• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan membahas secara rinci mengenai tinjauan pustaka yang berkaitan dengan

permasalah pada Tugas Akhir ini. Sehingga, dapat dijadikan bahan rujukan yang telah

dilakukan oleh peneliti sebelumnya.

2.1 Mekanika Perpatahan

Mekanika perpatahan (fracture mechanics) adalah salah satu bagian dari teori mekanika yang membahas tentang regangan dan tegangan pada struktur yang memiliki retak. Selain itu, metode ini juga dikembangkan karena tidak cocok pada konsep perencanaan konvensional, yang hanya didasarkan pada sifat-sifat umum material, seperti tegangan mulur (buckling stress), kekuatan tarik (tensile strength) maupun batas mulur (yield stress). Dimana, konsep tersebut digunakan hanya pada struktur yang tidak mempunyai cacat.

Gambar 2.1 Kurva S-N dengan Mekanika Perpatahan (Schijve, 2012)

Dapat dilihat dari Gambar 2.1, bahwa mekanika perpatahan digunakan untuk menganalisa perambatan atau pertumbuhan retak, jika dikenai beban yang berulang. Pertumbuhan retak inilah yang akan digunakan untuk menentukan panjang retak dan umur kelelahan yang dapat ditoleransi sebelum terjadi kegagalan. Menurut Broke (1987), metode mekanika perpatahan bertujuan untuk:

1. Menentukan umur sisa struktur sebagai fungsi ukuran retak. 2. Menentukan ukuran retak yang terjadi pada struktur.

3. Menentukan waktu bagi retak untuk merambat hingga mencapai ukuran kritisnya. 4. Menentukan ukuran retak yang mungkin terjadi.

5. Menentukan jadwal inspeksi pada struktur yang mengalami retak.

Dalam perkembangannya, teori mekanika perpatahan dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu: a) Linear Elastic Fracture Mechanics (LEFM)

Linear Elastic Fracture Mechanics (LEFM) merupakan prosedur analitis yang menghubungkan

Universitas Pertamina - 7

field), dengan tegangan nominal yang diberikan pada struktur dengan sifat-sifat dari material itu

sendiri, ukuran retak (diskontinuitas) dan bentuk retak (Barsom dan Rolfe, 1999). b) Elastic Plastic Fracture Mechanics (EPFM)

Elastic Plastic Fracture Mechanics (EPFM) sangat cocok digunakan pada material memiliki

sifat ductile atau mudah berubah bentuk, dimana terjadi perilaku elastic-plastic pada material akibat pembebanan yang terjadi. Metode ini sebenarnya pengembangan dari metode LEFM dengan penambahan analisa yang menunjukkan deformasi plastis pada material.

2.2 Tahapan Terjadinya Retak

Mekanika perpatahan dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap awal terjadinya keretakan atau crack initiation, kemudian tahap perambatan retak atau crack propagation dan yang terakhir tahap terjadinya patah atau final fracture.

Gambar 2.2 Tahapan dari umur lelah pada suatu material (Schijve, 2012)

a) Retak Awal

Retak awal dapat terjadi sejak proses fabrikasi material, salah satu contohnya karena proses pemilihan, pengerjaan dan produksi material yang tidak sesuai dengan standar yang ditentukan. b) Perambatan Retak

Perambatan retak terjadi setelah retak awal diberi pembebanan berulang yang bekerja pada struktur. Perambatan retak ditentukan oleh dua parameter mekanika perpatahan, yaitu βˆ†πΎ dan βˆ†πΎπ‘šπ‘Žπ‘₯ (Stoychev, 2008). Perambatan retak akan berbanding lurus dengan jumlah pembebanan yang diberikan.

c) Patah

Patah merupakan tahap yang paling akhir, dimana struktur mengalami kerusakan yang berakibat kegagalan. Ketika patah, perambatan retak terjadi dengan sangat cepat (fast fracture). Retak yang terjadi pada tahap ini dapat berupa ductile fracture (rupture), brittle fracture (cleavage) ataupun kombinasi dari keduanya. Suatu material dapat dikatakan mengalami kegagalan, bila mengalami fast fracture, meskipun tegangan yang ditimbulkan masih jauh dibawah nilai yield

Universitas Pertamina - 8 Tahap terjadinya retak juga dapat dijelaskan dengan menggunakan pernyataan dari Paris-law. Paris-Law atau Paris Endrogan Law merupakan pendekatan fatigue dengan menggunakan konsep retakan. Berikut ini adalah hubungan Paris-law bila dikaitkan dengan laju pertumbuhan retak plot grafik (log-log) pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Grafik Log-log Paris Law (Barsom dan Rolfe,1999)

Dengan mengabaikan daerah I dan daerah III, dikarenakan daerah I merupakan retak awal yang biasanya diperoleh dari data lapangan, serta daerah III, yaitu tahap kegagalan dimana terjadi fast

fracture. Sehingga, cukup diwakilkan pada daerah II yang biasanya disebut dengan daerah transisi

atau daerah perambatan retak, dimana persamaan paris law digunakan untuk perambatan retak dapat berlaku dengan baik pada region II. Dalam perkembangan mekanika perpatahan, terdapattiga faktor utama yang dapat mengontrol kemungkinan suatu struktur mengalami brittle fracture (Barsom dan Rolfe, 1999), yaitu:

a) Fracture Toughness (Kc, KIc, KId)

Material toughness merupakan kemampuan suatu material untuk menerima beban dan

berdeformasi secara plastis. Material toughness bisa dideskripsikan sebagai SIF kritis dalam kondisi plane strain (KIc) atau plane stress (Kc) untuk pembebanan yang terjadi secara lambat atau bersifat linier elastis. Sedangkan, KId merupakan ukuran ketangguhan kritis material dalam kondisi pembebanan dinamis (constrain) dan maksimum (plane strain).

b) Kedalaman Retak (a)

Struktur yang diskontinyu tidak hanya mengalami kelelahan karena pembebanan berulang, tetapi juga mengalami retak sejak proses fabrikasi berlangsung. Kedalaman retak pada diskontinuitas struktur ini memungkinkan struktur dapat mengalami brittle fracture.

Universitas Pertamina - 9 c) Tegangan (Οƒ)

Tegangan yang bekerja pada material, baik tegangan residual maupun tegangan nominal, memungkinkan struktur mengalami brittle fracture.

2.3 Stress Intensity Factor (SIF)

Stress Intensity Factor (SIF) adalah salah satu parameter yang dapat dimanfaatkan untuk

melakukan analisa retak yang mendeskripsikan tegangan yang terjadi pada ujung retak. SIF biasanya digunakan sebagai parameter untuk menentukan sifat dari proses perpatahan dan digunakan untuk menentukan umur maksimal dari struktur yang mengalami kelelahan. Dengan menggunakan SIF, selanjutnya juga dapat diketahui bagaimana tingkat kelelahan pada perambatan retak.

Analisa tegangan dan perpindahan dalam perhitungan mekanika perpatahan, pembebanan pada ujung retak dapat digolongkan menjadi tiga mode deformasi (Broek, 1987).

a) Opening Mode (Mode I)

Mode I diakibatkan oleh adanya tegangan tarik yang tegak lurus terhadap arah/bidang penjalaran retak. Dapat disimpulkan, bahwa perpindahan permukaan tegak lurus terhadap bidang retak.

b) Sliding Mode (Mode II)

Mode II diakibatkan oleh adanya tegangan geser yang searah terhadap penjalaran retak. Perpindahan permukaan retak merupakan dalam tegak lurus dan bidang retak.

c) Tearing Mode (Mode III)

Mode III diakibatkan oleh adanya tegangan geser yang bekerja pada arah melintang dan membentuk sudut dengan arah penjalaran retak.

Universitas Pertamina - 10 Dari Gambar 2.4, dapat dilihat ilustrasi mengenai jenis mode deformasi yang tejadi pada suatu material. Dengan menggunakan persamaan Irwin, dapat dihitung besar tegangan dan perpindahan yang terjadi disekitar ujung retak (Barsom dan Rolfe, 1999).

Mode I (Opening Mode)

𝜎π‘₯ = 𝐾𝐼 √2πœ‹π‘Ÿπ‘π‘œπ‘ πœƒ 2[1 βˆ’ π‘ π‘–π‘›πœƒ 2𝑠𝑖𝑛3πœƒ 2] (2.1) πœŽπ‘¦= 𝐾𝐼 √2πœ‹π‘Ÿπ‘π‘œπ‘ πœƒ 2[1 + π‘ π‘–π‘›πœƒ 2𝑠𝑖𝑛3πœƒ 2] (2.2) 𝜏π‘₯𝑦 = 𝐾𝐼 √2πœ‹π‘Ÿπ‘ π‘–π‘›πœƒ2π‘π‘œπ‘ πœƒ2π‘π‘œπ‘ 3πœƒ2 (2.3) πœŽπ‘§ = 𝑣(𝜎π‘₯+ πœŽπ‘¦), 𝜏π‘₯𝑦 = πœπ‘¦π‘§ = 0 (2.4) 𝑒 =𝐾𝐼 𝐺 [π‘Ÿ 2πœ‹]1/2π‘π‘œπ‘ πœƒ 2[1 βˆ’ 2𝑣 + 𝑠𝑖𝑛2 πœƒ 2] (2.5) 𝑣 =𝐾𝐼 𝐺 [2πœ‹π‘Ÿ]1/2π‘ π‘–π‘›πœƒ2[2 βˆ’ 2𝑣 + π‘π‘œπ‘ 2 πœƒ2] (2.6) 𝑀 = 0

(2.7)

Mode II (Sliding Mode)

𝜎π‘₯ = βˆ’πΎπΌπΌ √2πœ‹π‘Ÿπ‘π‘œπ‘ πœƒ 2[2 + π‘π‘œπ‘ πœƒ2π‘π‘œπ‘ 3πœƒ 2] (2.8) πœŽπ‘¦= 𝐾𝐼𝐼 √2πœ‹π‘Ÿπ‘ π‘–π‘›πœƒ 2π‘π‘œπ‘ πœƒ 2π‘π‘œπ‘ 3πœƒ 2 (2.9) 𝜏π‘₯𝑦 = 𝐾𝐼𝐼 √2πœ‹π‘Ÿπ‘π‘œπ‘ πœƒ 2[1 βˆ’ π‘ π‘–π‘›πœƒ 2𝑠𝑖𝑛3πœƒ 2] (2.10) πœŽπ‘§ = 𝑣(𝜎π‘₯+ πœŽπ‘¦), 𝜏π‘₯𝑧= πœπ‘¦π‘§= 0 (2.11) 𝑒 =𝐾𝐼𝐼 𝐺 [π‘Ÿ 2πœ‹]1/2π‘ π‘–π‘›πœƒ 2[2 βˆ’ 2𝑣 + π‘π‘œπ‘ 2 πœƒ 2] (2.12) 𝑣 =𝐾𝐼𝐼 𝐺 [π‘Ÿ 2πœ‹]1/2π‘π‘œπ‘ πœƒ 2[βˆ’1 + 2𝑣 + 𝑠𝑖𝑛2 πœƒ 2] (2.13) 𝑀 = 0 (2.14)

Mode III (Tearing Mode)

𝜏π‘₯𝑧= βˆ’ 𝐾𝐼𝐼𝐼 √2πœ‹π‘Ÿπ‘ π‘–π‘›πœƒ2 (2.15) πœπ‘¦π‘§ = 𝐾𝐼𝐼𝐼 √2πœ‹π‘Ÿπ‘π‘œπ‘ πœƒ 2 (2.16) 𝜎π‘₯ = πœŽπ‘¦= πœŽπ‘§ = 𝜏π‘₯𝑦= 0 (2.17) 𝑀 =𝐾𝐼𝐼𝐼 𝐺 [2π‘Ÿ πœ‹]1/2π‘ π‘–π‘›πœƒ 2 (2.18) 𝑒 = 𝑣 = 0 (2.19)

Universitas Pertamina - 11 Dimana,

K I, II, III = Faktor Intensitas Tegangan untuk Mode I, II, dan III.

π‘Ÿ = Jarak ujung retak dengan node yang ditinjau πœƒ = Sudut antara node yang ditinjau dengan sumbu x 𝑣 = Poisson’s Ratio

𝜎π‘₯ = Tegangan normal pada arah sumbu x πœŽπ‘¦= Tegangans normal pada arah sumbu y

𝜏π‘₯𝑦 = Tegangan geser pada bidang x dan arah sumbu y

Pada kondisi yang sebenarnya, arah perambatan retak merupakan kombinasi dari tiga jenis mode di atas, namun Mode I merupakan yang mode yang paling dominan terhadap pembentukan inisiasi retak. Sehingga, dalam Tugas Akhir ini hanya perambatan retak yang terjadi adalah sesuai dengan Mode I.

Jarak antara ujung tegangan dengan node dinyatakan dengan r. Sedangkan, ΞΈ merupakan sudut antara sumbu lokal x dengan r. Formula diatas hanya dapat dilakukan dengan nilai r yang mendekati nol atau nilainya sangat kecil dibandingkan dimensi planar x-y, seperti pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Komponen Tegangan pada Ujung Retak (Barsom dan Rolfe, 1999)

2.4 SIF pada Retak Semi-Eliptical

Persamaan 2.20 digunakan untuk menentukan nilai faktor intensitas tegangan secara umum, dapat dituliskan sebagai:

𝐾 = πœŽβˆšπœ‹π‘Ž . 𝑓(𝑔) (2.20)

Dimana,

𝜎 = Tegangan pada retak (MPa) π‘Ž = Kedalaman retak (mm)

Universitas Pertamina - 12 Sedangkan, persamaan faktor intensitas tegangan untuk retak semi-eliptical pada suatu pelat yang mengalami beban tarik dapat dihitung melalui persamaan SIF, dimana nilai Ξ² = Ο€/2 (semi eliptical) yaitu:

𝐾𝐼= 1,12πœŽβˆšπœ‹π‘„π‘Ž . π‘€π‘˜ (2.21)

Nilai Q merupakan flaw shape parameter yang dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Flaw Shape Parameter dan Retak Semi-Elliptical (Barsom dan Rolfe, 1999)

MK merupakan faktor koreksi back surface, yang besarnya: π‘€π‘˜ = 1,0 + 1,2 [π‘Ž

𝑑 βˆ’ 0,5] (2.22)

2.5 Finite Element Method (FEM)

Secara umum, analisa pada struktur dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode analisa numerik dan metode eksperimental. Metode analisa numerik yaitu dengan cara pemodelan matematik, rumus empiris ataupun pemodelan analitik. Model matematik digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah teknik yang jarang mencapai hasil yang analitik. Secara umum, menghasilkan suatu formula matematik yang sangat rumit dan banyak menggunakan kondisi batas (Logan, 2000). Penggunaan analisa numerik tetap dianggap cukup akurat dalam menyelesaikan kasus-kasus teknik sederhana, walaupun hasilnya tidak eksak. Pada kasus yang lebih rumit, metode yang digunakan adalah dengan finite element sebagai salah satu bentuk metode numerik yang sanggup menganalisa kasus yang sangat rumit.

Prinsip finite element method adalah menggabungkan beberapa elemen-elemen yang dapat disebut finite element dengan menggunakan titik-titik yang disebut nodes. Analisis menggunakan

FEM harus memutuskan untuk membagi struktur dalam elemen hingga dan memilih jenis elemen yang dipakai dalam analisis, serta menentukan bentuk pembebanan dan kondisi batas atau tumpuan-tumpuan yang akan digunakan. Sementara itu proses/tahap berikutnya akan secara otomatis

Universitas Pertamina - 13 dilakukan oleh program. Jumlah elemen yang digunakan, variasi ukuran dan jenis elemennya, pada dasarnya merupakan masalah β€œengineering judgement”. Elemen harus dibuat cukup kecil sehingga hasilnya semakin detail, namun juga harus cukup besar agar mengurangi waktu komputasionalnya (running program). Elemen-elemen yang kecil biasanya digunakan untuk lokasi dimana perubahan geometri terjadi secara drastis. Sedangkan elemen berukuran besar digunakan untuk lokasi dimana besaran yang ingin dicari perubahannya relatif konstan.

Didalam metode elemen hingga terdapat beberapa hal yang perlu diketahui dan dipahami sebelum memulai pemodelan, salah satu diantaranya adalah jenis elemen. Penentuan dari jenis elemen harus disesuaikan dengan kondisi spesimen saat dilapangan maupun dalam perlakuan eksperimen. Pada kasus pemodelan dengan mekanika struktural terdapat dua jenis elemen yang biasanya banyak digunakan, diantaranya jenis elemen tetrahedral dan elemen hexahedra. Perbedaan diantara dua jenis elemen ini secara umum terletak pada jumlah elemen dan node yang ada. Berikut contoh dari kedua jenis elemen tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Contoh Jenis Elemen dalam FEM (ANSYS, 2013)

Untuk jenis elemen yang digunakan pada analisa structural biasanya jenis elemen solid186 banyak digunakan dan disarankan. Pada elemen solid yang biasanya jenis elemen tetrahedral dan elemen hexahedra terdapat kriteria khusus diantaranya: jenis linier maupun jenis quadratic hal ini

Universitas Pertamina - 14 berbeda tentang jumlah node yang dimiliki. Pada jenis linier letak node terletak pada bagian ujung/sudut saja sedangkan pada jenis quadratic ada tambahan node pada bagian tengah dari elemen. Pada Gambar 2.7 diatas dapat dijelaskan bahwa semakin banyak jumlah node untuk pada setiap elemen, maka waktu dalam komputasi jauh lebih lama serta kebutuhan akan memori juga semakin besar, begitu pula sebaliknya. Menurut Wang et al, (2004) memberikan kesimpulan tentang kelebihan dan kekurangan antara jenis elemen tetrahedral dan elemen hexahedral diantaranya: a) Usahakan tidak menggunakan elemen linear tetrahedral

b) Jenis elemen quadratic tetrahedral memberikan hasil yang baik dan dapat digunakan kapan saja c) Jenis elemen quadratic hexahedral sangat handal dan sangat baik namun pemodelan ini

membutuhkan komputasi yang lebih

Jadi bisa disimpulkan bahwa penggunaan jenis elemen solid baik untuk jenis elemen tetrahedral maupun hexahedral dapat digunakan namun dengan catatan bahwa jenis ini adalah

quadratic. Gambar 2.8 mengilustrasikan tentang rekomendasi jenis mesh yang dapat digunakan

dalam FEM.

Gambar 2.8 Beberapa Rekomendasi untuk Elemen Solid (Wang et al., 2004)

2.6 Fracture Thougness (K

c

)

Fracture toughness (Kc) merupakan kemampuan suatu struktur untuk mampu menahan

intensitas tegangan tertentu yang terletak di ujung retak dan memperlambat penjalaran retak. Sehingga, fracture toughness dapat digunakan sebagai kriteria atau standar dalam melakukan perancangan kekuatan struktur. Struktur akan mengalami fast fracture ketika K = Kc.

tiap material memiliki nilai fracture toughness yang berbeda-beda. Hal ini ditentukan secara eksperimen pada struktur yang diuji hingga terjadi fast fracture (Barsom et al., 1987).

2.7 Elastic Plastic Fracture Mechanics (EPFM)

Hampir semua material baja dari low hingga medium strength digunakan pada struktur yang kompleks misalnya pressure vessel, transportasi laut dan jembatan. Tidak cukup hanya factor

thickness untuk mempertahankan kondisi plane-strain pada kondisi pembebanan yang perlahan (slow loading) saat temperature normal. Oleh karena itu, dalam beberapa aplikasi struktur, perhitungan KIc dengan linear elastic analysis tidak berlaku dengan adanya perilaku elastic plastic dan formasi large

plastic zone. Perluasan utama LEFM menjadi daerah elastic plastic mengikuti:

Universitas Pertamina - 15 b) Analisa R-Curve

c) Opening Displacement pada Ujung Retak

2.8 Definisi J-Integral

J

-Integral merupakan cara untuk menghitung laju pelepasan energi regangan atau kerja (energi) per satuan luas permukaan fraktur, dalam suatu material (Vliet et al., 2006). Konsep teoritis J-integral dikembangkan pada tahun 1967 oleh GP Cherepanov dan secara independen pada tahun 1968 oleh James R. Rice, yang menunjukkan bahwa integral jalur kontur energik (disebut J) tidak tergantung pada jalur di sekitar retakan.

Metode eksperimental dikembangkan dengan menggunakan integral yang memungkinkan pengukuran sifat patahan kritis dalam ukuran sampel yang sangat kecil pada Linear Elastic Fracture

Mechanics (LEFM) menjadi valid (Lee et al., 1987). Eksperimen ini memungkinkan penentuan

ketangguhan patahan dari nilai kritis energi rekahan (JIc), yang menentukan titik di mana luluh plastis dalam skala besar selama propagasi berlangsung pada mode pembebanan I.

J-Integral sama dengan laju pelepasan energi regangan untuk retakan pada benda yang mengalami pembebanan monoton (Yoda, 1980). Ini umumnya benar, dalam kondisi quasistatic, hanya untuk bahan elastis linier. Pada material yang mengalami peluluhan skala kecil di ujung retak, J dapat digunakan untuk menghitung laju pelepasan energi dalam keadaan khusus seperti pembebanan monotonik dalam mode III. Tingkat pelepasan energi regangan juga dapat dihitung dari J untuk bahan plastis yang mengalami hasil skala kecil di ujung retak.

2.9 Analisa R-Curve

KIc merupakan faktor intensitas tegangan pada kondisi plane-strain (πœ€z = 0) dan disertai skala kecil pada crack tip plasticity. Sedangkan, Kc merupakan faktor intensitas tegangan pada kondisi

plane stress (𝜎z = 0) dan disertai large-scale crack tip plasticity. Oleh karena itu, perilaku yang ditunjukkan oleh Kc merupakan kebalikan dari yang ditunjukkan oleh KIc. Hal tersebut tidak berarti memiliki perbandingan batasan dengan elastic through-thickness secara menyeluruh pada retak. Pada umumnya, nilai Kc 2 hingga 10 kali lebih besar daripada nilai KIc. Pada kondisi konstan baik suhu, plate thickness dan strain rate (T, B dan πœ€) nilai Kc dapat berubah berdasarkan panjang retak awal, a0.

R-curve mengelompokkan resistansi keretakan pada struktur selama kenaikan perluasan crack slow-stable. R-curve menggambarkan resistansi pertumbuhan retak pada struktur dengan

fungsi perluasan retak secara aktual atau efektif. KR merupakan resistansi dari penjalaran retak, unitnya sama dengan K, yaitu ksiβˆšπ‘–π‘›. Kc merupakan plane stress fracture toughness yang harganya sama dengan KR pada kondisi yang tidak stabil pada waktu tes R-curve. R-curve menunjukkan variasi

Universitas Pertamina - 16 βˆ†a dengan KR, dimana KR menunjukkan gaya yang diperlukan untuk dapat menghasilkan perluasan retak yang stabil (βˆ†a) sebelum pertumbuhan retak yang tidak stabil atau Kc.

Persamaan R-curve (Barsom, 1987), yaitu:

𝐾 = βˆšπ‘…πΈ (2.23)

𝑅 = 𝐺 =πœ‹πœŽ2π‘Ž 𝐸 =𝐾𝐼2

𝐸 (2.24)

Dimana,

G = Rate energi yang dikeluarkan KR = Resistansi Pertumbuhan Retak (R) E = Modulus Elastisitas

2.10 Istilah-Istilah Umum dalam Pemodelan

Dalam pemodelan biasanya terdapat istilah-istilah umum yang biasa digunakan, khususnya ketika menggunakan perangkat lunak ANSYS sebagai alat pemodelan. Berikut beberapa istilah yang umum digunakan:

A. Modulus Elatisitas

Suatu material yang elastis akan mengalami perpanjangan jika material tersebut ditarik dengan gaya tertentu. Perpanjangan material tersebut akan semakin besar jika gaya yang diberikan pada material semakin besar pula. Perpanjangan yang terjadi merupakan regangan, sedangkan gaya yang diberikan pada material merupakan tegangan. Oleh karena itu, hasil pembagian antara tegangan dan regangan merupakan suatu konstanta yang disebut sebagai modulus elastisitas. B. Poisson Ratio

Material elastis jika dikenai gaya tarik ke arah sumbu X, material tersebut tidak hanya akan mengalami perpanjangan menuju arah positif sumbu X, namun juga akan mengalami perpanjangan menuju arah negatif pada sumbu Z dan sumbu Y. Perpanjangan positif merupakan pemanjangan, sedangkan perpanjangan negatif merupakan penyusutan, dimana besar penyusutan dan pemanjangan berbeda. Perbandingan antara perpanjangan searah sumbu X dengan searah sumbu Y dan sumbu Z merupakan Poisson Ratio.

C. Tegangan Von Misses

Tegangan-tegangan pada elemen tiga dimensi, akan bekerja searah sumbu X, Y dan Z. Pada setiap sumbu, dapat diketahui tegangan utama (𝜎1, 𝜎2, 𝜎3) yang diperoleh dari komponen tegangan sebagai persamaan berikut:

|

𝜎π‘₯βˆ’ 𝜎0 𝜎π‘₯𝑦 𝜎π‘₯𝑧 𝜎π‘₯𝑦 𝜎π‘₯βˆ’ 𝜎0 πœŽπ‘¦π‘§

Universitas Pertamina - 17 Dimana,

𝜎0 = Tegangan utama bekerja pada sumbu 𝜎π‘₯ = Tegangan normal pada arah sumbu x πœŽπ‘¦ = Tegangan normal pada arah sumbu y πœŽπ‘§ = Tegangan normal pada arah sumbu z 𝜎π‘₯𝑦 = Tegangan geser pada arah sumbu xy 𝜎π‘₯𝑧= Tegangan geser pada arah sumbu xz πœŽπ‘¦π‘§ = Tegangan geser pada arah sumbu yz

𝜎1 merupakan tegangan utama yang harga paling positif dan 𝜎3 merupakan tegangan degan harga yang paling negatif. Untuk mengetahui tegangan maksimum yang terjadi pada titik tersebut, dapat dilakukan penggabungan tegangan-tegangan utama dengan berbagai cara. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan perumusan tegangan Von Mises, yaitu:

πœŽπ‘’= (1 2[(𝜎1βˆ’ 𝜎2)2+ (𝜎2βˆ’ 𝜎3)2+ (𝜎3βˆ’ 𝜎1)2]) 1 2 (2.26) Dimana, πœŽπ‘’= Tegangan maksimum 𝜎1= Tegangan utama 1 𝜎2= Tegangan utama 2 𝜎3= Tegangan utama 3

Dari persamaan 2.26 akan didapatkan nilai tegangan maksimum yang selalu positif

D. Principal Stress

Tegangan shear bernilai nol saat πœƒ = 0. 𝜎π‘₯ dan πœŽπ‘¦ adalah principal stress dari 𝜎1 dan 𝜎2.

Principal stress yang ketiga tegak lurus bidang: πœŽπ‘§β‰… 𝜎3. (Broek. 1987). 𝜎1,𝜎2=𝜎π‘₯+πœŽπ‘¦

2 Β± √(𝜎π‘₯βˆ’πœŽπ‘¦

2 )2+ πœπ‘‹π‘Œ2 (2.27)

Dimana,

𝜎π‘₯ = Tegangan normal arah sumbu x πœŽπ‘¦= Tegangan normal arah sumbu y πœŽπ‘§ = Tegangan normal arah sumbu z 𝜎1= Tegangan utama 1

𝜎2= Tegangan utama 2 𝜎3= Tegangan utama 3

Universitas Pertamina - 18

2.11 Ringkasan Kajian Pustaka

Dari sekian banyak kajian pustaka mengenai mekanika perpatahan, tentu hanya beberapa konsep yang akan digunakan dalam penelitian Tugas Akhir ini. Kajian pustaka yang digunakan tentunya harus berkaitan dengan rumusan masalah yang ada. Sehingga, rumusan masalah pada penelitian ini dapat terselesaikan dengan solusi yang tepat.

Penelitian Tugas Akhir ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh parameter takikan (D/d dan r/d) dan rasio aspek retak a/c terhadap nilai faktor intensitas tegangan. Selain parameter takikan dan rasio aspek retak, nilai faktor intensitas tegangan tentu dipengaruhi oleh jenis pembebanan yang terjadi. Oleh karena itu, pembebanan yang digunakan pada penelitian ini hanya pembebanan tarik (100 Mpa). Dalam analisanya, konsep yang digunakan merupakan konsep mekanika perpatahan, dimana mekanika perpatahan digunakan untuk menganalisa perambatan atau pertumbuhan retak jika dikenai beban yang berulang. Pertumbuhan retak inilah yang akan digunakan untuk menentukan panjang retak yang dapat ditoleransi sebelum terjadi kegagalan. Dalam perkembangannya, mekanika perpatahan dibagi menjadi dua bagian, yaitu LEFM dan EPFM. Tetapi, pada penelitian ini yang digunakan hanya LEFM.

LEFM diasumsikan bahwa zona plastis dekat ujung retak adalah sangat kecil dan penjalaran retak berperan penting untuk mencapai kegagalan akhir, yang dapat diuraikan oleh suatu parameter tunggal yang disebut Stress Intensity Factor (SIF). Nilai SIF inilah yang akan menjadi output dari simulasi dengan menggunakan perangkat lunak ANSYS. Oleh karena itu, pada penelitian ini ANSYS hanya akan menghasilkan komponen elastis untuk LEFM yang ditunjukkan dalam bentuk grafik SIF dan posisi retak. Dalam teori SIF, hanya analisa opening mode (KI) yang digunakan, karena pada pembebanan yang diberikan hanya 1 jenis pembebanan, yaitu pembebanan tarik. Setelah nilai SIF didapatkan, maka selanjutnya adalah pengolahan data dengan microsoft excel. Pengolahan data dilakukan dengan cara normalisasi nilai SIF, posisi dan mengelompokkan nilai SIFs dengan variasi model tertentu. Sehingga, dapat terlihat pengaruh nilai D/d, r/d dan a/c terhahap nilai SIFs pada model. Normalisasi nilai SIF dilakukan dengan cara membagi setiap nilai SIF yang ada pada grafik dengan persamaan (2.20) sebagai berikut:

𝐾 = πœŽβˆšπœ‹π‘Ž

Nilai kedalaman retak (a) yang di gunakan pada penelitian ini adalah tetap, yaitu a = 1 mm. Selain itu, untuk tegangan pada retak yaitu sebesar 100 MPa. Sehingga, akan didapatkan nilai KI = 177.245 MPa√mm. Nilai KI inilah yang akan digunakan sebagai pembagi pada grafik nilai SIF. Sehingga, grafik nilai SIF (sumbu y) akan menjadi dimensionless. Begitupun dengan nilai posisi pada sumbu x. nilai posisi pada sumbu x akan di bagi dengan nilai terbesar pada posisi tersebut. Sehingga, model dengan panjang retak dan nilai SIFs yang berbeda-beda dapat di gabungkan dalam satu grafik.

Universitas Pertamina - 20

Dokumen terkait