• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh pemberian temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) terhadap produksi susu sapi perah penderita mastitis subklinis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh pemberian temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) terhadap produksi susu sapi perah penderita mastitis subklinis"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN TEMU PUTIH

(

Curcuma zedoaria

(Berg.)

Roscoe) TERHADAP PRODUKSI SUSU

SAPI PERAH PENDERITA MASTITIS SUBKLINIS

SKRIPSI

AGUS TRI NUGROHO

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

AGUS TRI NUGROHO. D14086001. Pengaruh Pemberian Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) Terhadap Produksi Susu Sapi Perah Penderita Mastitis Subklinis. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr. Pembimbing Anggota : Ir. Andi Murfi, M.Si

Susu merupakan salah satu jenis pangan sumber protein hewani yang sangat penting karena memiliki kandungan protein yang sangat tinggi. Namun, konsumsi susu nasional belum mampu terpenuhi dari produksi susu dalam negeri. Beberapa permasalahan dari terbatasnya produksi susu segar dalam negeri adalah mutu bibit yang ada dan rendahnya kemampuan budidaya khususnya menyangkut kesehatan ternak. Sapi perah di Indonesia banyak yang terserang penyakit yang mampu menurunkan dan merusak produksi susu sapi tersebut, salah satunya adalah mastitis subklinis. Pengobatan pada penyakit ini adalah dengan penyuntikan antibiotik intra mamary, akan tetapi hal ini akan mempengaruhi kualitas susu dan berbahaya bagi yang meminumnya.

Temu putih (Curcuma zedoria (Berg.) Roscoe) merupakan tanaman herbal yang mengandung senyawa antibakteri, antioksidan dan antiinflamasi. Pemberian temu putih berupa tepung dan dicampurkan pada pakan sapi diharapkan mampu memberikan efek positif terhadap jumlah produksi susu harian dan intensitas mastitis subklinis.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek penambahan temu putih ke dalam ransum sapi perah sebagai antibakteri alami dengan memperhatikan produksi susunya. Tujuan lainnya adalah memperoleh angka penggunaan optimum dalam penggunaan temu putih sebagai antibakteri herbal, sehingga sapi perah mampu memproduksi susu secara optimum.

Penelitian dilakukan mulai dari bulan Juni sampai dengan bulan Juli 2010. Pelaksanaan dilakukan di Peternakan Barokah milik Pak H. Mahfuddin Kelurahan Kebon Pedes, Kota Bogor, Laboratorium Mikrobiologi Program Diploma dan Laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sapi perah yang digunakan adalah sapi perah peranakan Friesian Holstein sebanyak sembilan ekor dengan dua perlakuan dan satu kontrol. Tepung temu putih diberikan pada sapi perah pada bulan ke 3-5 masa laktasi yang terjangkit mastitis subklinis. Model rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan kontrol (A.0), perlakuan pemberian tepung temu putih sebanyak 0,2 gram/kg bobot badan (A.1) dan perlakuan pemberian tepung temu putih sebanyak 0,4 gram/kg bobot badan (A.2). Peubah yang diamati adalah produksi susu per ekor, produksi susu per puting dan kadar lemak susu. Data tersebut kemudian di analisis berdasarkan Analisis Sidik Ragam dan di uji lanjut Tukey jika berbeda nyata.

(3)

diberikan tepung temu putih sebanyak 0,4 gram/kg bobot badan, rataan produksi susu semakin menurun pada minggu berikutnya dan tidak memberikan perubahan terhadap intensitas mastitis subklinis. Rataan produksi susu pada pemberian tersebut adalah 9.238,44 ml/ekor dan 2.386,70 ml/putting. Pada perlakuan kontrol tidak berbeda nyata dengan perlakuan A.1, dengan nilai rataan produksi susu sebesar 11.010,78 ml/ekor dan 2.752,69 ml/puting. Hasil pengujian kadar lemak tidak menunjukkan perbedaan antara tiap perlakuan.

(4)

ABSTRACT

The Effect of Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe)

on Milk Production of Sub-clinical Mastitis Dairy Cows

Nugroho, A. T., B. P. Purwanto, and A. Murfi

One of the problem of local milk production is genetic quality of the cows. Another problem is farmer skill, especially in animal health control. Many of dairy cattle at Indonesia, are suffer to subclinical mastitis that can affect quality and quantity of milk production. Temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) is a herbal plant that contains antibacterial and antioxidant compounds which maybe can relief mastitis. The present study was done to observe effect of temu putih mixed in concentrate on milk production using nine cows. A completely randomized design was was used for data analizing which consist of control treatment (A.0), 0.2 grams/kg body weight of temu putih mixed in concentrate (A.1) and 0.4 grams/kg body weight of temu putih mixed in concentrate (A.2). Observed variable was milk production per animal, milk production per quartir of udder and milk fat content. The result showed that milk production per cow and quartir of udder was significantly different among treatments (P<5%). Treatment A.1 improved milk production, but did not give effect on subclinical mastitis during the following week. Average milk production wan 12.1 liter/cow and 2.8 liter/ quartir of udder. Treatment A.2 decreased average milk production during the next week and did not improve condition of subclinical mastitis. The result also showed that there was no different in milk fat content among treatments.

(5)

PENGARUH PEMBERIAN TEMU PUTIH

(

Curcuma zedoaria

(Berg.)

Roscoe) TERHADAP PRODUKSI SUSU

SAPI PERAH PENDERITA MASTITIS SUBKLINIS

AGUS TRI NUGROHO

D14086001

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Instiut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(6)

Judul : Pengaruh Pemberian Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) Terhadap Produksi Susu Sapi Perah Penderita Mastitis Subklinis Nama : Agus Tri Nugroho

NIM : D14086001

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr.) (Ir. Andi Murfi, M.Si) NIP : 19600503 198503 1 003 NIP : 19631229 198903 1 002

Mengetahui, Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc NIP : 19591212 198603 1 004

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Juli 1987 di Jakarta Timur, Jakarta. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Wiyono dan Ibu Suwarsih.

Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1993 di Sekolah Dasar Negeri 05 Dukuh, Jakarta dan diselesaikan pada tahun 1999. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 1999 dan diselesaikan pada tahun 2002 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 257 Rambutan, Jakarta. Pendidikan menengah atas dimulai pada tahun 2002 dan diselesaikan pada tahun 2005 di Sekolah Menengah Atas Negeri 64 Cipayung, Jakarta.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT dan junjungan kita Nabi Muhammad SAW atas segala rahmat, nikmat dan hidayah yang telah diberikan, sehingga skripsi yang berjudul ”Pengaruh Pemberian Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) Terhadap Produksi Susu Sapi Perah Penderita Mastitis Subklinis” dapat terselesaikan dengan baik.

Penelitian ini dilakukan dengan latar belakang kurangnya persediaan susu nasional akibat dari mutu bibit ternak sapi perah yang rendah dan kemampuan budidaya ternak sapi perah yang kurang, khususnya menyangkut kesehatan ternak. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa sapi perah di Indonesia banyak yang terjangkit mastitis subklinis. Bersama dengan mahasiswi Program Pasca Sarjana dan dosen Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, maka dilakukan penelitian untuk mengurangi penyakit mastitis subklinis pada sapi perah dengan pemberian tepung temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) yang dicampurkan pada pakan sapi.

Penelitian mengenai penggunaan tepung temu putih yang dicampurkan pada pakan sapi belum pernah dilakukan sebelumnya. Nurdin dan Susanty (2009), melakukan penelitian temu putih 1 % dari konsentrat atau sebanyak 0,02 % bobot badan secara in vitro, memberikan efek terbaik terhadap konsentrasi NH3 dan total bakteri rumen. Penelitian lain mengenai penggunaan tanaman herbal lain (kunyit) yang juga berfungsi sebagai antioksidan telah dilakukan untuk menurunkan status mastitis subklinis. Penelitian tersebut menggunakan kunyit sebanyak 2 % dari ransum dengan hasil mampu menyembuhkan mastitis subklinis pada hari ke-23. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penelitian yang penulis lakukan dengan penggunaan tepung temu putih diharapkan mampu mengurangi status mastitis subklinis pada sapi perah dan produksi susu harian menjadi lebih baik.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Bogor, Juli 2011

(9)

DAFTAR ISI

Pencatatan Produksi Susu... 10

(10)

Pemberian Pakan ... 12

Produksi Susu ... 14

Produksi Susu per Ekor ... 14

Produksi Susu per Puting ... 17

Hasil Pemeriksaan Mastitis Subklinis dengan Uji IPB ... 18

Hasil Pemeriksaan Uji IPB Mastitis pada Kontrol ... 18

Hasil Pemeriksaan Uji IPB Mastitis pada A.1 ... 19

Hasil Pemeriksaan Uji IPB Mastitis pada A.2 ... 20

Produksi Susu dari Puting yang Terinfeksi Mastitis dengan yang Normal ... 21

Lemak Susu ... 23

KESIMPULAN DAN SARAN ... 24

Kesimpulan ... 24

Saran ... 24

UCAPAN TERIMA KASIH ... 25

DAFTAR PUSTAKA ... 27

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Hasil Analisis Proksimat Temu Putih ... 7

2. Hasil Penapisan Fitokimia Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe .... 8

3. Rataan Bobot Badan, Produksi Susu dan Kadar Lemak Susu Tiap Perlakuan ... 13

4. Kebutuhan Zat Makanan Sapi Perah Tiap Perlakuan ... 13

5. Komposisi Pemberian Pakan Sapi Perah ... 13

6. Rataan Produksi Susu per Ekor ... 15

7. Rataan Produksi Susu per Puting ... 17

8. Hasil Reaksi Pengujian IPB Mastitis pada Kontrol ... 18

9. Hasil Reaksi Pengujian IPB Mastitis pada Perlakuan A.1 ... 19

10. Hasil Reaksi Pengujian IPB Mastitis pada Perlakuan A.2 ... 21

11. Rataan Produksi Susu antara Puting Mastitis dan Normal... 22

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Rimpang Temu Putih. ... 6

2. Tepung Temu Putih ... 10

3. Grafik Rataan Produksi Susu per Ekor ... 16

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Tingkat Reaksi, Jumlah Sel Somatis dan Interpretasi dari Reaksi

California Mastitis Test (CMT) ... 30

2. Hasil Analisis Ragam Produksi Susu per Ekor ... 31

3. Hasil Analisis Ragam Produksi Susu per Puting ... 32

4. Hasil Analisis Ragam Kadar Lemak Susu ... 33

5. Hasil Analisis Proksimat Bahan Pakan yang Digunakan ... 34

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi perah merupakan salah satu ternak penghasil susu yang merupakan salah satu jenis pangan sumber protein hewani yang sangat penting. Susu memiliki kandungan protein yang sangat tinggi, sehingga sangat menunjang untuk pertumbuhan, kecerdasan dan daya tahan tubuh. Namun, konsumsi susu nasional saat ini masih belum dapat dipenuhi melalui produksi susu dalam negeri. Menurut Badan Pusat Statistik Republik Indonesia pada tahun 2009 populasi ternak sapi perah sebanyak 474.701 ekor, produksi susu 881.800 ton. Jumlah produksi itu baru memenuhi 30-35 % dari kebutuhan atau permintaan dalam negeri dan 65-70 % masih harus mengimpor dari luar negeri.

Salah satu permasalahan dari kurangnya produksi susu segar dalam negeri adalah mutu bibit yang rendah dan rendahnya kemampuan budidaya khususnya menyangkut kesehatan ternak. Kesehatan ternak merupakan ancaman besar bagi para peternak sapi perah. Sapi perah yang menderita penyakit dapat menimbulkan kerugian yang besar, terlebih penyakit menular dan berdampak pada penurunan produksi susunya. Penyakit dapat menular ke ternak sapi perah lain karena lingkungan yang kurang bersih, seperti penyakit mastitis yang dapat terjadi karena pemerah dan ambing yang tidak terjaga kebersihannya dan kejadian inilah yang sering terjadi di Indonesia. Menurut Siregar (1990), sapi perah di Indonesia banyak yang sudah terserang penyakit ini. Kerugian yang ditimbulkannya adalah penurunan jumlah dan mutu susu sehingga tidak dapat dipasarkan. Susu yang berkualitas tinggi dihasilkan secara alami dari mammary gland yang sehat, tidak terkontaminasi bakteri berkelebihan, beraroma susu, tidak kotor dan tidak ada pengobatan (Davis, 1962).

(15)

Indonesia kaya akan plasma nutfah yang mengandung antioksidan alami yang mampu melindungi kerusakan bahan pakan ternak namun juga dapat memperbaiki performans ternak serta dapat pula menjaga dan memelihara membran sel dari kerusakan (Sugiarto et al., 1986). Temu putih adalah tanaman obat yang tumbuh liar di Indonesia. Berdasarkan Wilson et al (2005), temu putih dapat digunakan sebagai obat tradisional untuk mengatasi infeksi bakteri dan jamur. Pemberian tepung temu putih yang dicampur dengan pakan, diharapkan mampu menambah antibodi sapi untuk menjaga serangan penyakit dari dalam tubuhnya. Menurut Nurdin dan Susanty (2009), penggunaan temu putih 1 % dari konsentrat atau sebanyak 0,02 % bobot badan secara in vitro, memberikan efek terbaik terhadap konsentrasi NH3 dan total bakteri rumen.

Tujuan

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Perah Fries Holland

Secara umum, sapi perah merupakan penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya. Salah satu bangsa sapi perah yang terkenal adalah Sapi perah Fries Holland (FH). Sapi FH, di Amerika Serikat disebut Holstein Friesian atau disingkat Holstein, sedangkan di Europa disebut Friesian. Sapi FH berasal dari propinsi Belanda Utara dan Propinsi Friesland Barat. Bangsa sapi FH murni warna bulunya hitam dan putih atau merah dan putih dengan batas-batas warna yang jelas (Sudono, 1999).

Menurut Siregar (1990), sapi perah FH mulai dimasukkan ke Indonesia pada zaman Hindia Belanda. Pada tahun 1891-1892 mulai didatangkan sapi jantan FH ke daerah Pasuruan, Jawa Timur. Sejak tahun 1900 di daerah Lembang, Jawa Barat, telah terdapat peternakan sapi perah yang memelihara FH. Dari daerah inilah sapi perah FH menyebar ke beberapa daerah di Jawa Barat. Semenjak tersebarnya sapi perah Friesian Holstein di beberapa daerah di Indonesia, dan khususnya di pulau Jawa, telah terjadi perkawinan-perkawinan yang tidak terencana dengan sapi-sapi setempat. Turunan-turunannya dikenal dengan sapi perah peranakan Friesian.

Produksi Susu

Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susunya tertinggi, dibandingkan bangsa-bangsa sapi perah lainnya, dengan kadar lemak susu yang rendah. Menurut Siregar (1990), kemampuan berproduksi susu sapi perah Friesian (FH dan peranakan FH) sebelum tahun 1979, berkisar antara 1.800-2.000 kg per laktasi dengan panjang laktasi rata-rata 9,5 bulan. Impor sapi perah yang telah dilakukan selama periode tahun 1979-1982, telah meningkatkan produksi susu rata-rata sapi perah Friesian di Indonesia menjadi rata-rata 8,92 liter per hari. Produksi susu rata-rata di Amerika Serikat 7.245 kg/laktasi dan kadar lemak 3,65 %, sedangkan di Indonesia produksi susu rata-rata per hari 10 liter/ekor (Sudono, 1999). Syarat mutu susu segar yang ditetapkan Badan Standarisasi Nasional (1998) untuk kadar lemak adalah 3,0 %.

(17)

kandang selama sepuluh bulan (Tyler dan Ensminger, 2006). Sudono et al. (2005) menyatakan, masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak dan masa kering. Produksi susu perhari mulai menurun setelah laktasi dua bulan. Demikian pula kadar lemak susunya, mulai menurun setelah 1-2 bulan masa laktasi. Dari 2-3 bulan masa laktasi, kadar lemak susu mulai konstan, kemudian naik sedikit.

Produksi susu sapi perah dipengaruhi oleh beberapa faktor penentu dalam usaha peternakan yaitu pemuliaan dan reproduksi, penyediaan dan pemberian pakan, pemeliharaan ternak, penyediaan sarana dan prasarana, serta pencegahan penyakit dan pengobatan (Tyler dan Ensminger, 2006). Hasil penelitian Siregar (2001) menyatakan bahwa peningkatan konsumsi zat gizi berakibat terhadap peningkatan produksi susu rata-rata harian dan peningkatan lemak susu, kandungan bahan kering tanpa lemak (SNF) dan total bahan kering susu (TS) secara nyata.

Mastitis Subklinis

Mastitis didefinisikan sebagai peradangan pada jaringan ambing yang disertai perubahan fisik, kimia, mikrobiologi dan adanya kenaikan jumlah sel somatic terutama leukosit dalam susu dan dapat disertai dengan perubahan patologis pada jaringan ambing. Bakteri penyebab mastitis subklinis yang paling sering terdeteksi adalah Streptococcus aureus disamping beberapa jenis bakteri lainnya seperti Streptococcus agalactiae dan Escherichia coli (Tyler dan Ensminger 2006). Menurut

Sudarwanto (1999), penyakit radang ambing atau yang dikenal sebagai mastitis merupakan masalah utama dalam peternakan sapi perah karena menyebabkan kerugian yang besar akibat penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Kejadian mastitis 97 – 98% merupakan mastitis subklinis, sedangkan 2 – 3% merupakan mastitis klinis yang terdeteksi.

(18)

selama laktasi kesehatan dan kebersihan sapi perah harus selalu dijaga dengan baik. Walaupun tidak secara drastis, mastitis dapat merusak perkembangan jaringan sekretoris susu sehingga akan menurunkan produksi dan kualitas susu saat berproduksi (Harmon, 1994). Infeksi atau peradangan ambing pada sapi perah dapat mempengaruhi komposisi air susu. Infeksi oleh bakteri pathogen penyebab mastitis menyebabkan kerusakan sel sekretoris ambing dan menurunkan kemampuan sintesa laktosa, kasein, lemak dan protein, dilain pihak serum albumin atau protein whey dan pH susu akan mengalami peningkatan (Jones, 2009).

Menurut Subronto (2007), dari berbagai usaha pengendalian, baik yang dilakukan oleh peternak maupun professional, dikenal tiga tingkatan cara pengendalian, yaitu :

1. Pengobatan pada masa kering saja yang menghasilkan kejadian mastitis turun 15-18 %.

2. Pengobatan pada masa kering, celup puting setelah pemerahan dan pengecekan teratur mesin perah yang menghasilkan penurunan kejadian infeksi turun 10 %. 3. Pengobatan pada masa kering, celup puting setelah pemerahan, pengecekan alat

dan pipa-pipa pemerahan dan pengenalan serta pengobatan mastitis pada sapi yang sedang laktasi. Cara ini telah mampu menurunkan infeksi kelenjar samapi 7 %.

(19)

Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe)

Curcuma zedoaria mempunyai nama daerah yaitu : temu putih (Jakarta, Indonesia), koneng bodas (Bogor). Tumbuh liar di Sumatera dan di hutan di Jawa Timur, juga tumbuh umum di Jawa Barat (Sunardi et al., 2002). Umumnya temu putih ditanam sebagai tanaman obat, dapat ditemukan tumbuh liar pada tempat-tempat terbuka yang tanahnya lembab pada ketinggian 0-1.000 meter diatas permukaan laut. Sosok tanaman ini mirip dengan temulawak dan dapat dibedakan dari rimpangnya. Temu putih banyak ditemukan di Indonesia seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra, Ambon, Irian, selain itu, juga dibudidayakan di India, Banglades, Cina, Madagaskar, Filipina, dan Malaysia.

Gambar 1. Rimpang Temu Putih

Kulit rimpang temu puting berwarna putih. Apabila diiris, daging rimpangnya berwarna putih kearah kuning muda dan rasanya pahit. Ada indikasi bahwa sifat itu merangsang sekresi kelenjar pencernaan dan memperkuat otot organ pencernaan melalui sistem saraf, dengan demikian sistem pencernaan diperkuat sehingga merangsang pembentukan suatu zat yang mampu merangsang tonifikasi. Pada dosis lebih tinggi, sifat pahit itu mempengaruhi membran lambung dan usus (Syukur, 2003). Nilai analisis proksimat temu putih disajikan pada Tabel 1, sedangkan hasil penapisan fitokimia temu putih disajikan pada Tabel 2.

Aktivitas Biologis Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe)

Aktivitas Bakteri. Sunardi et al. (2002), melaporkan minyak atsiri rimpang temu

(20)

memberikan penghambatan terhadap fungi (Trichophyton sp., Microsporum gypsum dan Aspergillus niger). Penelitian uji antimikroba yang dilakukan oleh Wilson et al.

(2005) terhadap 6 jenis ekstrak bakteri gram positif (B. subtilis, S. aureus, M. luteus), gram negatif (E. coli, P. mirabilis, K. pneumonia) dan fungi (A. niger dan C. albicans) memberikan hasil yang mendukung pemakaian ekstrak non polar C.

zedoaria sebagai obat tradisional untuk mengatasi infeksi bakteri dan jamur. Ekstrak

etanol Curcuma zedoaria (dari variasi konsentrasi penyari) dapat mempengaruhi daya hambat pertumbuhan bakteri S. aureus, B. subtilis dan E. coli (Katno et al., 2002). Menurut Nurdin dan Susanty (2009), menunjukkan penggunaan temu putih 1 % dari konsentrat atau sebanyak 0,02 % bobot badan secara in vitro, memberikan efek terbaik terhadap konsentrasi NH3 dan total bakteri rumen.

Tabel 1. Analisis Proksimat Temu Putih

Kandungan Nilai

Air (%) 9,28

Abu (%) 6,65

Protein kasar (%) 7,95

Serat kasar (%) 5,38

Lemak kasar (%) 3,56

BETN (%) 76,46

Energi bruto (kkal/kg) 4.608,00

Ca (%) 0,23

P (%) 0,97

Sumber : Nurdin dan Susanty, 2009

Aktivitas Antiinflamasi. Rimpang temu putih mengandung minyak atsiri dan secara

(21)

Tabel 2. Hasil penapisan fitokimia Curcuma zedoria (Berg) Roscoe.

No Golongan Kimia Serbuk C. zedoaria

1 Alkaloid (++++)

2 Flavonoid (++++)

3 Saponin (+++)

4 Tanin (-)

5 Steroid / terpenoid (-)

6 Triterfenoid (++++)

7 Glikosida (++)

8 Minyak atsiri (++++)

Keterangan : (-) = tidak terdeteksi

(+), (++), (++++) = menunjukan intensitas Sumber : Nurdin dan Susanty (2009)

Aktivitas Antioksidan. Temu putih mengandung kurkumin seperti halnya pada

(22)

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan selama dua bulan, mulai dari bulan Juni sampai dengan bulan Juli 2010. Pelaksanaan dilakukan di Peternakan Barokah milik Bapak H. Mahfuddin di Kelurahan Kebon Pedes, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Laboratorium Mikrobiologi Program Diploma dan Laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Ternak

Ternak sapi perah yang digunakan adalah bangsa peranakan Fries Holstein betina sebanyak 9 ekor sedang masa laktasi normal (bulan 3-5 masa laktasi) dari bangsa peranakan Fries Holstein yang menderita mastitis subklinis. Sapi-sapi tersebut di acak ke dalam 3 perlakuan dan terdapat ulangan sebanyak lima kali. Alat yang Digunakan

Alat yang digunakan untuk pencatatan produksi antara lain : gelas ukur 2.000 ml, gelas ukur 1.000 ml, teko plastik dan rak plastik, sedangkan untuk pengukuran lingkar dada sapi menggunakan pita ukur untuk menentukan bobot badan sapi yang digunakan. Alat yang digunakan pada pengujian kadar lemak susu adalah butirometer Gerber, sumbat karet, kain lap, sentrifus, penangas air, pipet otomatis untuk H2SO4 p.a 91 % dan amil alkohol dan pipet khusus 10,75 ml, serta contoh susu. Pada pengujian IPB mastitis menggunakan pereaksi IPB-1 dan paddle.

Prosedur

Pengukuran Lingkar Dada dan Bobot Badan

Pengukuran lingkar dada pada sapi perah dengan menggunakan pita ukur dan mengkonversikannya menjadi bobot badan dengan rumus (Sudono, 1999):

Bobot Badan = (Lingkar dada + 22) 2

100 Pemberian Temu Putih

(23)

ampas tempe) dengan cara mencampur temu putih dengan bahan pakan campuran tersebut. Pemberian dilakukan dua kali seminggu dan diberikan pagi dan sore hari. Konsentrasi pemberian temu putih dibagi menjadi 3 perlakuan, 1) sebagai kontrol (tanpa pemberian), 2) pemberian 0,2 gram/kg bobot badan dan 3) pemberian 0,4 gram/kg bobot badan. Tepung temu putih yang digunakan seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Tepung Temu Putih Pencatatan Produksi Susu

Pencatatan produksi susu dilakukan setiap kali pemerahan. Pemerahan dilakukan dua kali sehari. Pemerahan pertama dilakukan pada pukul 04.00 WIB dan pemerahan kedua pada pukul 14.30 WIB. Hasil data pencatatan harian dirata-ratakan dalam dua minggu untuk menkonversikan dengan 4 % FCM (Fat Corrected Milk). Uji Kadar Lemak Susu (SNI, 1998)

Pengujian kadar lemak susu dilakukan tiap dua minggu sekali dari susu campuran pagi dan siang hari terakhir dalam dua minggu. Pengujian kadar lemak susu dengan menggunakan metode Gerber. Langkah-langkah pengujian adalah sebagai berikut :

1. Menuangkan 10 ml H2SO4, 10,75 ml susu homogen dan kemudian 1 ml amil alkohol ke dalam butirometer Gerber secara berturut-turut.

2. Menutup butirometer dengan sumbat karet dan mengkocok dengan memutarkan membentuk angka delapan.

(24)

4. Memasukan butirometer ke dalam penangas air dengan suhu 65 0C selama 5 menit dengan bagian yang tersumbat di bawah.

5. Membaca hasilnya dengan melihat jumlah larutan yang berwarna kekuningan yang ada pada skala tabung butirometer.

Uji IPB Mastitis (Sanjaya et al., 2009)

Metode pengujian mastitis IPB merupakan pengembangan modifikasi uji-uji AMP dan CMT. Pereaksi IPB-1 akan bereaksi dengan DNA dari inti sel somatis, sehingga terbentuk massa kental seperti gelatin. Makin kental massa yang terbentuk maka semakin tinggi tingkat reaksinya, dan berarti makin tinggi jumlah sel somatis.

Cara kerja pengujian adalah menuangkan sekitar 2 ml susu ke dalam paddle, kemudian tambahkan pereaksi IPB-1 dengan jumlah sama seperti susu. Homogenkan dengan mengaduk secara horisontal selama 15-20 detik. Amati reaksi yang terjadi (tetap homogen : negatif, lendir/kental : +, ++, +++).

Rancangan dan Analisis Data

Model

Metode rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan model sebagai berikut :

Ytp = µ + At+ εtp

Keterangan : Ytp : nilai pengamatan dari perlakuan pemberian temu putih µ : nilai tengah umum

At : pengaruh dari pemberian temu putih pada taraf ke-t

εtp : pengaruh galat percobaan Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati meliputi jumlah produksi susu per ekor dan per puting dalam satuan mililiter dan kadar lemak susu.

Analisis Data

(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi

Peternakan Barokah berdiri sejak tahun 1996 dengan pemilik Bapak Haji Mahpudin. Peternakan ini terletak di Kelurahan Kepon Pedes RT 03 RW 06 Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Jenis usaha yang dijalankan pada awalnya adalah penjualan susu murni kepada konsumen. Seiring berkembangnya usaha tersebut, saat ini jenis usaha lain yang dijalankan oleh Peternakan Barokah adalah penggemukan sapi potong, penjualan pedet lepas sapih dan penjualan daging segar jika ada permintaan konsumen.

Topografi wilayah Kelurahan Kebon Pedes adalah datar dengan ketinggian 200 meter di atas permukaan laut. Suhu udara berkisar antara 22,7-30,9 oC dengan curah hujan rata-rata 3.336,8 mm pertahun.

Lokasi Peternakan Barokah sangat strategis karena dekat dengan pusat kota Bogor dan akses jalan menuju peternakan yang mudah. Hal tersebut memudahkan dalam menyalurkan dan memasarkan susu kepada konsumen, loper susu, maupun ke KPS Bogor.

Pemberian Pakan

Berdasarkan data pada Tabel 3, nilai rataan produksi susu dan rataan kadar lemak berbanding terbalik. Nilai rataan produksi susu pada perlakuan A.1 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A.0 dan A.2, namun nilai rataan kadar lemak susunya merupakan nilai terendah dari perlakuan yang A.0 dan A.2. Hal ini sesuai dengan Akers (2002), produksi susu berkorelasi negatif dengan kadar lemak susu. Pada nilai rataan bobot badan juga dapat dilihat bahwa nilai rataan bobot badan tertinggi (A.1) diantara ketiga perlakuan juga menghasilkan produksi susu yang lebih tinggi. Siregar (1990) mengungkapkan, jumlah zat-zat makanan yang dibutuhkan untuk hidup pokok sapi perah didasarkan pada bobot badan.

(26)

makanan sapi perah disajikan pada Tabel 4, dan komposisi pemberian pakan sapi perah disajikan pada Tabel 5.

Tabel 3. Rataan Bobot Badan, Produksi Susu dan Kadar Lemak Susu Tiap Perlakuan Perlakuan Bobot Badan (kg) Produksi Susu (ml) Kadar Lemak (%)

A.0 380 11.010,78 3,36

A.1 400 12.109,36 3,19

A.2 377 9.238,44 3,44

Tabel 4. Kebutuhan Zat Makanan Sapi Perah Tiap Perlakuan

Perlakuan Kebutuhan Zat Makanan (kg)

Bahan Kering Protein Kasar TDN Ca P

A.0 11,40 1,25 6,31 0,04 0,03

A.1 12,00 1,33 6,67 0,05 0,03

A.2 11,31 1,11 5,79 0,04 0,03

Keterangan : Hasil perhitungan berdasarkan kebutuhan untuk hidup pokok dan untuk memproduksi 1 kg susu berdasarkan kadar lemak.

Tabel 5. Komposisi Pemberian Pakan Sapi Perah

Jenis Pakan

Sumber : Hasil analisis pakan Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak (2010).

(27)

untuk produksi adalah kebutuhan untuk pertumbuhan, produksi susu, dan untuk pertumbuhan janin apabila sapi perah sedang bunting (Siregar, 1990). Perhitungan kebutuhan zat makanan pada Tabel 4 didasarkan pada kebutuhan hidup pokok yang tergantung pada bobot badan dan kebutuhan produksi tergantung kadar lemak dan jumlah produksi susu harian. Nilai kebutuhan tertinggi terlihat pada sapi yang mendapat perlakuan A.1, hal ini didasarkan pada bobot badan dan produksi susu yang lebih tinggi dibandingkan kedua perlakuan lainnya.

Pemberian pakan yang dilakukan seperti biasa sesuai dengan pemberian yang dilakukan oleh Peternakan Barokah. Pakan konsentrat (campuran ampas tahu, ampas temped an konsentrat KPS Bogor) diberikan tiga kali dalam sehari. Rumput lapangan diberikan pada sore hari dan kulit jagung diberikan pada pagi hari. Hasil perhitungan jumlah pemberian zat-zat makanan yang tersaji sudah melebihi kebutuhan pakan sapi. Jumlah pemberian pakan segar adalah 98 kg/ekor/hari dengan nilai bahan kering 14,25 kg/ekor/hari, protein kasar 1,97 kg/ekor/hari dan TDN 8,91 kg/ekor/hari. Tingginya jumlah konsumsi dikarenakan penggunaan pakan yang memiliki kandungan air yang cukup tinggi pula. Pakan dengan kandungan air tinggi yang digunakan adalah ampas tahu, ampas tempe, rumput lapang dan kulit jagung.

Hasil perhitungan kebutuhan zat makanan sapi dari ketiga perlakuan tidak menunjukkan kekurangan dari jumlah zat makanan yang diberikan. Ketiga perlakuan sudah mendapatkan lebih zat makanan dari kebutuhannya. Jumlah berlebih bahan kering yang diberikan pada ketiga perlakuan (A.0; A.1 dan A.2) masing-masing adalah 2,85; 2,25 dan 2,94 kg. Jumlah berlebih pada protein kasar masing-masing adalah 0,27; 0,64 dan 0,86 kg. Pada TDN, jumlah yang berlebih masing-masing adalah 2,6; 2,24 dan 3,12.

Produksi Susu

Produksi Susu per Ekor

(28)

Tabel 6. Rataan Produksi Susu per Ekor

A.0 11.811,25 12.065,70 10.161,08 10.036,89 10.978,96 11.010,78a A.1 10.768,38 12.625,78 12.203,61 12.712,01 12.237,04 12.109,36a A.2 10.998,58 10.661,12 7.638,60 8.302,73 8.591,15 9.238,44b

Keterangan : Huruf superskrip pada kolom rata-rata menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Hasil analisis sidik ragam rataan produksi susu pada penelitian ini memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap produksi susu per ekor, dengan rata-rata produksi susu tertinggi (12.109,36 ml) pada perlakuan A.1. Pada rataan produksi susu sapi A.1 dengan sapi A.0 tidak ada perbedaan. Namun, pada perlakuan A.1 terjadi peningkatan rataan produksi susu mulai dari minggu ke-0 sampai minggu ke-8 pengamatan. Pemberian temu putih pada perlakuan A.1 lebih baik dibandingkan dengan pemberian pada perlakuan A.2. Temu putih mengandung kurkumin seperti halnya pada kunyit. Menurut Taspirin (2009), fungsi kurkumin yaitu sebagai antioksidan yang bekerja mengikat radikal oksigen bebas hasil fagosit pada peradangan. Pemberian imbuhan kunyit, Zn proteinat, dan Cu proteinat dalam ransum menurunkan status mastitis subklinis.

Pada kontrol dan perlakuan A.2 terjadi penurunan produksi susu mulai dari minggu ke-0 sampai minggu ke-8 pengamatan. Pemberian tersebut tidak mampu memperbaiki produksi susu karena diduga terjadi proses pencernaan yang tidak baik karena berlebihannya jumlah pemberian temu putih. Temu putih bersifat antibakteri dan diduga mampu mempengaruhi perkembangan bakteri di dalam rumen jika diberikan dalam jumlah yang berlebih.

(29)

Grafik produksi susu pada bulan 2-3 adalah masa puncak produksi dan seterusnya akan mengalami penurunan secara perlahan sampai pada masa kering kandang. Sapi yang digunakan pada penelitian ini adalah sapi yang yang sudah berproduksi antara 3-5 bulan, masa itu grafik produksi akan mengalami penurunan. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa produksi susu rata-rata pada sapi kontrol (A.0) mengalami penurunan pada minggu ke-2 sampai minggu ke-6 sebesar 2.028,81 ml dan kembali terjadi peningkatan sebesar 942,07 ml. Pada perlakuan 1 (A.1), produksi susu mengalami peningkatan antara minggu ke-0 sampai minggu ke-8 sebesar 1.468,66 ml, sedangkan pada perlakuan 2 (A.2) mengalami penurunan sebesar 2.407,43 ml.

Gambar 3. Grafik Rataan Produksi Susu per Ekor

(30)

Produksi Susu per Puting

Nilai rataan produksi susu per puting disajikan pada Tabel 7. Hasil analisis sidik ragam rataan produksi susu pada penelitian ini memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap produksi susu per puting, dengan rataan produksi susu tertinggi (2.837,78 ml) pada perlakuan A.1. Nilai rataan kontrol sebesar 2.752,69 ml dan pada perlakuan A.2 sebesar 2.386,70 ml.

Tabel 7. Rataan Produksi Susu per Puting

Perlakuan Pengamatan minggu ke- Rata-rata

0 2 4 6 8

…..………ml/puting/hari…………..……… A.0 2.952,81 3.016,43 2.540,27 2.509,22 2.744,74 2.752,69a A.1 2.624,09 3.032,69 2.793,27 2.974,66 2.764,21 2.837,78a A.2 2.623,72 2.645,55 2.109,50 2.212,31 2.342,41 2.386,70b

Keterangan : Huruf superskrip pada kolom rata-rata menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Gambar 4. Grafik Rataan Produksi Susu per Puting

(31)

sifat antibakteri mempengaruhi perkembangan bakteri rumen. Perkembangan bakteri rumen yang terganggu akan menyebabkan proses pencernaan yang terganggu pula.

Hasil PemeriksaanUji IPB Mastitis

Pengujian mastitis dengan menggunakan IPB mastitis test yang merupakan pengembangan dengan cara memodifikasi uji-uji AMP (Aulendorfer Mastitis Probe) dan CMT (California Mastitis Test) (Sanjaya et al, 2009). Hasil pemeriksaan mastitis subklinis dengan uji IPB mastitis dapat dilihat pada Tabel 7, Tabel 8, dan Tabel 9. Hasil Pemeriksaan Uji IPB Mastitis pada Kontrol

Hasil reaksi pengujian IPB mastitis pada control tersajikan pada Tabel 8. Hasil pemeriksaan pada sapi kontrol adalah tidak dapat diduga dengan tidak digunakannya tepung temu putih.

Tabel 8. Hasil Reaksi Pengujian IPB Mastitis pada Kontrol

No.

(+), (++), (+++) = menunjukkan tingkat reaksi gumpalan

(32)

Sapi A.0.3 puting A, tercatatnya peningkatan reaksi gumpalan pada minggu ke-2 dengan nilai rataan produksi susu juga mengalami penurunan sampai rataan minggu ke-4 yang tidak terdeteksi gumpalan dan rataan produksi susu pada minggu ke-6 menjadi meningkat. Pada puting B dan C, nilai rataan produksi susu terus mengalami penurunan walaupun tidak terdeteksi adanya gumpalan. Pada puting D terjadi penurunan rataan produksi susu akibat meningkatnya reaksi pada minggu ke-2, kemudian tetap mengalami penurunan walau reaksi gumpalan manjadi (+) pada minggu ke-4.

Hasil Pemeriksaan Uji IPB Mastitis pada A.1

Hasil pada sapi yang mendapatkan perlakuan pemberian tepung temu putih 0.2 gram/kg bobot badan (A.1) dapat dilihat pada Tabel 9. Penggunaan tepung temu putih mampu memperbaiki keadaan mastitis subklinis yang diderita dari beberapa puting sapi perah.

Tabel 9. Hasil Reaksi Pengujian IPB Mastitis pada Perlakuan A.1

No.

Keterangan : (-) = tidak terdeteksi

(+), (++), (++++) = menunjukkan reaksi gumpalan

(33)

gumpalan pada minggu ke-4, walau terjadi peningkatan reaksi gumpalan pada minggu ke-2.

Pada sapi A.1.2 puting A, terjadi penurunan rataan produksi susu akibat adanya gumpalan (++) pada minggu ke-2 dan ke-4 dan kemudian mengalami peningkatan rataan produksi susu pada minggu ke-6 dari perubahan reaksi gumpalan menjadi (+) pada minggu ke-4. Peningkatan rataan produksi susu tidak dialami puting C yang mengalami perubahan intensitas pada minggu ke-2 (++) menjadi + pada minggu ke-4 dan kembali mengalami penurunan rataan produksi susu yang cukup besar pada minggu ke-6 (702,13 ml).

Rataan produksi susu pada sapi A.1.3 puting D memperlihatkan adanya peningkatan tiap dua minggunya, dengan catatan tidak terlihatnya gumpalan dari pengujian IPB mastitis. Rataan produksi susu puting B memperlihatkan adanya peningkatan bila tidak terdeteksi gumpalan dan terjadi penurunan bila terdeteksi adanya gumpalan. Hal itu tidak terjadi pada puting C, terdeteksinya gumpalan pada susu, namun rataan produksi meningkat dan pada minggu ke-4 yang tidak terdeteksi adanya gumpalan, produksi susu pada minggu berikutnya menurun.

Pemberian tepung temu putih mampu memperbaiki keadaan mastitis subklinis pada ketiga sapi, walau tidak semua puting yang terinfeksi mastitis subklinis produksi susunya juga meningkat. Reaksi yang terlihat baik adalah pada puting A (A.1.1), puting A (A.1.2) dan puting B (A.1.3), karena terjadi perubahan reaksi gumpalan diikuti dengan peningkatan produksi susu. Perubahan reaksi gumpalan pada puting yang terinfeksi mastitis subklinis diduga karena adanya senyawa antibakteri, antiinflamasi dan antioksidan pada temu putih. Sunardi et al. (2002), melaporkan minyak atsiri rimpang temu putih (10µ L/kerts cakram) menghambat pertumbuhan bakteri S. aereus, B. subtilis, E. coli, P. aeruginosa, S. thyphi, S. typhymurium, S. paratyphi B dan C. Menurut Taspirin (2009), fungsi kurkumin yaitu sebagai antioksidan yang bekerja mengikat radikal oksigen bebas hasil fagosit pada peradangan.

Hasil Pemeriksaan Uji IPB Mastitis pada A.2

(34)

tidak mengalami perbaikan yang pasti. Terlihat pada puting A dan B, reaksi gumpalan (++) pada minggu awal sebelum pemberian kemudian menjadi (+) pada minggu ke-2 dan mengalami peningkatan menjadi (++) pada minggu ke-6. Rataan produksi pada kedua puting tersebut pun mengalami penurunan tiap dua minggunya. Tabel 10. Hasil Reaksi Pengujian IPB Mastitis pada Perlakuan A.2

No.

Keterangan : (-) = tidak terdeteksi

(+), (++), (++++) = menunjukan reaksi gumpalan

Reaksi hasil pengujian IPB yang semakin buruk akan menurunkan rataan produksi susu. Hal itu terlihat pada sapi A.2.2 puting C dan D. Penurunan rataan produksi susu juga terlihat pada puting A dan B yang mengalami perubahan reaksi gumpalan. Pada sapi A.2.3 puting A yang tidak terdeteksi gumpalan, rataan produksi susu menurun sampai minggu ke-4 dan meningkat pada minggu selanjutnya. Pada puting B, peningkatan reaksi gumpalan pada minggu ke-2 (++) diikuti oleh penurunan rataan produksi susu pada minggu ke-4 dan tidak terdeteksinya gumpalan pada minggu ke-4 diikuti peningkatan rataan produksi susu pada minggu ke-6.

Produksi Susu dari Puting yang Terinfeksi Mastitis dengan yang Normal

(35)

yang tidak menderita. Pada perlakuan A.1, peningkatan rataan produksi susu terjadi pada puting yang tidak menderita mastitis subklinis lebih besar dibandingkan dengan puting yang menderita mastitis subklinis. Pada perlakuan A.0 (kontrol), peningkatan rataan produksi susu hanya terjadi pada puting yang tidak menderita mastitis subklinis, sedangkan pada puting yang menderita mastitis subklinis terjadi penurunan rataan produksi susu.

Tabel 11. Rataan Produksi Susu antara Puting Mastitis dan Normal

Kondisi A.0 A.1 A.2

Minggu Sebelum Perlakuan

…...……….….…..ml/ekor/hari………..…..….….. Mastitis (+/++/+++) 3.362,92 2.287,50 2.390,07

Normal 2.706,75 2.792,38 2.857,38

Minggu ke-2

…...……….….…..ml/ekor/hari………..…..….….. Mastitis (+/++/+++) 3.084,29 2.442,31 2.090,27

Normal 2.975,71 3.623,08 3.200,82

Minggu ke-4

…...……….….…..ml/ekor/hari………..…..….….. Mastitis (+/++/+++) 2.979,40 2.021,33 1.413,39

Normal 2.276,79 3.050,59 2.457,56

(36)

Lemak Susu

Hasil analisis sidik ragam rataan kadar lemak susu tersaji pada Tabel 12. Pada penelitian ini memperlihatkan tidak adanya perbedaan yang nyata (P<0,05), dengan rataan lemak susu tertinggi (3,44 %) pada perlakuan A.2 dan rataan kadar lemak susu terendah (3,19 %) pada perlakuan A.1. Pada kontrol (A.0) rataan kadar lemak susu sebesar 3,36 %. hasil rataan kadar lemak susu sapi yang digunakan pada penelitian ini masih memenuhi syarat mutu susu segar SNI (1998) dengan kadar lemak minimum adalah 3,0 % dan dari ketentuan Codex Air Susu 1914 dengan kadar lemak lebih dari 2,7 %.

Tabel 12. Nilai Rataan Kadar Lemak Susu

Perlakuan Pengamatan minggu ke- Rata-rata Stdev

0 2 4 6 8

………..ml………….………

A.0 3,55 3,88 3,10 3,19 3,07 3,36 0,35

A.1 3,17 3,53 2,79 3,45 3,01 3,19 0,31

A.2 3,49 3,58 2,85 3,43 3,82 3,44 0,36

Keterangan : Nilai rataan kadar lemak susu berdasarkan persentase.

(37)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pemberian tepung temu putih sebesar 0,2 gram/kg bobot badan mampu memperbaiki produksi susu sapi perah yang terserang mastitis subklinis. Pemberian 0,2 gram/kg bobot badan merupakan pemberian yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian tepung temu putih sebesar 0,4 gram/kg bobot badan. Pemberian tepung temu putih sebesar 0,2 gram/kg bobot badan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian sebesar 0,4 gram/kg bobot badan dilihat dari hasil reaksi gumpalan uji IPB mastitis dan peningkatan produksi susunya. Pemberian tepung temu putih melalui pakan tidak mempengaruhi kadar lemak susu.

Saran

(38)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT dan junjungan kita Nabi Muhammad SAW atas segala rahmat, nikmat dan hidayah yang telah diberikan, sehingga skripsi yang berjudul ”Pengaruh Pemberian Temu Putih (Curcuma Zedoaria (Berg.) Roscoe) Terhadap Produksi Susu Sapi Perah Penderita Mastitis Subklinis” dapat terselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr., sebagai dosen pembimbing utama dan Ir. Andi Murfi, M.Si sebagai dosen pembimbing anggota yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama pelaksanaan penelitian sampai penulisan skripsi ini. Kepada panitia sidang Bapak Baihaqi, S.Pt., M.Sc, dosen penguji Bapak Ahmad Yani, S.TP., M.Si dan Ibu Dr. Ir. Panca Dewi M.H.K.S., M.Si terima kasih telah memberikan kritik dan saran yang dibutuhkan agar penulisan skripsi ini menjadi lebih baik. Kepada Ibu Hilda Susanty yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk membantu dalam pelaksanaan penelitiannya dan memberikan arahan dalam penulisan skripsi. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak H. Mahfuddin dan keluarga yang telah memberikan izin melaksanakan penelitian pada peternakan Barokah serta semua pegawai peternakan yang telah membantu selama penelitian berlangsung. Kepada Bapak Sukma Wijaya A.Md dan Bapak Dedi Permadi A.Md yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian di dalam laboratorium perah. Kepada dosen Pembimbing Akademik Bapak Ir. Dwi Joko Setyono, M.Si terima kasih telah memberikan arahan dalam menjalani perkulihan.

(39)

Terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada semua dosen dan pegawai di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Adjirni & Sa’roni. 2002. Penelitian Efek Antiinflamasi Infus Rimpang Temu Putih (Curcuma zedoaria Rosc.) pada Tikus Putih. Puslitbang Farmasi dan Obat Tradisional. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXI. Surabaya.

Akers R. M. 2002. Lactaion and The Mammary Gland, First Ed. Iowa State Press. Animal Production. New York. United State.

Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2009. Produksi Susu Sapi Perah. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=24&n otab=4. (21 Juni 2010).

Badan Standarisasi Nasional. 1998. Standar Nasional Indonesia (SNI) Susu Segar

Nomor 01-3141-1998. Revisi 1992.

http://www.disnak.jabarprov.go.id/data/arsip/Standar%20Susu%20Segar.pdf. (11 Juni 2010).

Davis, R. F. 1962. Modern Dairy Cattle Management. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, N. J. United States of America.

Harmon, R. J. 1994. Physiology of Mastitis and Factors Affecting Somatic Cell Counts. J Dairy Sci 77; 2103-2112.

Hurley W. L. 2009. Mastitis Case Studies, Milk Composition and Quality. http://classes.ansci.illinois.edu/ansc438/mastitis/mastitisresources.html (12 Januari 2011)

Jones, G. M. 2009. Understanding the Basics of Mastitis. Virginia Cooperative Extension. Publication 404-233. http://pubs.ext.vt.edu/404/404-233/404-233.html. (15 Maret 2011)

Katno, Suwarni, & S. Wahyono. 2002. Perbandingan Ekstrak Etanol Curcuma mangga Val et Zyp. dan Curcuma zedoaria (Berg.) Rosc. Terhadap Daya Hambat Pertumbuhan Bakteri. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXI. Surabaya. McDowell L. R. 2000. Reevaluation of The Metabolic Essentially of The Vitamin. J

Anim Sci 13: 115 – 125.

Mellenberger, R. & Roth, C. J., 2000. Milk Quality. California Mastitis Test (CMT) Fact Sheet, University of Wilconson, Madison. http://www.uwex.edu/milkquality/PDF/045cmt_factsheet.pdf (25 Agustus 2010)

Nurdin, E. & H. Susanty. 2009. Efek Pemberian Bahan Antioksidan Alami terhadap Produksi dan Daya Tahan Tubuh Sapi Penderita Mastitis Subklinis. Laporan Penelitian Fundamental.

Pusat Data dan Informasi PERSI. 2003. Temu Putih. http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=1038&tbl=alternatif. (21 Mei 2010).

(41)

Sanjaya, A. W., M. Sudarwanto, R. R. Soejoedono, T. Purnawarma, D. W. Lukman, & H. Latif. 2009. Penuntun Praktikum Higiene Pangan Asal Hewan. Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner Dept. IPHK, FKH, IPB. Bogor.

Siregar, S. B. 1990. Sapi Perah - Jenis, Teknik Pemeliharaan dan Analisa Usaha. Penebar Swadaya.Jakarta.

Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi II. Terjemahan B. Sumantri. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Subroto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II. Cetakan ke-3. Gadjah Mada Iniversity Press, Yogyakarta.

Sudarwanto, M. B. 1999. Usaha Peningkatan Produksi Susu Melalui Program Pengendalian Mastitis Subklinis. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sudono, A., R. F. Rosdiana & B. S. Setiawan. 2005. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Cetakan ke-3. Agromedia Pustaka. Depok.

Sugiarto, E., S. Fardiaz dan F. Dewanti. 1986. Rempah-rempah dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Mikroba. Media Teknologi Pangan Departemen Pertanian. 2: 29 – 35.

Sunardi, C., P. Dewi N.L., L. Sutedja dan L. Broto S. Kardono. 2002. Studi Aktivitas Antimikroba Minyak Atsiri dari Rimpang Kaempferia rotunda L., Curcuma zedoaria Rosc. dan Curcuma Mangga Val. ET ZIJP. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXI. Surabaya.

Syukur, C. 2003. Temu Putih (Tanaman Obat Antikanker).Cetakan ke-1. Penebar Swadaya. Bogor.

Taspirin, D. S. 2009. Pengaruh Ransum Berimbuhan Kunyit, ZN Proteinat dan CU Proteinat Terhadap Penurunan Status Mastitis Subklinis Pada Sapi Perah FH. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. Tyler, H. D., & M.E. Ensminger. 2006. Dairy Cattle Science. Fourth Edition. Upper

Saddle River, New Jersey.

(42)
(43)

Lampiran 1. Tingkat Reaksi, Jumlah Sel Somatis dan Interpretasi dari Reaksi California Mastitis Test (CMT)

Tingkat

Reaksi Arti Reaksi yng terlihat JSS (sel/ml) Interpretasi

- Negatif Campuran tetap cair, tetap homogen 0 – 200.000

Terbentuk lendir tipis yang cenderung

hilang kembali dengan menggerakkan

paddle terus menerus

Campuran membentuk jel yang

cenderung bergerak ke tengah jika

paddle digerakkan, jika gerakan

dihentikan jel akan kembali ke dasar

1.200.000 -

5.000.000 Mastitis

+++ Positif kuat

Terbentuk jel yang cenderung melekat

pada dasar paddle dan bila digerakkan

akan menyebabkan permukaan menjadi

cembung

(44)

Lampiran 2. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Produksi Susu per Ekor Analisis Sidik Ragam Produksi Susu per Ekor

Sumber Keragaman DB JK KT F P

Perlakuan 2 9191303 4595651 6.20 0.0142 Galat 12 8899955 741663

Total 14 1.809E+07 Grand Mean 10636 CV 8.10

Chi-Sq DB P Bartlett's Test of Equal Variances 0.56 2 0.7572 Cochran's Q 0.4178

Largest Var / Smallest Var 2.1168

Component of variance for between groups 770798 Effective cell size 5.0

Taraf Mean Stdev

1 11011 925.35 2 11351 662.68 3 9547 964.14 Observations per Mean 5 Standard Error of a Mean 385.14 Std Error (Diff of 2 Means) 544.67

Tukey HSD All-Pairwise Comparisons Test of Produksi Susu by Perlakuan

Perlakuan Mean Homogeneous Groups

2 11351 a

1 11010 a

3 9546.4 b

Alpha 0.05 Standard Error for Comparison 544.60 Critical Q Value 3.783 Critical Value for Comparison 1456.9 There are 2 groups (A and B) in which the means

(45)

Lampiran 3. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Produksi Susu per Puting Analisis Sidik Ragam Produksi Susu per Puting

Sumber Keragaman DB JK KT F P

Perlakuan 2 574661 287330 6.21 0.0141 Galat 12 555371 46281

Total 14 1130032 Grand Mean 2658.6 CV 8.09

Chi-Sq DB P Bartlett's Test of Equal Variances 0.56 2 0.7560 Cochran's Q 0.4181

Largest Var / Smallest Var 2.1219

Component of variance for between groups 48209.9 Effective cell size 5.0

Taraf Mean Stdev

1 2752.2

2 2837.4

3 2386.2

Observations per Mean 5 Standard Error of a Mean 96.209 Std Error (Diff of 2 Means) 136.06

Tukey HSD All-Pairwise Comparisons Test of Produksi Susu by Perlakuan

Perlakuan Mean Homogeneous Groups

2 2837.4 a 1 2752.2 a 3 2386.2 b

Alpha 0.05 Standard Error for Comparison 136.06 Critical Q Value 3.783 Critical Value for Comparison 363.99 There are 2 groups (A and B) in which the means

(46)

Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Kadar Lamak Susu Analisis Sidik Ragam Kadar Lemak Susu

Sumber Keragaman DB JK KT F P

Perlakuan 2 0.15589 0.07795 0.68 0.5256 Galat 12 1.37760 0.11480

Total 14 1.53349

Grand Mean 3.3273 CV 10.18

Chi-Sq DB P Bartlett's Test of Equal Variances 0.10 2 0.9522 Cochran's Q 0.3735

Largest Var / Smallest Var 1.3684

Component of variance for between groups -0.00737 Effective cell size 5.0

Taraf Mean

1 3.3580 2 3.1900 3 3.4340

(47)

Lampiran 5. Hasil Analisis Proksimat Bahan Pakan yang Digunakan

Analisa Proksimat Konsentrat Ampas tahu Ampas tempe Rumput Lapang Kulit jagung

Bahan Kering (%) 76.77 5.36 13.36 19.82 18.70

Protein kasar (%) 15.25 14.09 16.24 15.22 5.24

Lemak kasar (%) 4.19 29.77 5.90 2.02 0.96

Serat kasar (%) 19.33 9.11 42.23 29.80 26.80

TDN (%) 68.00 74.93 60.29 56.24 49.99

Ca (%) 0.63 0.78 0.35 0.69 0.24

(48)

PENGARUH PEMBERIAN TEMU PUTIH

(

Curcuma zedoaria

(Berg.)

Roscoe) TERHADAP PRODUKSI SUSU

SAPI PERAH PENDERITA MASTITIS SUBKLINIS

SKRIPSI

AGUS TRI NUGROHO

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(49)

RINGKASAN

AGUS TRI NUGROHO. D14086001. Pengaruh Pemberian Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) Terhadap Produksi Susu Sapi Perah Penderita Mastitis Subklinis. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr. Pembimbing Anggota : Ir. Andi Murfi, M.Si

Susu merupakan salah satu jenis pangan sumber protein hewani yang sangat penting karena memiliki kandungan protein yang sangat tinggi. Namun, konsumsi susu nasional belum mampu terpenuhi dari produksi susu dalam negeri. Beberapa permasalahan dari terbatasnya produksi susu segar dalam negeri adalah mutu bibit yang ada dan rendahnya kemampuan budidaya khususnya menyangkut kesehatan ternak. Sapi perah di Indonesia banyak yang terserang penyakit yang mampu menurunkan dan merusak produksi susu sapi tersebut, salah satunya adalah mastitis subklinis. Pengobatan pada penyakit ini adalah dengan penyuntikan antibiotik intra mamary, akan tetapi hal ini akan mempengaruhi kualitas susu dan berbahaya bagi yang meminumnya.

Temu putih (Curcuma zedoria (Berg.) Roscoe) merupakan tanaman herbal yang mengandung senyawa antibakteri, antioksidan dan antiinflamasi. Pemberian temu putih berupa tepung dan dicampurkan pada pakan sapi diharapkan mampu memberikan efek positif terhadap jumlah produksi susu harian dan intensitas mastitis subklinis.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek penambahan temu putih ke dalam ransum sapi perah sebagai antibakteri alami dengan memperhatikan produksi susunya. Tujuan lainnya adalah memperoleh angka penggunaan optimum dalam penggunaan temu putih sebagai antibakteri herbal, sehingga sapi perah mampu memproduksi susu secara optimum.

Penelitian dilakukan mulai dari bulan Juni sampai dengan bulan Juli 2010. Pelaksanaan dilakukan di Peternakan Barokah milik Pak H. Mahfuddin Kelurahan Kebon Pedes, Kota Bogor, Laboratorium Mikrobiologi Program Diploma dan Laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sapi perah yang digunakan adalah sapi perah peranakan Friesian Holstein sebanyak sembilan ekor dengan dua perlakuan dan satu kontrol. Tepung temu putih diberikan pada sapi perah pada bulan ke 3-5 masa laktasi yang terjangkit mastitis subklinis. Model rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan kontrol (A.0), perlakuan pemberian tepung temu putih sebanyak 0,2 gram/kg bobot badan (A.1) dan perlakuan pemberian tepung temu putih sebanyak 0,4 gram/kg bobot badan (A.2). Peubah yang diamati adalah produksi susu per ekor, produksi susu per puting dan kadar lemak susu. Data tersebut kemudian di analisis berdasarkan Analisis Sidik Ragam dan di uji lanjut Tukey jika berbeda nyata.

(50)

diberikan tepung temu putih sebanyak 0,4 gram/kg bobot badan, rataan produksi susu semakin menurun pada minggu berikutnya dan tidak memberikan perubahan terhadap intensitas mastitis subklinis. Rataan produksi susu pada pemberian tersebut adalah 9.238,44 ml/ekor dan 2.386,70 ml/putting. Pada perlakuan kontrol tidak berbeda nyata dengan perlakuan A.1, dengan nilai rataan produksi susu sebesar 11.010,78 ml/ekor dan 2.752,69 ml/puting. Hasil pengujian kadar lemak tidak menunjukkan perbedaan antara tiap perlakuan.

(51)

ABSTRACT

The Effect of Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe)

on Milk Production of Sub-clinical Mastitis Dairy Cows

Nugroho, A. T., B. P. Purwanto, and A. Murfi

One of the problem of local milk production is genetic quality of the cows. Another problem is farmer skill, especially in animal health control. Many of dairy cattle at Indonesia, are suffer to subclinical mastitis that can affect quality and quantity of milk production. Temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) is a herbal plant that contains antibacterial and antioxidant compounds which maybe can relief mastitis. The present study was done to observe effect of temu putih mixed in concentrate on milk production using nine cows. A completely randomized design was was used for data analizing which consist of control treatment (A.0), 0.2 grams/kg body weight of temu putih mixed in concentrate (A.1) and 0.4 grams/kg body weight of temu putih mixed in concentrate (A.2). Observed variable was milk production per animal, milk production per quartir of udder and milk fat content. The result showed that milk production per cow and quartir of udder was significantly different among treatments (P<5%). Treatment A.1 improved milk production, but did not give effect on subclinical mastitis during the following week. Average milk production wan 12.1 liter/cow and 2.8 liter/ quartir of udder. Treatment A.2 decreased average milk production during the next week and did not improve condition of subclinical mastitis. The result also showed that there was no different in milk fat content among treatments.

(52)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi perah merupakan salah satu ternak penghasil susu yang merupakan salah satu jenis pangan sumber protein hewani yang sangat penting. Susu memiliki kandungan protein yang sangat tinggi, sehingga sangat menunjang untuk pertumbuhan, kecerdasan dan daya tahan tubuh. Namun, konsumsi susu nasional saat ini masih belum dapat dipenuhi melalui produksi susu dalam negeri. Menurut Badan Pusat Statistik Republik Indonesia pada tahun 2009 populasi ternak sapi perah sebanyak 474.701 ekor, produksi susu 881.800 ton. Jumlah produksi itu baru memenuhi 30-35 % dari kebutuhan atau permintaan dalam negeri dan 65-70 % masih harus mengimpor dari luar negeri.

Salah satu permasalahan dari kurangnya produksi susu segar dalam negeri adalah mutu bibit yang rendah dan rendahnya kemampuan budidaya khususnya menyangkut kesehatan ternak. Kesehatan ternak merupakan ancaman besar bagi para peternak sapi perah. Sapi perah yang menderita penyakit dapat menimbulkan kerugian yang besar, terlebih penyakit menular dan berdampak pada penurunan produksi susunya. Penyakit dapat menular ke ternak sapi perah lain karena lingkungan yang kurang bersih, seperti penyakit mastitis yang dapat terjadi karena pemerah dan ambing yang tidak terjaga kebersihannya dan kejadian inilah yang sering terjadi di Indonesia. Menurut Siregar (1990), sapi perah di Indonesia banyak yang sudah terserang penyakit ini. Kerugian yang ditimbulkannya adalah penurunan jumlah dan mutu susu sehingga tidak dapat dipasarkan. Susu yang berkualitas tinggi dihasilkan secara alami dari mammary gland yang sehat, tidak terkontaminasi bakteri berkelebihan, beraroma susu, tidak kotor dan tidak ada pengobatan (Davis, 1962).

(53)

Indonesia kaya akan plasma nutfah yang mengandung antioksidan alami yang mampu melindungi kerusakan bahan pakan ternak namun juga dapat memperbaiki performans ternak serta dapat pula menjaga dan memelihara membran sel dari kerusakan (Sugiarto et al., 1986). Temu putih adalah tanaman obat yang tumbuh liar di Indonesia. Berdasarkan Wilson et al (2005), temu putih dapat digunakan sebagai obat tradisional untuk mengatasi infeksi bakteri dan jamur. Pemberian tepung temu putih yang dicampur dengan pakan, diharapkan mampu menambah antibodi sapi untuk menjaga serangan penyakit dari dalam tubuhnya. Menurut Nurdin dan Susanty (2009), penggunaan temu putih 1 % dari konsentrat atau sebanyak 0,02 % bobot badan secara in vitro, memberikan efek terbaik terhadap konsentrasi NH3 dan total bakteri rumen.

Tujuan

(54)

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Perah Fries Holland

Secara umum, sapi perah merupakan penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya. Salah satu bangsa sapi perah yang terkenal adalah Sapi perah Fries Holland (FH). Sapi FH, di Amerika Serikat disebut Holstein Friesian atau disingkat Holstein, sedangkan di Europa disebut Friesian. Sapi FH berasal dari propinsi Belanda Utara dan Propinsi Friesland Barat. Bangsa sapi FH murni warna bulunya hitam dan putih atau merah dan putih dengan batas-batas warna yang jelas (Sudono, 1999).

Menurut Siregar (1990), sapi perah FH mulai dimasukkan ke Indonesia pada zaman Hindia Belanda. Pada tahun 1891-1892 mulai didatangkan sapi jantan FH ke daerah Pasuruan, Jawa Timur. Sejak tahun 1900 di daerah Lembang, Jawa Barat, telah terdapat peternakan sapi perah yang memelihara FH. Dari daerah inilah sapi perah FH menyebar ke beberapa daerah di Jawa Barat. Semenjak tersebarnya sapi perah Friesian Holstein di beberapa daerah di Indonesia, dan khususnya di pulau Jawa, telah terjadi perkawinan-perkawinan yang tidak terencana dengan sapi-sapi setempat. Turunan-turunannya dikenal dengan sapi perah peranakan Friesian.

Produksi Susu

Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susunya tertinggi, dibandingkan bangsa-bangsa sapi perah lainnya, dengan kadar lemak susu yang rendah. Menurut Siregar (1990), kemampuan berproduksi susu sapi perah Friesian (FH dan peranakan FH) sebelum tahun 1979, berkisar antara 1.800-2.000 kg per laktasi dengan panjang laktasi rata-rata 9,5 bulan. Impor sapi perah yang telah dilakukan selama periode tahun 1979-1982, telah meningkatkan produksi susu rata-rata sapi perah Friesian di Indonesia menjadi rata-rata 8,92 liter per hari. Produksi susu rata-rata di Amerika Serikat 7.245 kg/laktasi dan kadar lemak 3,65 %, sedangkan di Indonesia produksi susu rata-rata per hari 10 liter/ekor (Sudono, 1999). Syarat mutu susu segar yang ditetapkan Badan Standarisasi Nasional (1998) untuk kadar lemak adalah 3,0 %.

(55)

kandang selama sepuluh bulan (Tyler dan Ensminger, 2006). Sudono et al. (2005) menyatakan, masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak dan masa kering. Produksi susu perhari mulai menurun setelah laktasi dua bulan. Demikian pula kadar lemak susunya, mulai menurun setelah 1-2 bulan masa laktasi. Dari 2-3 bulan masa laktasi, kadar lemak susu mulai konstan, kemudian naik sedikit.

Produksi susu sapi perah dipengaruhi oleh beberapa faktor penentu dalam usaha peternakan yaitu pemuliaan dan reproduksi, penyediaan dan pemberian pakan, pemeliharaan ternak, penyediaan sarana dan prasarana, serta pencegahan penyakit dan pengobatan (Tyler dan Ensminger, 2006). Hasil penelitian Siregar (2001) menyatakan bahwa peningkatan konsumsi zat gizi berakibat terhadap peningkatan produksi susu rata-rata harian dan peningkatan lemak susu, kandungan bahan kering tanpa lemak (SNF) dan total bahan kering susu (TS) secara nyata.

Mastitis Subklinis

Mastitis didefinisikan sebagai peradangan pada jaringan ambing yang disertai perubahan fisik, kimia, mikrobiologi dan adanya kenaikan jumlah sel somatic terutama leukosit dalam susu dan dapat disertai dengan perubahan patologis pada jaringan ambing. Bakteri penyebab mastitis subklinis yang paling sering terdeteksi adalah Streptococcus aureus disamping beberapa jenis bakteri lainnya seperti Streptococcus agalactiae dan Escherichia coli (Tyler dan Ensminger 2006). Menurut

Sudarwanto (1999), penyakit radang ambing atau yang dikenal sebagai mastitis merupakan masalah utama dalam peternakan sapi perah karena menyebabkan kerugian yang besar akibat penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Kejadian mastitis 97 – 98% merupakan mastitis subklinis, sedangkan 2 – 3% merupakan mastitis klinis yang terdeteksi.

(56)

selama laktasi kesehatan dan kebersihan sapi perah harus selalu dijaga dengan baik. Walaupun tidak secara drastis, mastitis dapat merusak perkembangan jaringan sekretoris susu sehingga akan menurunkan produksi dan kualitas susu saat berproduksi (Harmon, 1994). Infeksi atau peradangan ambing pada sapi perah dapat mempengaruhi komposisi air susu. Infeksi oleh bakteri pathogen penyebab mastitis menyebabkan kerusakan sel sekretoris ambing dan menurunkan kemampuan sintesa laktosa, kasein, lemak dan protein, dilain pihak serum albumin atau protein whey dan pH susu akan mengalami peningkatan (Jones, 2009).

Menurut Subronto (2007), dari berbagai usaha pengendalian, baik yang dilakukan oleh peternak maupun professional, dikenal tiga tingkatan cara pengendalian, yaitu :

1. Pengobatan pada masa kering saja yang menghasilkan kejadian mastitis turun 15-18 %.

2. Pengobatan pada masa kering, celup puting setelah pemerahan dan pengecekan teratur mesin perah yang menghasilkan penurunan kejadian infeksi turun 10 %. 3. Pengobatan pada masa kering, celup puting setelah pemerahan, pengecekan alat

dan pipa-pipa pemerahan dan pengenalan serta pengobatan mastitis pada sapi yang sedang laktasi. Cara ini telah mampu menurunkan infeksi kelenjar samapi 7 %.

(57)

Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe)

Curcuma zedoaria mempunyai nama daerah yaitu : temu putih (Jakarta, Indonesia), koneng bodas (Bogor). Tumbuh liar di Sumatera dan di hutan di Jawa Timur, juga tumbuh umum di Jawa Barat (Sunardi et al., 2002). Umumnya temu putih ditanam sebagai tanaman obat, dapat ditemukan tumbuh liar pada tempat-tempat terbuka yang tanahnya lembab pada ketinggian 0-1.000 meter diatas permukaan laut. Sosok tanaman ini mirip dengan temulawak dan dapat dibedakan dari rimpangnya. Temu putih banyak ditemukan di Indonesia seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra, Ambon, Irian, selain itu, juga dibudidayakan di India, Banglades, Cina, Madagaskar, Filipina, dan Malaysia.

Gambar 1. Rimpang Temu Putih

Kulit rimpang temu puting berwarna putih. Apabila diiris, daging rimpangnya berwarna putih kearah kuning muda dan rasanya pahit. Ada indikasi bahwa sifat itu merangsang sekresi kelenjar pencernaan dan memperkuat otot organ pencernaan melalui sistem saraf, dengan demikian sistem pencernaan diperkuat sehingga merangsang pembentukan suatu zat yang mampu merangsang tonifikasi. Pada dosis lebih tinggi, sifat pahit itu mempengaruhi membran lambung dan usus (Syukur, 2003). Nilai analisis proksimat temu putih disajikan pada Tabel 1, sedangkan hasil penapisan fitokimia temu putih disajikan pada Tabel 2.

Aktivitas Biologis Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe)

Aktivitas Bakteri. Sunardi et al. (2002), melaporkan minyak atsiri rimpang temu

Gambar

Gambar 1. Rimpang Temu Putih
Tabel 1. Analisis Proksimat Temu Putih
Tabel 2. Hasil penapisan fitokimia Curcuma zedoria (Berg) Roscoe.
Gambar 2. Tepung Temu Putih
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pancasila dalam mengembangkan sikap sosial siswa di SMA Negeri 4 Bandar Lampung maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas nilai Pancasila telah berjalan dengan baik

Total Pekerjaan Kusen, Pintu, Jendela, Bovenlich, Kaca-. Jumlah

atau Jugun ianfu merupakan perempuan yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Filipina dan juga di Negara-negara jajahan Jepang lainnya pada masa

Pengujian sistem pelacakan benda bergerak menggunakan metode mean-shift dengan perubahan sekala dan orientasi terdiri dari beberapa proses yaitu proses input video,

Sedangkan Persepsi AP terhadap pentingnya pemahaman AP pada aspek syariah dalam rangka Efisiensi aktivitas audit entitas syariah berpengaruh secara langsung yang berarti bahwa

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penting dilakukan penelitian tentang penggunaan metode pembelajaran Problem Solving pada materi stoikiometri di kelas

Penambahan ekstrak daun sirih merah ( P.crocatum ) dengan berbagai dosis dalam pakan berpengaruh nyata terhadap total eritrosit, total leukosit, persentase limfosit,

2 Cerita di Desa Arung Pattongko dengan sifat dan watak tersebut diatas adalah generasi muda yang harus mempersiapkan diri untuk menerima estafet kepemimpinan bangsa dari generasi