• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.) dalam Proses Persembuhan Luka Infeksi Staphylococcus aureus pada Tikus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.) dalam Proses Persembuhan Luka Infeksi Staphylococcus aureus pada Tikus"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

IRENE FIRMINATHA ALFARES. Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.) dalam Proses Persembuhan Luka Infeksi Staphylococcus aureus pada Tikus. Dibawah bimbingan BAYU FEBRAM PRASETYO dan MAWAR SUBANGKIT.

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan aktivitas ekstrak etanol daun sirih hijau (Piper betle Linn.) pada proses persembuhan luka infeksi

Staphylococcus aureus melalui pengamatan patologi anatomi, keberadaan netrofil, dan gambaran mikroskopis. Penelitian ini menggunakan 9 ekor tikus strain SD dan diberi perlakuan yang berbeda yaitu salep komersil, akuades, ekstrak etanol daun sirih, dan tanpa perlakuan. Semua tikus dilukai berbentuk kotak dengan ukuran 1x1 cm2 pada daerah punggung kemudian ditetesi Staphylococcus aureus

pada hari ke 1, 4, 7, dan 11. Perlakuan diberikan selama 2 minggu. Semua data yang diperoleh dianalisis dengan metode deskriptif semikuantitatif. Hasil skoring menunjukkan pada minggu pertama luka yang diobati dengan ekstrak etanol daun sirih berada pada fase proliferasi sedangkan pada minggu kedua telah berada pada fase maturasi. Luka yang diberi ekstrak etanol daun sirih memperlihatkan persembuhan luka yang lebih baik pada minggu pertama dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil diatas dapat disimpulkan bahwa ekstrak sirih dapat membantu persembuhan luka infeksi Staphylococcus aureus.

Kata kunci: ekstrak, daun sirih, persembuhan luka, Staphylococcus aureus.

ABSTRACT

IRENE FIRMINATHA ALFARES. Activity of Piper betle Leaves Ethanol Extract on The Wound Healing Process with Staphylococcus aureus Infection in Rat. Under the direction of BAYU FEBRAM PRASETYO dan MAWAR SUBANGKIT.

This research was aimed to prove the wound healing activity of Piper betle leaves ethanol extract against Staphylococcus aureus infection in rat skin. Various parameters such as pathology anatomy, netrofil presence, and microscopic observation were studied to evaluate the wound healing activity of Piper betle. Nine rats Sprague Dawley strain were used through our the study and each rat was given four treatments. Treatments were control, commercial ointments, akuadest, and Piper betle leaves ethanol extract. The experiment were given for fourteen days. Each of rats was aseptically wounded with four wounds in 1x1 cm2 square shape at the back of rats. Every wound was spilled by Staphylococcus aureus at 1st, 4th, 7th, and 11th day. All data were analyzed with descriptive semiquantitative method. Scoring results show that the first week of wounds treated with piper betle leaves ethanol extract had shown proliferative phase, while the second week treated with betle leaves extract had shown maturation phase. Wound treated with Piper betle leaves extract were healed better than others in the first week. Bassed on the results, Piper betle leaves extract can be used to heal bacterial wound in the skin.

(2)

AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH HIJAU (Piper

betle Linn.) DALAM PROSES PERSEMBUHAN LUKA

INFEKSI Staphylococcus aureus PADA TIKUS

IRENE FIRMINATHA ALFARES

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)
(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.) dalam Proses Persembuhan Luka Infeksi Staphylococcus aureus pada Tikus adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013

Irene Firminatha Alfares

(5)

ABSTRAK

IRENE FIRMINATHA ALFARES. Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.) dalam Proses Persembuhan Luka Infeksi Staphylococcus aureus pada Tikus. Dibawah bimbingan BAYU FEBRAM PRASETYO dan MAWAR SUBANGKIT.

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan aktivitas ekstrak etanol daun sirih hijau (Piper betle Linn.) pada proses persembuhan luka infeksi

Staphylococcus aureus melalui pengamatan patologi anatomi, keberadaan netrofil, dan gambaran mikroskopis. Penelitian ini menggunakan 9 ekor tikus strain SD dan diberi perlakuan yang berbeda yaitu salep komersil, akuades, ekstrak etanol daun sirih, dan tanpa perlakuan. Semua tikus dilukai berbentuk kotak dengan ukuran 1x1 cm2 pada daerah punggung kemudian ditetesi Staphylococcus aureus

pada hari ke 1, 4, 7, dan 11. Perlakuan diberikan selama 2 minggu. Semua data yang diperoleh dianalisis dengan metode deskriptif semikuantitatif. Hasil skoring menunjukkan pada minggu pertama luka yang diobati dengan ekstrak etanol daun sirih berada pada fase proliferasi sedangkan pada minggu kedua telah berada pada fase maturasi. Luka yang diberi ekstrak etanol daun sirih memperlihatkan persembuhan luka yang lebih baik pada minggu pertama dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil diatas dapat disimpulkan bahwa ekstrak sirih dapat membantu persembuhan luka infeksi Staphylococcus aureus.

Kata kunci: ekstrak, daun sirih, persembuhan luka, Staphylococcus aureus.

ABSTRACT

IRENE FIRMINATHA ALFARES. Activity of Piper betle Leaves Ethanol Extract on The Wound Healing Process with Staphylococcus aureus Infection in Rat. Under the direction of BAYU FEBRAM PRASETYO dan MAWAR SUBANGKIT.

This research was aimed to prove the wound healing activity of Piper betle leaves ethanol extract against Staphylococcus aureus infection in rat skin. Various parameters such as pathology anatomy, netrofil presence, and microscopic observation were studied to evaluate the wound healing activity of Piper betle. Nine rats Sprague Dawley strain were used through our the study and each rat was given four treatments. Treatments were control, commercial ointments, akuadest, and Piper betle leaves ethanol extract. The experiment were given for fourteen days. Each of rats was aseptically wounded with four wounds in 1x1 cm2 square shape at the back of rats. Every wound was spilled by Staphylococcus aureus at 1st, 4th, 7th, and 11th day. All data were analyzed with descriptive semiquantitative method. Scoring results show that the first week of wounds treated with piper betle leaves ethanol extract had shown proliferative phase, while the second week treated with betle leaves extract had shown maturation phase. Wound treated with Piper betle leaves extract were healed better than others in the first week. Bassed on the results, Piper betle leaves extract can be used to heal bacterial wound in the skin.

(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Institut pertanian Bogor

AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH HIJAU(Piper

betle Linn.) DALAM PROSES PERSEMBUHAN LUKA

INFEKSI Staphylococcus aureus PADA TIKUS

IRENE FIRMINATHA ALFARES

KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)
(8)

Judul Skripsi : Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.) dalam Proses Persembuhan Luka Infeksi Staphylococcus aureus

pada Tikus

Nama : Irene Firminatha Alfares NIM : B04080081

Disetujui oleh

Bayu Febram Prasetyo, Msi Ssi Apt Pembimbing I

drh Mawar Subangkit Pembimbing II

Diketahui oleh

drh H Agus Setyono, MS PhD APVet Wakil Dekan FKH IPB

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.) dalam Proses Persembuhan Luka Infeksi

Staphylococcus aureus pada Tikus”telah diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada bapak Bayu Febram Prasetyo, Msi Ssi Apt dan drh Mawar Subangkit sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu dan menyediakan waktunya untuk membimbing penulis. Disamping itu, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pak Kasnadi, pak Endang, pak Soleh, Bibi yang telah membantu selama penelitian berlangsung. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada keluarga tercinta, ayah Thomas Alfares, ibu Martha Retong, Sr. Renatha, kakak Anita, adik Rina Alfares dan Rischa Alfares atas cinta, doa, dan dukungannya. Terima Kasih penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat (Cece, Zani, Eva, Keisya, Arini, Yayuk) dan teman-teman Avenzoar 45 atas kebersamaannya.

Skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis terbuka menerima kritik dan saran yang membangun guna penulisan selanjutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Sirih 2

Luka 4

Infeksi 5

METODE 6

Bahan dan Alat 6

Perlakuan pada Tikus 7

Prosedur Analisis Data 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

SIMPULAN DAN SARAN 18

Simpulan 18

Saran 18

DAFTAR PUSTAKA 18

(11)

DAFTAR TABEL

1 Hasil evaluasi gambaran patologi anatomi, gambaran mikroskopis, dan keberadaan netrofil luka tikus pada minggu pertama. 10 2 Hasil evaluasi gambaran patologi anatomi, gambaran mikroskopis, dan

keberadaan netrofil luka tikus pada minggu kedua 14

DAFTAR GAMBAR

1 Penyebaran sirih di dunia 3

2 Tahap persembuhan luka 5

3 Jadwal penelitian 8

4 Kandang tikus berbahan dasar plastik yang diberi panggung dan tikus

yang diberi elizabeth collar 9

5 Diagram persembuhan luka tikus pada minggu pertama 11 6 Gambaran mikroskopis luka tikus pada minggu pertama 12

7 Gambaran keberadaan netrofil pada luka 13

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Aktivitas yang dilakukan baik oleh hewan maupun manusia seringkali menimbulkan luka pada permukaan kulit. Hal ini dikarenakan kulit merupakan lapisan terluar dari tubuh yang berfungsi sebagai pelindung tubuh. Luka merupakan hilangnya integritas kulit sebagai bagian pelindung utama dari tubuh yang disertai dengan perubahan struktur dan fungsi jaringan normal (Enoch dan John 2008). Kehilangan integritas kulit ini dapat membuka jalan bagi bakteri untuk masuk ke dalam tubuh sehingga memperlambat proses persembuhan luka. Menurut Harahap (2002) salah satu bakteri yang dapat menyebabkan infeksi pada luka adalah bakteri Staphylococcus aureus. Infeksi oleh bakteri yang terjadi pada luka kulit biasanya menimbulkan nanah, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, terjadi peningkatan suhu, dan sakit jika disentuh.

Secara umum luka pada kulit biasanya diberi obat kimia yang mengandung ekstrak plasenta atau antibiotik. Obat untuk persembuhan luka ini masih menjadi pilihan utama di pasaran karena efek penyembuhan yang dapat dirasakan langsung dan mudah diperoleh. Namun harga yang semakin tinggi dengan ukuran yang minimalis sangat memberatkan masyarakat. Saat ini masyarakat dunia khususnya masyarakat Indonesia sudah mulai mengutamakan penggunaan obat secara alami (back to nature). Obat yang berasal dari alam ini diminati karena memiliki harga yang relatif terjangkau dan sedikit menimbulkan efek samping. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki keanekaragaman tanaman. Kardono et al. (2003) menyatakan bahwa Indonesia memiliki 25.000-30.000 jenis tanaman dan sekitar 6.000 diantara jenis tanaman tersebut memiliki potensi untuk dijadikan tanaman obat (herbal medicine). Dengan semakin berkembangnya obat herbal dan ditambah dengan gema back to nature telah meningkatkan popularitas obat herbal.

(13)

2

Daun sirih juga mengandung saponin (Widayat et al. 2008 dalam Wardani 2009) yang memacu pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang berperan dalam proses reepitelisasi. Senyawa saponin juga dapat bekerja sebagai antimikroba dengan merusak membran sitoplasma dan membunuh sel. Berdasarkan pemikiran diatas, maka perlu dilakukan kajian secara ilmiah mengenai efektivitas ekstrak sirih sebagai obat luka infeksi bakteri yang murah dan aman.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara ilmiah efektivitas sirih sebagai obat persembuhan luka infeksi bakteri dengan melihat gambaran makroskopis dan mikroskopis.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa penggunaan ekstrak etanol daun sirih sebagai obat luka infeksi bakteri dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat umum.

TINJAUAN PUSTAKA

Sirih

Sirih merupakan tanaman herbal paranial, berdaun tunggal dengan letak daun alternet, bentuk bervariasi dari bundar telur sampai oval, ujung runcing, pangkal daun berbentuk jantung, dan agak bundar asimetris (Rosman dan Suhirman 2006). Berdasarkan jurnal Adate et al. 2012, tanaman ini termasuk dalam famili Piperaceae dengan superordo Nymphaeiflloraea, ordo Piperales, dan genus Piper. Sirih merupakan tanaman yang dapat dijumpai di daerah Sri Lanka, India, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Kepulauan Timur Afrika.

Gambar 1 Penyebaran sirih di dunia (Kumar et al. 2010)

(14)

3 bentuk bulat, beruas-ruas, beralur-alur, berwarna hijau abu-abu. Letak daun berseling, bentuk bervariasi dari bundar sampai oval, ujung runcing, pangkal berbentuk jantung atau bundar asimetris, tepi rata, permukaan rata, dan pertulangan menyirip. Warna bervariasi dari kuning, hijau sampai hijau tua, dan bau aromatis.

Menurut Kumar et al. (2010) senyawa aktif yang dapat diisolasi dari daun sirih antara lain hidroksikavikol, alipirokatekol, kavibetol, piperbetol, metilpiperbetol, piperol A, dan piperol B. Kandungan senyawa aktif ini mempunyai fungsi sebagai antiinflamatori, antikanker, dan imunomodulatori. Menurut Shetty dan Vijayalaxmi (2012) daun sirih terdiri dari alkaloid, steroid, tanin, fenol, saponin, flavonoid, dan asam amino. Fenol memberikan bau khas daun sirih dan memiliki daya pembunuh bakteri lima kali lipat dari fenol biasa (Moeljanto 2003). Tanin, saponin, dan flavonoid yang terkandung dalam sirih berfungsi sebagai antimikroba dan merangsang pertumbuhan sel-sel baru pada luka.

Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang bersifat polar sehingga mudah larut dalam pelarut polar seperti air, etanol, metanol, butanol, dan aseton. Flavonoid berfungsi sebagai antialergi, antikanker, dan antiinflamasi. Sedangkan tanin merupakan senyawa polifenol dari kelompok flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan kuat, antikanker, dan antiinflamasi. Tanin juga dikenal sebagai zat samak untuk pengawetan kulit, dimana efek tanin yang utama yaitu sebagai astringensia yang banyak digunakan sebagai pengencang kulit dalam kosmetika atau estetika (Olivia et al. 2004). Tanin dalam konsentrasi rendah dapat menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan pada konsentrasi tinggi tanin bekerja sebagai antimikroba dengan cara mengkoagulasi atau menggumpalkan protoplasma kuman karena terbentuk ikatan yang stabil dengan protein kuman.

Sirih juga mengandung 4.2 % minyak atsiri yang terdiri dari hidroksikavikol, kavibetol, estragol, eugenol, metileugenol, karvakrol, terpinen, seskuiterpen, fenilpran, dan tanin (Moeljanto 2003). Minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri antara lain Escherichia coli, Salmonella sp, Staphylococcus aureus, Klebsiella, Pasteurella, dan dapat mematikan Candida albicans (Agusta 2000, Hariana 2007). Selain itu, sirih mengandung saponin (Widayat et al. 2008 dalam Wardani 2009) yang memacu pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang berperan dalam proses persembuhan luka. Saponin juga bersifat sebagai imunostimulator yang menggertak tanggap kebal inang sehingga mempercepat proses kontraksi dan reepitelisasi.

Luka

(15)

4

persembuhan normal dan merupakan suatu keadaan patologis, memerlukan waktu persembuhan yang lama. Penyebab luka kronis adalah infeksi lokal, hipoksia, trauma, benda asing, dan masalah sistemik seperti diabetes melitus, malnutrisi, imunodefisiensi atau obat-obatan (Menke et al. 2007).

Berdasarkan penyebabnya, luka dibagi menjadi luka terbuka dan luka tertutup. Luka terbuka adalah keluarnya darah dari dalam tubuh yang terlihat dengan jelas. Contoh luka terbuka adalah luka gores, laserasi atau luka robek, luka tusuk, dan luka tembak. Luka tertutup adalah keluarnya darah dari sistem peredaran darah tetapi masih berada di dalam tubuh. Contohnya adalah luka memar dan hematom (Alam et al. 2011).

Mekanisme persembuhan luka merupakan proses regenerasi yang tidak hanya terjadi secara lokal tetapi juga dipengaruhi faktor endogen dan faktor eksogen (Sedlarik 2004). Mekanisme persembuhan luka terbagi atas tiga fase yaitu fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase maturasi. Fase inflamasi menyebabkan luka membengkak dan sakit, sehingga gerakan menjadi terbatas. Fase proliferasi membangun kembali struktur dan tahap maturasi memberikan bentuk akhir.

Fase awal adalah fase inflamasi yang dimulai segera setelah cedera dan biasanya berlangsung antara 24 - 48 jam, namun untuk beberapa kasus luka dapat bertahan hingga dua minggu. Pada fase ini terjadi respon vaskular yang terlihat dengan adanya perubahan pada pembuluh darah, perubahan aliran darah, diapedesis dari eritrosit dan respon seluler yang terlihat berupa adanya peningkatan aktivitas dari leukosit. Fase ini juga ditandai dengan adanya vasokonstriksi dan agregasi platelet untuk mendorong pembekuan darah kemudian vasodilatasi dan fagositosis untuk menghasilkan peradangan pada luka (Li et al. 2007). Gejala klinis yang teramati berupa tanda-tanda peradangan yaitu rubor, kalor, tumor, dolor, dan fungsi laesa.

Vasodilatasi mengakibatkan peningkatan aliran darah yang diikuti oleh melambatnya sirkulasi darah. Kejadian ini menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular sehingga keluarnya protein plasma ke jaringan interstitial dan membentuk edema. Vasodilatasi juga menyebabkan terjadinya migrasi netrofil dan monosit ke jaringan luka. Netrofil merupakan pertahanan pertama terhadap infeksi dan memfagositosis debris serta mikroorganisme (Mackay dan Miller 2003). Migrasi netrofil akan berhenti jika tidak terjadi kontaminasi. Jika fase inflamasi berlanjut yang disebabkan oleh hipoksia, infeksi, malnutrisi, penggunaan obat maka monosit akan dikonversi menjadi makrofag yang membunuh bakteri, memfagositosis debris dan menghancurkan netrofil yang masih tersisa. Selain itu, fungsi makrofag juga untuk mensintesis kolagen, pembentukan jaringan granulasi, memproduksi growth factor yang berperan dalam reepitelisasi, dan pembentukan neovaskularisasi atau angiogenesis.

(16)

5 Fase terakhir adalah fase maturasi. Fase ini berlangsung selama tiga minggu sampai dua tahun. Tujuan dari fase ini adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru. Kolagen baru terbentuk dalam fase ini dan terjadi cross-linking kolagen antar molekul. Bekas luka merata dan jaringan bekas luka menjadi seperti aslinya.

Gambar 2 Tahap persembuhan luka (Goldstein et al. 2005)

Ada 2 faktor yang mempengaruhi proses persembuhan luka yaitu faktor lokal dan general. Faktor lokal meliputi suplai pembuluh darah yang kurang, denervasi, hematoma, infeksi, iradiasi, stres mekanik, teknik bedah, irigasi, elektrokoagulasi, suture materials, dressing materials, antibiotik, dan tipe jaringan. Faktor general meliputi usia, anemia, obat-obat anti peradangan, diabetes melitus, hormon, infeksi sistemik, jaundice, penyakit menular, malnutrisi, obesitas, temperatur, trauma, hipovolemia, hipoksia, uremia, vitamin C dan A, serta trace metals (Perdanakusuma 2008).

Infeksi

(17)

6

imunosupresi. Infeksi pada luka dapat disebabkan oleh Streptococcus sp., Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Candida sp., Aspergilus sp., dan Proteus sp. (Collier 2004). Menurut Stephens et al. (2003) bakteri

Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang sering ditemukan pada luka. Bakteri ini diperkirakan hadir dalam jaringan lebih dari 50% pada luka kronis. Efek umum dengan hadirnya bakteri adalah penurunan kemotaksis dan deplesi platelet, fungsi leukosit akan terganggu, peningkatan metabolit vasikonstriksi dapat menyebabkan keadaan hipoksia sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Agustus 2012 di kandang hewan dan Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Peralatan yang digunakan antara lain kandang tikus yang diberi panggung,

elizabeth collar, syringe, balok kayu berukuran 1x1 cm2, dan mikroskop cahaya. Bahan-bahan yang digunakan adalah tikus jantan, ekstrak etanol daun sirih, akuades, eter, ketamin dan xylazine, magnesium sulfat (MgS04), Neutral Buffered Formaldehyde (NBF) 10%, Staphylococcus aureus atcc 6538 105 cfu/ml, metanol, Giemsa, dan obat luka komersil.

Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih jantan strain Sprague-Dawley (SD) sebanyak 9 ekor yang berumur ± 2 bulan dengan bobot badan 150-200 gram.

Ekstraksi Tanaman Obat

Ekstrak daun sirih dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) dan didapatkan ekstrak dengan berat 31 gram dari 1 kg daun sirih kering. Prosedur pembuatan ekstrak yaitu sortasi, pengeringan, pencacahan, ekstraksi menggunakan etanol 70%, dan dievaporasi (BPOM 2005).

(18)

7 Tikus dipelihara di kandang hewan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Tikus diberi pakan dan minum secara ad libitum dan dilakukan aklimatisasi dengan tujuan untuk menyamaratakan kondisi dari setiap tikus.

Perlukaan pada tikus dilakukan dengan menganastesi tikus menggunakan ketamin dan xylazine secara intraperitoneal. Kemudian rambut di daerah punggung digunting sampai bersih dan dilukai berbentuk kotak berukuran 1x1 cm2 sebanyak 4 luka. Keadaan infeksi luka dilakukan dengan meneteskan bakteri Staphylococcus aureus atcc 6538 sebanyak 0.1 ml pada hari ke 1, ke 4, ke 7, dan ke 11.

Keempat luka diberikan perlakuan berbeda yaitu pemberian ekstrak sirih, pemberian salep komersil, pemberian akuades, dan kontrol. Pemberian ekstrak sirih dilakukan secara topikal dengan cara mengoleskannya menggunakan kapas steril sampai hari ke 14 pasca perlukaan sebanyak 2 kali sehari.

Pembuatan Preparat Sentuh

Gelas objek ditempelkan pada permukaan luka tikus, direndam dalam metanol selama 5 menit kemudian diangkat dan dikeringkan. Preparat dibenamkan dalam larutan Giemsa selama 25 menit, dimasukkan kedalam inkubator 45.7-45.8 oC, dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Pembuatan preparat sentuh dilakukan pada hari ke 3 dan hari ke 10.

Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel luka dilakukan pada hari ke 7 dan ke 14 pasca perlukaan dengan mengambil empat ekor tikus pada pengambilan pertama dan lima ekor tikus pada pengambilan kedua. Tikus dianastesi menggunakan eter dan diinjeksi dengan magnesium sulfat secara intrakardial. Kulit di daerah punggung digunting dan direndam dalam NBF 10%.

Pembuatan Sediaan Histopatologi

Sampel organ yang telah difiksasi mengunakan NBF 10% dipotong dan dimasukkan ke dalam keranjang jaringan kemudian didehidrasi menggunakan etanol bertingkat, dijernihkan dengan xylene, dan dimasukkan ke dalam parafin cair dengan tujuan agar jaringan terisi oleh parafin. Pembuatan blok dilakukan dengan cara membenamkan sample organ ke dalam parafin cair dan didinginkan dengan suhu 5 oC. Blok dipotong setebal ± 3-5 µm menggunakan mikrotom dan ditempelkan pada gelas objek kemudian diwarnai.

(19)

8

carbonate, dan dibilas dengan air mengalir. Selanjutnya preparat dicelupkan ke dalam pewarna Eosin. Preparat kemudian dicelupkan ke dalam etanol bertingkat mulai 70%, 80%, 96%, dan alkohol absolut. Terakhir, preparat dimasukkan dalam empat larutan xylene. Dibiarkan mengering dan ditetesi PermountTM kemudian ditutup dengan cover glass.

Gambar 3 Jadwal penelitian.

Parameter yang Diamati

Pengamatan patologi anatomi yaitu dengan mengukur luas luka pada hari pertama dan hari ke 14 serta melihat keadaaan luka. Pengamatan histopatologi menggunakan metode skoring dengan melihat proses persembuhan yang telah dilewati oleh luka tersebut. Pengamatan preparat sentuh dilakukan dengan melihat keberadaan netrofil.

Analisis Data

Data pengamatan patologi anatomi, histopatologi, dan preparat sentuh dianalisis dengan metode deskriptif semikuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

(20)

9

Gambar 4 Kandang tikus berbahan dasar plastik yang diberi panggung dengan ukuran 30x15 cm (gambar A dan B) dan tikus yang diberi elizabeth collar untuk menghindari tikus menjilati luka (gambar C dan D).

Penelitian aktivitas ekstrak daun sirih dalam proses persembuhan luka infeksi bakteri ini menggunakan metode ekstraksi maserasi dengan pertimbangan cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana, mudah diusahakan, dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Pelarut yang digunakan adalah etanol 70% karena kapang dan kuman sulit tumbuh dan lebih selektif. Penggunaan pelarut etanol juga bertujuan agar golongan flavonoid, saponin, alkaloid, dan tanin yang terkandung dalam daun sirih terikat dengan gula membentuk glikosida sehingga larut dalam pelarut polar seperti etanol (Sastroamijoyo 1967).

(21)

10

Menurut Reddy et al. (2002) persembuhan luka merupakan mekanisme kompleks yang melibatkan proses peradangan, koagulasi, pembentukan jaringan granulasi, pembentukan matriks, remodelling jaringan ikat, dan kolagenasi. Proses ini terdiri dari tiga tahap yaitu inflamasi, proliferasi, dan maturasi. Pada tahap inflamasi lesio yang diamati terdiri dari adanya pendarahan dan edema, sel radang, terdapat keropeng dan pusat netrofil, serta sedikit fibroblas. Pada tahap proliferasi parameter yang diamati adalah reepitelisasi mulai terjadi, terdapat fibroblas, terjadi kontraksi pada luka, dan neovaskularisasi. Sedangkan pada tahap maturasi parameter yang diamati adalah reepitelisasi terjadi sempurna, terbentuk folikel rambut dan kelenjar sebaceous, dan kontraksi luka bagus.

Hasil Pengamatan Luka pada Minggu Pertama

Pada minggu pertama dilakukan pengamatan pada tiga parameter yaitu pengamatan patologi anatomi, keberadaan netrofil pada luka, dan gambaran mikroskopis yang diamati menggunakan mikroskop cahaya. Hasil pengamatan gambaran patologi anatomi, keberadaan netrofil, dan gambaran mikroskopis pada minggu pertama disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Hasil evaluasi patologi anatomi, gambaran mikroskopis, dan keberadaan netrofil luka tikus pada minggu pertama.

Perlakuan Patologi Anatomi Netrofil Gambaran Mikroskopis Skoring

Luas (mm2)

Kering Basah Inflamasi Proliferasi Maturasi

Kontrol 100±0 0/9 9/9 0/9 33.33% 50% 16.67% 1.83

Sirih 100±0 0/9 9/9 5/9 40% 40% 20% 1.8

Salep 100±0 0/9 9/9 4/9 75% 0 25% 1.5

Akuades 100±0 0/9 9/9 0/9 0 50% 50% 2.5 Keterangan: Angka pembilang menunjukkan jumlah sampel yang positif (+). Angka penyebut

menunjukkan jumlah luka yang diamati. Keberadaan netrofil diamati pada hari ke-3. Luas luka diamati pada hari pertama. Gambaran mikroskopis dan keadaan luka diamati pada hari ke 7. Pada skoring mikroskopis angka 0-0.5 menunjukkan luka belum sembuh, 0.6-1.5 menunjukkan luka inflamasi, 1.6-2.5 menunjukkan luka proliferasi, dan 2.6-3 menunjukkan luka maturasi.

(22)

11

Gambar 5 Diagram persembuhan luka tikus pada minggu pertama

Hasil skoring gambaran histopatologi luka kulit tikus pada minggu pertama menunjukkan bahwa luka yang diberi akuades memperlihatkan persembuhan luka yang lebih baik yaitu telah mencapai tahap proliferasi dengan rata-rata skoring histopatologi yaitu 2.5, diikuti oleh kontrol dan ekstrak sirih yang juga berada pada tahap proliferasi dengan rata-rata skoring histopatologi yaitu 1.83 dan 1.8 serta salep yang masih pada tahap inflamasi dengan rata-rata skoring histopatologi yaitu 1.5. Tahap proliferasi terjadi pada kelompok luka akuades diduga disebabkan oleh penetesan akuades pada luka dapat membersihkan bakteri yang ada pada luka sehingga tahap persembuhan luka dapat berjalan dengan normal. Luka yang diberi akuades juga menyebabkan luka dalam keadaan lembab sehingga ujung epitel yang terkoyak luruh secara langsung dapat difagosit oleh netrofil.

Luka yang diberi ekstrak sirih juga sudah mencapai awal tahap proliferasi. Hal ini disebabkan oleh kandungan flavonoid, saponin, alkaloid, dan tanin yang berfungsi sebagai antimikroba dan antiinflamasi sehingga tahap inflamasi terjadi dalam waktu yang singkat (Shetty dan Vijayalaxmi 2012). Luka yang diberi salep mengalami tahap inflamasi yang lebih lama dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan oleh kandungan kloramfenikol dalam salep merupakan antibiotik yang berfungsi sebagai bakteristatik (Tjay dan Rahardja 2007) sehingga meningkatkan tahap inflamasi untuk melawan bakteri. Selain itu, persembuhan luka dapat terjadi karena adanya faktor pendukung yang mempengaruhi proses persembuhan luka yaitu lingkungan yang bersih, nutrisi, usia, dan imunitas (Perdanakusuma 2008).

Pada gambaran histopatologi dapat terlihat bahwa luka kelompok kontrol, akuades, dan ekstrak sirih menunjukkan kualitas yang hampir sama yaitu telah mencapai tahap proliferasi yang ditandai dengan reepitelisasi yang mulai terjadi, terdapat fibroblas, dan adanya neovaskularisasi yang merupakan ciri khas pada tahap proliferasi. Neovaskularisasi merupakan pembentukan buluh darah yang baru. Keberadaan neovaskularisasi pada luka memiliki peranan yang penting untuk memberikan asupan nutrisi dan oksigen bagi jaringan yang sedang beregenerasi. Tunas-tunas pembuluh darah ini muncul disebabkan oleh aktivitas

(23)

12

mitosis pada sel-sel endotel pembuluh darah tertua diikuti oleh migrasi kearah luka (Spector dan Spector 1993). Nayak (2006) menyatakan persembuhan luka tergantung pada sirkulasi darah di daerah yang mengalami luka serta pembentukan dan deposisi kolagen. Jumlah buluh darah yang baru dipengaruhi oleh adanya makrofag yang berfungsi mensintesis faktor angiogenesis.

Gambar 6 Gambaran mikroskopis luka tikus pada minggu pertama. (A) tahap proliferasi pada luka kontrol, (B) tahap proliferasi pada luka akuades, (C) tahap proliferasi pada luka sirih, (D) tahap inflamasi pada luka salep. Kotak menunjukkan pembentukan buluh darah baru dan tanda panah menunjukkan kumpulan netrofil.

(24)

13 Sel limfosit melepaskan limfokin yang berfungsi untuk merangsang agregasi makrofag dan juga sebagai chemoattractant bagi makrofag.

Gambar 7 Gambaran keberadaan netrofil pada luka. (A) runtuhan epitel pada luka kontrol, (B)runtuhan epitel pada luka akuades, (C) netrofil pada preparat sentuh luka sirih, (D) netrofil pada preparat sentuh luka salep. Lingkaran menunjukkan proses fagositosit dan koloni bakteri.

(25)

14

bakteri sebelum sel netrofil itu sendiri menjadi inaktif dan mati (Guyton dan Hall 1997). Pengamatan keberadaan netrofil pada preparat sentuh yang diwarnai dengan pewarnaan Giemsa memperlihatkan luka yang diberi akuades dan kontrol ditemukan runtuhan-runtuhan epitel (Gambar 7) sedangkan luka yang diberikan salep dan ekstrak sirih menunjukkan hasil yang positif dimana adanya netrofil. Hal ini menunjukkan bahwa adanya proses fagositosis bakteri yang lebih cepat dibandingkan dengan luka kontrol dan luka akuades.

Hasil evaluasi luka pada kulit tikus baik secara histopatologi dan keberadaan netrofil pada minggu pertama menunjukkan bahwa ekstrak sirih mempunyai efektivitas yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini ditunjukkan dengan tahap inflamasi yang berlangsung dengan cepat tetapi memiliki efikasi yang sama dengan obat salep. Efektivitas ekstrak sirih ini diduga diakibatkan oleh kandungan senyawa flavonoid, saponin, tanin, dan alkaloid yang berfungsi sebagai antimikroba dan antiinflamasi, sehingga mempercepat peradangan dan meningkatkan netrofil pada luka.

Hasil pengamatan luka pada minggu kedua

Pada minggu kedua dilakukan pengamatan pada tiga parameter yaitu patologi anatomi luka, skoring gambaran mikroskopis, dan keberadaan netrofil pada preparat sentuh yang diwarnai oleh Giemsa. Hasil pengamatan luas patologi anatomi, gambaran mikroskopis, dan keberadaan netrofil pada minggu kedua disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Hasil evaluasi patologi anatomi, gambaran mikroskopis, dan keberadaan netrofil luka tikus pada minggu kedua.

Perlakuan Patologi Anatomi Netrofil Gambaran Mikroskopis Skoring

Luas (mm2) Kering Basah Inflamasi Proliferasi Maturasi

Kontrol 9.026±5.30 5/5 0/5 0/5 42.86% 28.57% 28.57% 1.85

Sirih 13.138±7.89 5/5 0/5 0/5 0 11.11% 88.89% 2.89

Salep 8.686±5.01 5/5 0/5 0/5 0 0 100% 3

Akuades 34.848±28.89 3/5 2/5 2/5 57.14% 14.28% 14.28% 1.71

Keterangan: Angka pembilang menunjukkan jumlah sampel yang positif (+). Angka penyebut menunjukkan jumlah luka yang diamati. Keberadaan netrofil diamati pada hari ke-10. Luas luka, gambaran mikroskopis, dan keadaan luka diamati pada hari ke 14. Pada skoring mikroskopis angka 0-0.5 menunjukkan luka belum sembuh, 0.6-1.5 menunjukkan luka inflamasi, 1.6-2.5 menunjukkan luka proliferasi, dan 2.6-3 menunjukkan luka maturasi.

(26)

15 yang diberi ekstrak sirih berada pada urutan kedua diikuti kontrol dan salep. Sedangkan berdasarkan pengamatan gambaran histopatologi terlihat bahwa luka yang diberi salep memperlihatkan hasil yang lebih baik diikuti luka yang diberi ekstrak sirih, kontrol, dan akuades. Kandungan kloramfenikol dalam salep mempunyai mekanisme kerja yaitu menghambat sintesa protein bakteri (Tjay dan Rahardja 2007). Keadaan ini menyebabkan bakteri dapat dieliminasi dengan cepat sehingga proses reepitalisasi luka terjadi lebih cepat. Pada luka yang diberi ekstrak sirih mempunyai luasan luka yang kurang bagus secara makroskopis tetapi mempunyai kualitas yang sama dengan luka salep. Hal ini menunjukkan bahwa luka yang mengecil secara makroskopis belum tentu mempunyai kualitas luka yang baik secara mikroskopis.

Gambar 8 Diagram persembuhan luka tikus pada minggu kedua

(27)

16

Gambar 9 Patologi anatomi luka tikus pada minggu kedua

(28)

17

Gambar 10 Gambaran mikroskopis luka tikus pada minggu kedua. (A) tahap proliferasi pada luka kontrol, (B) tahap proliferasi pada luka akuades, (C) tahap maturasi pada luka sirih, (D) tahap maturasi pada salep. Kotak menunjukkan kontraksi luka.

(29)

18

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah penggunaan ekstrak sirih sebagai obat luka infeksi bakteri mempunyai efektivitas lebih baik pada minggu pertama dibandingkan dengan obat salep karena ekstrak sirih dapat mempercepat tahap inflamasi. Hal ini disebabkan oleh kandungan tanin, flavonoid, saponin, dan alkaloid yang berfungsi sebagai antiinflamasi dan antibakteri.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan pengambilan kulit secara berkala yaitu pada hari 1, 3, 5, 7 dan ke 14.

DAFTAR PUSTAKA

Adate PS, Parmesawaran S, Chauhan Y. 2012. In vitro anthelmintic activity of stem extracts of Piper betle linn. against Pheritima posthuma.

Pharmacognosy Journal. 4(29): 61-66.

Agusta A. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. Bandung: ITB Press. Alam G, Singh MP, Singh A. 2011. Wound healing potential of some medicinal

plants. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research. 9(1): 136-145.

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2005. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume 1. Jakarta: BPOM RI

Collier M. 2004. Recognition and management of wound infections. http://www.worldwidewounds.com/2004/january/Collier/Management-of-Wound-infections.html [11 September 2012].

Enoch S dan John LD. 2008. Basic science of wound healing. Surgery (Oxford). 26(2):31-37.

Goldstein AL, Hannappel E, Kleinman HK. 2005. Thymosin β4: actin-sequestering protein moonlights to repair injured tissues. Trends in Moleculer Medicine. 11(9): 421-429.

Green B. 2012. Getting it right: wound assessment and management. Prof Nurs Today. 16(1): 35-42.

Harahap M. 2002. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.

Hariana A. 2007. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Ed ke-3. Jakarta: Penebar Swadaya.

Kardono LBS, N Artanti, ID Dewiyanti, T Basuki, K Padmawainata. 2003.

Selected Indonesian Medicinal Plants. Jakarta:PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

(30)

19 Kingsley A. 2001. A proactive approach to wound infection. Nurs Stand. 15(30):

50-58.

Kumar N, Misra P, Dube A, Bhattacharya S, Madhu D, Ranade S. 2010. Piper betle Linn a maligned Pan-Asiatic plant with an array of pharmacological activities and prospects for drug discovery. Current Science. 99(7): 922-932.

Li J, Chen J, Kirsener R. 2007. Phatophysiology of acute wound healing. Clinics in Dermatology. 25(1): 9-18.

Mackay D dan Miller AL. 2003. Nutritional support for wound healing. Altern Med Rev. 8(4): 359-377.

Menke NB, Ward KR, Witten TM, Bonchev DG, Diegelmann RF. 2007. Impaired wound healing. Clin Dermatol. 25: 19-25.

Moeljanto RD. 2003. Khasiat & Manfaat Daun Sirih: Obat Mujarab dari Masa ke Masa. Jakarta :Agromedia Pustaka.

Nayak S. 2006. Influence of ethanol extract of Vinca rosea on wound healing in diabetic rats. J of biological Sci. 6(2): 51-55.

Olivia F, Syamsir A, Iwan H. 2004. Seluk Beluk Food Supplement. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Patel S. 2010. Wound infection. Wound Essentials. 5 : 40-47.

Perdanakusuma GS. 2008. Anatomi fisiologi kulit dan penyembuhan. [Artikel]. http://www.surabayaplacticsurgery.blogspot.com/2008/05/.html. [15 sentuhan teknologi budaya. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. 12(1): 13-15.

Sastroamijoyo AS. 1967. Obat Asli Indonesia. PT Dian Rakyat. Hal 524-525. Sedlarik KM. 2004. Wound healing. The self-harm support community.

http://www.recoveryourlife.net/Fun_Stuff/potw/19339.aspx. [15 Februari 2012].

Shetty S dan Vijayalaxmi KK. 2012. Phytochemical investigation of extract/solvent fractions of Piper ningrum linn. seeds and Piper betle linn. leaves. International Journal of Pharma and Bio Sciences. 3(2): 344-349 Stephens P, Wall IB, Wilson MJ, Hill KE, Harding KG, Davies CE, Hill CM,

Thomas DW. 2003. Anaerobic cocci populating the deep tissue of chronic wounds impair cellular wound healing responses in vitro. British Journal of Dermatology. 148(3): 456-466.

Syukur C dan Hernani. 2002. Budidaya Tanaman Obat Komersil. Jakarta: Penebar Swadaya.

Tawi. 2008. Proses Penyembuhan Luka. [Artikel]. http://syehaceh. wordpress.com [5 November 2012].

Tjay TH dan Rahardja K. 2007. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

(31)

20

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Maumere, Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tanggal 1 Mei 1990 dari Ayah Thomas Alfares dan Ibu Martha Loran Retong. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.

Penulis dibesarkan di Maumere dan menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN Inpres Iligetang pada tahun 1996-2002, SMPN 1 Maumere pada tahun 2002-2005, dan melanjutkan pendidikan di SMAK St. Gabriel Maumere pada tahun 2005-2008. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

(32)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Aktivitas yang dilakukan baik oleh hewan maupun manusia seringkali menimbulkan luka pada permukaan kulit. Hal ini dikarenakan kulit merupakan lapisan terluar dari tubuh yang berfungsi sebagai pelindung tubuh. Luka merupakan hilangnya integritas kulit sebagai bagian pelindung utama dari tubuh yang disertai dengan perubahan struktur dan fungsi jaringan normal (Enoch dan John 2008). Kehilangan integritas kulit ini dapat membuka jalan bagi bakteri untuk masuk ke dalam tubuh sehingga memperlambat proses persembuhan luka. Menurut Harahap (2002) salah satu bakteri yang dapat menyebabkan infeksi pada luka adalah bakteri Staphylococcus aureus. Infeksi oleh bakteri yang terjadi pada luka kulit biasanya menimbulkan nanah, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, terjadi peningkatan suhu, dan sakit jika disentuh.

Secara umum luka pada kulit biasanya diberi obat kimia yang mengandung ekstrak plasenta atau antibiotik. Obat untuk persembuhan luka ini masih menjadi pilihan utama di pasaran karena efek penyembuhan yang dapat dirasakan langsung dan mudah diperoleh. Namun harga yang semakin tinggi dengan ukuran yang minimalis sangat memberatkan masyarakat. Saat ini masyarakat dunia khususnya masyarakat Indonesia sudah mulai mengutamakan penggunaan obat secara alami (back to nature). Obat yang berasal dari alam ini diminati karena memiliki harga yang relatif terjangkau dan sedikit menimbulkan efek samping. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki keanekaragaman tanaman. Kardono et al. (2003) menyatakan bahwa Indonesia memiliki 25.000-30.000 jenis tanaman dan sekitar 6.000 diantara jenis tanaman tersebut memiliki potensi untuk dijadikan tanaman obat (herbal medicine). Dengan semakin berkembangnya obat herbal dan ditambah dengan gema back to nature telah meningkatkan popularitas obat herbal.

(33)

2

Daun sirih juga mengandung saponin (Widayat et al. 2008 dalam Wardani 2009) yang memacu pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang berperan dalam proses reepitelisasi. Senyawa saponin juga dapat bekerja sebagai antimikroba dengan merusak membran sitoplasma dan membunuh sel. Berdasarkan pemikiran diatas, maka perlu dilakukan kajian secara ilmiah mengenai efektivitas ekstrak sirih sebagai obat luka infeksi bakteri yang murah dan aman.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara ilmiah efektivitas sirih sebagai obat persembuhan luka infeksi bakteri dengan melihat gambaran makroskopis dan mikroskopis.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa penggunaan ekstrak etanol daun sirih sebagai obat luka infeksi bakteri dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat umum.

TINJAUAN PUSTAKA

Sirih

Sirih merupakan tanaman herbal paranial, berdaun tunggal dengan letak daun alternet, bentuk bervariasi dari bundar telur sampai oval, ujung runcing, pangkal daun berbentuk jantung, dan agak bundar asimetris (Rosman dan Suhirman 2006). Berdasarkan jurnal Adate et al. 2012, tanaman ini termasuk dalam famili Piperaceae dengan superordo Nymphaeiflloraea, ordo Piperales, dan genus Piper. Sirih merupakan tanaman yang dapat dijumpai di daerah Sri Lanka, India, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Kepulauan Timur Afrika.

Gambar 1 Penyebaran sirih di dunia (Kumar et al. 2010)

(34)

2

Daun sirih juga mengandung saponin (Widayat et al. 2008 dalam Wardani 2009) yang memacu pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang berperan dalam proses reepitelisasi. Senyawa saponin juga dapat bekerja sebagai antimikroba dengan merusak membran sitoplasma dan membunuh sel. Berdasarkan pemikiran diatas, maka perlu dilakukan kajian secara ilmiah mengenai efektivitas ekstrak sirih sebagai obat luka infeksi bakteri yang murah dan aman.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara ilmiah efektivitas sirih sebagai obat persembuhan luka infeksi bakteri dengan melihat gambaran makroskopis dan mikroskopis.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa penggunaan ekstrak etanol daun sirih sebagai obat luka infeksi bakteri dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat umum.

TINJAUAN PUSTAKA

Sirih

Sirih merupakan tanaman herbal paranial, berdaun tunggal dengan letak daun alternet, bentuk bervariasi dari bundar telur sampai oval, ujung runcing, pangkal daun berbentuk jantung, dan agak bundar asimetris (Rosman dan Suhirman 2006). Berdasarkan jurnal Adate et al. 2012, tanaman ini termasuk dalam famili Piperaceae dengan superordo Nymphaeiflloraea, ordo Piperales, dan genus Piper. Sirih merupakan tanaman yang dapat dijumpai di daerah Sri Lanka, India, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Kepulauan Timur Afrika.

Gambar 1 Penyebaran sirih di dunia (Kumar et al. 2010)

(35)

3 bentuk bulat, beruas-ruas, beralur-alur, berwarna hijau abu-abu. Letak daun berseling, bentuk bervariasi dari bundar sampai oval, ujung runcing, pangkal berbentuk jantung atau bundar asimetris, tepi rata, permukaan rata, dan pertulangan menyirip. Warna bervariasi dari kuning, hijau sampai hijau tua, dan bau aromatis.

Menurut Kumar et al. (2010) senyawa aktif yang dapat diisolasi dari daun sirih antara lain hidroksikavikol, alipirokatekol, kavibetol, piperbetol, metilpiperbetol, piperol A, dan piperol B. Kandungan senyawa aktif ini mempunyai fungsi sebagai antiinflamatori, antikanker, dan imunomodulatori. Menurut Shetty dan Vijayalaxmi (2012) daun sirih terdiri dari alkaloid, steroid, tanin, fenol, saponin, flavonoid, dan asam amino. Fenol memberikan bau khas daun sirih dan memiliki daya pembunuh bakteri lima kali lipat dari fenol biasa (Moeljanto 2003). Tanin, saponin, dan flavonoid yang terkandung dalam sirih berfungsi sebagai antimikroba dan merangsang pertumbuhan sel-sel baru pada luka.

Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang bersifat polar sehingga mudah larut dalam pelarut polar seperti air, etanol, metanol, butanol, dan aseton. Flavonoid berfungsi sebagai antialergi, antikanker, dan antiinflamasi. Sedangkan tanin merupakan senyawa polifenol dari kelompok flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan kuat, antikanker, dan antiinflamasi. Tanin juga dikenal sebagai zat samak untuk pengawetan kulit, dimana efek tanin yang utama yaitu sebagai astringensia yang banyak digunakan sebagai pengencang kulit dalam kosmetika atau estetika (Olivia et al. 2004). Tanin dalam konsentrasi rendah dapat menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan pada konsentrasi tinggi tanin bekerja sebagai antimikroba dengan cara mengkoagulasi atau menggumpalkan protoplasma kuman karena terbentuk ikatan yang stabil dengan protein kuman.

Sirih juga mengandung 4.2 % minyak atsiri yang terdiri dari hidroksikavikol, kavibetol, estragol, eugenol, metileugenol, karvakrol, terpinen, seskuiterpen, fenilpran, dan tanin (Moeljanto 2003). Minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri antara lain Escherichia coli, Salmonella sp, Staphylococcus aureus, Klebsiella, Pasteurella, dan dapat mematikan Candida albicans (Agusta 2000, Hariana 2007). Selain itu, sirih mengandung saponin (Widayat et al. 2008 dalam Wardani 2009) yang memacu pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang berperan dalam proses persembuhan luka. Saponin juga bersifat sebagai imunostimulator yang menggertak tanggap kebal inang sehingga mempercepat proses kontraksi dan reepitelisasi.

Luka

(36)

4

persembuhan normal dan merupakan suatu keadaan patologis, memerlukan waktu persembuhan yang lama. Penyebab luka kronis adalah infeksi lokal, hipoksia, trauma, benda asing, dan masalah sistemik seperti diabetes melitus, malnutrisi, imunodefisiensi atau obat-obatan (Menke et al. 2007).

Berdasarkan penyebabnya, luka dibagi menjadi luka terbuka dan luka tertutup. Luka terbuka adalah keluarnya darah dari dalam tubuh yang terlihat dengan jelas. Contoh luka terbuka adalah luka gores, laserasi atau luka robek, luka tusuk, dan luka tembak. Luka tertutup adalah keluarnya darah dari sistem peredaran darah tetapi masih berada di dalam tubuh. Contohnya adalah luka memar dan hematom (Alam et al. 2011).

Mekanisme persembuhan luka merupakan proses regenerasi yang tidak hanya terjadi secara lokal tetapi juga dipengaruhi faktor endogen dan faktor eksogen (Sedlarik 2004). Mekanisme persembuhan luka terbagi atas tiga fase yaitu fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase maturasi. Fase inflamasi menyebabkan luka membengkak dan sakit, sehingga gerakan menjadi terbatas. Fase proliferasi membangun kembali struktur dan tahap maturasi memberikan bentuk akhir.

Fase awal adalah fase inflamasi yang dimulai segera setelah cedera dan biasanya berlangsung antara 24 - 48 jam, namun untuk beberapa kasus luka dapat bertahan hingga dua minggu. Pada fase ini terjadi respon vaskular yang terlihat dengan adanya perubahan pada pembuluh darah, perubahan aliran darah, diapedesis dari eritrosit dan respon seluler yang terlihat berupa adanya peningkatan aktivitas dari leukosit. Fase ini juga ditandai dengan adanya vasokonstriksi dan agregasi platelet untuk mendorong pembekuan darah kemudian vasodilatasi dan fagositosis untuk menghasilkan peradangan pada luka (Li et al. 2007). Gejala klinis yang teramati berupa tanda-tanda peradangan yaitu rubor, kalor, tumor, dolor, dan fungsi laesa.

Vasodilatasi mengakibatkan peningkatan aliran darah yang diikuti oleh melambatnya sirkulasi darah. Kejadian ini menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular sehingga keluarnya protein plasma ke jaringan interstitial dan membentuk edema. Vasodilatasi juga menyebabkan terjadinya migrasi netrofil dan monosit ke jaringan luka. Netrofil merupakan pertahanan pertama terhadap infeksi dan memfagositosis debris serta mikroorganisme (Mackay dan Miller 2003). Migrasi netrofil akan berhenti jika tidak terjadi kontaminasi. Jika fase inflamasi berlanjut yang disebabkan oleh hipoksia, infeksi, malnutrisi, penggunaan obat maka monosit akan dikonversi menjadi makrofag yang membunuh bakteri, memfagositosis debris dan menghancurkan netrofil yang masih tersisa. Selain itu, fungsi makrofag juga untuk mensintesis kolagen, pembentukan jaringan granulasi, memproduksi growth factor yang berperan dalam reepitelisasi, dan pembentukan neovaskularisasi atau angiogenesis.

(37)

5 Fase terakhir adalah fase maturasi. Fase ini berlangsung selama tiga minggu sampai dua tahun. Tujuan dari fase ini adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru. Kolagen baru terbentuk dalam fase ini dan terjadi cross-linking kolagen antar molekul. Bekas luka merata dan jaringan bekas luka menjadi seperti aslinya.

Gambar 2 Tahap persembuhan luka (Goldstein et al. 2005)

Ada 2 faktor yang mempengaruhi proses persembuhan luka yaitu faktor lokal dan general. Faktor lokal meliputi suplai pembuluh darah yang kurang, denervasi, hematoma, infeksi, iradiasi, stres mekanik, teknik bedah, irigasi, elektrokoagulasi, suture materials, dressing materials, antibiotik, dan tipe jaringan. Faktor general meliputi usia, anemia, obat-obat anti peradangan, diabetes melitus, hormon, infeksi sistemik, jaundice, penyakit menular, malnutrisi, obesitas, temperatur, trauma, hipovolemia, hipoksia, uremia, vitamin C dan A, serta trace metals (Perdanakusuma 2008).

Infeksi

(38)

6

imunosupresi. Infeksi pada luka dapat disebabkan oleh Streptococcus sp., Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Candida sp., Aspergilus sp., dan Proteus sp. (Collier 2004). Menurut Stephens et al. (2003) bakteri

Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang sering ditemukan pada luka. Bakteri ini diperkirakan hadir dalam jaringan lebih dari 50% pada luka kronis. Efek umum dengan hadirnya bakteri adalah penurunan kemotaksis dan deplesi platelet, fungsi leukosit akan terganggu, peningkatan metabolit vasikonstriksi dapat menyebabkan keadaan hipoksia sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Agustus 2012 di kandang hewan dan Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Peralatan yang digunakan antara lain kandang tikus yang diberi panggung,

elizabeth collar, syringe, balok kayu berukuran 1x1 cm2, dan mikroskop cahaya. Bahan-bahan yang digunakan adalah tikus jantan, ekstrak etanol daun sirih, akuades, eter, ketamin dan xylazine, magnesium sulfat (MgS04), Neutral Buffered Formaldehyde (NBF) 10%, Staphylococcus aureus atcc 6538 105 cfu/ml, metanol, Giemsa, dan obat luka komersil.

Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih jantan strain Sprague-Dawley (SD) sebanyak 9 ekor yang berumur ± 2 bulan dengan bobot badan 150-200 gram.

Ekstraksi Tanaman Obat

Ekstrak daun sirih dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) dan didapatkan ekstrak dengan berat 31 gram dari 1 kg daun sirih kering. Prosedur pembuatan ekstrak yaitu sortasi, pengeringan, pencacahan, ekstraksi menggunakan etanol 70%, dan dievaporasi (BPOM 2005).

(39)

6

imunosupresi. Infeksi pada luka dapat disebabkan oleh Streptococcus sp., Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Candida sp., Aspergilus sp., dan Proteus sp. (Collier 2004). Menurut Stephens et al. (2003) bakteri

Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang sering ditemukan pada luka. Bakteri ini diperkirakan hadir dalam jaringan lebih dari 50% pada luka kronis. Efek umum dengan hadirnya bakteri adalah penurunan kemotaksis dan deplesi platelet, fungsi leukosit akan terganggu, peningkatan metabolit vasikonstriksi dapat menyebabkan keadaan hipoksia sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Agustus 2012 di kandang hewan dan Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Peralatan yang digunakan antara lain kandang tikus yang diberi panggung,

elizabeth collar, syringe, balok kayu berukuran 1x1 cm2, dan mikroskop cahaya. Bahan-bahan yang digunakan adalah tikus jantan, ekstrak etanol daun sirih, akuades, eter, ketamin dan xylazine, magnesium sulfat (MgS04), Neutral Buffered Formaldehyde (NBF) 10%, Staphylococcus aureus atcc 6538 105 cfu/ml, metanol, Giemsa, dan obat luka komersil.

Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih jantan strain Sprague-Dawley (SD) sebanyak 9 ekor yang berumur ± 2 bulan dengan bobot badan 150-200 gram.

Ekstraksi Tanaman Obat

Ekstrak daun sirih dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) dan didapatkan ekstrak dengan berat 31 gram dari 1 kg daun sirih kering. Prosedur pembuatan ekstrak yaitu sortasi, pengeringan, pencacahan, ekstraksi menggunakan etanol 70%, dan dievaporasi (BPOM 2005).

(40)

7 Tikus dipelihara di kandang hewan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Tikus diberi pakan dan minum secara ad libitum dan dilakukan aklimatisasi dengan tujuan untuk menyamaratakan kondisi dari setiap tikus.

Perlukaan pada tikus dilakukan dengan menganastesi tikus menggunakan ketamin dan xylazine secara intraperitoneal. Kemudian rambut di daerah punggung digunting sampai bersih dan dilukai berbentuk kotak berukuran 1x1 cm2 sebanyak 4 luka. Keadaan infeksi luka dilakukan dengan meneteskan bakteri Staphylococcus aureus atcc 6538 sebanyak 0.1 ml pada hari ke 1, ke 4, ke 7, dan ke 11.

Keempat luka diberikan perlakuan berbeda yaitu pemberian ekstrak sirih, pemberian salep komersil, pemberian akuades, dan kontrol. Pemberian ekstrak sirih dilakukan secara topikal dengan cara mengoleskannya menggunakan kapas steril sampai hari ke 14 pasca perlukaan sebanyak 2 kali sehari.

Pembuatan Preparat Sentuh

Gelas objek ditempelkan pada permukaan luka tikus, direndam dalam metanol selama 5 menit kemudian diangkat dan dikeringkan. Preparat dibenamkan dalam larutan Giemsa selama 25 menit, dimasukkan kedalam inkubator 45.7-45.8 oC, dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Pembuatan preparat sentuh dilakukan pada hari ke 3 dan hari ke 10.

Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel luka dilakukan pada hari ke 7 dan ke 14 pasca perlukaan dengan mengambil empat ekor tikus pada pengambilan pertama dan lima ekor tikus pada pengambilan kedua. Tikus dianastesi menggunakan eter dan diinjeksi dengan magnesium sulfat secara intrakardial. Kulit di daerah punggung digunting dan direndam dalam NBF 10%.

Pembuatan Sediaan Histopatologi

Sampel organ yang telah difiksasi mengunakan NBF 10% dipotong dan dimasukkan ke dalam keranjang jaringan kemudian didehidrasi menggunakan etanol bertingkat, dijernihkan dengan xylene, dan dimasukkan ke dalam parafin cair dengan tujuan agar jaringan terisi oleh parafin. Pembuatan blok dilakukan dengan cara membenamkan sample organ ke dalam parafin cair dan didinginkan dengan suhu 5 oC. Blok dipotong setebal ± 3-5 µm menggunakan mikrotom dan ditempelkan pada gelas objek kemudian diwarnai.

(41)

8

carbonate, dan dibilas dengan air mengalir. Selanjutnya preparat dicelupkan ke dalam pewarna Eosin. Preparat kemudian dicelupkan ke dalam etanol bertingkat mulai 70%, 80%, 96%, dan alkohol absolut. Terakhir, preparat dimasukkan dalam empat larutan xylene. Dibiarkan mengering dan ditetesi PermountTM kemudian ditutup dengan cover glass.

Gambar 3 Jadwal penelitian.

Parameter yang Diamati

Pengamatan patologi anatomi yaitu dengan mengukur luas luka pada hari pertama dan hari ke 14 serta melihat keadaaan luka. Pengamatan histopatologi menggunakan metode skoring dengan melihat proses persembuhan yang telah dilewati oleh luka tersebut. Pengamatan preparat sentuh dilakukan dengan melihat keberadaan netrofil.

Analisis Data

Data pengamatan patologi anatomi, histopatologi, dan preparat sentuh dianalisis dengan metode deskriptif semikuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

(42)

8

carbonate, dan dibilas dengan air mengalir. Selanjutnya preparat dicelupkan ke dalam pewarna Eosin. Preparat kemudian dicelupkan ke dalam etanol bertingkat mulai 70%, 80%, 96%, dan alkohol absolut. Terakhir, preparat dimasukkan dalam empat larutan xylene. Dibiarkan mengering dan ditetesi PermountTM kemudian ditutup dengan cover glass.

Gambar 3 Jadwal penelitian.

Parameter yang Diamati

Pengamatan patologi anatomi yaitu dengan mengukur luas luka pada hari pertama dan hari ke 14 serta melihat keadaaan luka. Pengamatan histopatologi menggunakan metode skoring dengan melihat proses persembuhan yang telah dilewati oleh luka tersebut. Pengamatan preparat sentuh dilakukan dengan melihat keberadaan netrofil.

Analisis Data

Data pengamatan patologi anatomi, histopatologi, dan preparat sentuh dianalisis dengan metode deskriptif semikuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

(43)

9

Gambar 4 Kandang tikus berbahan dasar plastik yang diberi panggung dengan ukuran 30x15 cm (gambar A dan B) dan tikus yang diberi elizabeth collar untuk menghindari tikus menjilati luka (gambar C dan D).

Penelitian aktivitas ekstrak daun sirih dalam proses persembuhan luka infeksi bakteri ini menggunakan metode ekstraksi maserasi dengan pertimbangan cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana, mudah diusahakan, dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Pelarut yang digunakan adalah etanol 70% karena kapang dan kuman sulit tumbuh dan lebih selektif. Penggunaan pelarut etanol juga bertujuan agar golongan flavonoid, saponin, alkaloid, dan tanin yang terkandung dalam daun sirih terikat dengan gula membentuk glikosida sehingga larut dalam pelarut polar seperti etanol (Sastroamijoyo 1967).

(44)

10

Menurut Reddy et al. (2002) persembuhan luka merupakan mekanisme kompleks yang melibatkan proses peradangan, koagulasi, pembentukan jaringan granulasi, pembentukan matriks, remodelling jaringan ikat, dan kolagenasi. Proses ini terdiri dari tiga tahap yaitu inflamasi, proliferasi, dan maturasi. Pada tahap inflamasi lesio yang diamati terdiri dari adanya pendarahan dan edema, sel radang, terdapat keropeng dan pusat netrofil, serta sedikit fibroblas. Pada tahap proliferasi parameter yang diamati adalah reepitelisasi mulai terjadi, terdapat fibroblas, terjadi kontraksi pada luka, dan neovaskularisasi. Sedangkan pada tahap maturasi parameter yang diamati adalah reepitelisasi terjadi sempurna, terbentuk folikel rambut dan kelenjar sebaceous, dan kontraksi luka bagus.

Hasil Pengamatan Luka pada Minggu Pertama

Pada minggu pertama dilakukan pengamatan pada tiga parameter yaitu pengamatan patologi anatomi, keberadaan netrofil pada luka, dan gambaran mikroskopis yang diamati menggunakan mikroskop cahaya. Hasil pengamatan gambaran patologi anatomi, keberadaan netrofil, dan gambaran mikroskopis pada minggu pertama disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Hasil evaluasi patologi anatomi, gambaran mikroskopis, dan keberadaan netrofil luka tikus pada minggu pertama.

Perlakuan Patologi Anatomi Netrofil Gambaran Mikroskopis Skoring

Luas (mm2)

Kering Basah Inflamasi Proliferasi Maturasi

Kontrol 100±0 0/9 9/9 0/9 33.33% 50% 16.67% 1.83

Sirih 100±0 0/9 9/9 5/9 40% 40% 20% 1.8

Salep 100±0 0/9 9/9 4/9 75% 0 25% 1.5

Akuades 100±0 0/9 9/9 0/9 0 50% 50% 2.5 Keterangan: Angka pembilang menunjukkan jumlah sampel yang positif (+). Angka penyebut

menunjukkan jumlah luka yang diamati. Keberadaan netrofil diamati pada hari ke-3. Luas luka diamati pada hari pertama. Gambaran mikroskopis dan keadaan luka diamati pada hari ke 7. Pada skoring mikroskopis angka 0-0.5 menunjukkan luka belum sembuh, 0.6-1.5 menunjukkan luka inflamasi, 1.6-2.5 menunjukkan luka proliferasi, dan 2.6-3 menunjukkan luka maturasi.

(45)

11

Gambar 5 Diagram persembuhan luka tikus pada minggu pertama

Hasil skoring gambaran histopatologi luka kulit tikus pada minggu pertama menunjukkan bahwa luka yang diberi akuades memperlihatkan persembuhan luka yang lebih baik yaitu telah mencapai tahap proliferasi dengan rata-rata skoring histopatologi yaitu 2.5, diikuti oleh kontrol dan ekstrak sirih yang juga berada pada tahap proliferasi dengan rata-rata skoring histopatologi yaitu 1.83 dan 1.8 serta salep yang masih pada tahap inflamasi dengan rata-rata skoring histopatologi yaitu 1.5. Tahap proliferasi terjadi pada kelompok luka akuades diduga disebabkan oleh penetesan akuades pada luka dapat membersihkan bakteri yang ada pada luka sehingga tahap persembuhan luka dapat berjalan dengan normal. Luka yang diberi akuades juga menyebabkan luka dalam keadaan lembab sehingga ujung epitel yang terkoyak luruh secara langsung dapat difagosit oleh netrofil.

Luka yang diberi ekstrak sirih juga sudah mencapai awal tahap proliferasi. Hal ini disebabkan oleh kandungan flavonoid, saponin, alkaloid, dan tanin yang berfungsi sebagai antimikroba dan antiinflamasi sehingga tahap inflamasi terjadi dalam waktu yang singkat (Shetty dan Vijayalaxmi 2012). Luka yang diberi salep mengalami tahap inflamasi yang lebih lama dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan oleh kandungan kloramfenikol dalam salep merupakan antibiotik yang berfungsi sebagai bakteristatik (Tjay dan Rahardja 2007) sehingga meningkatkan tahap inflamasi untuk melawan bakteri. Selain itu, persembuhan luka dapat terjadi karena adanya faktor pendukung yang mempengaruhi proses persembuhan luka yaitu lingkungan yang bersih, nutrisi, usia, dan imunitas (Perdanakusuma 2008).

Pada gambaran histopatologi dapat terlihat bahwa luka kelompok kontrol, akuades, dan ekstrak sirih menunjukkan kualitas yang hampir sama yaitu telah mencapai tahap proliferasi yang ditandai dengan reepitelisasi yang mulai terjadi, terdapat fibroblas, dan adanya neovaskularisasi yang merupakan ciri khas pada tahap proliferasi. Neovaskularisasi merupakan pembentukan buluh darah yang baru. Keberadaan neovaskularisasi pada luka memiliki peranan yang penting untuk memberikan asupan nutrisi dan oksigen bagi jaringan yang sedang beregenerasi. Tunas-tunas pembuluh darah ini muncul disebabkan oleh aktivitas

(46)

12

mitosis pada sel-sel endotel pembuluh darah tertua diikuti oleh migrasi kearah luka (Spector dan Spector 1993). Nayak (2006) menyatakan persembuhan luka tergantung pada sirkulasi darah di daerah yang mengalami luka serta pembentukan dan deposisi kolagen. Jumlah buluh darah yang baru dipengaruhi oleh adanya makrofag yang berfungsi mensintesis faktor angiogenesis.

Gambar 6 Gambaran mikroskopis luka tikus pada minggu pertama. (A) tahap proliferasi pada luka kontrol, (B) tahap proliferasi pada luka akuades, (C) tahap proliferasi pada luka sirih, (D) tahap inflamasi pada luka salep. Kotak menunjukkan pembentukan buluh darah baru dan tanda panah menunjukkan kumpulan netrofil.

(47)

13 Sel limfosit melepaskan limfokin yang berfungsi untuk merangsang agregasi makrofag dan juga sebagai chemoattractant bagi makrofag.

Gambar 7 Gambaran keberadaan netrofil pada luka. (A) runtuhan epitel pada luka kontrol, (B)runtuhan epitel pada luka akuades, (C) netrofil pada preparat sentuh luka sirih, (D) netrofil pada preparat sentuh luka salep. Lingkaran menunjukkan proses fagositosit dan koloni bakteri.

Gambar

Gambar 1 Penyebaran sirih di dunia
Gambar 2 Tahap persembuhan luka
Gambar 5 Diagram persembuhan luka tikus pada minggu pertama
Gambar 8 Diagram persembuhan luka tikus pada minggu kedua
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi melalui

Kemudian dari obeservasi yang peneliti lakukan masih adanya pegawai yang tidak berada ditempatnya bekerja saat jam kerja, selanjutnya dari hasil wawancara yang dilakukan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh kualitas sumber daya manusia, komitmen organisasi, dan motivasi kerja dengan tindakan supervisi sebagai variabel moderating

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada seluruh tahapan penelitian yang dilakukan di kelas VII SMP Negeri 32 Bandung, maka diperoleh kesimpulan

1) Kemampuan peserta didik dalam menerima materi tidak sama. 2) Setiap kelas mempunyai sifat yang berbeda. 3) Ada beberapa kelas yang ramai pada saat pelajaran berlangsung. 4) Pada

Hasil penelitian adalah: (1) data peningkatan minat baca IPS siswa melalui pembelajaran menggunakan kartu kwartet; (2) daftar nilai hasil belajar siswa yang diperoleh

Setelah dilakukan tahap evaluasi terhadap enam ahli guna mengetahui tingkat kelayakan permainan Mathematic Tower untuk digunakan dalam pembelajaran kognitif

Hasil kajian ini yang menunjukkan terdapat perkaitan yang signifikan antara amalan kerohanian dengan pencapaian akademik turut dapat dibuktikan dalam kajian lain