• Tidak ada hasil yang ditemukan

( Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) TERHADAP PRODUKSI SUSU SAPI PERAH PENDERITA MASTITIS SUBKLINIS

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Fries Holland

Secara umum, sapi perah merupakan penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya. Salah satu bangsa sapi perah yang terkenal adalah Sapi perah Fries Holland (FH). Sapi FH, di Amerika Serikat disebut Holstein Friesian atau disingkat Holstein, sedangkan di Europa disebut Friesian. Sapi FH berasal dari propinsi Belanda Utara dan Propinsi Friesland Barat. Bangsa sapi FH murni warna bulunya hitam dan putih atau merah dan putih dengan batas-batas warna yang jelas (Sudono, 1999).

Menurut Siregar (1990), sapi perah FH mulai dimasukkan ke Indonesia pada zaman Hindia Belanda. Pada tahun 1891-1892 mulai didatangkan sapi jantan FH ke daerah Pasuruan, Jawa Timur. Sejak tahun 1900 di daerah Lembang, Jawa Barat, telah terdapat peternakan sapi perah yang memelihara FH. Dari daerah inilah sapi perah FH menyebar ke beberapa daerah di Jawa Barat. Semenjak tersebarnya sapi perah Friesian Holstein di beberapa daerah di Indonesia, dan khususnya di pulau Jawa, telah terjadi perkawinan-perkawinan yang tidak terencana dengan sapi-sapi setempat. Turunan-turunannya dikenal dengan sapi perah peranakan Friesian.

Produksi Susu

Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susunya tertinggi, dibandingkan bangsa-bangsa sapi perah lainnya, dengan kadar lemak susu yang rendah. Menurut Siregar (1990), kemampuan berproduksi susu sapi perah Friesian (FH dan peranakan FH) sebelum tahun 1979, berkisar antara 1.800-2.000 kg per laktasi dengan panjang laktasi rata-rata 9,5 bulan. Impor sapi perah yang telah dilakukan selama periode tahun 1979-1982, telah meningkatkan produksi susu rata-rata sapi perah Friesian di Indonesia menjadi rata-rata 8,92 liter per hari. Produksi susu rata-rata di Amerika Serikat 7.245 kg/laktasi dan kadar lemak 3,65 %, sedangkan di Indonesia produksi susu rata-rata per hari 10 liter/ekor (Sudono, 1999). Syarat mutu susu segar yang ditetapkan Badan Standarisasi Nasional (1998) untuk kadar lemak adalah 3,0 %.

Susu adalah sekresi kelenjar susu dari sapi sehat, bersih, diperoleh dengan cara yang benar, tidak ditambah atau dikurangi suatu zat apapun kedalamnya dan belum mendapat perlakuan apapun (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Sekresi susu terjadi selama laktasi yaitu selang antara masa beranak dan masa kering

kandang selama sepuluh bulan (Tyler dan Ensminger, 2006). Sudono et al. (2005) menyatakan, masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak dan masa kering. Produksi susu perhari mulai menurun setelah laktasi dua bulan. Demikian pula kadar lemak susunya, mulai menurun setelah 1-2 bulan masa laktasi. Dari 2-3 bulan masa laktasi, kadar lemak susu mulai konstan, kemudian naik sedikit.

Produksi susu sapi perah dipengaruhi oleh beberapa faktor penentu dalam usaha peternakan yaitu pemuliaan dan reproduksi, penyediaan dan pemberian pakan, pemeliharaan ternak, penyediaan sarana dan prasarana, serta pencegahan penyakit dan pengobatan (Tyler dan Ensminger, 2006). Hasil penelitian Siregar (2001) menyatakan bahwa peningkatan konsumsi zat gizi berakibat terhadap peningkatan produksi susu rata-rata harian dan peningkatan lemak susu, kandungan bahan kering tanpa lemak (SNF) dan total bahan kering susu (TS) secara nyata.

Mastitis Subklinis

Mastitis didefinisikan sebagai peradangan pada jaringan ambing yang disertai perubahan fisik, kimia, mikrobiologi dan adanya kenaikan jumlah sel somatic terutama leukosit dalam susu dan dapat disertai dengan perubahan patologis pada jaringan ambing. Bakteri penyebab mastitis subklinis yang paling sering terdeteksi adalah Streptococcus aureus disamping beberapa jenis bakteri lainnya seperti Streptococcus agalactiae dan Escherichia coli (Tyler dan Ensminger 2006). Menurut Sudarwanto (1999), penyakit radang ambing atau yang dikenal sebagai mastitis merupakan masalah utama dalam peternakan sapi perah karena menyebabkan kerugian yang besar akibat penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Kejadian mastitis 97 – 98% merupakan mastitis subklinis, sedangkan 2 – 3% merupakan mastitis klinis yang terdeteksi.

Kesulitan dalam memberantas penyakit tersebut karena lingkungan peternakan yang tidak selalu higienis, dan air susu merupakan alas makanan (substrat) bagi berbagai mikroba. Pencegahan terhadap penyakit terutama mastitis harus benar-benar mendapat perhatian khusus. Sekitar 70 % dari sapi perah yang dipelihara di Indonesia menderita mastitis yang dapat menurunkan produksi susu sekitar 15-20 %. Status kesehatan ambing pada sapi perah menjadi penting dalam menunjang produksi dan kualitas susu saat berproduksi. Siregar (1990) menyatakan

selama laktasi kesehatan dan kebersihan sapi perah harus selalu dijaga dengan baik. Walaupun tidak secara drastis, mastitis dapat merusak perkembangan jaringan sekretoris susu sehingga akan menurunkan produksi dan kualitas susu saat berproduksi (Harmon, 1994). Infeksi atau peradangan ambing pada sapi perah dapat mempengaruhi komposisi air susu. Infeksi oleh bakteri pathogen penyebab mastitis menyebabkan kerusakan sel sekretoris ambing dan menurunkan kemampuan sintesa laktosa, kasein, lemak dan protein, dilain pihak serum albumin atau protein whey dan pH susu akan mengalami peningkatan (Jones, 2009).

Menurut Subronto (2007), dari berbagai usaha pengendalian, baik yang dilakukan oleh peternak maupun professional, dikenal tiga tingkatan cara pengendalian, yaitu :

1. Pengobatan pada masa kering saja yang menghasilkan kejadian mastitis turun 15-18 %.

2. Pengobatan pada masa kering, celup puting setelah pemerahan dan pengecekan teratur mesin perah yang menghasilkan penurunan kejadian infeksi turun 10 %. 3. Pengobatan pada masa kering, celup puting setelah pemerahan, pengecekan alat

dan pipa-pipa pemerahan dan pengenalan serta pengobatan mastitis pada sapi yang sedang laktasi. Cara ini telah mampu menurunkan infeksi kelenjar samapi 7 %.

Pemeriksaan mastitis subklinis yang biasa dilakukan peternak Indonesia adalah dengan menggunakan metode IPB uji mastitis. Metode ini merupakan pengembangan dengan cara memodifikasi uji-uji AMP (Aulendorfer Mastitis Probe) dan CMT (California Mastitis Test). Pereaksi IPB-1 akan bereaksi dengan DNA dari inti sel somatis, sehingga terbentuk massa kental seperti gelatin. Makin kental massa yang terbentuk maka semakin tinggi tingkat reaksinya, dan berarti makin tinggi jumlah sel somatis. Cara kerja pengujian adalah menuangkan sekitar 2 ml susu (sudah ada ukuran di dalam paddle) ke dalam paddle, kemudian tambahkan pereaksi IPB-1 dengan jumlah sama seperti susu. Homogenkan dengan mengaduk secara horisontal selama 15-20 detik. Amati reaksi yang terjadi (tetap homogen : negatif, lendir/kental : +, ++, +++) (Sanjaya et al, 2009).

Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe)

Curcuma zedoaria mempunyai nama daerah yaitu : temu putih (Jakarta, Indonesia), koneng bodas (Bogor). Tumbuh liar di Sumatera dan di hutan di Jawa Timur, juga tumbuh umum di Jawa Barat (Sunardi et al., 2002). Umumnya temu putih ditanam sebagai tanaman obat, dapat ditemukan tumbuh liar pada tempat- tempat terbuka yang tanahnya lembab pada ketinggian 0-1.000 meter diatas permukaan laut. Sosok tanaman ini mirip dengan temulawak dan dapat dibedakan dari rimpangnya. Temu putih banyak ditemukan di Indonesia seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra, Ambon, Irian, selain itu, juga dibudidayakan di India, Banglades, Cina, Madagaskar, Filipina, dan Malaysia.

Gambar 1. Rimpang Temu Putih

Kulit rimpang temu puting berwarna putih. Apabila diiris, daging rimpangnya berwarna putih kearah kuning muda dan rasanya pahit. Ada indikasi bahwa sifat itu merangsang sekresi kelenjar pencernaan dan memperkuat otot organ pencernaan melalui sistem saraf, dengan demikian sistem pencernaan diperkuat sehingga merangsang pembentukan suatu zat yang mampu merangsang tonifikasi. Pada dosis lebih tinggi, sifat pahit itu mempengaruhi membran lambung dan usus (Syukur, 2003). Nilai analisis proksimat temu putih disajikan pada Tabel 1, sedangkan hasil penapisan fitokimia temu putih disajikan pada Tabel 2.

Aktivitas Biologis Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe)

Aktivitas Bakteri. Sunardi et al. (2002), melaporkan minyak atsiri rimpang temu putih (10µ L/kertas cakram) menghambat pertumbuhan bakteri S. aereus, B. subtilis, E. coli, P. aeruginosa, S. thyphi, S. typhymurium, S. paratyphi B dan C, tetapi tidak

memberikan penghambatan terhadap fungi (Trichophyton sp., Microsporum gypsum dan Aspergillus niger). Penelitian uji antimikroba yang dilakukan oleh Wilson et al. (2005) terhadap 6 jenis ekstrak bakteri gram positif (B. subtilis, S. aureus, M. luteus), gram negatif (E. coli, P. mirabilis, K. pneumonia) dan fungi (A. niger dan C. albicans) memberikan hasil yang mendukung pemakaian ekstrak non polar C. zedoaria sebagai obat tradisional untuk mengatasi infeksi bakteri dan jamur. Ekstrak etanol Curcuma zedoaria (dari variasi konsentrasi penyari) dapat mempengaruhi daya hambat pertumbuhan bakteri S. aureus, B. subtilis dan E. coli (Katno et al., 2002). Menurut Nurdin dan Susanty (2009), menunjukkan penggunaan temu putih 1 % dari konsentrat atau sebanyak 0,02 % bobot badan secara in vitro, memberikan efek terbaik terhadap konsentrasi NH3 dan total bakteri rumen.

Tabel 1. Analisis Proksimat Temu Putih

Kandungan Nilai Air (%) 9,28 Abu (%) 6,65 Protein kasar (%) 7,95 Serat kasar (%) 5,38 Lemak kasar (%) 3,56 BETN (%) 76,46

Energi bruto (kkal/kg) 4.608,00

Ca (%) 0,23

P (%) 0,97

Sumber : Nurdin dan Susanty, 2009

Aktivitas Antiinflamasi. Rimpang temu putih mengandung minyak atsiri dan secara empiris digunakan untuk menhilangkan rasa sakit atau bersifat analgetik. Bahan yang bersifat analgetik mungkin juga bersifat antiinflamasi. Hasil penelitian Adjirni dan Sa’roni (2002), menunjukkan bahwa infus rimpang temu putih setara dengan serbuk 176,4 mg/100 g bb menunjukkan efek antiinflamasi yang tidak sekuat fenilbutazon (salah satu obat inflamasinon steroid) dosis 10 mg/100 g bb tikus. Sebagai obat antiinflamasi mungkin temu putih dapat menghilangkan rasa sakit atau nyeri, tetapi tidak begitu kuat mengurangi peradangan.

Tabel 2. Hasil penapisan fitokimia Curcuma zedoria (Berg) Roscoe.

No Golongan Kimia Serbuk C. zedoaria

1 Alkaloid (++++) 2 Flavonoid (++++) 3 Saponin (+++) 4 Tanin (-) 5 Steroid / terpenoid (-) 6 Triterfenoid (++++) 7 Glikosida (++) 8 Minyak atsiri (++++)

Keterangan : (-) = tidak terdeteksi

(+), (++), (++++) = menunjukan intensitas Sumber : Nurdin dan Susanty (2009)

Aktivitas Antioksidan. Temu putih mengandung kurkumin seperti halnya pada kunyit. Menurut Taspirin (2009), fungsi kurkumin yaitu sebagai antioksidan yang bekerja mengikat radikal oksigen bebas hasil fagosit pada peradangan. Antioksidan membantu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas. Rimpang temu putih mengandung Kurkuminoid (diarilheptanoid), minyak atsiri, polisakarida dan golongan lain. Kurkuminoid yang telah diketahui meliputi kurkumin, demektosikurkumin, bisdemetoksikurkumin dan 1,7-bis (4-hidroksifenil)- 1,4,6 – heptatrien-3-on. Minyak atsiri berupa cairan kental kuning emas yang mengandung monoterpen dan seskuiterpen berdasarkan tingkat oksidasinya. Hasil penelitian Nurdin dan Susanty (2009) menunjukkan bahwa hasil penapisan fitokimia diperoleh simplisisa serbuk rimpang temu putih mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, triterfenoid dan minyak atsiri (Tabel 2). Sebagai tanaman yang bersifat antioksidan, Nurdin dan Susanty (2009) melaporkan penggunaan temu putih sebesar 0,02 % bobot badan sapi secara in-vitro memberikan efek terbaik terhadap keseimbangan ekologi rumen sapi yang pada akhirnya dapat menjada keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan.

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan selama dua bulan, mulai dari bulan Juni sampai dengan bulan Juli 2010. Pelaksanaan dilakukan di Peternakan Barokah milik Bapak H. Mahfuddin di Kelurahan Kebon Pedes, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Laboratorium Mikrobiologi Program Diploma dan Laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi Ternak

Ternak sapi perah yang digunakan adalah bangsa peranakan Fries Holstein betina sebanyak 9 ekor sedang masa laktasi normal (bulan 3-5 masa laktasi) dari bangsa peranakan Fries Holstein yang menderita mastitis subklinis. Sapi-sapi tersebut di acak ke dalam 3 perlakuan dan terdapat ulangan sebanyak lima kali. Alat yang Digunakan

Alat yang digunakan untuk pencatatan produksi antara lain : gelas ukur 2.000 ml, gelas ukur 1.000 ml, teko plastik dan rak plastik, sedangkan untuk pengukuran lingkar dada sapi menggunakan pita ukur untuk menentukan bobot badan sapi yang digunakan. Alat yang digunakan pada pengujian kadar lemak susu adalah butirometer Gerber, sumbat karet, kain lap, sentrifus, penangas air, pipet otomatis untuk H2SO4 p.a 91 % dan amil alkohol dan pipet khusus 10,75 ml, serta contoh susu. Pada pengujian IPB mastitis menggunakan pereaksi IPB-1 dan paddle.

Prosedur Pengukuran Lingkar Dada dan Bobot Badan

Pengukuran lingkar dada pada sapi perah dengan menggunakan pita ukur dan mengkonversikannya menjadi bobot badan dengan rumus (Sudono, 1999):

Bobot Badan = (Lingkar dada + 22) 2

100 Pemberian Temu Putih

Pemberian temu putih (Curcuma zedoria (Berg.) Roscoe) dilakukan bersamaan dengan pemberian bahan pakan campuran (konsentrat, ampas tahu dan

ampas tempe) dengan cara mencampur temu putih dengan bahan pakan campuran tersebut. Pemberian dilakukan dua kali seminggu dan diberikan pagi dan sore hari. Konsentrasi pemberian temu putih dibagi menjadi 3 perlakuan, 1) sebagai kontrol (tanpa pemberian), 2) pemberian 0,2 gram/kg bobot badan dan 3) pemberian 0,4 gram/kg bobot badan. Tepung temu putih yang digunakan seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Tepung Temu Putih Pencatatan Produksi Susu

Pencatatan produksi susu dilakukan setiap kali pemerahan. Pemerahan dilakukan dua kali sehari. Pemerahan pertama dilakukan pada pukul 04.00 WIB dan pemerahan kedua pada pukul 14.30 WIB. Hasil data pencatatan harian dirata-ratakan dalam dua minggu untuk menkonversikan dengan 4 % FCM (Fat Corrected Milk). Uji Kadar Lemak Susu (SNI, 1998)

Pengujian kadar lemak susu dilakukan tiap dua minggu sekali dari susu campuran pagi dan siang hari terakhir dalam dua minggu. Pengujian kadar lemak susu dengan menggunakan metode Gerber. Langkah-langkah pengujian adalah sebagai berikut :

1. Menuangkan 10 ml H2SO4, 10,75 ml susu homogen dan kemudian 1 ml amil alkohol ke dalam butirometer Gerber secara berturut-turut.

2. Menutup butirometer dengan sumbat karet dan mengkocok dengan memutarkan membentuk angka delapan.

3. Memasukkan butirometer ke dalam sentrifus dan diputar selama 3 menit dengan kecepatan 1.200 putaran per menit (rpm).

4. Memasukan butirometer ke dalam penangas air dengan suhu 65 0C selama 5 menit dengan bagian yang tersumbat di bawah.

5. Membaca hasilnya dengan melihat jumlah larutan yang berwarna kekuningan yang ada pada skala tabung butirometer.

Uji IPB Mastitis (Sanjaya et al., 2009)

Metode pengujian mastitis IPB merupakan pengembangan modifikasi uji-uji AMP dan CMT. Pereaksi IPB-1 akan bereaksi dengan DNA dari inti sel somatis, sehingga terbentuk massa kental seperti gelatin. Makin kental massa yang terbentuk maka semakin tinggi tingkat reaksinya, dan berarti makin tinggi jumlah sel somatis.

Cara kerja pengujian adalah menuangkan sekitar 2 ml susu ke dalam paddle, kemudian tambahkan pereaksi IPB-1 dengan jumlah sama seperti susu. Homogenkan dengan mengaduk secara horisontal selama 15-20 detik. Amati reaksi yang terjadi (tetap homogen : negatif, lendir/kental : +, ++, +++).

Rancangan dan Analisis Data Model

Metode rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan model sebagai berikut :

Ytp = µ + At+ εtp

Keterangan : Ytp : nilai pengamatan dari perlakuan pemberian temu putih µ : nilai tengah umum

At : pengaruh dari pemberian temu putih pada taraf ke-t

εtp : pengaruh galat percobaan Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati meliputi jumlah produksi susu per ekor dan per puting dalam satuan mililiter dan kadar lemak susu.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis berdasarkan Analisis Sidik Ragam. Kemudian diuji lanjut dengan menggunakan uji Tukey jika terbukti berbeda nyata (Steel dan Torrie, 1993).

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan selama dua bulan, mulai dari bulan Juni sampai dengan bulan Juli 2010. Pelaksanaan dilakukan di Peternakan Barokah milik Bapak H. Mahfuddin di Kelurahan Kebon Pedes, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Laboratorium Mikrobiologi Program Diploma dan Laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi Ternak

Ternak sapi perah yang digunakan adalah bangsa peranakan Fries Holstein betina sebanyak 9 ekor sedang masa laktasi normal (bulan 3-5 masa laktasi) dari bangsa peranakan Fries Holstein yang menderita mastitis subklinis. Sapi-sapi tersebut di acak ke dalam 3 perlakuan dan terdapat ulangan sebanyak lima kali. Alat yang Digunakan

Alat yang digunakan untuk pencatatan produksi antara lain : gelas ukur 2.000 ml, gelas ukur 1.000 ml, teko plastik dan rak plastik, sedangkan untuk pengukuran lingkar dada sapi menggunakan pita ukur untuk menentukan bobot badan sapi yang digunakan. Alat yang digunakan pada pengujian kadar lemak susu adalah butirometer Gerber, sumbat karet, kain lap, sentrifus, penangas air, pipet otomatis untuk H2SO4 p.a 91 % dan amil alkohol dan pipet khusus 10,75 ml, serta contoh susu. Pada pengujian IPB mastitis menggunakan pereaksi IPB-1 dan paddle.

Prosedur Pengukuran Lingkar Dada dan Bobot Badan

Pengukuran lingkar dada pada sapi perah dengan menggunakan pita ukur dan mengkonversikannya menjadi bobot badan dengan rumus (Sudono, 1999):

Bobot Badan = (Lingkar dada + 22) 2

100 Pemberian Temu Putih

Pemberian temu putih (Curcuma zedoria (Berg.) Roscoe) dilakukan bersamaan dengan pemberian bahan pakan campuran (konsentrat, ampas tahu dan

ampas tempe) dengan cara mencampur temu putih dengan bahan pakan campuran tersebut. Pemberian dilakukan dua kali seminggu dan diberikan pagi dan sore hari. Konsentrasi pemberian temu putih dibagi menjadi 3 perlakuan, 1) sebagai kontrol (tanpa pemberian), 2) pemberian 0,2 gram/kg bobot badan dan 3) pemberian 0,4 gram/kg bobot badan. Tepung temu putih yang digunakan seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Tepung Temu Putih Pencatatan Produksi Susu

Pencatatan produksi susu dilakukan setiap kali pemerahan. Pemerahan dilakukan dua kali sehari. Pemerahan pertama dilakukan pada pukul 04.00 WIB dan pemerahan kedua pada pukul 14.30 WIB. Hasil data pencatatan harian dirata-ratakan dalam dua minggu untuk menkonversikan dengan 4 % FCM (Fat Corrected Milk). Uji Kadar Lemak Susu (SNI, 1998)

Pengujian kadar lemak susu dilakukan tiap dua minggu sekali dari susu campuran pagi dan siang hari terakhir dalam dua minggu. Pengujian kadar lemak susu dengan menggunakan metode Gerber. Langkah-langkah pengujian adalah sebagai berikut :

1. Menuangkan 10 ml H2SO4, 10,75 ml susu homogen dan kemudian 1 ml amil alkohol ke dalam butirometer Gerber secara berturut-turut.

2. Menutup butirometer dengan sumbat karet dan mengkocok dengan memutarkan membentuk angka delapan.

3. Memasukkan butirometer ke dalam sentrifus dan diputar selama 3 menit dengan kecepatan 1.200 putaran per menit (rpm).

4. Memasukan butirometer ke dalam penangas air dengan suhu 65 0C selama 5 menit dengan bagian yang tersumbat di bawah.

5. Membaca hasilnya dengan melihat jumlah larutan yang berwarna kekuningan yang ada pada skala tabung butirometer.

Uji IPB Mastitis (Sanjaya et al., 2009)

Metode pengujian mastitis IPB merupakan pengembangan modifikasi uji-uji AMP dan CMT. Pereaksi IPB-1 akan bereaksi dengan DNA dari inti sel somatis, sehingga terbentuk massa kental seperti gelatin. Makin kental massa yang terbentuk maka semakin tinggi tingkat reaksinya, dan berarti makin tinggi jumlah sel somatis.

Cara kerja pengujian adalah menuangkan sekitar 2 ml susu ke dalam paddle, kemudian tambahkan pereaksi IPB-1 dengan jumlah sama seperti susu. Homogenkan dengan mengaduk secara horisontal selama 15-20 detik. Amati reaksi yang terjadi (tetap homogen : negatif, lendir/kental : +, ++, +++).

Rancangan dan Analisis Data Model

Metode rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan model sebagai berikut :

Ytp = µ + At+ εtp

Keterangan : Ytp : nilai pengamatan dari perlakuan pemberian temu putih µ : nilai tengah umum

At : pengaruh dari pemberian temu putih pada taraf ke-t

εtp : pengaruh galat percobaan Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati meliputi jumlah produksi susu per ekor dan per puting dalam satuan mililiter dan kadar lemak susu.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis berdasarkan Analisis Sidik Ragam. Kemudian diuji lanjut dengan menggunakan uji Tukey jika terbukti berbeda nyata (Steel dan Torrie, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi

Peternakan Barokah berdiri sejak tahun 1996 dengan pemilik Bapak Haji Mahpudin. Peternakan ini terletak di Kelurahan Kepon Pedes RT 03 RW 06 Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Jenis usaha yang dijalankan pada awalnya adalah penjualan susu murni kepada konsumen. Seiring berkembangnya usaha tersebut, saat ini jenis usaha lain yang dijalankan oleh Peternakan Barokah adalah penggemukan sapi potong, penjualan pedet lepas sapih dan penjualan daging segar jika ada permintaan konsumen.

Topografi wilayah Kelurahan Kebon Pedes adalah datar dengan ketinggian 200 meter di atas permukaan laut. Suhu udara berkisar antara 22,7-30,9 oC dengan curah hujan rata-rata 3.336,8 mm pertahun.

Lokasi Peternakan Barokah sangat strategis karena dekat dengan pusat kota Bogor dan akses jalan menuju peternakan yang mudah. Hal tersebut memudahkan dalam menyalurkan dan memasarkan susu kepada konsumen, loper susu, maupun ke KPS Bogor.

Pemberian Pakan

Berdasarkan data pada Tabel 3, nilai rataan produksi susu dan rataan kadar lemak berbanding terbalik. Nilai rataan produksi susu pada perlakuan A.1 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A.0 dan A.2, namun nilai rataan kadar lemak susunya merupakan nilai terendah dari perlakuan yang A.0 dan A.2. Hal ini sesuai dengan Akers (2002), produksi susu berkorelasi negatif dengan kadar lemak susu. Pada nilai rataan bobot badan juga dapat dilihat bahwa nilai rataan bobot badan tertinggi (A.1) diantara ketiga perlakuan juga menghasilkan produksi susu yang lebih tinggi. Siregar (1990) mengungkapkan, jumlah zat-zat makanan yang dibutuhkan untuk hidup pokok sapi perah didasarkan pada bobot badan.

Kuantitas dan kualitas ransum yang diberikan harus diperhatikan benar-benar sebab hal ini menyangkut tinggi rendahnya produksi dan kecepatan pertumbuhan sapi yang sedang tumbuh. Sapi perah yang berproduksi tinggi, bila tidak mendapat pakan yang cukup baik kualitas maupun kuantitas tidak akan menghasilkan susu sesuai dengan kemampuannya (Sudono, 1999). Nilai kebutuhan akan zat-zat

makanan sapi perah disajikan pada Tabel 4, dan komposisi pemberian pakan sapi perah disajikan pada Tabel 5.

Tabel 3. Rataan Bobot Badan, Produksi Susu dan Kadar Lemak Susu Tiap Perlakuan Perlakuan Bobot Badan (kg) Produksi Susu (ml) Kadar Lemak (%)

A.0 380 11.010,78 3,36

A.1 400 12.109,36 3,19

A.2 377 9.238,44 3,44

Tabel 4. Kebutuhan Zat Makanan Sapi Perah Tiap Perlakuan

Perlakuan Kebutuhan Zat Makanan (kg)

Bahan Kering Protein Kasar TDN Ca P

A.0 11,40 1,25 6,31 0,04 0,03

A.1 12,00 1,33 6,67 0,05 0,03

A.2 11,31 1,11 5,79 0,04 0,03

Keterangan : Hasil perhitungan berdasarkan kebutuhan untuk hidup pokok dan untuk memproduksi 1 kg susu berdasarkan kadar lemak.

Tabel 5. Komposisi Pemberian Pakan Sapi Perah

Jenis Pakan Zat Makanan (kg) Pemberian As fed Bahan Kering Protein kasar TDN Ca P Konsentrat 5,00 3,84 0,59 2,61 0,02 0,04 Ampas Tahu 48,00 2,57 0,36 1,93 0,02 0,01 Ampas Tempe 15,00 2,00 0,33 1,21 0,01 0,00 Rumput Lapangan 20,00 3,96 0,60 2,23 0,03 0,01 Kulit Jagung 10,00 1,87 0,10 0,93 0,00 0,00 Jumlah 98,00 14,25 1,97 8,91 0,08 0,07

Sumber : Hasil analisis pakan Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak (2010).

Pemberian pakan sapi didasarkan atas kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan untuk berproduksi. Kebutuhan hidup pokok adalah kebutuhan untuk memenuhi proses-proses hidup saja tanpa proses pertumbuhan dan produksi susu. Kebutuhan

untuk produksi adalah kebutuhan untuk pertumbuhan, produksi susu, dan untuk pertumbuhan janin apabila sapi perah sedang bunting (Siregar, 1990). Perhitungan kebutuhan zat makanan pada Tabel 4 didasarkan pada kebutuhan hidup pokok yang

Dokumen terkait