Profil Kabupaten Jember
Berdasarkan data BPS (2009), Kabupaten Jember secara geografis terletak pada 113030’ - 113045’ Bujur Timur dan 8000’ - 8030’ Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten Jember di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Probolinggo, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lumajang dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia. Luas wilayah Kabupaten Jember 3 293.34 Km2 yang terbagi menjadi 31 kecamatan terdiri atas 28 kecamatan dengan 225 desa dan 3 kecamatan dengan 22 kelurahan dengan Jember sebagai ibukota kabupaten. Khusus untuk Susenas 2008, desa-desa yang menjadi contoh sebagian besar berada pada kecamatan yang berbeda, hanya sembilan kecamatan yang memiliki lebih dari satu desa yang menjadi contoh dalam survei tersebut.
Kabupaten Jember memiliki potensi sektor pertanian yang cukup tinggi khususnya untuk tanaman padi dan palawija. Pada tahun 2008, Jember memiliki potensi luas panen tanaman padi 143 597 ha dengan produksi 813 995 ton, untuk tanaman jagung berpotensi luas panen 67 869 ha dengan produksi sebesar 396 818 ton, serta tanaman kedelai berpotensi luas panen 12 186 ha dengan produksi 14 545 ton. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup besar yaitu Rp1 366 522 000 000.00 dan menduduki urutan ketiga terbesar di Provinsi Jawa Timur setelah Surabaya dan Sidorajo. Sedangkan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Jember sebesar Rp9 864 000 000.00 (BPS 2009).
Pengeluaran Per kapita
Beberapa data yang diperoleh dari Susenas 2008 adalah data pengeluaran rumah tangga per bulan dan data pengeluaran per kapita. BPS mendefinisikan pengeluaran rumah tangga sebulan adalah semua biaya yang dikeluarkan rumah tangga selama sebulan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi untuk semua anggota rumah tangga. Data pengeluaran per kapita diperoleh dari jumlah pengeluaran rumah tangga sebulan dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga tersebut (BPS 2008). Berdasarkan asumsi bahwa penarikan contoh yang dilakukan
berdasarkan penarikan contoh acak sederhana, maka rata-rata pengeluaran per kapita desa diperoleh dengan rumus :
dengan :
= rata-rata pengeluaran per kapita desa ke-i, dengan i = 1,2, . . . , m
= pengeluran per kapita rumah tangga ke – j di desa ke- i , dengan j = 1, 2, . . . ,ni
= jumlah rumah tangga di desa ke-i m = jumlah desa
Pendugaan Area Kecil
Pelaksanaan survei dilakukan untuk melakukan pendugaan parameter populasi. Pendekatan klasik untuk menduga parameter populasi didasarkan pada aplikasi model disain penarikan contoh (design-based), dan penduga yang dihasilkan dari pendekatan itu disebut penduga langsung (direct estimation). Data hasil survei ini dapat digunakan untuk mendapatkan penduga yang terpercaya dari total maupun rata-rata populasi suatu area atau domain dengan jumlah contoh yang besar. Namun, ketika penduga langsung tersebut digunakan untuk suatu area yang kecil, maka akan menimbulkan galat baku yang besar (Ghosh dan Rao 1994). Selain itu, pendugaan langsung tidak dapat dilakukan pada area yang tidak terpilih sebagai contoh, karena tidak adanya data yang dapat digunakan untuk melakukan pendugaan. Suatu area dikatakan kecil jika ukuran contoh dalam domain tersebut tidak cukup memadai untuk mendukung ketelitian penduga langsung (Rao 2003). Area kecil biasanya digunakan untuk mendefinisikan area geografi yang kecil atau domain yang memiliki ukuran contoh sangat kecil.
Penanganan masalah galat baku dalam pendugaan area kecil dilakukan dengan menambahkan informasi mengenai parameter yang sama pada area kecil lain yang memiliki karakteristik serupa, atau nilai pada waktu yang lalu, atau nilai dari peubah yang memiliki hubungan dengan peubah yang sedang diamati. Pendugaan parameter dan inferensinya yang menggunakan informasi tambahan tersebut dinamakan pendugaan tidak langsung (indirect estimation). Metode ini secara statistik memiliki sifat meminjam kekuatan (borrowing strength) dari
informasi mengenai hubungan antara peubah yang diamati dengan informasi yang ditambahkan, sehingga mengefektifkan jumlah contoh yang kecil. Pendugaan tidak langsung berdasarkan pada model implisit atau model eksplisit yang menyediakan suatu link yang menghubungkan area-area kecil melalui data tambahan. Dalam papernya, Petrucci dan Salvati (2004a) menuliskan bahwa penduga tak langsung ini terdiri dari dua tipe, yaitu penduga tak langsung yang berdasarkan pada model implisit, antara lain penduga sintetik (synthetic estimator) dan penduga komposit (composite estimator) serta penduga tak langsung yang berdasarkan pada model eksplisit (berbasis model) yang menggabungkan pengaruh acak antar area.
Asumsi dasar dalam pengembangan model untuk SAE adalah bahwa keragaman di dalam area kecil peubah yang sedang diamati dapat diterangkan oleh hubungan keragaman yang bersesuaian pada informasi tambahan yang disebut sebagai pengaruh tetap. Asumsi lainnya adalah bahwa keragaman khusus area kecil tidak dapat diterangkan oleh informasi tambahan dan merupakan pengaruh acak area kecil. Gabungan dari dua asumsi tersebut membentuk model linier campuran (mixed models). Pendugaan area kecil untuk model pengaruh campuran pertama kali dikembangkan oleh Fay dan Herriot (1979), untuk menduga pendapatan per kapita suatu area kecil berdasarkan data survei Biro Sensus Amerika Serikat (U.S. Bureau of the Cencus). Model ini selanjutnya dikenal dengan model Fay-Herriot yang merupakan model dasar bagi pengembangan pemodelan area kecil, yaitu ; , dimana
adalah penduga langsung bagi area ke-i, merupakan parameter yang menjadi perhatian bagi area ke-i, adalah koefisien regresi, adalah peubah penyerta, adalah galat contoh pada area ke-i. adalah pengaruh acak area dengan dan saling bebas dengan = = 0 dan !"# serta !"# $ (i = 1, 2, …, m).
Tipe model pendugaan area kecil terbagi menjadi dua, yaitu model tingkat area (basic area level models) dan model tingkat unit (unit level area models) (Ghosh dan Rao 1994). Model tingkat area digunakan jika data penyerta yang bersesuaian dengan data peubah yang diamati tidak tersedia hingga tingkat unit
pengamatan, sedangkan model tingkat unit digunakan jika data penyerta yang bersesuaian dengan data peubah yang diamati tersedia hingga tingkat unit contoh.
Prediksi Tak Bias Linier Terbaik Empiris
Model pengaruh campuran Fay-Herriot selanjutnya dijabarkan oleh Russo et. al (2005) untuk tingkat area sebagai berikut:
1. % , merupakan vektor data pendukung (peubah penyerta). 2. & , untuk i = 1, 2, …, m. merupakan parameter yang
menjadi perhatian dan diasumsikan memiliki hubungan dengan peubah penyerta pada (1).
3. ' !"# (
4. , penduga langsung untuk domain ke-i yang merupakan fungsi linier dari parameter yang menjadi perhatian dan galat contoh .
5. & , untuk i = 1, 2, …, m merupakan gabungan dari (2) dan (4) yang terdiri dari pengaruh acak dan pengaruh tetap sehingga menjadi bentuk khusus dari model linier campuran dengan struktur peragam yang diagonal.
Model nomor (5) tersebut merupakan model tingkat area, yaitu:
& untuk i = 1, 2, …, m (1) dengan adalah peubah penyerta tingkat area dan & adalah insiden matriks. Model persamaan (1) merupakan kasus khusus dari model linier campuran terampat dengan struktur koragam diagonal. Teknik penyelesaian model tersebut untuk memperoleh BLUP bagi & telah dikembangkan oleh Henderson (1953,1975), dengan asumsi ( diketahui. Penduga BLUP dari berdasarkan persamaan (1) adalah:
) ) * + )
* , + * ) (2) dengan * & - & dan ) adalah koefisien regresi yang diduga
dengan generalized least square (GLS), yaitu ) . /0 . 0 . /0 . Kuadrat tengah galat (Mean square error,MSE) dari 1 2 adalah:
dengan 5 dan 5 sebagai berikut :
5 & & 0 *
5 , + * 6 - & 70
Metode BLUP yang dikembangkan Henderson (1953, 1975) mengasumsikan diketahuinya komponen ragam pengaruh acak dalam model linier campuran, padahal dalam kenyataannya, komponen ragam ini tidak diketahui. Oleh karena itu maka penduga ini harus terlebih dahulu diduga. Harville (1977) dalam papernya menulis tentang pendugaan komponen ragam dengan menggunakan metode kemungkinan maksimum (ML) dan metode kemungkinan maksimum terkendala (REML). Pendugaan baik dengan metode ML maupun metode REML dilakukan dengan metode algoritma scoring (scoring algorithm). Rumus-rumus yangdigunakan untuk menduga dapat dilihat pada Lampiran 1. Penduga EBLUP telah dibahas lebih lengkap oleh Ghosh and Rao (1994), Rao (1999), Datta dan Lahiri (2000) dan Rao (2003). Penduga EBLUP dengan mengganti nilai 8dengan penduganya 9 adalah sebagai berikut:
) *9 , + *9 ) ( 3) Penduga EBLUP yang diperoleh dengan metode ML maupun REML adalah penduga tak bias jika galat dan berdistribusi normal dengan rata-rata 0 .
MSE dari EBLUP (Rao 2003) adalah :
34 1 ) 2 : 5 5 5;
dengan 5; <&< & 0;= 9 . = 9 adalah ragam asimtot dari
9 dengan rumus ;
= 9 86> 70 ? @A&<- & B
C
0
Penghitungan 34 1 ) 2 dilakukan dengan menghitung penduganya. Rumus dari penduga 34 1 ) 2adalah:
DEF ) 5 9 5 9 ?5; 9
dimana DEF ) adalah penduga bagi 34 1 ) 2. Pada model tingkat area, ada dua pilihan DEF ) 8 8 yaitu :
DEF ) 5 9 5 9 ?5;G 9 dan
DEF ) 5 9 5 9 5; 9 5;G 9 dengan
5;G 6&< <- & <7 + ) = 9
Prediksi Tak Bias Linier Terbaik Empiris Spasial
Misalkan didefinisikan vektor HI B , J B dan
8K B , dan matriks . B dan L MN"O & &B8 . Berdasarkan definisi vektor dan matriks tersebut, maka persamaan (1) dalam notasi matriks adalah :
88888888888888HI . LJ K (4) Model pada persamaan (4) mengasumsikan bahwa terdapat pengaruh acak area, namun pengaruh tersebut saling bebas antar area. Pada kenyataannya, sangat beralasan untuk mengatakan bahwa ada korelasi antar area yang berdekatan. Korelasi tersebut akan semakin berkurang seiring dengan jarak yang bertambah. Hal ini sesuai dengan hukum pertama tentang geografi yang dikemukakan oleh Tobler (Tobler’s first law of geography) dalam Schabenberger dan Gotway (2005) yang merupakan pilar kajian analisis data spasial, yaitu “everything is realted to everything else, but near things are more related than distant things”. Segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang lebih dekat akan lebih berpengaruh daripada sesuatu yang jauh.
Model SAE dengan memasukkan korelasi spasial antar area pertama kali diperkenalkan oleh Cressie (Cressie 1991 diacu dalam Rao 2003), dengan mengasumsikan ketergantungan spasial mengikuti proses Conditional Autoregressive (Otoregresif bersyarat, CAR). Model SAE ini kemudian dikembangkan lagi oleh beberapa peneliti, diantaranya Salvati (2004), Pratesi dan Salvati (2008), Singh et al. (2005) dengan mengasumsikan bahwa Ketergantungan spatial yang dimasukkan ke dalam komponen galat dari faktor acak mengikuti proses Simultaneous autoregressive (Simultan otoregresif, SAR). Model SAR sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Anselin (Anselin 1992 diacu dalam Chandra, Salvati, Chambers 2007) dimana vektor pengaruh acak area
J PJ Q (5) Koefisien dalam persamaan (5) adalah koefisien otoregresif spasial yang
menunjukkan kekuatan dari hubungan spasial antar pengaruh acak. Nilai berkisar antara -1 hingga 1. Nilai R ' menunjukkan bahwa suatu area dengan nilai parameter yang tinggi cenderung dikelilingi oleh area lain dengan nilai parameter yang tinggi pula dan sebuah area dengan nilai parameter yang rendah dikelilingi oleh area dengan nilai parameter yang rendah pula. Disisi lain, S ' menunjukkan bahwa suatu area dengan nilai parameter yang tinggi dikelilingi oleh area lain dengan nilai parameter yang rendah, atau sebaliknya (Savitz dan Raudenbush 2009). W adalah matriks pembobot spasial yang menggambarkan struktur ketetanggaan dari area kecil dalam bentuk standarisasi baris (jumlah setiap baris pada matriks W adalah 1), J adalah pengaruh acak area dan Q adalah vektor galat dari pengaruh acak area dengan rata-rata sama dengan nol dan ragam
TB. Persamaan (5) dapat ditulis kembali sebagai berikut :
J T + P 0 Q (6) dengan8T adalah matriks identitas berukuran m U m. Dari persamaan (6) terlihat bahwa rata-rata V adalah 0 dan matriks koragam V(G) adalah sebagai berikut :
W X6 T + P T + P 70
Persamaan (6) dimasukkan ke dalam persamaan (4) menghasilkan :
HI . L T + P 0 Q K Matriks koragam dari HI dengan Y MN"O adalah :
V= R + ZGZT = MN"O L X6 T + P T + P 70 L (7) Penduga Spasial BLUP untuk parameter dengan dan diketahui adalah:
)Z [ \ ] 6 T + P T + P 70 ^L 8
U ]MN"O L Q6 T + P T + P 70 L ^0 _ + . [ Dimana [ . /0 . 0 . /0 dan \ adalah vektor berukuran 18U n (0, 0, …0, 1, 0,…0) dengan 1 menunjuk pada lokasi ke-i. Penduga Spasial BLUP tersebut diperoleh dengan memasukkan matriks koragam pada persamaan (7) ke dalam penduga BLUP. Spatial BLUP akan sama dengan BLUP jika '. Perhitungan MSE dari Spatial BLUP dapat diperoleh seperti dalam Rao (2003), yaitu :
34 1 )Z 2 5 5 dengan 5 dan 5 adalah sebagai berikut :
5 ` ] 6 T + P T + P 70 + 6 T + P T + P 70 L 8 U ]MN"O L 6 T + P T + P 70 L ^0 L 8 U 6 T + P T + P 70 ^ab 5 + ` 6 T + P T + P 70 L 8 U ]MN"O L 6 T + P T + P 70 L ^0 . 8 U . ]MN"O L 6 T + P T + P 70 L ^0 . 0 U + \ 6 T + P T + P 70 L 8 U ]MN"O L 6 T + P T + P 70 L ^0 .
Seperti halnya dengan penduga EBLUP, penduga SEBLUP )Z 9 9 diperoleh dari Spasial BLUP dengan mengganti nilai dengan pendugaanya. Asumsi kenormalan dari pengaruh acak digunakan untuk menduga dan dengan menggunakan prosedur baik ML maupun REML dengan fungsi log- likelihood memiliki maksimum global dan beberapa maximum lokal (Patresi dan Salvati 2005 diacu dalam Pratesi dan Salvati 2008). Pendugaan tersebut dapat diperoleh secara iteratif dengan menggunakan algoritma Nelder-Mead (Nelder dan Mead 1965) dan algoritma scoring. Penggunaan dua prosedur ini secara berurut perlu dilakukan karena metode algoritma Nelder-Mead tidak tergantung pada pemilihan titik awal tetapi tidak terlalu efisien dan hasil yang diperoleh mendekati maksimum global, sedangkan algoritma scoring memerlukan titik awal yang tepat untuk mendapatkan fungsi yang maksimum. Fungsi kemungkinan logaritma yang digunakan untuk menduga dan dapat dilihat pada Lampiran 2 sesuai dengan yang dihasilkan oleh Patresi dan Salvati (2008). Hasil pendugaan tersebut kemudian digunakan untuk melakukan pendugaan terhadap SEBLUP, dengan rumus penduga EBLUP adalah:
)Z 9 9 [ \ ]9 6 T + 9P T + 9P 70 ^L 8
U ]MN"O L 9 6 T + 9P T + 9P 70 L ^0 _ + . [ MSE1 )Z 9 9 2 untuk model spatial EBLUP dengan pengaruh acak berdistribusi normal, adalah :
cde1 )Z 9 9 2 MSE1 )Z 2 e1 )Z 9 9 + )Z 2
Bentuk e1 )Z 9 9 + )Z 2 ditaksir dengan Taylor dan dilambangkan dengan 5; ( Kackar dan Harville 1984 diacu dalam Pratesi dan Salvati 2008), yaitu :
888888885; fg hi` j
0 L /0 j0 L +/0 Lj0 L /0
` kL /0 j0 L +/0 LkL /0 l /8
U i` j` kL /0 L /00 jj00 L +/L +/00 LkL /Lj0 L /0 0 l = 9 9 m
Penduga dari MSE1 )Z 9 9 2 diperoleh dengan mengikuti hasil dari Harville dan Jeske (Harville dan Jeske 1992 dalam Pratesi dan Salvati 2008) dan kemudian dikembangkan menjadi model dengan koragam terampat (generalized covariances) oleh Zimmerman dan Cressie (Zimmerman dan Cressie 1992 dalam Pratesi dan Salvati 2008), yaitu :
mse1 )Z 9 9 2 : 5 9 9 5 9 9 ?5; 9 9 dimana 9 dan 9 adalah penduga yang diperoleh dengan menggunakan metode REML. Jika menggunakan 9 dan 9 dengan prosedur ML, penghitungan mse1 )Z 9 9 2 sebagai berikut :
DEF1 )Z 9 9 2 :
5 9 9 + `ML 9 9 p5 9 9 5 9 9 ?5; 9 9 888888888888 dengan `ML 9 9 p5 9 9 8diperoleh dari bentuk berikut :
p5 `qrs j 0 + 6j0 L /0 L j0 j0 L +/0 Lj0 L /0 L j0 j0 L /0 Lj0 7 k + 6kL /0 L j0 j0 L +/0 LkL /0 L j0 j0 L /0 Lk7 t\N dan `ML u? ?v, w>+, u? x fgyz.r/+,.{+,.rz+/+,Lj+,Lr/+,{.| fgyz.r/+,.{+,.rz+/+,LkLr/+,{.| }~ Bentuk `ML 9 9 p5 9 9 adalah bentuk tambahan yang merupakan bias tambahan dari 5 9 9 . Jika hal ini diabaikan maka penggunaan penduga ML akan menghasilkan nilai yang lebih kecil dari penduga MSE.
METODOLOGI PENELITIAN
Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga gugus data, yaitu:
1. Data yang digunakan sebagai penduga langsung, yaitu rata-rata pengeluaran per kapita desa di Kabupaten Jember. Data ini dihitung dari pengeluaran per kapita untuk setiap desa yang terpilih sebagai contoh dalam Susenas 2008, berjumlah 35 desa. Selain menghitung rata-rata pengeluaran per kapita desa, data tersebut juga digunakan untuk menghitung ragam contoh dari pengeluaran per kapita untuk setiap desa contoh. Data ragam contoh digunakan untuk menduga komponen ragam dari peubah acak area.
2. Data yang digunakan sebagai peubah penyerta. Data ini harus mempunyai korelasi dengan pengeluaran per kapita dan merupakan hasil sensus. Oleh karena itu data yang digunakan sebagai peubah penyerta dalam penelitian ini adalah data yang berasal dari Podes 2008. Berdasarkan ketersedian data dalam podes 2008, maka data yang dipilih sebagai peubah penyerta adalah data persentase keluarga penerima askeskin setahun terakhir. Keluarga yang dapat menerima askeskin adalah keluarga yang tergolong miskin sesuai dengan kriteria yang dikeluarkan oleh BPS. Data persentase keluarga penerima askeskin setahun terakhir dipilih karena kiteria-kriteria yang ditentukan BPS (BPS 2005) bagi suatu rumah tangga miskin sangat berkaitan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengeluaran rumah tangga.
3. Data yang digunakan sebagai matriks pembobot spasial. Untuk keperluan ini, digunakan data jarak antar desa dengan menggunakan perangkat lunak ArcView. Penentuan titik pusat longitude – latitude setiap wilayah administrasi desa menggunakan metode thiesen polygon. Data ini kemudian dikonversi ke bentuk matriks contingency yang bernilai 0 dan 1 dengan menggunakan hasil penelitian Rahmawati (2010) yang menyatakan bahwa jarak antar desa di Kabupaten Jember masih memiliki korelasi spasial apabila kurang atau sama dengan 9.09 km.
Metode Penelitian
Data yang berasal dari Susenas maupun Podes merupakan data mentah yang tidak dapat langsung digunakan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan 2 tahap, yaitu tahap persiapan data dan pengolahan data dengan metode EBLUP dan SEBLUP. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
I. Persiapan
1. Mempersiapkan data sebagai penduga langsung. Penduga langsung dalam penelitian ini adalah pengeluaran per kapita desa yang diperoleh dari data pengeluaran per kapita rumah tangga yang berasal dari Susenas 2008 dengan rumus:
, untuk i = 1, . . . , 35 dengan :
= rata-rata pengeluaran per kapita desa ke-i
= pengeluaran per kapita rumah tangga ke-j di desa ke-i = jumlah rumah tangga di desa ke-i
Rata-rata pengeluaran per kapita desa ini kemudian digunakan sebagai penduga langsung untuk metode SEBLUP ( ).
2. Mempersiapkan data yang digunakan sebagai peubah penyerta, dengan memilih data persentase keluarga penerima askeskin setahun terakhir dari Podes 2008 untuk desa yang terpilih sebagai contoh dalam Susenas 2008 di Kabupaten Jember.
3. Mempersiapkan matriks pembobot spasial (W). Matriks ini berisi nilai 0 dan 1 dengan aturan :
• w , €N•"8€"#"•8"‚ƒ"#"8MFE"8•F + q8M"‚8•F + „8•…#"‚O8M"#N8"ƒ"…8 E"D"8MF‚O"‚8†‡'†8•D 88 ' €N•"8€"#"•8"‚ƒ"#"8MFE"8•F + q8M"‚8•F + „8ˆF`N‰8M"#N8†‡'†8•D Š
Matriks W ini kemudian dibakukan secara baris sehingga jumlah setiap baris W yang baru (W*) adalah 1. Cara memperoleh matriks yang dibakukan secara baris adalah sebagai berikut :
a. Menjumlahkan setiap baris dari matriks W (• • •
8 •;‹ )
•G •
•
Matriks W* ini yang akan digunakan dalam metode SEBLUP sebagai matriks pembobot spasial.
4. Mempersiapkan data ragam dari peubah respon dengan rumus :
Œ 0 + dengan Œ adalah ragam pengeluaran per kapita pada desa ke-i. Œ kemudian dibagi dengan untuk mendapatkan ragam contoh yang akan digunakan dalam metode SEBLUP.
II. Pengolahan Data
1. Menentukan titik awal yang akan digunakan dalam algoritma scoring dengan menggunakan algoritma Nelder-Mead.
2. Melakukan pendugaan korelasi spasial ( ) dan komponen ragam dari pengaruh acak ( ) dengan menggunakan algoritma scoring.
3. Melakukan pendugaan koefisien regresi ( ) dengan GLS.
4. Melakukan pendugaan pengeluaran per kapita desa dengan metode SEBLUP.
5. Melakukan pendugaan pengeluaran per kapita desa dengan metode EBLUP dan SEBLUP untuk desa-desa yang tidak terpilih sebagai contoh dalam Susenas 2008.
6. Melakukan pendugaan MSE untuk masing-masing desa.
7. Menghitung nilai akar kuadrat tengah galat relatif (relative root mean
squared error, RRMSE) dengan rumus : ••cde ) Ž•Z• ‘’
‘’ U
,''“
8. Membandingkan hasil yang diperoleh pada tahapan ke 6 dengan hasil pendugaan EBLUP yang diperoleh dari penelitian Matualage, Saefuddin dan Wigena (2011).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendugaan Pengeluaran Per Kapita
Kabupaten Jember terdiri dari 247 desa/kelurahan. 14.17% dari jumlah tersebut atau 35 desa/kelurahan terpilih sebagai contoh dalam susenas 2008, dengan jumlah rumah tangga untuk masing-masing desa/kelurahan yang dipilih sebagai contoh berkisar antara 14 hingga 16 rumah tangga (Lampiran 3). Jumlah contoh untuk masing-masing desa/kelurahan sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah rumah tangga di masing-masing desa/kelurahan tersebut, yaitu hanya berkisar antara 0.1% hingga 1.26%. Hasil pendugaan pengeluaran per
kapita desa dengan metode pendugaan langsung dapat dilihat pada Lampiran 4.
Kecilnya jumlah contoh yang digunakan untuk menduga pengeluaran per kapita desa secara langsung menyebabkan MSE yang dihasilkan sangat besar (Lampiran 4). Untuk memperbaiki hasil pendugaan pengeluaran per kapita desa, selanjutnya digunakan model SAE dengan metode EBLUP dan SEBLUP.
Model SAE dengan mengikut model Fay-Herriot sebagai berikut :
88888888888888HI . LJ K
Dalam penelitian ini, HI adalah vektor rata-rata pengeluaran per kapita desa yang dihasilkan dengan metode pendugaan langsung, . adalah matriks persentase keluarga penerima askeskin setahun terakhir, adalah vektor koefisien regresi, L adalah matriks insidensial (dalam penelitian ini merupakan matriks identitas), J adalah pengaruh acak area dan K adalah vektor galat contoh. Penduga EBLUP untuk model tersebut adalah :
) *9 , + *9 )
Sebelum melakukan pendugaan terhadap pengeluaran per kapita desa dengan metode EBLUP, terlebih dahulu dilakukan pendugaan terhadap koefisien regresi dan komponen ragam peubah acak. Hasil pendugaan tersebut kemudian digunakan untuk menduga pengeluaran per kapita desa. Hasil pendugaan ini menggunakan hasil penelitian Matualage, Saefuddin, Wigena (2011) dengan nilai pendugaan koefisien regresi dan komponen ragam peubah acak dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai untuk penduga koefisien regresi bernilai negatif, yang mempunyai arti bahwa penambahan satu persen keluarga penerima askeskin setahun terakhir
di suatu desa cenderung menurunkan pengeluaran per kapita desa tersebut sebesar 1 427.37 untuk metode ML dan 1 470.58 untuk metode REML. Hasil pendugaan pengeluaran per kapita tiap desa dapat dilihat pada Lampiran 4.
Tabel 1 Nilai duga koefisien regresi dan ragam peubah acak dengan metode EBLUP
Penduga EBLUP ML EBLUP REML
[” 294 612.5 296 966.3
[ -1 427.37 -1 470.58
9 4 458 154 029 4 967 075 743
Salah satu pengembangan dari metode EBLUP, yaitu SEBLUP adalah dengan mengasumsikan bahwa terdapat otoregresi spasial antar area kecil. Metode ini lebih kompleks bila dibandingkan dengan metode EBLUP, karena pendugaan pada tahap pertama dilakukan untuk menduga bukan hanya koefisien regresi dan ragam peubah acak area, tetapi juga koefisien otokorelasi. Model yang digunakan adalah sebagai berikut :
HI . L T + P 0 Q K
dengan HI adalah vektor pendugaan pengeluaran per kapita desa dengan menggunakan metode langsung, . adalah matriks persentase keluarga penerima askeskin setahun terakhir, adalah koefisien regresi, L adalah matriks insidensial (dalam penelitian ini, L sama dengan matriks identitas), T adalah matriks identitas, adalah koefisien otoregresif spasial, P adalah matriks pembobot spasial, Q adalah vektor galat dari pengaruh acak area dan K adalah vektor galat contoh.
Pendugaan koefisien regresi, ragam dari galat peubah acak area dan koefisien otoregresif spasial dengan metode ML dan REML dapat dilihat pada Tabel 2. Sama dengan hasil pendugaan dengan EBLUP, nilai penduga koefisien regresif dengan metode SEBLUP juga menghasilkan nilai negatif, walaupun nilainya lebih kecil dibanding nilai pendugaan yang dihasilkan dengan metode EBLUP. Nilai pendugaan untuk koefisien otoregresif spasial yang dihasilkan bernilai positif dan sangat kuat, artinya bahwa suatu desa/kelurahan di Kabupaten Jember yang memiliki pengeluaran per kapita yang besar, dikelilingi oleh
desa/kelurahan lain yang memiliki pengeluaran per kapita yang besar pula, dan suatu desa/kelurahan yang memiliki pengeluaran per kapita yang kecil, dikelilingi oleh desa/kelurahan lain yang memiliki pengeluaran per kapita yag kecil pula. Hal ini juga didukung oleh nilai penduga ragam dari galat pengaruh acak area yang sangat kecil, yaitu 1.89. Hasil pendugaan koefisien regresi, komponen ragam dari galat pengaruh acak area dan koefisien otoregresif spasial ini digunakan untuk menduga pengeluaran per kapita desa dengan metode SEBLUP. Nilai dugaan untuk pengeluaran per kapita desa dengan metode SEBLUP dapat dilihat pada