• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

2 TINJAUAN PUSTAKA

Rumah Potong Hewan (RPH)

Keputusan Menteri Pertanian Nomor13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang persyaratan rumah potong hewan ruminansia dan penanganan daging (meat cutting plant) telah menetapkan persaratan teknis RPH. RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan:

1. Pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama).

2. Tempat melaksanakan pemeriksaan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection), pemeriksaan karkas dan jeroan (post-mortem inspection) untuk mencegah penularan penyakit zoonosis ke manusia.

3. Tempat pemantuan survailens penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis daerah asal hewan.

Selain itu, RPH harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

a. Berlokasi yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran lingkungan serta mudah dicapai oleh kendaraan.

b. Komplek RPH harus dipagar yang berfungsi untuk memudahkan penjagaan keamanaan.

c. Memiliki ruangan yang digunakan sebagai tempat penyembelihan, dinding dan lantai kedap air, ventillasi yang cukup.

d. Mempunyai perlengkapan yang memadai.

e. Pekerja berpengalaman dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner

f. Bangunan utama RPH, kandang dan tempat penyimpanan alat-alat untuk penyimpanan babi harus terpisah dengan alat dan tempat pemotongan sapi, kerbau, dan kambing

Manfaat Penelitian

Hasil evaluasi ini diharapkan dapat memberikan gambaran kualitas dan keamanan daging kambing di kota Jambi, serta dapat memberikan masukan tentang cara menghasilkan daging yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal) sesuai dengan SNI.

Hipotesis Penelitian

Tempat Pemotongan Kambing di kota Jambi belum sepenuhnya menerapkan Good Slaughtering Practices (GSP) dan Sistem Jaminan Halal (SJH). Kontaminasi mikroba, logam berat dan residu pestisida organofosfot terhadap daging kambing yang berasal dari Tempat Pemotongan Kambing kota Jambi berada diatas batas maksimum yang ditetapkan SNI.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Rumah Potong Hewan (RPH)

Keputusan Menteri Pertanian Nomor13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang persyaratan rumah potong hewan ruminansia dan penanganan daging (meat cutting plant) telah menetapkan persaratan teknis RPH. RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan:

1. Pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama).

2. Tempat melaksanakan pemeriksaan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection), pemeriksaan karkas dan jeroan (post-mortem inspection) untuk mencegah penularan penyakit zoonosis ke manusia.

3. Tempat pemantuan survailens penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis daerah asal hewan.

Selain itu, RPH harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

a. Berlokasi yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran lingkungan serta mudah dicapai oleh kendaraan.

b. Komplek RPH harus dipagar yang berfungsi untuk memudahkan penjagaan keamanaan.

c. Memiliki ruangan yang digunakan sebagai tempat penyembelihan, dinding dan lantai kedap air, ventillasi yang cukup.

d. Mempunyai perlengkapan yang memadai.

e. Pekerja berpengalaman dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner

f. Bangunan utama RPH, kandang dan tempat penyimpanan alat-alat untuk penyimpanan babi harus terpisah dengan alat dan tempat pemotongan sapi, kerbau, dan kambing

4

Good Slaughtering Practises (GSP)

Good Slaughtering Practises (GSP) berfungsi untuk meminimalkan kontaminasi mulai dari pra pemotongan, penanganan ternak di kandang, memandikan ternak, stunning, penyembelihan, skinning, eviserasi, splitting, final trim, pencucian karkas sampai dihasilkan produk akhir (Harris & Jeff 2003).

Menurut Swatland (1984), beberapa persyaratan untuk memperoleh hasil pemotongan ternak yang baik yaitu: (1) ternak tidak diperlakukan secara kasar; (2) ternak tidak mengalami stress; (3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan sesempurna mungkin; (4) kerusukan karkas harus minimal; (5) cara pemotongan harus higienis; (6) ekonomis; dan (7) aman bagi para pekerja abatoar. Menurut Suparno (2005), terdapat dua teknik pemotongan ternak yaitu teknik pemotongan secara langsung dan secara tidak langsung. Pemotongan ternak secara langsung dilakukan setelah ternak dinyatakan sehat dan dapat disembelih pada bagian leher dengan memutuskan arteri carotis, vena jugularis, dan esophagus. Pemotongan ternak secara tidak langsung dengan perlakuan pemingsanan terlebih dahulu yang bertujuan untuk memudahkan penyembelihan ternak agar ternak tidak stress, sehingga kulit dan karkas lebih baik.

Sistem Jaminan Halal (SJH)

Menurut Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM–MUI (2008), SJH didefinisikan sebagai suatu sistem manajemen yang disusun, diterapkan, dan dipelihara oleh perusahaan pemegang sertifikat halal untuk menjaga agar proses produksi halal sesuai dengan ketentuan LPPOM-MUI. Sistem ini dibuat untuk memperoleh dan sekaligus menjamin bahwa produk-produk tersebut halal, disusun sebagai bagian integral dari kebijakan perusahaan, bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri. SJH merupakan sebuah sistem pada suatu rangkaian produksi yang senantiasa dijiwai dan didasari pada konsep-konsep syariat dan etika usaha sebagai input utama dalam penerapan nya. Sistem Jaminan Halal (SJH) ini merupakan sistem yang disiapkan dan dilaksanakan untuk perusahaan pemegang sertifikat halal yang bertujuan untuk menjamin proses produksi dan produk yang dihasilkan adalah halal sesuai dengan aturan yang digariskan oleh MUI. Menurut LPPOM-MUI (2012), bahwa ketentuan yang harus dipenuhi dalam pemotongan ternak halal antara lain penyembelih beragama Islam, berakal dan berbadan sehat, alat yang digunakan harus tajam, serta menyebut nama Allah saat menyemblih.

Daging

Daging adalah kumpulan sejumlah otot yang berasal dari ternak yang sudah disembelih dan otot tersebut sudah mengalami perubahan biokimia dan biofisik sehingga otot yang semasa hidup ternak merupakan energi mekanis berubah menjadi energi kimiawi yang dikenal sebagai pangan hewani (Abustam 2009). Syamsir (2010) yang menyatakan bahwa daging adalah semua jaringan hewan dan produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang dapat dikonsumsi

sebagai makanan. Menurut SNI (3925-2008) daging kambing adalah bagian otot skeletal dari karkas kambing yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin, atau daging beku. Menurut Matnur (2004), daging yang dikonsumsi berfungsi sebagai: (1) pokok hidup, membentuk sel-sel di dalam tubuh/pertumbuhan dan mengganti sel-sel yang rusak; (2) reproduksi (perkembangbiakan); dan (3) aktifitas. Jenis daging yang umum dikonsumsi adalah daging sapi, kambing, domba, babi, ayam, bebek atau itik, ikan; sementara daging dari beberapa jenis hewan lainnya dikonsumsi oleh kalangan terbatas (Syamsir 2010).

Dalam penyediaan daging, dari sumbernya, bagi kebutuhan konsumen dikenal melalui tiga fase perubahan/transformasi (Abustam 2009):

1. Transformasi pertama meliputi proses perubahan ternak hidup menjadi karkas dan bagian bukan karkas (by product atau offal).

2. Transformasi kedua, merupakan proses pemotongan (cutting) bagian-bagian karkas menjadi whole dan retail karkas untuk mendapatkan daging dan bagian-bagian lainnya seperti lemak, tulang, aponevrose dan lain-lain.

3. Transformasi ketiga, merupakan proses pengolahan lebih lanjut dari bahan baku daging yang diperoleh pada transformasi kedua menjadi suatu produk akhir berupa daging olahan dalam berbagai macam ragam.

Kualitas Fisik Daging

Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan antara lain genetik (spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin), umur ternak dan pakan. Sedangkan faktor setelah pemotongan antara lain pelayuan, metode pemasakan, bahan tambahan seperti bahan pengempuk daging (Alberle et al. 2001). Menurut Lawrie (2003), warna daging sangat bervariasi menurut spesies, fungsi otot setiap ternak, umur, kondisi penanganan dan penyimpanan, namun demikian warna daging pada dasarnya dipengaruhi oleh kandungan mioglobin otot. Aktifitas otot yang tinggi menyebabkan peningkatan kandungan mioglobin serta peningkatan intensitas warna daging yang dihasilkan.

Nilai pH daging sangat dipengaruhi oleh cadangan glikogen dalam otot. Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat otot pada saat post mortem tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat pemotongan. penurunan pH pada saat post mortem dipengaruhi oleh faktor instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik antara lain adalah spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas diantara ternak, sedangkan faktor ekstrinsik adalah temperatur lingkungan, perlakuan sebelum pemotongan dan suhu penyimpanan (Lawrie 2003).

Daya mengikat air mempunyai pengaruh yang besar terhadap sifat fisik daging antara lain warna daging, tekstur, keempukan, dan susut masak (Aberle et al. 2001). Daya mengikat air juga dipengaruhi oleh pH daging, umur ternak, dan jenis kelamin. Menurut Grun et al. (2006) daya ikat air juga dipengaruhi oleh kondisi serat daging (panjang sarkomer, kekuatan ionik, tekanan osmotik, dan kondisi rigormortis daging), kandungan protein, dan lemak daging.

6

Mikroba Daging

Daging segar umumnya terkontaminasi dengan sejumlah besar bakteri termasuk bakteri patogen yang dapat mengkontaminasi makanan seperti Bacillus cereus, Clostridium perfringens, Clostridium jejuni, Eschericia coli, Listeria monocytogenes, Salmonella sp dan Staphylococcus aureus (Mosupye dan Holy 2005). Ternak yang dipotong secara higienis mengandung 103 - 104/cm2 setelah pemotongan (Bem & Hechelman 1995). Lebih lanjut Buckle et al. (2009) menyatakan bahwa jumlah bakteri dalam daging akan terus meningkat tergantung penanganan dan pencemaran selanjutnya. Bakteri patogen yang ditemukan dalam daging adalah Salmonella, Staphylococcus aureus, Yersinia enterocolitico, Clostridium perfringens, dan Clostridium botulinium. Mikroba berbahaya yang meracuni makanan khususnya daging yang dikaitkan dengan kontaminasi saluran pencernaan adalah Salomonella, Staphylococcus aureus, Entero patogenic, dan Eschericia coli (ICSMF 1980).

Menurut Lawrie (2003), umumnya yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba di dalam daging dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor dalam (intrinsik) dan faktor luar (ekstrinsik). Faktor intrinsik terdiri atas nilai nutrisi daging, kadar air, pH, potensi oksidasi-reduksi, dan ada tidaknya substansi penghalang atau penghambat.

Syarat mutu mikrobiologis daging kambing Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 3925: 2008 tentang mutu karkas dan daging kambing disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Syarat mutu mikrobiologis daging kambing

No Jenis uji Satuan Persyaratan

1 Total Plate Count cfu/g maksimum 1 x 106

2 Coliform cfu/g maksimum 1 x 102

3 Staphylococcus aureus cfu/g maksimum 1 x 102

4 Salmonella sp per 25 g negatif

5 Eschericia coli cfu/g maksimum 1 x 101

Sumber: SNI 3925:2008

Cemaran Logam Berat

Sejumlah logam berat juga terdapat dalam tubuh makhluk hidup baik pada tanaman, hewan, bahkan pada tubuh manusia yang bersifat merugikan karena menyebabkan toksik atau racun. Logam yang menyebabkan racun bagi makhluk hidup umumnya digolongkan pada logam berat. Menurut Saeni (1989), logam berat adalah unsur yang mempunyai bobot jenis lebih dari 5 g/cm3 yang terletak dibagian kanan bawah sistem periodik diantaranya adalah ferum (Fe), timbal (Pb), krom (Cr), kadmium (Cd), seng (Zn), air raksa (Hg), mangan (Mn), dan arsen (As). Pencemaran logam berat pada air berdampak pada hewan-hewan air, sedangkan pada manusia ataupun hewan ternak pencemaran logam berat dapat berasal dari air, tanaman, udara, dan tanah yang terakumulasi logam berat (Darmono 2008).

Menurut Badan Penelitian Kanada (National Research Council/NRC) jumlah maksimum kandungan logam yang diperbolehkan untuk dikonsumsi

ternak sehingga produk asal ternak tersebut aman untuk dikonsumsi oleh manusia adalah sebagai berikut.

Tabel 2 Batas toleransi logam berat dalam pakan pada beberapa jenis ternak menurut NRC (mg/kg)

Logam Sapi Domba Babi Ayam Kuda Kelinci

Al 1000 1000 200 200 200 200 -inorg. 50 50 50 50 50 50 -org. 100 100 100 100 100 100 Cd 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 -klorida 1000 1000 1000 1000 1000 1000 -oksida 3000 3000 3000 3000 3000 3000 Cu 100 25 250 300 800 200 Fe 1000 500 3000 1000 500 500 Pb 30 30 30 30 30 30 Ni 50 50 1000 300 20 50 Se 2 2 2 2 2 2 Zn 500 300 1000 1000 500 500

Sumber: National Research Council/NRC (1980)

Tidak semua logam berat akan menyebabkan toksisitas pada ternak. Menurut Saeni (1989), dari sekian banyak jenis logam berat seperti: Fe, Pb, Cr, Cd, Zn, Cu, Hg, Mn, dan As, hanya terdapat empat logam berat yang bersifat merugikan dan bersifat toksik baik pada ternak maupun manusia diantaranya: As, Cd, Pb, dan Hg. Lebih lanjut Darmono (2008) menyebutkan bahwa logam yang sering menimbulkan keracunan pada ternak ruminansia adalah tembaga (Cu), timbal (Pb), dan mercuri (Hg). Batas maksimum yang ditetapkan oleh SNI 7387: 2009 untuk daging dan produk turunannya antaralain Pb, Cd dan Hg secara beruurutan adalah 1.0 mg/kg, 0.3 mg/kg dan 0.3 mg/kg.

Cemaran Residu Pestisida

Pestisida adalah campuran bahan kimia yang digunakan untuk mencegah, membasmi, dan mengendalikan hewan atau tumbuhan pengganggu seperti binatang pengerat, termasuk serangga penyebar penyakit, dengan tujuan kesehatan manusia (FAO 1986). Resiko penggunaan pestisida bagi lingkungan secara umum yaitu dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dengan segala akibatnya, seperti kematian hewan non target, penyederhanan rantai makanan alami, penyederhanaan keanekaragaman hayati, dan sebagainya (Djojosumarto 2000). Berdasarkan SNI 7317:2008 batas cemaran residu pestisida golongan organofosfat dapat dilihat pada Tabel 3.

8

Tabel 3 Batas maksimum cemaran pestisida pada daging No Jenis Pestisida

Organofosfat

Batas Maksimum

(mg/kg)

No. Jenis Pestisida Organofosfat Batas Maksimum (mg/kg) 1 Diazinon 2.00 9 Demetoat 0.05 2 Metidation 0.02 10 Dichlorvos 0.05 3 Klorpirifos 1.00 11 Etrimfos 0.01 4 Malathion - 12 Methacifos 0.01

5 Profenofos 0.05 13 Metil Azinfos 0.05

6 Fenitrotion 0.05 14 Metil Paration -

7 Triazofos 0.01 15 Phosphamidon -

8 Metil Klorpirifos 0.05 16 Metil Pirimiphos 0.01 Sumber: SNI 7313:2008

3 METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Juli 2012 pada Tempat Pemotongan Kambing di kota Jambi. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Pascapanen (Bogor), Laboratorium Saraswanti (Bogor) dan Laboratorium Klinik dan Kesehatan Masyarakat (Jambi).

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging kambing (otot bagian paha), hati dan ginjal dari Tempat Pemotongan Kambing di kota Jambi. Adapun bahan untuk analisis mikrobiologi adalah plate count agar (PCA), buffered pepton water (BPW) 0.1%, brilliant green lactose bile agar (BGLBB), laury sulfate tryptose broth (LSTB), eschericia coli broth (ECB), Levine eosine methylene blue agar (L-EMBA), methyl red-voges proskauer (MR-VP), kalium cyanide broth (KCB), simmons citrate agar (SCA), baird-parker agar (BPA), egg yolk tellurite emultion, brain heart infusion broth (BHIB), triple sugar agar (TSA), coagolase rabbit plasma dengan ethylene diamine tetra acetate (EDTA). Bahan untuk uji residu pestisida antara lain aseton/asetonitril heksana, H2SO4 dan NHO3.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah cawan Petri, pipet serologis, tabung reaksi, tabung Durham, gelas ukur, Beaker glass, Erlenmeyer, botol medium, inkubutor, Stomacher, colony counter, penangas air, tube mixer, timbangan, clean banch, gunting, pinset, plastik steril, timbangan, rak tabung, gelas preparat, jarum

Tabel 3 Batas maksimum cemaran pestisida pada daging No Jenis Pestisida Organofosfat Batas Maksimum (mg/kg)

No. Jenis Pestisida Organofosfat Batas Maksimum (mg/kg) 1 Diazinon 2.00 9 Demetoat 0.05 2 Metidation 0.02 10 Dichlorvos 0.05 3 Klorpirifos 1.00 11 Etrimfos 0.01 4 Malathion - 12 Methacifos 0.01

5 Profenofos 0.05 13 Metil Azinfos 0.05

6 Fenitrotion 0.05 14 Metil Paration -

7 Triazofos 0.01 15 Phosphamidon -

8 Metil Klorpirifos 0.05 16 Metil Pirimiphos 0.01 Sumber: SNI 7313:2008

3 METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Juli 2012 pada Tempat Pemotongan Kambing di kota Jambi. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Pascapanen (Bogor), Laboratorium Saraswanti (Bogor) dan Laboratorium Klinik dan Kesehatan Masyarakat (Jambi).

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging kambing (otot bagian paha), hati dan ginjal dari Tempat Pemotongan Kambing di kota Jambi. Adapun bahan untuk analisis mikrobiologi adalah plate count agar (PCA), buffered pepton water (BPW) 0.1%, brilliant green lactose bile agar (BGLBB), laury sulfate tryptose broth (LSTB), eschericia coli broth (ECB), Levine eosine methylene blue agar (L-EMBA), methyl red-voges proskauer (MR-VP), kalium cyanide broth (KCB), simmons citrate agar (SCA), baird-parker agar (BPA), egg yolk tellurite emultion, brain heart infusion broth (BHIB), triple sugar agar (TSA), coagolase rabbit plasma dengan ethylene diamine tetra acetate (EDTA). Bahan untuk uji residu pestisida antara lain aseton/asetonitril heksana, H2SO4 dan NHO3.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah cawan Petri, pipet serologis, tabung reaksi, tabung Durham, gelas ukur, Beaker glass, Erlenmeyer, botol medium, inkubutor, Stomacher, colony counter, penangas air, tube mixer, timbangan, clean banch, gunting, pinset, plastik steril, timbangan, rak tabung, gelas preparat, jarum

9 inokulum diameter 3 mm, mortar, rotary evaporator, pH-meter, photo ghrapic colour standard, carver press, planimeter, kromatograf gas dan atomic absorbance spechtrofotometry (AAS).

Prosedur

Evaluasi GSP dan SJH dilakukan dua tahap, tahap pertama pada minggu kedua penelitian dan tahap berikutnya dilakukan setelah empat minggu kemudian. Masing-masing tempat pemotongan diambil dua sampel daging, dua sampel ginjal, dan dua sampel hati. Berat masing-masing sampel ± 250 gram. Pengambilan sampel dilakukan dua kali yaitu pada minggu kedua penelitian dan berikutnya empat minggu kemudian. Dilakukan evaluasi terhadap kualitas fisik daging (pH, warna, dan daya mengikat air), cemaran mikroba (Total Plate Count/ TPC, E.coli, coliform, dan Salmonella) cemaran residu kimia (residu logam berat dan residu pestisida organofosfat). Sampel yang digunakan untuk analisis fisik dan cemaran mikroba pada daging adalah jaringan otot bagian paha, sedangkan sampel yang digunakan untuk analisis residu logam berat (Pb, Cd, dan Hg) dan residu pestisida (golongan organofosfat) adalah otot bagian paha, hati dan ginjal.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini dilakukan secara deskriptif. Pengambilan sampel secara Purposive Sampling berdasarkan kriteria: 1) TPH telah terdaftar di Dinas Peternakan Kota Jambi, 2) Melakukan pemotongan secara berkelanjutan, 3) Skala pemotongan diatas 50 ekor/bulan, dan 4) Direkomendasikan oleh dinas peternakan untuk diteliti

Analisis Data

Hasil penilaian GSP dan SJH pada TPH di kota Jambi dianalisis secara deskriptif dan dibandingkan dengan literatur yang mendukung. Hasil uji laboratorium dianalisis dan dibandingkan dengan nilai SNI tentang kualitas fisik, cemaran mikrobiologis, residu logam berat dan residu pestisida pada daging kambing.

Peubah Penelitian

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah evaluasi penerapan sistem pemotongan (GSP), penerapan sistem jaminan halal (SJH), pengujian terhadap kualitas fisik daging (warna, daya mengikati air, dan pH), cemaran mikrobilogis (TPC, E.coli, Salmonella sp, dan coliform), cemaran logam berat (Pb, Cd, dan Hg), dan residu pestisida golongan organofosfat.

1. Evaluasi Penilaian GSP dan SJH pada Tempat Pemotongan Kambing di kota Jambi

Evaluasi penerapan GSP dan SJH diidentifikasi dengan menggunakan kuisioner penilaian yang mencakup parameter penilaian pelaksanaan GSP dan SJH di TPH yang sebelumnya telah diberi pembobotan berdasarkan titik kritis pada tiap-tiap parameter. Indikator penilaian terdiri atas dua pilihan yaitu pilihan “ya” dan “tidak”. Penilaian “ya” digunakan untuk setiap parameter yang terlaksana sesuai prosedur, sedangkan penilaian “tidak” untuk parameter -parameter yang belum atau tidak terlaksana sesuai prosedur. Penilaian GSP mengacu pada SK Menteri Pertanian Nomor 431/Kpts/TN.310/7/1992 tentang syarat dan tata cara penyembelihan ternak serta penanganan daging. Penilaian SJH mengacu pada LPPOM-MUI (2011) tentang pedoman pengelolaan rumah potong hewan halal.

2. Penentuan Sifat Fisik Daging Kambing

Warna Daging kambing (SNI 3925:2008). Warna daging diukur dengan menggunakan standar warna daging berdasarkan SNI 3925:2008. Penilaian warna dilakukan dengan melihat warna permukaan daging dan mencocokannya dengan standar warna. Nilai skor warna ditentukan berdasarkan skor standar warna yang paling sesuai dengan warna daging tersebut. Standar warna daging memiliki skala 1-9. Semakin tinggi skor warna maka daging dinyatakan semakin gelap, sebaliknya semakin rendah skor warna maka daging semakin terang. Standar warna daging mulai dari merah muda sampai merah tua.

Daya Mengikat Air (Metode Hamm 1975 dalam Soeparno 2005). Daya mengikat air ditentukan dengan menggunakan daging sebanyak 0.3 g yang selanjutnya diletakkan di atas kertas saring jenis Whatman 41 dengan diameter 9 cm diantara dua lempeng besi. Kemudian sampel diberi tekanan sebesar 39 kg/cm2 selama 5 menit. Setelah daerah yang tertutup sampel menjadi rata serta luas daerah basah disekitarnya diukur dan diberi tanda untuk memudahkan pengenalan. Area basah diperoleh dengan mengurangkan area yang tertutup daging dari area total yang meliputi pula area basah pada kertas saring. Luas daerah yang tertutup sampel dihitung dengan menggunakan planimeter. Kandungan air daging dapat diukur dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

Area basah : luas penyerapan air pada kertas saring setelah diberi tekanan selama 5 menit

11

Nilai pH Daging (AOAC 1995). Pengukuran pH daging dilakukan dengan menggunakan pH meter dengan cara mengambil daging sebanyak 5 g yang dihaluskan dan dimasukkan ke dalam glas yang selanjutnya diencerkan dengan aquades sebanyak 50 ml kemudian dihomogenkan selama satu menit. Sebelum pH daging diukur, pH meter terlebih dahulu dikalibrasi dengan buffer pH 4 dan buffer pH 7. Setelah dikalibrasi pengukuran derajat keasaman daging dilakukan dengan menempatkan elektroda pada sampel sehinggga nilai pH dapat tertera pada layar.

3. Cemaran Mikroba pada Daging

Pengujian mikroba pada daging mengacu kepada (SNI 2897: 2008). Penghitungan TPC dengan menggunakan metode cawan tuang (pour plate). E.coli dan Coliform berdasarkan metode most probable number (MPN). Prinsip pengujian pertumbuhan jumlah Salmonella sp pada media selektif melalui empat tahapan yaitu pra pengayaan (pre-enrichment), pengayaan (enrichment) kemudian dilanjutkan dengan uji biokimia dan uji serologi. Metode pengujian Staphylococcus dengan cara menghitung cawan secara sebar pada permukaan media.

4. Cemaran logam berat

Analisis logam berat (pb, Cd, dan Hg) mengacu kepada (SNI 01: 2896: 1998). Prinsipnya adalah mengukur mineral seperti kalium, besi, posfor dan logam berat seperti timbal, tembaga dan kadmium. Analisi logam beratnya menggunakan Atomic Absorbance Specthrofotometry (AAS).

5. Uji Residu Pestisida (Komisi Pestisida 1997).

Pengujian residu pestisida mengacu kepada (Komisi Pestisida 1997). Analisis dilakukan dengan menggunakan gas kromatrografi dengan detektor FPD (flama photometric detector).

12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Tempat Pemotongan Hewan Kota Jambi

Rumah Pemotongan Hewan (RPH) kota Jambi merupakan satu di antara RPH yang mendapat penilaian bagus dari Kementerian Pertanian. Salah satu di antara 20 RPH di seluruh Indonesia yang telah memenuhi Standar Nomor Kontrol Veteriner atau telah teregistrasi dan memiliki sertifikat halal, higienis dan identitas jelas (Tribun Jambi). RPH ini hanya melakukan pemotongan ternak sapi, kerbau dan babi. Kota Jambi juga memiliki tempat-tempat pemotongan kambing yang berdiri sejak lama (1985) dan dimiliki secara perorangan. Tempat pemotongan kambing di Jambi Timur contohnya, ini merupakan tempat pemotongan kambing yang sudah berumur +25 tahun dan awalnya pemilik tempat pemotongan ini hanya seorang peternak kambing yang memiliki 2 ekor kambing. Berkat kegigihan dan kepiawaian dalam mengelola usaha hingga sekarang Tempat Pemotongan ini mampu memenuhi permintaan pasar mencapai 300 ekor/bulan. Tingginya pangsa pasar daging kambing di kota Jambi menimbulkan persaingan tersendiri bagi pengusaha lokal untuk mendirikan usaha pejualan kambing sekaligus tempat pemotongannya, sehingga pada tahun 2005 berdiri tempat penjualan kambing Aqikah dan lengkap dengan tempat pemotongannya di Kecamatan Telanaipura. Kebutuhan kambing di tempat pemotongan mencapai 150 ekor/bulan.

Berbeda dengan tempat pemotongan yang lain di Kecamatan Pasar Jambi terdapat tempat pemotongan kambing yang merupakan warisan dari orangtua kepada anaknya. Berdiri sejak tahun 1985 sampai sekarang masih produktif, ditempat pemotongan ini mampu memenuhi kebutuhan pasar hingga 180 ekor/bulan. Tiga Tempat Pemotongan Kambing ini merupakan tempat dilakukannya penelitian. walaupun masih ada tempat-tempat pemotongan

Dokumen terkait