka infeksi bakteri dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat umum.

TINJAUAN PUSTAKA

Sirih

Sirih merupakan tanaman herbal paranial, berdaun tunggal dengan letak daun alternet, bentuk bervariasi dari bundar telur sampai oval, ujung runcing, pangkal daun berbentuk jantung, dan agak bundar asimetris (Rosman dan Suhirman 2006). Berdasarkan jurnal Adate et al. 2012, tanaman ini termasuk dalam famili Piperaceae dengan superordo Nymphaeiflloraea, ordo Piperales, dan genus Piper. Sirih merupakan tanaman yang dapat dijumpai di daerah Sri Lanka, India, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Kepulauan Timur Afrika.

Gambar 1 Penyebaran sirih di dunia (Kumar et al. 2010)

Syukur dan Hernani (2002) mendeskripsikan tanaman sirih sebagai tanaman menjalar dan merambat dibatang pohon di sekelilingnya dengan batang lunak,

3 bentuk bulat, beruas-ruas, beralur-alur, berwarna hijau abu-abu. Letak daun berseling, bentuk bervariasi dari bundar sampai oval, ujung runcing, pangkal berbentuk jantung atau bundar asimetris, tepi rata, permukaan rata, dan pertulangan menyirip. Warna bervariasi dari kuning, hijau sampai hijau tua, dan bau aromatis.

Menurut Kumar et al. (2010) senyawa aktif yang dapat diisolasi dari daun sirih antara lain hidroksikavikol, alipirokatekol, kavibetol, piperbetol, metilpiperbetol, piperol A, dan piperol B. Kandungan senyawa aktif ini mempunyai fungsi sebagai antiinflamatori, antikanker, dan imunomodulatori. Menurut Shetty dan Vijayalaxmi (2012) daun sirih terdiri dari alkaloid, steroid, tanin, fenol, saponin, flavonoid, dan asam amino. Fenol memberikan bau khas daun sirih dan memiliki daya pembunuh bakteri lima kali lipat dari fenol biasa (Moeljanto 2003). Tanin, saponin, dan flavonoid yang terkandung dalam sirih berfungsi sebagai antimikroba dan merangsang pertumbuhan sel-sel baru pada luka.

Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang bersifat polar sehingga mudah larut dalam pelarut polar seperti air, etanol, metanol, butanol, dan aseton. Flavonoid berfungsi sebagai antialergi, antikanker, dan antiinflamasi. Sedangkan tanin merupakan senyawa polifenol dari kelompok flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan kuat, antikanker, dan antiinflamasi. Tanin juga dikenal sebagai zat samak untuk pengawetan kulit, dimana efek tanin yang utama yaitu sebagai astringensia yang banyak digunakan sebagai pengencang kulit dalam kosmetika atau estetika (Olivia et al. 2004). Tanin dalam konsentrasi rendah dapat menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan pada konsentrasi tinggi tanin bekerja sebagai antimikroba dengan cara mengkoagulasi atau menggumpalkan protoplasma kuman karena terbentuk ikatan yang stabil dengan protein kuman.

Sirih juga mengandung 4.2 % minyak atsiri yang terdiri dari hidroksikavikol, kavibetol, estragol, eugenol, metileugenol, karvakrol, terpinen, seskuiterpen, fenilpran, dan tanin (Moeljanto 2003). Minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri antara lain Escherichia coli, Salmonella sp, Staphylococcus aureus, Klebsiella, Pasteurella, dan dapat mematikan Candida albicans (Agusta 2000, Hariana 2007). Selain itu, sirih mengandung saponin (Widayat et al. 2008 dalam Wardani 2009) yang memacu pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang berperan dalam proses persembuhan luka. Saponin juga bersifat sebagai imunostimulator yang menggertak tanggap kebal inang sehingga mempercepat proses kontraksi dan reepitelisasi.

Luka

Luka pada kulit didefinisikan sebagai hilangnya integritas kulit sebagai bagian pelindung utama dari tubuh yang disertai dengan perubahan struktur dan fungsi jaringan normal (Enoch dan John 2008). Menurut Alam et al. (2011) luka diklasifikasikan berdasarkan fisiologis persembuhan dan penyebab terbentuknya luka. Berdasarkan fisiologis persembuhan, luka dibagi menjadi luka akut dan luka kronis. Luka akut adalah cedera jaringan yang biasanya melalui proses reparasi dan mengalami persembuhan yang cepat baik secara anatomi maupun integritas fungsionalnya. Luka akut biasanya disebabkan oleh pemotongan atau bedah sayatan. Sedangkan luka kronis adalah luka yang telah gagal melalui tahap

4

persembuhan normal dan merupakan suatu keadaan patologis, memerlukan waktu persembuhan yang lama. Penyebab luka kronis adalah infeksi lokal, hipoksia, trauma, benda asing, dan masalah sistemik seperti diabetes melitus, malnutrisi, imunodefisiensi atau obat-obatan (Menke et al. 2007).

Berdasarkan penyebabnya, luka dibagi menjadi luka terbuka dan luka tertutup. Luka terbuka adalah keluarnya darah dari dalam tubuh yang terlihat dengan jelas. Contoh luka terbuka adalah luka gores, laserasi atau luka robek, luka tusuk, dan luka tembak. Luka tertutup adalah keluarnya darah dari sistem peredaran darah tetapi masih berada di dalam tubuh. Contohnya adalah luka memar dan hematom (Alam et al. 2011).

Mekanisme persembuhan luka merupakan proses regenerasi yang tidak hanya terjadi secara lokal tetapi juga dipengaruhi faktor endogen dan faktor eksogen (Sedlarik 2004). Mekanisme persembuhan luka terbagi atas tiga fase yaitu fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase maturasi. Fase inflamasi menyebabkan luka membengkak dan sakit, sehingga gerakan menjadi terbatas. Fase proliferasi membangun kembali struktur dan tahap maturasi memberikan bentuk akhir.

Fase awal adalah fase inflamasi yang dimulai segera setelah cedera dan biasanya berlangsung antara 24 - 48 jam, namun untuk beberapa kasus luka dapat bertahan hingga dua minggu. Pada fase ini terjadi respon vaskular yang terlihat dengan adanya perubahan pada pembuluh darah, perubahan aliran darah, diapedesis dari eritrosit dan respon seluler yang terlihat berupa adanya peningkatan aktivitas dari leukosit. Fase ini juga ditandai dengan adanya vasokonstriksi dan agregasi platelet untuk mendorong pembekuan darah kemudian vasodilatasi dan fagositosis untuk menghasilkan peradangan pada luka (Li et al. 2007). Gejala klinis yang teramati berupa tanda-tanda peradangan yaitu rubor, kalor, tumor, dolor, dan fungsi laesa.

Vasodilatasi mengakibatkan peningkatan aliran darah yang diikuti oleh melambatnya sirkulasi darah. Kejadian ini menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular sehingga keluarnya protein plasma ke jaringan interstitial dan membentuk edema. Vasodilatasi juga menyebabkan terjadinya migrasi netrofil dan monosit ke jaringan luka. Netrofil merupakan pertahanan pertama terhadap infeksi dan memfagositosis debris serta mikroorganisme (Mackay dan Miller 2003). Migrasi netrofil akan berhenti jika tidak terjadi kontaminasi. Jika fase inflamasi berlanjut yang disebabkan oleh hipoksia, infeksi, malnutrisi, penggunaan obat maka monosit akan dikonversi menjadi makrofag yang membunuh bakteri, memfagositosis debris dan menghancurkan netrofil yang masih tersisa. Selain itu, fungsi makrofag juga untuk mensintesis kolagen, pembentukan jaringan granulasi, memproduksi growth factor yang berperan dalam reepitelisasi, dan pembentukan neovaskularisasi atau angiogenesis.

Fase kedua adalah fase proliferasi. Pada fase ini proses persembuhan luka yang berlangsung dua hari sampai tiga minggu setelah fase inflamasi. Fase ini terdiri dari tiga tahap yaitu granulasi, kontraksi, dan epitelialisasi (Perdanakusuma 2008). Dalam tahap granulasi, fibroblas membentuk kolagen dan terbentuk kapiler baru. Fibroblas menghasilkan berbagai zat penting untuk perbaikan luka, termasuk glikosaminoglikan dan kolagen. Kemudian langkah kontraksi, menarik tepi luka bersama-sama untuk mengurangi cacat pada jaringan epitel. Tahap ketiga yaitu epitelialisasi terbentuk selama luka.

5 Fase terakhir adalah fase maturasi. Fase ini berlangsung selama tiga minggu sampai dua tahun. Tujuan dari fase ini adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru. Kolagen baru terbentuk dalam fase ini dan terjadi cross-linking kolagen antar molekul. Bekas luka merata dan jaringan bekas luka menjadi seperti aslinya.

Gambar 2 Tahap persembuhan luka (Goldstein et al. 2005)

Ada 2 faktor yang mempengaruhi proses persembuhan luka yaitu faktor lokal dan general. Faktor lokal meliputi suplai pembuluh darah yang kurang, denervasi, hematoma, infeksi, iradiasi, stres mekanik, teknik bedah, irigasi, elektrokoagulasi, suture materials, dressing materials, antibiotik, dan tipe jaringan. Faktor general meliputi usia, anemia, obat-obat anti peradangan, diabetes melitus, hormon, infeksi sistemik, jaundice, penyakit menular, malnutrisi, obesitas, temperatur, trauma, hipovolemia, hipoksia, uremia, vitamin C dan A, serta trace metals (Perdanakusuma 2008).

Infeksi

Infeksi merupakan hadirnya berbagai mikroorganisme dalam luka yang ditandai dengan gejala klinis sehingga dapat mengganggu proses persembuhan luka (Kingsley 2001). Infeksi luka terjadi ketika mikroorganisme mengalahkan pertahanan host dan adanya faktor lingkungan yang mendukung terjadinya proliferasi mikroba. Hal ini mengakibatkan persembuhan luka akan tertunda (Green 2012). Menurut Patel (2010) infeksi yang terjadi pada luka memiliki gejala yang khas yaitu adanya pireksia atau febris, odema, sakit, peningkatan eksudat, gangguan persembuhan luka, dan diskolorasi jaringan granulasi. Infeksi yang terjadi pada luka dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti: besar dan kedalaman luka, jenis luka, lokasi luka pada tubuh, ada penyakit vaskular, malnutrisi, diabetes melitus, adanya benda asing, radioterapi, dan keadaan

6

imunosupresi. Infeksi pada luka dapat disebabkan oleh Streptococcus sp., Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Candida sp., Aspergilus sp., dan Proteus sp. (Collier 2004). Menurut Stephens et al. (2003) bakteri

Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang sering ditemukan pada luka. Bakteri ini diperkirakan hadir dalam jaringan lebih dari 50% pada luka kronis. Efek umum dengan hadirnya bakteri adalah penurunan kemotaksis dan deplesi platelet, fungsi leukosit akan terganggu, peningkatan metabolit vasikonstriksi dapat menyebabkan keadaan hipoksia sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.

Dokumen terkait