• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

I. TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Penggunaan/Penutupan Lahan

Lahan merupakan lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut berpengaruh pada penggunaannya (Rustiadi et al. 2010). Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut diantarannya adalah aktivitas flora, fauna, dan manusia baik di masa lampau maupun saat sekarang.

Pengertian penggunaan lahan menurut Arsyad (2006) merupakan setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spiritual. Terdapat dua golongan besar penggunaan lahan yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan yang optimal memerlukan keterkaitan dengan karakteristik dan kualitas lahannya. Hal tersebut disebabkan adanya keterbatasan dalam penggunaan lahan yang sesuai dengan karakteristik dan kualitas lahannya bila dihubungkan dengan pemanfaatan lahan secara berkesinambungan. Pengertian penutupan lahan (land cover) merupakan kenampakan visual yang dapat dilihat tanpa memperhatikan pemanfaatan untuk manusia.

Menurut Sitorus (2004), secara umum penggunaan lahan digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu: penggunaan lahan pedesaan, secara umum dititik beratkan pada produksi pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan kehutanan, dan penggunaan lahan perkotaan, secara umum dititik beratkan untuk tempat tinggal, pemusatan ekonomi, layanan jasa, dan pemerintahan. Berdasarkan Permen RI No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) disebutkan bahwa kawasan pedesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Hasil penelitian oleh Deni (2004) menyebutkan bahwa telah terjadi peningkatan penggunaan lahan di Jabodetabek pada tahun 1992 hingga 2001 sebesar 10,05% untuk permukiman. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan terutama untuk permukiman akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan penduduk, peningkatan jumlah fasilitas, dan seiring dengan perkembangan wilayah.

Penggunaan lahan dari luasan lahan yang satu berbeda dengan luasan lahan yang lain. Terdapat beberapa jenis penggunaan lahan yang dapat dianalisis dalam suatu lahan tertentu. Jenis-jenis penggunaan lahan pada umumnya disesuaikan dengan kemampuan dan kesesuaian lahan masing-masing, kesuburan tanah, dan dilihat pada topografi yang ada.

Penggunaan lahan memerlukan mekanisme pemantauan yang baik mengingat fungsi dan peranan yang sangat penting. Terdapat dua mekanisme utama dalam pemantauan tersebut, diantaranya adalah pengamatan lapangan dan

pemanfaatan data penginderaan jauh. Berdasakan literatur yang ada, telah banyak digunakan data-data penginderaan jauh untuk tujuan pemetaan dan pemantauan penggunaan lahan (Anjani 2010).

1.2. Tata Ruang dan Penataan Ruang

Berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 tata ruang merupakan wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarki memiliki hubungan fungsional. Sedangkan Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.

Penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (UU RI No. 26 tahun 2007). Menurut Rustiadi et al. (2011) penataan ruang merupakan upaya aktif manusia untuk mengubah pola dan struktur pemanfaatan ruang dari satu keseimbangan menuju kepada keseimbangan yang baru atau yang lebih baik. Setiap penataan ruang tidak terlepas dari adanya rencana tata ruang wilayah. Perencanaan tata ruang dibedakan atas hirarki rencana yang meliputi: Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan Kota, serta rencana- rencana yang lebih detil lagi. Selain Rencana Tata Ruang tersebut, terdapat lagi Rencana Tata Ruang untuk kawasan khusus, diantaranya adalah penataan ruang kawasan Jabodetabekpunjur. Pemanfaatan ruang merupakan wujud dari operasionalisasi Rencana Tata Ruang atas pelaksanaan pembangunan. Pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban tehadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW yang ada.

Rencana Tata Ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan secara seimbang. Interaksi tersebut bertujuan untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (Algamar 2003).

Pemanfaatan ruang merupakan realisasi dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disusun. Namun, seiring dengan perkembangan wilayah yang semakin pesat, kompleksitas permasalahan tentang penataan ruang semakin meningkat yang disebabkan karena penggunaan dan pemanfaatan lahan yang menyimpang dari RTRW. Hal ini dapat dikatakan bahwa terjadi ketimpangan antara penggunaan lahan aktual dengan RTRW yang telah ditetapkan. Ketimpangan tersebut pun dapat dikatakan inkonsistensi penggunaan lahan dengan RTRW. Konsistensi penggunaan lahan dapat dilihat dari kesesuaian antara penggunaan atau pemanfaatan ruang terhadap RTRW. Analisis inkonsistensi penggunaan lahan terhadap RTRW bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan lahan aktual sesuai dengan RTRW ataukah malah sebaliknya tidak sesuai (Afifah 2010).

Penelitian yang telah dilakukan oleh Deni (2004) menunjukkan bahwa pada periode tahun 1992 hingga 2001 di Jabodetabek telah terjadi pengurangan luasan kawasan lindung sebesar 16,00%. Hal lain yang terjadi yaitu semakin

luasnya alokasi kawasan lindung yang telah dirambah oleh masyarakat sehingga kawasan lindung Jabodetabek hanya tinggal 0,60% dibandingkan dengan total wilayah Jabodetabek (Panuju 2004). Kejadian demikian menunjukkan bahwa penggunaan lahan aktual tidak konsisten terhadap Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan yang telah ditetapkan. Hal ini jika dibiarkan terus menerus akan dapat mengancam keberlanjutan dari wilayah Jabodetabek sendiri.

Terdapat beberapa sasaran penyelenggaraan penataan ruang kawasan Jabodetabekpunjur yang tercantum dalam Peraturan Presiden RI No. 54 tahun 2008 pada bab I pasal 2 tentang penataan ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, diantaranya adalah (1) terwujudnya kerjasama penataan ruang antar pemerintah kabupaten dan kota dalam kawasan Bopunjur, (2) terwujudnya peningkatan fungsi lindung terhadap tanah, air, udara, flora, dan fauna dengan ketentuan-ketentuan tertentu, (3) terciptanya optimalisasi fungsi budidaya, dan yang (4) adalah terciptanya keseimbangan antara fungsi budidaya dan lindung.

1.3. Kemampuan Lahan

Evaluasi lahan adalah proses dalam menduga potensi lahan untuk penggunaan tertentu, baik untuk pertanian maupun untuk nonpertanian. Potensi suatu wilayah untuk suatu pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim, tanah, terrain yang terdiri dari lereng, topografi, batuan di permukaan dan di dalam penampang tanah serta singkapan batuan dan hidrologi, serta persyaratan penggunaan lahan dan persyaratan tumbuh lainnya.

Menurut Rustiadi et al. (2010) terdapat dua metode yang dikenal dalam penilaian suatu lahan yaitu evaluasi kemampuan lahan dan evaluasi kesesuaian lahan. Evaluasi kemampuan lahan merupakan evaluasi potensi suatu lahan yang didasarkan atas kecocokkan lahan untuk penggunaan secara umum misalnya daerah pertanian, penggembalaan, hutan, dan cagar alam. Evaluasi kemampuan lahan ini menjelaskan bahwa lahan yang mempunyai kemampuan lahan tinggi akan mempunyai pilihan penggunaan yang lebih banyak dan baik untuk pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya. Lahan dengan kemampuan yang tinggi bahkan dapat juga digunakan untuk keperluan non pertanian seperti permukiman, industri dan lain-lain. Sebaliknya lahan dengan kemampuan rendah mengindikasikan bahwa lahan tersebut mempunyai hambatan yang lebih banyak. Produk yang diharapkan dari lahan yang berkemampuan rendah adalah jasa lingkungan, misalnya lahan tersebut digunakan sebagai daerah perlindungan atau kawasan lindung.

Menurut Sitorus (1986) klasifikasi kemampuan lahan merupakan pengelompokan tanah kedalam satuan-satuan khusus menurut kemampuannya untuk penggunaan intensif dan perlakuan yang diperlukan untuk dapat digunakan secara terus menerus maupun berkelanjutan. Klasifikasi penggunaan lahan ini menetapkan jenis penggunaan lahan yang sesuai dan jenis perlakuan yang diperlukan untuk dapat digunakan bagi produksi khususnya tanaman secara lestari.

Terdapat beberapa keuntungan yang didapatkan dari evaluasi kemampuan lahan ini sehingga evaluasi kemampuan lahan dapat juga digunakan dalam

penilaian permulaan secara umum terhadap sumberdaya lahan di daerah-daerah yang belum berkembang yaitu dengan alasan-alasan sebagai berikut (Sitorus 1985):

1. Sistem ini didasarkan pada evaluasi dari keadaan dan tingkat penghambat sifat-sifat fisik, maka sistem ini berguna untuk penilaian obyektif, penilaian perbandingan, dan menghindarkan bias pengaruh subyektif bagi wilayah yang sedang diklasifikasaikan.

2. Sistem ini hampir keseluruhan didasarkan pada sifat-sifat fisik lahan, dan faktor ekonomis tidak dipertimbangkan kecuali asumsi untuk tindakan pengelolaan tertentu yang digunakan.

3. Sistem tersebut menunjukkan macam penggunaan lahan yang sesuai untuk lahan dengan faktor-faktor penghambat tertentu, sekaligus dengan tindakan pengelolaan yang dibutuhkan untuk dapat mengatasi faktor penghambat tersebut.

Menurut Arsyad (2006) klasifikasi kemampuan lahan terbagi ke dalam tiga kategori yang digunakan yaitu kelas, sub kelas, dan satuan kemampuan (capability unit). Kelas merupakan tingkat yang tertinggi dan bersifat luas dalam struktur klasifikasi. Pengelompokan sub kelas didasarkan atas dasar jenis utama faktor penghambat atau ancaman yang dikenal yaitu ancaman erosi, kelebihan air, pembatas perkembangan akar tanaman, dan pembatas iklim. Pengelompokan di dalam satuan kemampuan yaitu pengelompokan tanah-tanah yang mempunyai keragaan dan persyaratan yang sama terhadap sistem pengelolaan yang sama bagi usaha tani tanaman pertanian pada umumnya atau tanaman rumput untuk makanan ternak atau yang lainnya.

Kelas kemampuan lahan dibagi menjadi 8 kelas yaitu dari kelas I sampai pada kelas VIII (Tabel 1). Kelas I samapai kelas IV adalah kelas yang dapat ditanamai (digarap), sedangkan kelas V sampai kelas VIII tidak dapat ditanami. Uraian tentang kelas kesesuaian lahan dapat diterangkan sebagai berikut:

Kelas I

Kelas I mempunyai sedikit penghambat yang membatasi penggunaannya. Kelas ini sesuai untuk segala macam penggunaan pertanian. Tanah pada kelas ini tidak mempunyai penghambat ataupun ancaman kerusakan yang berarti dan cocok untuk usaha tani yang intensif.

Kelas II

Tanah pada kelas II mempunyai sedikit penghambat yang dapat mengurangi pilihan penggunaannya atau membutuhkan tindakan pengaawetan yang sedang. Tanah pada kelas II ini membutuhkan pengelolaan tanah secara hati- hati. Di dalam penggunaannya diperlukan tindakan-tindakan pengawetan yang ringan seperti pengolahan tanah menurut kontur.

Kelas III

Tanah pada lahan kelas III ini mempunyai lebih banyak penghambat dari tanah di lahan kelas II, dan bila digunakan untuk tanaman pertanian memerlukan tindakan pengawetan khusus, yang umumnya lebih sulit baik dalam pelaksanaan maupun pemeliharaannya. Apabila lahan ini diusahakan untuk pertanian membutuhkan pengawetan khusus seperti perbaikan drainase, pembuatan teras dll.

Kelas IV

Tanah pada lahan kelas IV ini mempunyai lebih banyak penghambat yang lebih besar dibandingkan dengan lahan kelas III sehingga pemilihan jenis

penggunaan atau jenis tanaman juga lebih terbatas. Tanah pada lahan kelas IV ini dapat digunakan untuk berbagai jenis penggunaan pertanian dengan ancaman dan bahaya kerusakan yang lebih besar dibandingkan lahan kelas III. Apabila lahan ini diusahakan maka dibutuhkan tindakan pengelolaan khusus, yang relatif lebih sulit baik dalam pelaksanaan maupun dalam pemeliharaannya dibandingkan dengan kelas-kelas sebelumnya.

Kelas V

Tanah pada kelas V ini tidak sesuai untuk ditanami dengan tanaman semusim, tetapi lebih sesuai untuk ditanami dengan vegetasi permanen seperti makanan ternak atau dihutankan. Tanah pada kelas ini terletak pada tempat yang hampir datar, basah atau tergenang air dan terlalu banyak batu di atas permukaan tanah.

Kelas VI

Tanah pada lahan kelas VI ini tidak sesuai untuk digarap bagi usaha tani semusim. tetapi sesuai untuk vegetasi permanen yang dapat digunakan sebagai makanan ternak/padang rumput atau dihutankan dengan penghambat yang sedang. Tanah ini mempunyai lereng yang curam sehingga mudah tererosi, mempunyai solum yang sangat dangkal. Jika digunakan untuk tanaman semusim diperlukan tindakan pengawetan khusus seperti pembuatan teras bangku, pengolahan menurut kontur dan sebagainya.

Kelas VII

Tanah pada kelas VII ini tidak sesuai untuk digarap bagi usaha tani tanaman semusim, dan sebaiknya digunakan untuk penanaman dengan vegetasi permanen seperti padang rumput atau hutan yang disertai dengan tindakan pengelolaan yang tepat dan lebih intensif dari yang diperlukan pada lahan kelas VI.

Kelas VIII

Tanah pada lahan kelas VIII tidak sesuai untuk tanaman semusim dan usaha produksi pertanian lainnya dan harus dibiarkan pada keadaan alami di bawah vegetasi alami. Tanah pada lahan ini dapat digunakan untuk cagar alami, hutan lindung, atau rekreasi.

Berdasarkan UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terdapat pada bab I pasal 1, pengertian daya dukung lingkungan merupakan kemampuan lingkungan hidup dalam mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lainnya, dan keseimbangan antar keduanya. Daya dukung lahan tergantung pada presentasi lahan yang dapat digunakan untuk penggunaan yang berkelanjutan dan lestari. Penghitungan daya dukung lahan yang didasarkan pada kemampuan lahan ini dapat ditentukan apakah penggunaan suatu lahan sudah melampaui daya dukungnya atau belum.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi daya dukung lahan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hadi (2010) di Desa Ciaruteun Ilir, antara lain adalah (1) kemampuan lahan dan penggunaan lahan, (2) degradasi lahan, (3) keterbatasan lahan dan kepadatan penduduk yang tidak dapat diatasi, (4) perilaku negatif masyarakat. Penggunaan suatu lahan seharusnya sesuai dengan kemampuan lahan atau daya dukungnya. Pemanfaatan lahan yang baik memerlukan suatu perencanaan yang baik pula. Perencanaan penggunaan ruang yang baik adalah perencanaan yang berbasis pada kemampuan lahan yaitu berbasis pada daya dukung lahan (Rustiadi et al. 2010).

Tabel 1. Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan

No Faktor Penghambat Kelas Kemampuan Lahan

I II III IV V VI VII VIII

1 Tekstur Tanah (t)

Lapisan Atas (40 cm) h-s h-s h-ak h-ak (*) h-ak h-ak K

2 Lereng Permukaan (%) 0-3 3-8 8-15 15-30 0-3 30-45 45-65 >65 3 Drainase d1 d2 d3 d4 d5 (**) (**) d0 4 Kedalaman Efektif (cm) >90 90-50 50-25 <25 (*) (*) (*) (*) 5 Keadaan Erosi e0 e1 e2 e3 (**) e4 e5 (*) 6

Kepekaan Erosi KE1/KE2 KE3 KE4/KE5 KE6 (*) (*) (*) (*)

7 Kerikil/batuan

(% Volume) 0-15 0-15 15-50 50-90 >90 (*) (*) >90

8 Banjir O0 O1 O2 O3 O4 (**) (**) (*)

Keterangan :

(*) : dapat mempunyai sembarang sifat faktor penghambat (**) : tidak berlaku

Tekstur : ah = agak halus; h = halus; ak = agak kasar; k = kasar; s = sedang

Erosi : e0 = tidak ada; e1 = ringan; e2 = sedang; e3 = agak berat; e4 = berat; e5 = sangat berat

Drainase : d0 = berlebih; d1 = baik; d2 = agak baik; d3 = agak buruk; d4= buruk; d5 = sangat buruk

Kepekaan Erosi

: KE1= sangat rendah; KE2 = rendah; KE3 = sedang; KE4 = agak tinggi; KE5 = tinggi; KE6 = sangat rendah

Sumber: Konservasi Tanah dan Air (Arsyad 2006).

1.4. Kawasan Jabodetabek

Sebagian besar wilayah Jabodetabek terdiri dari 1.160 desa (tanpa wilayah Kepulauan Seribu) dan dibatasi oleh lima Derah Aliran Sungai (DAS). Batas- batas wilayahnya adalah sebagai berikut:

 Sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa

 Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur (Provinsi Jawa Barat)

 Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Rangkas bitung, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Serang (Provinsi Banten)

 Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta (Provinsi Jawa Barat)

Wilayah Jabodetabek terbagi menjadi kategori bentuk lahan yang disesuaikan dengan kondisi ekosistemnya. Bentuk lahan tersebut adalah kawasan pesisir pantai di bagian utara, kawasan daratan di bagian tengah, dan kawasan perbukitan di bagian selatan. Keragaman jenis tanah yang berbeda-beda terdapat di Jabodetabek. Keragaman ini dipengaruhi banyak faktor diantaranya adalah keragaman lereng, faktor batuan induk, dan faktor iklim. Pada bagian daratan jenis tanah didominasi oleh asosiasi latosol merah dan latosol coklat kemerahan. Jenis penggunaan lahan yang ada di Jabodetabek terdiri dari lahan berpenggunaan badan air, ruang terbangun, hutan, kebun campuran, ladang/upland/bareland, rumput, sawah tergenang, dan sawah tidak tergenang, semak, dan tambak. Jenis penggunaan lahan yang paling dominan adalah lahan untuk ruang terbangun dengan total luas lahan 156.774,0 Ha (Septiani 2009).

Peningkatan jumlah penduduk yang terus menerus menyebabkan banyaknya konversi lahan yang dilakukan baik oleh masyarakat maupun oleh aparat pemerintahan. Konversi lahan pertanian terbesar di kawasan Jabodetabek adalah wilayah Tangerang dan Bekasi yang justru merupakan wilayah dengan infrastruktur pertanian terbaik di Indonesia. Konversi tersebut semakin tahun semakin meningkat (Panuju 2004).

Pertumbuhan lahan terbangun di Jabodetabek yang tidak terkendali mengkonversi kawasan pertanian dan kawasan lindung sehingga membuat daya dukung kawasan menurun. Hal itu antara lain terlihat dari luasan ancaman banjir di kawasan Jabodetabek yang terus naik. Pada tahun 2000, sebanyak102 desa di Jabodetabek yang terkena banjir, tetapi tahun 2008 sudah mencapai 644 desa. Selain itu, penyediaan infrastruktur juga tidak efisien sehingga menimbulkan kemacetan dan kekumuhan yang semakin parah setiap tahunnya (http://nasional.kompas.com).

Beberapa permasalahan yang terjadi di kawasan Jabodetabek diantaranya adalah tingkat pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, degradasi lahan, perkembangan infrastruktur, limbah dan terjadinya land subsidance.

Permasalahan-permasalah ini banyak terjadi disebabkan oleh penyimpangan- penyimpangan terhadap Rencana Tata Ruang. Hal ini menyebabkan terlampauinya daya dukung lingkungan sehingga banyak permasalahan yang bermunculan.

Pola pemanfaatan ruang Jabodetabek mengalami dinamika yang cukup pesat seiring dengan dinamika penduduk dan aktifitas masyarakat di wilayah tersebut. Dalam hal ini lahan pertanian selalu menjadi lahan yang paling banyak terkonversi. Kajian tentang penutupan lahan di Jabodetabek data tahun 1972-2001 dapat dilihat bahwa kebutuhan ruang untuk sarana permukiman dan fasilitas meningkat cukup pesat (Panuju 2004).

Terjadinya inkonsistensi output Rencana Tata Ruang antar wilayah di Jabodetabekpunjur sudah tidak dapat dihindari lagi. Tidak hanya output yang dihasilkan yang cenderung tidak konsisten, tetapi terminologi penggunaan lahan di setiap wilayah yang tentunya berimplikasi pada output rencana detil pun dapat berbeda-beda antar wilayah. Permasalahan yang paling utama adalah penyimpangan yang terbesar terjadi pada kawasan lindung yang seharusnya dijaga oleh masyarakat dan pemerintah, namun malah sebaliknya.

Penelitian yang dilakukan oleh Panuju (2004) menunjukkan bahwa jumlah penduduk Botabek tahun 1990 telah melampaui jumlah penduduk Jakarta. Dengan data penduduk Jabodetabek tahun 1990 sampai tahun 2000 pertumbuhan penduduk Jakarta dan Bodetabek akan mengikuti persamaan saturation. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk Jakarta telah mencapai titik jenuh. Keadaan tersebut merupakan salah satu hal dari terlamapauinya daya dukung lingkungan yang terdapat di kawasan Jabodetabek tersebut.

1.5. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Dalam cakupan yang lebih luas, Sistem Informasi Geografi (SIG) diartikan sebagai suatu sistem yang berorientasi operasi secara manual, yang berkaitan dengan operasi pengumpulan, penyimpanan, dan manipulasi data yang bereferensi geografi secara konvensional. Perkembangan sistem ini telah berkembang dalam

dua dekade terakhir ini. Pada saat sekarang ini, SIG sering diterapkan untuk teknologi informasi spasial atau geografi yang berorientasi pada penggunaan teknologi komputer (Barus dan Wiradisastra 2000).

Terdapat empat komponen utama dalam Sistem Informasi Geografi (SIG) yaitu: perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen), dan pemakai. Komponen perangkat keras SIG terdiri dari tiga bagian utama yaitu (a) peralatan pemasukan data, (b) peralatan penyimpanan dan pengolahan data dan (c) peralatan untuk mencetak hasil. Komponen perangkat lunak sudah banyak tersedia di pasaran dan bervariasi. Pemilihan komponen perangkat lunak untuk SIG ini ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya adalah bentuk data dan sumbernya, serta kemampuan analisis data yang diinginkan. Komponen yang ketiga dan keempat yaitu sulit dipisahkan antara pengelola dan pemakai. Sistem Informasi Geografi banyak dikembangkan langsung oleh pengguna yang disesuaikan dengan kebutuhan penerapan teknologi yang cepat berkembang (Barus dan Wiradisastra 2000).

II.

METODOLOGI

2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 hingga bulan September 2012 dengan cakupan wilayah Jabodetabek yang terdiri dari delapan wilayah administrasi. Analisis data dilakukan di Laboratorium Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB. Kegiatan penelitian meliputi kegiatan persiapan, pengolahan data spasial, pengecekan lapang, dan analisis data serta penyusunan laporan akhir.

2.2. Data, Sumber Data, dan Alat

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dan data primer. Data sekunder yang digunakan terdiri dari peta administrasi, peta penggunaan lahan Jabodetabek tahun 2010, peta tanah, Peta land system lembar Jakarta, dan peta Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabek serta data penunjang lainnya. Data primer diperoleh dari hasil cek lapang.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari komputer dengan perangkat lunak (software) data spasial ArcView GIS, Microsoft Office Excel, dan

Microsoft Office Word, serta GPS dan kamera digital. Jenis data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian disajikan dalam Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Jenis dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian

No. Jenis Data Ekstraksi Data Sumber Data

1 Peta Penggunaan Lahan Jabodetabek Tahun 2010, Skala 1:100.000

- Pusat Pengkajian Perencanaan

Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB 2 Peta Tanah Semidetil

Jabodetabek, skala 1:50.000

Data digeneralisasiakan informasinya, misalnya macam tanah menjadi jenis tanah

Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Sumberdaya

Lahan (BBSDLP)

3 Peta Land System with Land

Suitability and

Environmental Hazard, Lembar : Jakarta, Skala 1:250.000

Peta dikombinasikan

dengan data lain seperti

data SRTM (peta

kontur) untuk proses pendetilan

Pusat Pengkajian Perencanaan

Pengembangan Wilayah

(P4W) LPPM IPB

4 Peta Rencana Tata Ruang

(RTR) Kawasan Jabodetabekpunjur Tahun 2008, Skala 1:150.000

Data digeneralisasikan Peraturan Presiden RI No.

54/2008

5 Peta Administrasi Jabodetabek

- Pusat Pengkajian Perencanaan

Pengembangan Wilayah

2.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahap. Tahap-tahap dalam

Dokumen terkait