• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan hara pada tanah Ultisol umumnya rendah karena pencucian basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi. Pada tanah Ultisol yang mempunyai horizon kandik, kesuburan alaminya hanya bergantung pada bahan organik di lapisan atas. Dominasi kaolinit pada tanah ini tidak memberi kontribusi pada kapasitas tukar kation tanah, sehingga kapasitas tukar kation hanya bergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi liat. Oleh karena itu, peningkatan produktivitas tanah Ultisol dapat dilakukan melalui perbaikan tanah (ameliorasi), pemupukan, dan pemberian bahan organik (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Ultisol dari bahan sedimen mempunyai kesuburan alami yang rendah karena bahan sedimen sudah merupakan hasil perombakan bahan lain sehingga kandungan unsur haranya pun rendah. Contohnya Ultisol dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang berkembang dari batuan sedimen batu pasir dan batu liat mempunyai nilai kapasitas tukar kation tanah 3−18 cmol(+)/kg, kejenuhan basa 3− 9%, kejenuhan Al 33−95%, dan pH 3,70−5 (Prasetyo dan Suharta 2000; Yatno et al. 2000; Prasetyo et al. 2001).

Berdasarkan data analisis tanah Ultisol dari berbagai wilayah di Indonesia,

menunjukkan bahwa tanah tersebut memiliki ciri reaksi tanah sangat masam (pH 4,1 – 4,8). Kandungan bahan organik lapisan atas yang tipis (8 – 12 cm),

umumnya rendah sampai sedang. Rasio C/N tergolong rendah (5 -10). Kandungan P-potensial yang rendah dan K-potensial yang bervariasi sangat rendah sampai

rendah, baik lapisan atas maupun lapisan bawah. Jumlah basa-basa tukar rendah, kandungan K-dd hanya berkisar 0-0,1 me/100 g tanah. Sehingga dapat disimpulkan potensi kesuburan alami Ultisol sangat rendah sampai rendah (Subagyo, dkk, 2000).

Pada umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada klasifikasi lama menurut Soepraptohardjo (1961), Ultisol diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kuning (PMK). Warna tanah pada horizon argilik sangat bervariasi dengan hue dari 10YR hingga 10R, nilai 3−6 dan kroma 4−8. Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik yang menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida besi seperti goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga merah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Kapur CaCO

Pengapuran merupakan salah satu cara untuk mengatasi permasalahan kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi pada tanah Ultisol. Kemasaman tanah berhubungan erat dengan kejenuhan Al, seperti yang dilaporkan oleh Abruna et al.

(1975) dalam Prasetyo dan Suriadikarta (2006) , % kejenuhan Al = 516,10 − 163,97 kemasaman tanah + 12,70 (kemasaman tanah)

3

2

Umumnya bahan kapur untuk pertanian adalah berupa CaCO , dengan r = 0,90.

3, sedikit

yang berupa CaO atau Ca(OH)2. Dalam ilmu kimia, kapur adalah CaO tetapi dalam bidang pertanian kapur umumnya berupa CaCO3. Kalsium karbonat

kalsium karbonat murni mempunyai kalsium karbonat ekivalen 100% (Hardjowigeno, 1993).

Reaksi antara sisa asam dari bahan kapur yaitu ion OH- dengan ion H+ dan Al3+

Bahan kapur (CaCO

dapat menurunkan kemasaman dan menekankan kejenuhan Al di tanah. sementara Ca hanya berperan menggantikan H dan Al yang teradsorbsi pada kompleks jerapan (Mukhlis dkk, 2011).

3, CaO, atau Ca(OH)2 yang masuk ke tanah, pertama

sekali akan bereaksi dengan air. Selanjutnya kation Ca akan melakukan reaksi pertukaran dengan kation H dan Al yang teradsorpsi di permukaan koloid tanah. Ion H dan Al yang bebas, setelah dipertukarkan dengan ion Ca, selanjutnya akan dinetralkan oleh sisa asam kapur yaitu ion OH- sehingga tidak mengasamkan tanah lagi. Ion Al bereaksi dengan OH menjadi bentuk padat yang mengendap Al(OH)3

CaCO

dengan reaksi sebagai berikut :

3 + H2O  Ca2+ + HCO3- CaO + H + OH- 2O  Ca(OH)2↔ Ca2+ + OH Ca(OH) - 2 + H2O  Ca2+ + OH- - H+ - Ca2+ H - - + + - Al3+ + Ca2+  - Ca2+ Al - - 3+ H+ + OH-  H2 Al O 3+ + OH-  Al(OH) (Mukhlis, dkk, 2011). 3

Pemberian kapur tidak hanya meningkatkan pH saja, tapi juga meningkatkan dan menurunkan beberapa unsur hara tertentu. Choudry (1984) melaporkan bahwa aplikasi kapur bakar (CaO) meningkatkan pH tanah, Ca tukar, P tersedia, dan S tersedia tetapi menurunkan tingkatan K tukar, Mn tukar, dan Al tukar jika dibandingkan sebelum pengaplikasian kapur ini pada tanaman tebu.

Terdapat hubungan yang sangat nyata antara takaran kapur dengan Al dan kejenuhan Al. Pengapuran efektif mereduksi kemasaman dan pemberian kapur setara dengan l x Aldd dapat menurunkan kejenuhan Al dari 87% menjadi < 20% (Sri Adiningsih dan Prihatini 1986). Sehingga untuk menentukan takaran kapur didasarkan pada Aldd atau persentase kejenuhan Al, karena setiap jenis tanaman khususnya tanaman pangan mempunyai toleransi yang berbeda terhadap kejenuhan Al. Makin besar persentase kejenuhan Al dalam tanah, makin banyak kapur yang harus diberikan ke dalam tanah untuk mencapai pH agak netral sampai netral.

Dampak terbesar penambahan CaCO3 yang ditunjukkan dengan

peningkatan pH larutan, Ca, dan HCO3 ditemukan 1 minggu setelah pengapuran.

Efek lain dari pengapuran seperti peningkatan NO3 dan bahan organik, serta

penurunan kadar K dan Si. Aktivitas dari kation utama (Ca, Mg, K, dan Na) dan NO3

Pupuk KCl

meningkat, sementara pH turun selama inkubasi (Curtin and Smillie, 1995).

Kalium (K) merupakan salah satu unsur hara makro yang penting bagi tanaman, karena unsur ini terlibat langsung dalam beberapa proses fisiologis antara lain, (1) aspek biofisik, kalium berperan dalam pengendalian tekanan osmotik dan turgor sel serta stabilitas pH, dan (2) aspek biokimia, kalium

berperan dalam aktivitas enzim pada sintesis karbohidrat dan protein, serta meningkatkan translokasi fotosintat keluar daun (Marschner, 1995).

Pupuk K yang biasa digunakan adalah pupuk KCl yang dikenal juga dengan nama Muriate of Potash. Pupuk ini berbentuk kristal yang berwarna merah dan ada pula yang berwarna putih kotor. Terdapat dua macam pupuk KCl yakni KCl 80% yang mengandung 52-53% K2O dan KCl 90 dengan kandungan 55-58% K2O. Pupuk ini larut dalam air. Bila dimasukkan ke dalam tanah akan terionisasi menjadi ion K dan ion Cl. Pupuk ini larut di dalam air, reaksi fisiologis adalah asam lemak dan sedikit higroskopis (Hasibuan, 2006).

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk Kalium dapat meningkatkan produktivitas tanah sehingga hasil berbagai komoditas tanaman juga meningkat. Dosis pupuk K sampai dengan dosis 100 kg KCl/ha dapat meningkatkan serapan hara K sekitar 23 % dan memperoleh hasil kacang tanah yang optimal di lahan kering Alfisol (Ispandi dan Munip, 2004). Dalam penelitian yang lain , pemupukan K nyata meningkatkan hasil biji kering kedelai di lokasi Tanjung Gusti dimana hasil tanaman meningkat dari 0.81 t/ha menjadi 1.99 t/ha akibat pemberian 80 kg K/ha atau terjadi peningkatan sekitar 146% (Nursyamsi, 2006).

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan K di Tanah

Penelitian Choudry (1984) melaporkan bahwa aplikasi kapur bakar (CaO) pada budidaya tanaman tebu meningkatkan pH tanah, Ca tukar, P tersedia, dan S tersedia tetapi menurunkan tingkatan K tukar, Mn tukar, dan Al tukar jika dibandingkan sebelum pengaplikasian kapur quick. Aplikasi kapur quick juga

meningkatkan pengambilan N, P, dan Ca dan membatasi pengambilan K dan Mg pada semua umur tanaman.

Penambahan kapur meningkatkan pH dan KTK tanah, namun menurunkan kelarutan Kalium. Jumlah Kalium yang harus ditambahkan ke tanah untuk untuk meningkatkan 24 ppm tanpa pengapuran menjadi 575 ppm untuk tingkat pengapuran yang tinggi adalah 2 kali dari dosis normal (Magdoff dan Barlet, 1980).

Pengapuran dapat mengubah keseimbangan K larutan tanah dan K tukar yang berperan dalam peningkatan KTK dan pemindahan Al dari kompleks pertukaran atau karena persaingan di kompleks pertukaran dengan kapur-turunan Ca. Dalam studi laboratorium, konsentrasi K di larutan tanah menurun setelah pengapuran berdampak pada peningkatan adsorpsi K. Rasio Ca/K di larutan tanah dapat meningkat ketika dikapur (Curtin and Smillie, 1995).

Kedelai

Sistematika tanaman kedelai adalah sebagai berikut : Familia : Leguminosae, Subfamili : Papilionoidae, Genus : Glycine, dan Species :

Glycine max L. (Prihatman, 2000).

Tanaman kedelai dapat tumbuh baik di daerah yang memiliki curah hujan sekitar 100-400 mm/bulan. Sedangkan untuk mendapatkan hasil optimal, tanaman kedelai membutuhkan curah hujan antara 100-200 mm/bulan (Prihatman, 2000). Suhu tanah yang optimal dalam proses perkecambahan yaitu 30°C. Suhu lingkungan optimal untuk pembungaan bunga yaitu 24 -25°C (Irwan, 2006).

Kedelai mempunyai daya adaptasi yang luas terhadap berbagai jenis tanah. Tanah yang cocok ditanami kedelai adalah jenis tanah alluvial, regosol, grumusol,

latosol dan andosol. Reaksi kemasaman tanah sekitar 5 -7 (Abidin, 2001) . Toleransi keasaman tanah sebagai syarat tumbuh bagi kedelai adalah pH 5,8 - 7,0 tetapi pada pH 4,5 pun kedelai dapat tumbuh. Pada pH kurang dari 5,5 pertumbuhannya sangat terhambat karena keracunan aluminium (Prihatman, 2000).

Setiap jenis tanaman khususnya tanaman pangan mempunyai toleransi yang berbeda terhadap kejenuhan Al. Toleransi tanaman kedelai terhadap kejenuhan Al adalah < 20 (Sujadi, 1984). Kandungan Al yang tinggi dapat mengganggu pertumbuhan kedelai dan merusak perakaran tanaman sehingga mengakibatkan tidak efisiennya akar menyerap unsur hara dan air . Makin besar persentase kejenuhan Al dalam tanah, makin banyak kapur yang harus diberikan ke dalam tanah untuk mencapai pH agak netral sampai netral.

Rekomendasi dosis pemupukan dan pengelolaan tanaman kedelai pada tipe penggunaan lahan tegalan dari Balai Penelitian Tanah (2006), adalah:

Tabel 1. Rekomendasi Dosis Pemupukan dan Pengelolaan Tanaman Kedelai pada Tipe Penggunaan Lahan

Masukan Potensi Lahan

Tinggi Sedang Rendah

Urea 25 kg/ha 25 kg/ha 25 kg/ha

Sp-36 100 kg/ha 100 kg/ha 100 kg/ha

KCl 50 kg/ha 100 kg/ha 150 kg/ha

Inokulum Rhizobium 200 g 200 g 200 g

Kapur 500 kg/ha 1000 kg/ha 2000 kg/ha

Bahan Organik 2t pupuk kandang 2t 5t

Pengolahan Tanah Minimum – sempurna

Kriteria kadar hara daun tanaman kedelai pada bagian daun yang baru berkembang pada awal pembentukan polong pada Wolf and Mills (1991) dalam Mukhlis (2011) , yaitu sebagai berikut :

Tabel 2. Kriteria Kadar Hara Daun Tanaman Kedelai

Unsur Defisiensi Optimum Berlebih

---%--- N 3,10 - 4,00 4,01 – 5,50 5,51 – 7,00 P 0,16 – 0,25 0,26 – 0,50 0,51 – 0,80 K 1,26 – 1,70 1,71 – 2,50 2,51 – 2,75 Ca 0,21 – 0,35 0,36 – 2,00 2,01 – 3,00 Mg 0,11 – 0,25 0,26 – 1,00 1,01 – 1,50 S 0,16 – 0,20 0,21 – 0,40 > 0,40

PENDAHULUAN

Dokumen terkait