• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit Karat Daun Krisan

Penyakit karat pada krisan disebabkan oleh dua macam cendawan yaitu

Puccinia chrysanthemi Roze (karat hitam) dan P. horiana Henn (karat putih). Di

daerah tropis seperti Indonesia, serangan karat putih lebih umum dijumpai daripada karat hitam. Gejala serangan karat putih berupa bintil-bintil (pustul) putih pada permukaan bawah daun yang berisi telium (teliospora) cendawan dan terjadi lekukan-lekukan mendalam berwarna pucat pada permukaan daun bagian atas. Teliospora bersel dua dan berdinding tebal. Pada serangan lebih lanjut, penyakit ini dapat menghambat perkembangan bunga. Selain pada daun, penyakit ini juga terjadi pada kelopak dan bunga. Pengendalian penyakit ini antara lain dengan menggunakan varietas yang resisten, penyemprotan fungisida, dan menggunakan agens antagonis (EPPO 1983).

Cendawan P. horiana merupakan cendawan obligat, tidak memiliki inang alternatif. Cendawan ini tidak dapat ditumbuhkan pada media artifisial seperti

Potato Dextrose Agar (PDA). Spora cendawan ini dapat menyebar melalui angin,

air, ataupun menempel pada berbagai permukaan. Ada dua jenis spora dari cendawan ini, yaitu teliospora dan basidiospora. Teliospora adalah bentuk spora bersel dua berdinding tebal yang tahan terhadap kondisi kering dan kondisi yang tidak menguntungkan. Spora ini dapat bertahan hingga delapan minggu pada kondisi yang tidak menguntungkan. Badiospora adalah struktur yang sensitif terhadap kekeringan. Basidiospora memerlukan kelembaban yang tinggi, sekitar 90% dan air untuk dapat berkecambah (Agrios 2005).

Perkecambahan teliospora membutuhkan kondisi lingkungan dengan kelembaban 95% atau lebih, kisaran suhu antara 13 sampai 27 ° C, dengan suhu optimum 17 ° C. Basidiospora akan dilepaskan 2 sampai 6 jam setelah teliospora berkecambah dan akan segera berkecambah pada permukaan daun krisan jika terdapat air. Gejala akan muncul antara 9 sampai 10 hari pada kondisi rumah kaca. Siklus akan terjadi 7 hari setelah basidiospora berkecambah. Secara in vitro pustul akan muncul 20 hari setelah inokulasi pada kondisi gelap (Contreras & García, 2008).

Proses perkecambahan teliospora diawali dengan pembentukan sel sporagen yang merupakan permulaan terbentuknya sel teliospora. Setelah terjadinya pembagian inti sel dan sekat menjadi dua, sehingga terbentuk teliospora yang memiliki dua sel dengan dua inti pada setiap selnya. Kematangan teliospora diikuti oleh meningkatnya kerapatan sitoplasma, menghilangnya vakuola, dan akumulasi kandungan lemak dan material glikogen. Selanjutnya terbentuk tabung kecambah dan diikuti dengan beberapa kali proses meiosis yang merupakan proses pemanjangan tabung kecambah. Tahapan selanjutnya adalah pembentukan basidiospora (Harder 1977).

Kelembaban udara, suhu, dan inang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan (Contreras & García 2008). Teliospora merupakan bentuk spora yang mampu bertahan pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan. Jika kelembaban udara mencapai 95% dan suhu udara mencapai 17 ºC yang merupakan suhu optimumnya, maka dormansi dari teliospora tersebut berhenti dan akan mulai berkecambah. Inang sangat erat kaitannya dengan sifat cendawan ini yang termasuk parasit obligat. Hal ini berarti keberadaan inang menjadi salah satu faktor penting karena cendawan ini tidak dapat hidup dan berkembang tanpa adanya inang.

Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati atau biokontrol adalah pengurangan jumlah inokulum atau aktivitas terjadinya penyakit oleh patogen dengan menggunakan satu atau beberapa organisme lain selain manusia (Baker & Cook 1996). Aktivitas ini meliputi pengambatan pertumbuhan, kemampuan menginfeksi, keganasan, virulensi, dan berbagai aktivitas dari patogen lainnya. Proses infeksi, perkembangan gejala, dan reproduksi termasuk aktivitas yang dihambat dalam pengendalian hayati. Organisme yang digunakan dalam pengendalian hayati antara lain individu atau populasi yang avirulen atau hipovirulen yang terdapat pada spesies patogen tersebut, tanaman inang yang telah dimanipulasi secara genetik secara kultur teknis atau menggunakan organisme lain sehingga tanaman menjadi resisten terhadap patogen, dan yang terkakhir adalah antagonis yang merupakan musuh alami dari patogen. Oleh karena itu pengendalian hayati meliputi kultur teknis (manajemen habitat) yang dapat menciptakan lingkungan

yang sesuai untuk antagonis, resistensi tanaman inang melalui pemulian tanaman yang dapat meningkatkan resistensi terhadap patogen atau sesuai dengan aktivitas antagonis, dan introduksi secara masal antagonis, strain yang nonpatogen, atau organisme yang menguntungkan lainnya.

Mekanisme biokontrol dapat terjadi melalui hiperparasitisme atau predasi, antibiosis, produksi enzim litik dan senyawa-senyawa lain, serta kompetisi. Mekanisme biokontrol yang pertama adalah hiperparasitisme. Pada mekanisme ini, patogen diserang secara langsung. Agens biokontrol akan membunuh propagul atau patogen itu secara langsung. Secara umum hiperparasit terbagi menjadi empat kelompok besar yaitu bakteri patogen obligat, hipovirus, parasit fakultatif, dan predator. Mikroorganisme yang memiliki kemampuan predasi pada umumnya patogen yang menjadi targetnya tidak spesifik tetapi hasil pengendaliannya tidak dapat diprediksi.

Antibiosis adalah mekanisme yang disebabkan oleh aktivitas antibiotik. Antibiotik adalah senyawa racun yang dihasilkan mikroorganisme dan konsentrasi rendah dapat meracuni atau membunuh mikroorganisme lainnya. Antibiotik yang diproduksi oleh mikroorganisme khususnya agens antagonis sangat efektif untuk menekan perkembangan patogen tanaman. Beberapa strain agens antagonis dapat menghasilkan beberapa antibiotik yang dapat menekan satu atau banyak patogen, contohnya adalah kelompok Bacillus dan Pseudomonas. Bacillus cereus strain UW85 yang memproduksi zwittermisin dan kanosamin. Agens antagonis

Pseudomonas putida WC358r dapat memproduksi fenazin dan DAPG yang dapat

menekan beberapa penyakit tanaman di lahan gandum (Glandorf et al. 2001). Mekanisme ketiga adalah produksi enzim litik dan senyawa-senyawa lainnya. Enzim litik ini memiliki kemampuan untuk menghidrolisis berbagai senyawa polimer seperti kitin, selulosa, hemiselulosa, protein, dan DNA. Senyawa-senyawa polimer tersebut merupakan bagian dari penyusun struktur- struktur sel patogen. Aktivitas dari enzim-enzim litik tersebut secara tidak langsung dapat menghambat patogen tanaman. Salah satu contohnya adalah

Lysobacter dan Myxobacteria yang menghasilkan berbagai enzim litik dalam

jumlah banyak dan beberapa isolat efektif dalam menekan cendawan patogen tanaman (Bull et al. 2002). Asam sianida dan senyawa volatil seperti amonia

adalah senyawa lain yang dapat menghambat patogen tanaman selain enzim- enzim litik.

Mekanisme yang keempat adalah kompetisi. Bagi mikroorganisme, tanah dan permukaan tanaman menjadi habitat dengan keterbatasan nutrisi. Oleh karena itu, antar mikroorganisme yang ada saling berkompetisi untuk mendapatkan nutrisi agar dapat bertahan. Jika kompetisi ini melibatkan agens biokontrol dan patogen maka dapat berperan dalam menekan penyakit tanaman. Hal ini terjadi jika agens biokontrol dapat menguasai nutrisi yang tersedia dengan jumlah populasi yang melebihi populasi patogen. Nutrisi yang paling esensial adalah besi (Fe). Besi yang tersedia di alam tidak dapat larut dalam air dengan konsentrasi sangat rendah yaitu 10-18 Molar. Oleh karena itu agar dapat memanfaatkan Fe, mikroorganisme harus memiliki strategi tertentu untuk mendapatkannya. Siderofor adalah senyawa yang dapat mengikat Fe. Di alam, mekansime- mekanisme tersebut dapat bekerja secara sinergis artinya dalam mengendalikan suatu penyakit empat mekanisme tersebut berperan (Baker & Cook 1996).

Chromobacterium sp.

Chromobacterium sp. adalah bakteri gram negatif yang hidup bebas dan

banyak terdapat di tanah dan air pada daerah tropis sampai subtropis. Bakteri ini bersifat anaerobik fakultatif dan oksidase positif. Sebagai sumber energi,

Chromobacterium sp. memfermentasi glukosa, sukrosa, trehalosa, N-

asetilglukosamin, dan glukonat. Bakteri ini dapat ditumbuhkan pada media nutrient agar dengan bentuk koloni cembung datar dan licin dengan warna ungu karena memproduksi pigmen berwarna ungu yang disebut violacein. Namun pigmentasi ini bisa berbeda antara satu strain dengan strain lainnya. Bakteri ini tidak dapat tumbuh pada suhu 4 °C dan dapat tumbuh baik antara suhu 15 °C sampai 37 °C. Chromobacterium sp. bukan bakteri patogen manusia tetapi terkadang dapat menginfeksi manusia dan dapat menyebabkan luka di kulit yang disebut septisemia (Kaufman et al. 1986; Lee et al. 1999).

Genom dari Chromobacterium sp. telah dikarakterisasi dan berpotensi untuk dikembangkan untuk beberapa aplikasi bioteknologi (Brazilian National Genome Project Consortium 2003). Aspek yang dapat dikembangkan antara lain detoksifikasi racun-racun yang ada di lingkungan, penghasil senyawa-senyawa

yang bersifat antagonis terhadap hama dan penyakit tanaman, serta perakitan varietas tanaman yang tahan herbisida di bidang pertanian, penghasil antibiotik seperti fenazin dan antibiotik lainnya dengan potensi sebagai antitumor, hemolisin, dan antikoagulan di bidang kedokteran. Di bidang industri, bakteri ini dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan plastik yang dapat didegradasi dan juga menghasilkan selulosa.

Senyawa-senyawa penting dan bersifat racun yang dihasilkan

Chromobacterium sp. antara lain violacein, asam sianida (HCN), enzim kitinase,

dan beberapa antibiotik (McClean et al. 1997; Durán & Menck 2001; Brazilian National Genome Project Consortium 2003). Violacein adalah turunan dari senyawa indol yang bersifat antitumor, antimikrobial, antiviral, dan antiparasit (Durán et al. 2007). Hidrogen sianida adalah senyawa yang dapat menghambat kerja dari enzim sitokrom c oksidase yang ditemukan pada membran mitokondria sel eukariot (Isom & Way 1984). Ikatan antara sianida dengan kompleks enzim ini akan mengganggu transfer elektron ke oksigen sehingga secara aerobik tidak dapat menghasilkan ATP untuk energi. Jadi senyawa ini dapat digunakan untuk mengontrol cendawan patogen yang merupakan organisme eukariot.

Kitinase adalah enzim yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi senyawa kitin dan mekanisme kerjanya adalah menghidrolisis ikatan β-1,4 glikosidase yang menghubungkan monomer-monomer GlcNAc (N- asetilglukosamin). Enzim ini dapat menguraikan dinding sel cendawan dan hasil hidrolisisnya digunakan oleh bakteri kitinolitik sebagai sumber karbon, energi (oligosakarida), dan nitrogen (Chernin et al. 1995; Boer et al. 2001).

Chromobacterium sp. menghasilkan beberapa antibiotik seperti fenazin

yang dalam bidang kedokteran berpotensi sebagai antitumor sedangkan dalam bidang pertanian untuk mengendalikan cendawan patogen, hemolisin yang memiliki potensi sebagai antikoagulan, aztreonam yang merupakan antibiotik monobaktam dan aktif terhadap gram negatif yang aerobik, aerosianidin efektif untuk organisme gram positif, dan aerocavin yang efektif untuk gram negatif dan positif. Pigmen ungu violacein juga memiliki sifat antibiotik terhadap Amoeba dan

Chromobacterium sp. berpotensi sebagai agens antagonis untuk patogen tanaman karena menghasilkan beberapa senyawa yang bersifat anticendawan seperti asam sianida (HCN), enzim kitinase, dan antibiotik fenazin. Rhizoctonia

solani, Fusarium sp., Phomopsis sp., Cercospora kikuchi, Corynespora sp.,

Aspergillus sp, dan Colletotrichum sp. adalah cendawan-cedawan patogen yang

berhasil dikendalikan oleh bakteri ini (Barreto et al. 2008; Park et al.2005).

Analisis Genetika dengan Menggunakan Transposon

Transposon adalah elemen DNA yang dapat meloncat dan menyisip pada DNA lain. DNA yang disisipi oleh transposon dapat mengalami mutasi dan akan dihasilkan banyak mutan. Hal ini terjadi karena transposon akan menyisip pada sekuens DNA secara random. Teknik ini dinamakan transposon mutagenesis. Transposon yang digunakan untuk mutagenesis memiliki beberapa syarat antara lain frekuensi untuk transposisi harus besar, memiliki target yang tidak spesifik, harus membawa sifat resistensi antibiotik tertentu, dan memiliki kisaran inang yang luas.

Transposon Tn5 telah banyak digunakan dalam transposon mutagenesis khususnya untuk bakteri gram negatif dan telah dibuat beberapa turunannya dan disebut minitransposon. Turunan-turunan ini masing-masing membawa gen resisten antibiotik yang spesifik seperti kanamisin, kloramfenikol, streptomisin- spektinomisin, dan tetrasiklin. Selain itu beberapa turunannya juga telah disisipi oleh beberapa gen lain yang berfungsi untuk berpindah dari sel donor serta ekspresi gen di dalam sel resipien (De Lorenzo et al.1990).

Menurut Goryshin & Reznikoff (1998) ada 3 makromolekul penting yang berhubungan dengan proses transposisi dari Tn5 ini. Ketiga makromolekul tersebut adalah DNA transposon yang terdapat pada DNA donor, transposase yang panjangnya 476 asam amino dan berperan dalam mengkatalis transposisi atau perpindahan DNA transposon ke DNA target. Makromolekul yang ketiga adalah urutan DNA target yang komplemen dengan DNA transposon. Sehingga ketiga komponen tersebut harus ada dalam proses transposisi.

Salah satu transposon turunan dari Tn5 adalah transposon mini-Tn5Km1 (Herrero et al. 1990; De Lorenzo et al. 1990). Pada minitransposon terdapat gen pembawa sifat resistensi terhadap beberapa antibiotik seperti kanamisin,

kloramfenikol, streptom penanda seleksi.

Gambar 1 Plasmid pUT Mini-T yang terdapat pada pl pengkode transposas memiliki gen pengkode Peta situs restriksi da NotI yang memudahka berulang (IS) masing-

Selain itu, pada NotI yang mempermuda dijadikan vektor kloni diapit oleh sekuens transposon Tn5 (Gam luar bagian dari transpos membawanya, yaitu yaitu bakteri pembaw

A

B

ptomisin-spektinomisin, dan tetratsiklin yang be

Tn5Km1. A. Peta plasmid pUT Mini-Tn5Km plasmid ini membawa sifat resistensi terhadap

ase (tnp) berada di luar dari transposon da kode untuk berpindah (mobRP4) dengan car dari Mini-Tn5Km1. Transposon ini memiliki hkan untuk proses kloning yang diapit oleh dua

-masing sebanyak 19 pasang basa.

pada transposon terdapat situs kloning yang sa mudah proses kloning. Hal ini berarti bahwa t oning untuk penyisipan gen tertentu pada krom ns berulang sebanyak 19 pasang basa yan

ambar 1A). Enzim transposase dari transposon nsposon. Transposase ini berada pada genom da

u pUT (Gambar 1B). Plasmid ini akan berpinda bawa plasmid pUT (Escherichia coli S17-1λ pir

g berfungsi sebagai

5Km1. Transposon dap kanamisin. Gen on dan plasmid ini ara konjugasi. B. iliki situs kloning h dua sekuens yang

sangat unik, yaitu transposon dapat omosom. Situs ini ang berasal dari poson ini berada di dari plasmid yang pindah dari donor,

melalui proses konjugasi. Setelah berpindah, transposase akan bekerja melompatkan transposon pada DNA genom resipien secara random. Plasmid pUT ini tidak akan bertahan lama pada sel resipien dan akhirnya hancur beserta transposase karena tidak akan direplikasi oleh sel resipien. Oleh karena itu, satu sel resipien dapat disisipi oleh minitransposon lainnya dan hanya dibatasi oleh kemampuan penanda seleksi yang berbeda-beda.

Transposon mutagenesis adalah teknik yang banyak digunakan untuk mengidentifikasi gen yang mengkode beberapa senyawa metabolisme dan fungsi khusus dari suatu organisme (Mills 1985). Dalam bidang biokontrol, Boucher et al. (1989) memanfaatkan transposon Tn5 untuk membuat mutan Pseudomonas

solanacearum yang avirulen dan digunakan untuk mengendalikan bakteri yang

virulen. Transposon ini juga dapat digunakan untuk mutasi fungsi dari suatu gen dan menyebabkan gen lain memproduksi senyawa tertentu secara terus menerus seperti yang dilakukan oleh Schnider et al. (1995) yaitu ekspresi dari gen pqq dihentikan sehingga bakteri tersebut dapat memproduksi antibiotik pyoluteorin secara terus menerus. Anderson et al. (2004) juga menggunakan Tn5 untuk mengkloning gen pengkode enzim protease ekstraselular dari P. fluorescens sehingga meningkatkan produksi antibiotik Pantoea agglomerans untuk mengendalikan Erwinia amylovora.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2010 sampai Juli 2011 di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian dan Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor.

Bahan Penelitian

Isolat dan strain bakteri yang digunakan dalam penelitian ini tertera pada Tabel 1. Teliospora yang digunakan diambil dari gejala pustul karat putih (white

rust disease) pada tanaman krisan.

Seleksi dan Identifikasi Isolat Bakteri Antagonis yang Berpotensi Mengendalikan Penyakit Karat Putih

Peremajaan Isolat. Isolat bakteri antagonis yang digunakan adalah dari kelompok bakteri gram negatif. Media yang digunakan adalah King’s B agar (protease pepton no.3 20 g, K2HPO4 1.5 g, MgSO4.7H2O 1.5 g, gliserol 15 ml,

agar 15 g, dan aquades 1 L) untuk meremajakan bakteri kelompok Pseudomonas dan media Tryptic Soybean Agar (TSA) siap pakai (Difco) untuk kelompok bakteri antagonis lainnya.

Potensi Antagonisme Isolat Bakteri Antagonis. Pengujian in-vitro terhadap cendawan karat dilakukan dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Mueller et al. (2005) dengan modifikasi. Kultur bakteri antagonis yang berumur 24 jam diteteskan sebanyak 100 µl pada gelas objek dan dikeringanginkan. Setelah itu serbuk teliospora dari pustul cendawan karat

P.horiana dipanen dengan menggunakan cover glass diletakan di atas kultur

bakteri tersebut. Gelas objek disimpan pada cawan yang telah dilapisi kertas tisu yang dibasahi untuk menjaga kelembaban dan diinkubasi pada suhu 17°C selama 24 jam dalam kondisi gelap. Sebagai kontrol digunakan suspensi teliospora yang tidak diberi perlakuan bakteri antagonis. Setelah 24 jam, dilakukan pengamatan di bawah mikroskop untuk menghitung jumlah teliospora yang berkecambah. Penghitungan dilakukan dengan mengamati 100 teliospora untuk setiap perlakuan.

Tabel 1 Isolat bakteri Pseudomonas dan asalnya yang digunakan dalam penelitian ini

IIsolat Genus Asal Isolat Referensi

P1 Pseudomonas kelompok fluorescens Koleksi laboratorium bakteriologi DPT Nawangsih 2006

P2 Pseudomonas kelompok fluorescens Tembilah-Riau Penelitian ini

P11 Pseudomonas kelompok fluorescens Citere-Pengalengan Penelitian ini

P12 Pseudomonas kelompok fluorescens Koleksi laboratorium bakteriologi DPT Penelitian ini

P13 Pseudomonas kelompok fluorescens Koleksi laboratorium bakteriologi DPT Penelitian ini

P14 Pseudomonas kelompok fluorescens Landungsari-Malang Penelitian ini

P15 Pseudomonas kelompok fluorescens Landungsari-Malang Penelitian ini

P16 Pseudomonas kelompok fluorescens Koleksi laboratorium bakteriologi DPT Penelitian ini

P17 Pseudomonas kelompok fluorescens Koleksi laboratorium bakteriologi DPT Penelitian ini

P19 Pseudomonas kelompok fluorescens Koleksi laboratorium bakteriologi DPT Penelitian ini

P21 Pseudomonas kelompok fluorescens Koleksi laboratorium bakteriologi DPT Penelitian ini

P22 Pseudomonas kelompok fluorescens Koleksi laboratorium bakteriologi DPT Penelitian ini

P24 Pseudomonas kelompok fluorescens Koleksi laboratorium bakteriologi DPT Penelitian ini

P25 Pseudomonas kelompok fluorescens Koleksi laboratorium bakteriologi DPT Penelitian ini

P26 Pseudomonas kelompok fluorescens Maribaya-Lembang Penelitian ini

P28 Pseudomonas kelompok fluorescens Malabar-Pangalengan Penelitian ini

P29 Pseudomonas kelompok fluorescens Koleksi laboratorium bakteriologi DPT Penelitian ini

P30 Pseudomonas kelompok fluorescens Koleksi laboratorium bakteriologi DPT Penelitian ini

P32 Pseudomonas kelompok fluorescens Koleksi laboratorium bakteriologi DPT Penelitian ini

P33 Pseudomonas kelompok fluorescens Cibodas-Lembang Penelitian ini

P34 Pseudomonas kelompok fluorescens Batu-Malang Penelitian ini

P36 Pseudomonas kelompok fluorescens Segunung-Cipanas Penelitian ini

P38 Pseudomonas kelompok fluorescens Malabar-Pangalengan Penelitian ini

P39 Pseudomonas kelompok fluorescens Koleksi laboratorium bakteriologi DPT Penelitian ini

Pfd2 Pseudomonas kelompok fluorescens Tanaman kubis-MegaMendung,Bogor Penelitian ini Pfd3 Pseudomonas kelompok fluorescens Tanaman kubis-MegaMendung,Bogor Penelitian ini

K2 Mangunkerta-Cianjur Penelitian ini

K4 Karanganyar-Cirebon Penelitian ini

Persentase perkecambahan dan persentase penghambatan dihitung menggunakan rumus berikut: % 100% % % % 100 %

Keterangan: Rumus diatas berlaku dengan asumsi bahwa teliospora pada perlakuan kontrol berkecambah 100%.

Penghitungan Indeks Kitinolitik. Penghitungan aktivitas kitinase menggunakan metode yang digunakan Tahtamouni et al. (2006) dengan modifikasi. Isolat bakteri ditumbuhkan pada media LB 10% (tripton 1 g, NaCl 0.5 g, ekstrak khamir 0.5 g, dan aquades 1 L) dengan penambahan serbuk kitin 1%. Sebanyak 25 l dari masing-masing kultur bakteri diteteskan pada media kitin (K2HPO4 0.7 g, MgSO4.7H2O 0.5 g, KH2PO4 0.3 g, FeSO4.7H2O 0.01 g,

MnCl2 0.001, ZnSO4 0.001, koloidal kitin 1%, agar 20 g, dan aquades 1 L).

Pengujian untuk setiap isolat dilakukan tiga ulangan dan diinkubasi pada suhu 30°C selama 14 hari. Lebar zona bening menunjukan indeks kitinolitik dari masing-masing isolat. Penghitungan berdasarkan persamaan Y=Y2-Y1 ( Y= besarnya indeks kitinolitik, Y2= diameter zona bening dan diameter koloni, dan Y2= diameter koloni).

Pemilihan Bakteri Antagonis Potensial. Karakterisasi mekanisme antagonis dilakukan pada bakteri antagonis yang menunjukan sifat antagonisme yang paling baik dari bakteri antagonis lainnya secara kualitas dan kuantitasnya. Selain itu, pemilihan juga didasarkan pada tingkat sensitivitasnya terhadap antibiotik yang akan digunakan sebagai penanda seleksi. Plasmid yang membawa transposon yang akan digunakan memiliki gen penyandi resistensi terhadap kanamisin. Oleh karena itu dipilih bakteri antagonis yang sensitif terhadap kanamisin. Sehingga transposon yang menyisip pada genom bakteri menyebabakan bakteri memiliki sifat resistensi terhadap kanamisin. Isolat-isolat bakteri antagonis ditumbuhkan pada media LB yang mengandung antibiotik

kanamisin dengan konsentrasi 50 µg/ml semalaman. Setelah semalaman diamati pertumbuhannya. Jika bakteri tersebut dapat tumbuh pada media LB dengan kanamisin maka bakteri tersebut bersifat resisten terhadap antibiotik tersebut dan sifat sensitif ditunjukan dengan tidak adanya pertumbuhan. Selanjutnya bakteri yang sensitif tersebut dipilih untuk dikarakterisasi gen-gennya.

Identifikasi Isolat Bakteri Antagonis Terpilih

Perunutan Sekuens 16S rRNA dan Padanannya pada Gene Bank.

Isolasi DNA bakteri antagonis dilakukan dengan menggunakan kit ekstraksi (Genaid) sesuai dengan protokol pada manualnya. Selanjutnya DNA tersebut diamplifikasi dengan menggunakan primer 16S rRNA yaitu 63f (primer forward- 5’- CAGGCCTAACACATGCAAGTC -3’) dan 1387r (primer reverse- 5’- GGGCGGWGTGTACAAGGC-3’) (Marchesi et al. 1998). Komponen PCR yang digunakan adalah KAPA Taq Ready Mix (KAPA Biosystems) sebanyak 12.5 µl, 10 pmol untuk masing-masing primer, DNA genom, dan ddH2O hingga volume

reaksi 25 µl. Tahapan PCR adalah predenaturasi pada suhu 94 ºC selama 2 menit, denaturasi pada suhu 95 ºC selama 1 menit, pelekatan primer (annealing) pada suhu 55 ºC selama 1 menit, pemanjangan (elongation) pada suhu 72 ºC selama 1.5 menit, proses ini diakhiri dengan pemanjangan DNA pada suhu 72 ºC selama 5 menit. Fragmen DNA hasil amplifikasi dielektroforesis menggunakan agarose dengan konsentrasi akhir 1%. Selanjutnya DNA tersebut disekuensing dengan menggunakan jasa PT. Genetika Science, dan dilihat kesamaan urutan basanya dengan menggunakan program BLAST (http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/).

Karakterisasi Sifat-Sifat Fisiologis dan Biokimia. Pengujian sifat fisiologis dan biokimia dilakukan mengacu pada Bergey Manual untuk bakteri hasil karakterisasi dengan molekuler yang telah dilakukan sebelumnya. Pengujian dilakukan dengan menggunakan Microgen Gn-ID A+B Panel (Microgen Bioproducts).

Karakterisasi Mekanisme Penghambatan Bakteri Antagonis Potensial

Uji produksi Asam Sianida (HCN). Produksi asam sianida dapat diketahui dengan menggunakan indikator alkali pikrat (Reddy et al. 2008). Produksi asam sianida oleh isolat bakteri antagonis dapat dideteksi dengan perubahan warna kertas indikator dari kuning menjadi oranye kecoklatan pada kertas saring yang dicelupkan pada larutan indikator. Kultur bakteri yang berumur 24 jam diinokulasikan pada medium agar miring TSA yang ditambahkan 4.4 g/L glisin. Setelah itu pada masing-masing tabung reaksi diberikan sepotong kertas saring Whatman No.1 yang telah dicelupkan ke dalam larutan 0.5% asam pikrat dan 2% sodium karbonat (Na2CO3) sebagai indikator pada bagian dalam

tabung reaksi. Kultur bakteri di dalam tabung reaksi diinkubasi pada suhu ruang selama 3 sampai 5 hari.

Amplifikasi Gen Pengkode Antibiotik Fenazin dengan PCR. Gen pengkode antibiotik fenazin diamplifikasi dari DNA genom bakteri antagonis

Dokumen terkait