• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan

Menurut Walgito (2002), pengetahuan (knowledge) adalah mengenal suatu obyek baru yang selanjutnya menjadi sikap terhadap obyek tersebut apabila pengetahuan itu disertai oleh kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan tentang obyek itu. Seseorang jika mempunyai sikap tertentu terhadap suatu obyek, itu berarti orang tersebut telah mengetahui tentang obyek tersebut. Koentjaraningrat (1990) menyebutkan bahwa pengetahuan adalah unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Hal ini berarti pengetahuan berhubungan dengan jumlah informasi yang dimiliki oleh seseorang. Lakhan dan Sharma (2010), menambahkan bahwa pengetahuan adalah kemampuan untuk memperoleh, mempertahankan, dan menggunakan informasi, gabungan pemahaman, ketajaman dan keterampilan.

Pengetahuan dapat didefinisikan sebagai ingatan mengenai sesuatu yang bersifat spesifik atau umum, metode atau proses, pola, susunan, dan keadaan (Kibler et al. 1981). Hal tersebut selaras dengan pernyataan Winkel (1987) bahwa pengetahuan merupakan ingatan tentang hal-hal yang pernah dipelajari baik itu berbentuk fakta, kaidah, prinsip, ataupun metode. Pengetahuan yang tersimpan dalam ingatan ini digali pada saat diperlukan melalui bentuk mengingat (recall) atau mengenal kembali (recognition).

Supriyadi (1993) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan sekumpulan informasi yang dipahami, yang diperoleh melalui proses belajar selama hidup dan dapat digunakan sewaktu-waktu sebagai alat penyesuaian diri sendiri maupun lingkungan. Pengetahuan seorang individu dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuan, keperluan, pengalaman, dan tingkat mobilitas materi informasi dalam lingkungannya. Pengetahuan didapatkan individu baik melalui proses belajar, pengalaman, atau media elektronika yang kemudian disimpan dalam memori individu.

Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman langsung maupun yang berasal dari pengalaman orang lain memungkinkan seseorang untuk memahami suatu masalah yang dihadapinya (Idris 1982). Pengetahuan seseorang dapat berkembang sesuai dengan kemampuan, keperluan, pengalaman, dan tingkat mobilitas materi informasi di dalam lingkungannya. Sumber pengetahuan seseorang dapat berasal dari berbagai macam proses belajar baik yang bersifat formal maupun yang non-formal (Supriyadi 1993).

Menurut Azemi (2010), tanpa adanya pengetahuan seseorang tidak akan mempunyai dasar pegangan untuk mengambil sebuah keputusan dan menentukan suatu tindakan terhadap masalah yang dihadapinya. Secara garis besar pengetahuan dibagi menjadi 5 tingkat, yaitu:

a. Tahu (know)

Hanya sebagai memanggil memori yang telah dipelajari sebelumnya, yang termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

b. Memahami (comprehension)

Suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang suatu objek yang diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut dengan benar. Seseorang yang telah paham terhadap suatu objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan meramalkan terhadap objek yang sudah dipelajari.

c. Aplikasi (application)

Kemampuan seseorang untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.

d. Analisis (analysis)

Suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti menggambarkan, membedakan, dan mengelompokan.

e. Sintesis (synthesis).

Suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan beberapa bagian ke dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain ada kemampuan untuk membina suatu formulasi yang baru sebagai hasil dari gabungan beberapa formulasi yang telah ada.

Pengetahuan akan dibatasi pada pengetahuan mengenai fakta atau informasi yang diketahui dan berhubungan dengan aspek dalam pengelolaan higiene pangan. Ehiri dan Morris (1996) dalam penelitiannya mengenai edukasi dan pelatihan praktik higiene pada orang yang menangani makanan mendapatkan hasil bahwa, perilaku atau praktik individu bergantung pada pengetahuannya.

2.2 Sikap

Pengertian sikap menurut Rakhmat (2001) adalah sebagai berikut:

1. Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi, atau nilai tertentu.

2. Sikap mempunyai daya dorong dan motivasi. 3. Sikap relatif lebih menetap.

4. Sikap mengandung aspek evaluatif.

5. Sikap dapat timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir tapi merupakan hasil belajar, sehingga sikap dapat diperkuat atau diubah.

Gerungan (1996) menyebutkan bahwa manusia tidak dilahirkan dengan pandangan ataupun perasaan tertentu, tapi sikap tersebut dibentuk sepanjang perkembangaannya. Sikap tersebut menyebabkan manusia akan bertindak secara khas terhadap obyek tertentu, oleh karena itu:

1. Sikap tidak dibawa sejak manusia dilahirkan, melainkan dibentuk atau dipelajarinya sepanjang perkembangan manusia tersebut dalam hubungan dengan obyeknya.

2. Sikap dapat mengalami perubahan, oleh karena itu sikap dapat dipelajari. 3. Obyek sikap dapat merupakan satu hal tertentu, tapi juga dapat merupakan

kumpulan dari hal-hal tersebut.

5

 

5. Sikap tidak berdiri sendiri tapi mengandung relasi tertentu terhadap suatu obyek.

Beberapa ahli psikologi lainnya menyatakan bahwa pengertian sikap harus dipertimbangkan dari segi komponen penyusunnya. Komponen penyusun ini meliputi komponen kognisi, afeksi, dan perilaku. Komponen kognisi berkenaan dengan sistem keyakinan individu mengenai obyek sikap. Komponen afeksi mencakup arah dan intensitas dari penilaian individu atau perasaan yang dialami terhadap obyek sikap. Komponen perilaku merupakan kecenderungan untuk bertindak menurut cara tertentu terhadap objek sikap (Feldman 1985).

Mar’at (1981) menyebutkan bahwa sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek tersebut, selanjutnya memberikan nilai terhadap stimulus dalam bentuk baik atau buruk, positif atau negatif, menyenangkan atau tidak menyenangkan, setuju atau tidak setuju kemudian sebagai potensi reaksi terhadap obyek sikap. Menurut Azwar (2003) sikap terbentuk dari pengalaman, melalui proses belajar. Pengalaman yang dimaksud adalah tentang obyek yang menjadi respon evaluasi dari sikap. Proses belajar dalam pengalaman adalah sebagai peningkatan pengetahuan individu terhadap obyek sikap. Proses belajar tersebut didapat melalui interaksi dengan pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan agama, serta pengaruh faktor emosional.

Azwar (2003) mengemukakan berbagai metode dan teknik telah dikembangkan oleh para ahli untuk mengungkap sikap manusia dan memberikan interpretasi yang valid. Pengungkapan sikap manusia dilakukan dengan beberapa metode, antara lain: (1) observasi perilaku, (2) penanyaan langsung, dan (3) pengungkapan langsung. Observasi perilaku dilakukan dengan cara memperhatikan perilaku seseorang, sebab perilaku merupakan salah satu indikator sikap dari seseorang. Perilaku seseorang hanya akan konsisten dengan sikap bila dalam kondisi dan situasi yang memungkinkan. Penanyaan langsung dilakukan dengan cara menanyakan secara langsung kepada responden untuk mengetahui sikap seseorang terhadap suatu hal. Asumsi yang mendasari metode ini adalah bahwa individu merupakan orang yang paling tahu mengenai dirinya sendiri dan seseorang akan mengemukakan secara terbuka apa yang dirasakannya. Metode ketiga dilakukan dengan cara mengungkapkan langsung yang dapat dilakukan secara tertulis dengan cara meminta responden menjawab secara langsung suatu pernyataan sikap tertulis dengan memberi tanda “sangat setuju”, “setuju”, “tidak tahu”, “tidak setuju”, dan “sangat tidak setuju”. Penyajian dan pemberian respon yang dilakukan secara tertulis memungkinkan individu untuk menyatakan sikap secara lebih jujur.

Penelitian Wilcock et al. (2004) mengenai pengetahuan, sikap, dan perilaku konsumen pangan menyatakan bahwa sikap konsumen dapat dipengaruhi dan memprediksi suatu perilaku. Penelitian ini juga menyoroti berbagai macam sikap konsumen terhadap keamanan pangan. Perbedaan diantara konsumen tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk faktor demografi, status sosial, dan ekonominya.

2.3 Praktik

Praktik (practice) adalah kebiasaan bertindak yang menunjukkan tabiat seseorang yang terdiri dari pola-pola tingkah laku yang digunakan oleh individu dalam melakukan kegiatannya. Lebih jauh dikatakan bahwa praktik itu terjadi karena adanya penyebab (stimulus), motivasi, dan tujuan dari tindakan itu (Arif 1995). Praktik dianggap sebagai hasil interaksi antara faktor-faktor yang terdapat di dalam diri sendiri (karakteristik individu) dan faktor luar (faktor eksternal). Proses interaksi itu sendiri terjadi pada kesadaran atau pengetahuan seseorang (Sarwono 2002). Praktik (B) adalah fungsi (f) karakteristik individu (P) dan lingkungan (E), sehingga jika dirumuskan menjadi seperti berikut: B = f (P,E) (Azwar 2003). Pola praktik seseorang bisa saja berbeda antara satu dengan yang lainnya, tapi untuk proses terjadinya adalah mendasar bagi semua individu, yakni dapat terjadi karena disebabkan, digerakkan, dan ditunjukkan pada sasaran (Kast dan Rosenzweig 1995).

Azemi (2010) mengemukakan bahwa suatu sikap belum tentu terwujud secara otomatis dalam suatu praktik, untuk mewujudkannya menjadi perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Praktik terdiri atas beberapa tingkatan, yaitu:

a. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan praktik yang akan diambil.

b. Respon terpimpin (guided respons)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh.

c. Mekanisme (mechanism)

Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis ataupun sesuatu itu sudah menjadi kebiasaannya.

d. Adaptasi (adaptation)

Suatu praktik yang sudah berkembang baik yang mana artinya praktik itu sudah dimodifikasinya oleh sendiri tanpa mengurangi kebenaran dari praktik tersebut.

2.4 Studi Knowledge, Attitude,and Practice (KAP)

Studi knowledge, attitude, and practice (KAP) merupakan suatu studi representatif dari suatu populasi yang bersifat spesifik yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang apa yang diketahui, dipercayai, dan dilakukan terkait dengan suatu topik tertentu. Data yang diperoleh dari studi KAP adalah dengan menggunakan kuisioner yang disusun secara terstruktur. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif tergantung dari desain dan tujuan studi tersebut. Data dari hasil studi akan sangat bermanfaat untuk membantu merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi dari suatu kegiatan serta mencari pemecahannya untuk memperbaiki kualitas dan aksesibilitas pelayanan/program (WHO 2008).

Studi KAP terfokus pada evaluasi perubahan terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku sebagai respon dari suatu hubungan tertentu, demonstrasi, ataupun

7

 

edukasi. Studi KAP sudah digunakan di berbagai belahan dunia selama 40 tahun terakhir pada aspek kesehatan masyarakat, sanitasi, perencanaan keluarga, dan program-program lainnya (Kaliyaperumal 2004). Studi KAP mengukur tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik pada suatu komunitas yang berfungsi juga untuk mengetahui tingkat pendidikan komunitas tersebut. Studi KAP juga merupakan sebuah studi yang representatif pada populasi yang spesifik untuk mengumpulkan apa yang diketahui, diyakini, dan dilakukan pada komunitas tersebut. Studi ini juga menjelaskan pengetahuan dan sikap responden mengenai topik tertentu dan bagaimana komunitas tersebut mempraktikannya (WHO 2008).

Studi KAP didasari pada anggapan adanya hubungan antara pengetahuan, sikap, dan praktik yang akan berpengaruh satu sama lain. Tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang menentukan sikap dan praktiknya. Sikap juga dapat mempengaruhi praktik dan keterbukaannya untuk memperoleh pengetahuan yang baru (Blalock 2008). Pengetahuan, sikap, dan praktik yang dimiliki oleh food handler merupakan faktor utama dalam kejadian keracunan yang disebabkan oleh makanan, sehingga dengan melihat tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik yang dimiliki oleh food handler dalam mempersiapkan, mendistribusikan, dan menjual produk makanannya dapat memudahkan untuk mengontrol tingkat keamanan pangannya (Pirsaheb et al. 2010).

2.5 Higiene Pangan

Definisi higiene pangan menurut Codex Alimentarius Commission (CAC) (2011) adalah semua kondisi dan tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan kelayakan makanan pada semua tahap dalam rantai makanan. Manusia merupakan sumber potensial mikroorganisme patogen seperti Staphylococcus aureus, Salmonella sp., dan Clostridium perfringens. Food handler merupakan sumber utama pembawa penyakit yang dapat menyebabkan foodborne disease. Beberapa sumber cemaran yang penting diantaranya: hidung, mulut, telinga, rambut, luka terbuka, tangan, dan perhiasan yang dipakai (Longree 1972).

Kesalahan penanganan oleh food handler sering mengakibatkan kejadian foodborne disease. Sebagian besar penyakit yang ditimbulkan adalah diare dan yang lebih parahnya dapat menyebabkan hepatitis. Kebiasan pribadi (personal habit) dalam mengolah makanan merupakan sumber penting dalam kontaminasi makanan. Sumber kontaminasi pada makanan dari tangan food handler bersifat sangat potensial selama jam kerja. Kebiasaan tangan (hand habits) dari food handler mempunyai andil yang sangat besar dalam peluang melakukan perpindahan kontaminan dari manusia ke makanan. Kebiasaan tangan ini dikaitkan dengan pergerakan-pergerakan yang dilakukan tangan yang tidak disadari maupun disadari, seperti menggaruk kulit, menggosok hidung, menyentuh rambut, atau menyentuh pakaian (Jenie 1988). Selain itu, pengetahuan dan keterampilan mengenai pengolahan pangan yang baik harus dimiliki food handler, sehingga program pelatihan diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan food handler (Ansari et al. 2010).

2.6 FoodborneDisease

Foodborne disease adalah penyakit yang ditimbulkan akibat mengonsumsi makanan atau minuman yang sudah tercemar. Foodborne disease disebabkan oleh berbagai macam jenis mikroorganisme yang bersifat patogen atau zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia yang sudah mengontaminasi makanan. Makanan yang berasal dari hewan ataupun tumbuhan sangat berpotensi sebagai media pembawa mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada manusia (WHO 2011). Foodborne diseases merupakan permasalahan kesehatan yang sering dijumpai di masyarakat dan menjadi penyebab signifikan menurunnya produktivitas ekonomi. Foodborne disease juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang meluas dan terus meningkat jumlah kasusnya baik di negara- negara maju maupun negara-negara berkembang (Sharif dan Al-Malki 2010).

Salah satu perhatian dari aspek keamanan pangan dan kesehatan masyarakat terhadap pangan yang berasal dari hewan adalah penyakit hewan yang dapat ditularkan melalui produk-produk asal hewan ke manusia atau dikenal sebagai foodborne zoonosis. Foodborne zoonosis didefinisikan sebagai infeksi pada manusia yang ditularkan melalui pangan yang berasal dari hewan yang sudah terinfeksi sebelumnya. Beberapa contoh penyakit ini sudah dikenal lama, seperti antraks yang ditularkan melalui daging sapi, kambing, domba, atau kerbau; sistiserkosis atau taeniasis yang ditularkan melalui daging babi; atau toksoplasma yang ditularkan melalui daging kambing atau domba (Lukman 2009).

Insidensi global dari foodborne disease sulit untuk diestimasi, tetapi pernah dilaporkan pada tahun 2005 sekitar 1.8 juta orang meninggal akibat terserang diare. Foodborne disease sepertinya akan terus meningkat secara global pada beberapa tahun terakhir, hal ini berkaitan dengan perubahan drastis pada produksi hewan, industrialisasi produksi hewan, produksi missal dalam pengolahan dan produksi pangan, globalisasi perdagangan pangan, dan peningkatan jumlah wisatawan dari seluruh dunia. Faktor-faktor tersebut telah meningkatkan pentingnya foodborne disease (Sharif dan Al-Malki 2010).

Lebih dari 250 macam foodborne disease telah dideskripsikan. Sebagian besar merupakan penyakit yang disebabkan oleh berbagai macam bakteri, virus, dan parasit yang terdapat pada makanan. Penyakit lainnya adalah keracunan yang disebabkan oleh racun berbahaya atau zat kimia yang sudah mencemari makanan, contohnya kapang. Dua dasawarsa terakhir ini atau terhitung dari tahun 1990 foodborne disease muncul sebagai masalah penting dan terus berkembang dan kesehatan masyarakat dan ekonomi di beberapa negara (Signorini dan Flores- Luna 2010).

Keg pembangu kesempata pengelolaa terhadap bergantun handler) d Sala dalam kai sikap mer sikap food konteks hu perlu dilih terkait pen Pene pengetahu higiene di higiene di tujuan usa skematis disajikan p giatan usaha unan untuk an kerja, da an pangan kesehatan ng pada beb di kios maka ah satu fakto itannya den reka terhad d handler te ubungannya hat bagaima ngelolaan hi elitian ini m uan, dan sika

kios makan i kios maka aha, keikuts kerangka pada Gamb

3 BAH

3.1 K a berdagang daerah ters an peningk secara hig konsumen berapa fakt anan itu sen or penting d ngan upaya dap pengelo erhadap pen a dengan tin ana praktik igiene pang menggunaka ap. Ketiga nan tersebut anan adalah sertaan pela pemikiran ar 1. Gambar 1

HAN DAN

Kerangka g makanan sebut, berup katan keters ienis justru n. Damp tor terutam ndiri. dari faktor s a menguran olaan panga ngelolaan h ngkat peng k nyata yan gan. an beberapa peubah ini t. Karakter h umur, tin atihan atau dari kegia Skema ker

N METOD

Pemikiran memberika pa peningk sediaan pan u dapat men ak negatif ma faktor su sumber day ngi dampak an secara h higiene pan etahuan yan ng sudah di peubah yan kemudian d ristik yang d ngkat pendid penyuluhan atan penelit rangka pem

DE

an dampak katan penda ngan. Tanp nimbulkan f yang dit umber daya a manusia y k negatif ad higienis. K ngan ini har

ng dimiliki. ilakukan ol ng terdiri da dihubungka dihubungka dikan, peng n, dan peng tian yang ikiran positif terh apatan, perlu pa dilakuka dampak ne timbulkan a manusia yang perlu d dalah bagai Kajian men rus dilihat d . Selain itu eh food ha ari: karakter an dengan tin an dengan tin galaman bek gawasan. S akan dilak hadap uasan annya egatif akan (food dikaji imana ngenai dalam u juga andler ristik, ngkat ngkat kerja, Secara kukan

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di dalam dan luar (dengan radius jarak 100 meter dari batas kampus) Kampus IPB Dramaga, Bogor dari bulan Maret sampai Juni 2012. Pengujian laboratorium dilaksanakan di Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

3.3 Ukuran Sampel, Responden, dan Penarikan Sampel

Unit sampel dalam penelitian ini adalah kios makanan. Responden yang dipilih adalah orang yang menangani makanan di kios (food handler). Ukuran

sampel ditentukan dengan menggunakan software Win Episcope 2.0 dengan

asumsi tingkat kepercayaan 95%, prevalensi dugaan 50%, dan tingkat kesalahan 10%. Prevalensi dugaan 50% ditentukan karena belum ada laporan atau penelitian sebelumnya dan untuk mendapatkan ukuran sampel yang maksimum. Sampel kios ditentukan secara acak dengan cara memberikan nomor pada semua kios makanan dan ditentukan secara acak menggunakan program Microsoft Excel 2007. Ukuran sampel dari setiap kawasan dihitung menurut alokasi proporsional (proportional allocation) dari total populasi, dengan demikian didapatkan jumlah sampel untuk setiap kawasan, yaitu 35 kios makanan untuk di dalam kampus dan 42 kios makanan untuk di luar kampus, selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Pembagian jumlah sampel kios makanan di dalam dan luar Kampus IPB

Dramaga, Bogor

Wilayah Total kios % kios Sampel kios Pembulatan sampel kios Dalam kampus 169 45.3 34.9 35

Luar kampus 204 54.7 42.1 42

Total 373 100 77 77

3.4 Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian lapang cross-sectional study. Data meliputi karakteristik dan KAP (knowledge, attitude, and practice) food handler yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden menggunakan kuesioner dan observasi. Wawancara dilakukan pada food handler yang terpilih secara acak di lokasi studi. Bentuk kuesioner untuk food handler sendiri terdiri dari empat bagian pokok. Bagian pertama kuesioner akan melihat karakteristik dari food handler. Bagian kedua kuesioner akan digunakan untuk mengukur pengetahuan

food handler. Bagian ketiga kuesioner akan mengukur sikap food handler

mengenai higiene pangan. Bagian keempat kuesioner akan digunakan untuk

mengukur praktik yang telah dilakukan food handler terkait higiene pangan.

Terakhir bagian kelima merupakan lembar observasi untuk pengamatan secara langsung terhadap kios makanan di tempat food handler tersebut bekerja.

11  

Selain menggunakan kuesioner, dilakukan pula pengujian mikroorganisme

dengan metode replicate organism direct agar contact (RODAC) pada telapak

tangan food handler dan piring di kios makanan tersebut. Pengujian

mikroorganisme yang dilakukan adalah jumlah total mikroorganisme (total plate count) dan jumlah Staphylococcus aureus. Uji RODAC dilakukan saat food handler beraktivitas secara normal di kios makanan (sampel agar RODAC diambil pada pukul 13.00-15.00 WIB). Pengambilan sampel dilakukan dengan tanpa adanya proses cuci tangan terlebih dahulu sebelum uji RODAC dilakukan, sedangkan untuk sampel piring diambil pada piring yang sudah dicuci sebelumnya. 3.4.1 Pengukuran Pengetahuan

Tingkat pengetahuan food handler memiliki 2 skala pengukuran yang

bersifat interval dan ordinal. Pengukuran pengetahuan dilakukan dengan menggunakan 15 pertanyaan tentang higiene pangan yang terdiri dari pertanyaan betul dan salah. Responden diharapkan dapat memberikan pilihan jawaban dalam bentuk “Benar”, “Salah”, atau “Tidak tahu” (Hart et al. 2007). Jawaban yang benar diberi nilai 1, jawaban yang salah, dan jawaban “tidak tahu” diberi nilai 0 (Palaian 2006).

Pertanyaan dibedakan menjadi pertanyaan positif dan negatif yang berfungsi untuk mengurangi bias dari jawaban responden, dalam studi ini terdapat 6 pertanyaan positif dan 9 pertanyaan negatif. Pertanyaan positif jawaban benar apabila responden memilih pilihan jawaban “Benar”, sementara pertanyaan negatif benar apabila responden memilih pilihan jawaban “Salah”.

Jumlah skor untuk setiap responden dihitung berdasarkan jawaban yang benar. Jumlah skor maksimum yang diperoleh dari seluruh jawaban adalah 1 × 15 = 15 dan skor minimum adalah 0 × 15 = 0. Data yang bersifat interval akan dinilai (scoring) untuk kemudian dianalisis lebih lanjut. Data yang bersifat

ordinal kemudian akan dikategorikan. Indeks dari tingkat pengetahuan food

handler mengenai pengolahan higiene pangan menurut Khomsan (2003) yang didasarkan pada jawaban yang benar adalah:

• pengetahuan baik, jika nilai >80%. • pengetahuan cukup, jika nilai 61-80%. • pengetahuan buruk, jika nilai <61%. 3.4.2 Pengukuran Sikap

Tingkat sikap food handler memiliki 2 skala pengukuran yang bersifat

interval dan ordinal. Sikap terhadap higiene pangan akan diukur dengan menggunakan 15 pernyataan (terdiri dari 6 pernyataan positif dan 9 pernyataan negatif) yang menggunakan Skala Likert. Pernyataan positif berlaku cara pemberian skor jawaban sebagai berikut:

1. responden yang menjawab “sangat setuju” mendapat skor 5.

2. responden yang menjawab “setuju” mendapat skor 4.

3. responden yang menjawab “tidak tahu” mendapat skor 3.

4. responden yang menjawab “tidak setuju” mendapat skor 2.

5. responden yang menjawab “sangat tidak setuju” mendapat skor 1. Pernyataan negatif berlaku skor kebalikannya, yaitu:

1. responden yang menjawab “sangat setuju” mendapat skor 1.

3. responden yang menjawab “tidak tahu” mendapat skor 3.

4. responden yang menjawab “tidak setuju” mendapat skor 4.

5. responden yang menjawab “sangat tidak setuju” mendapat skor 5.

Jumlah skor maksimum yang bisa didapatkan oleh responden dari seluruh

Dokumen terkait