• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mangrove

Karakteristik Ekosistem Mangrove

Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Jenis vegetasi yang tumbuh merupakan jenis vegetasi yang sanggup beradaptasi dengan perubahan kondisi yang berubah-ubah (Rumapea, 2005).

Mangrove tumbuh pada pantai yang terlindung atau pantai yang datar. Biasanya di tempat yang tidak ada muara sungainya ekosistem mangrove terdapat agak tipis, namun pada tempat yang mempunyai muara sungai besar atau delta yang alirannya banyak mengadung lumpur dan pasir. Mangrove tidak tumbuh di pantai terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut yang kuat karena hal ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur dan pasir, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya (Nontji, 2005).

Karakteristik ekosistem mangrove, yaitu (Bengen, 2002)

1. Ekosistem mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir.

2. Ekosistem mangrove hidup di daerah yang tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun tergenang hanya saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove.

3. Ekosistem mangrove menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat. 4. Ekosistem mangrove terlindung dari gelombang dan arus pasang surut yang

5. Ekosistem mangrove banyak ditemukan di pantai teluk yang dangkal, estuari, delta dan daerah pantai yang terlindung.

Zonasi Penyebaran Mangrove

Pertumbuhan komunitas vegetasi mangrove secara umum mengikuti suatu pola zonasi. Pola zonasi berkaitan erat dengan faktor lingkungan seperti tipe tanah (lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan terhadap hempasan gelombang, salinitas serta pengaruh pasang surut (Dahuri, 2003).

Menurut Bengen (2002), hutan mangrove terbagi atas beberapa zonasi yang paling umum, yaitu:

a) Daerah yang paling dekat dengan laut dan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp.. Pada zona ini, Avicennia spp biasanya berasosiasi dengan sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada substrat lumpur dalam yang kaya bahan organik.

b) Lebih ke arah darat, ekosistem mangrove umumnya didominasi oleh jenis

Rhizophora spp.. Pada zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan

Xylocarpus spp..

c) Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp..

d) Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah, biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticants dan beberapa jenis palem lainnya.

Gambar 2. Zonasi penyebaran jenis pohon mangrove (Dedi, 2007)

Fungsi Ekosistem Mangrove sebagai Tempat Wisata

Mangrove sebagai tempat wisata selain mempunyai fungsi sebagai tempat wisata atau rekreasi juga mempunyai fungsi lain antara lain :

1. Areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga kehidupan lingkungan

2. Terdapat perlindungan plasma nutfah.

3. Sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro.

4. Pengatur tata air. Semuanya hanya bertujuan untuk pelestrian lingkungan terhadap hutan mangrove yang banyak sekali manfaat dan kegunaannya dan dapat memberikan masukan tambahan pendapatan daerah apabila tempat tersebut sukses menjadi kawasan wisata mangrove (Supardjo, 2008).

Manfaat sosial ekonomis ekosistem mangrove bagi masyarakat sekitarnya adalah sebagai sumber mata pencaharian yakni dengan menjadikan mangrove sebagai sumber alam (bahan mentah) cadangan untuk dapat diolah menjadi komoditi perdagangan yang bisa menambah kesejahteraan penduduk setempat dengan memproduksi berbagai jenis hasil hutan dan turunannya, antara lain kayu

bakar, arang, bahan bangunan, obat-obatan, minuman, peralatan rumah tangga, bahan baku tekstil dan kulit, madu, lilin dan tempat rekreasi (Muhaerin, 2008).

Bagi kegiatan ekonomi, mata pencaharian penduduk akan bertambah sehingga meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat pesisir, dan tidaklah mustahil bila mereka akan berganti profesi dari menjadi petani tambak udang yang selama ini terus membuka lahan mangrove untuk tambak menjadi penyedia jasa pariwisata mangrove di kawasan hutan mangrove (Wijayanti, 2011).

Hutan mangrove merupakan bagian ekosistem pesisir yang menyediakan sumberdaya alam produktif, baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi seperti minyak dan gas serta batubara, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Peranan hutan mangrove dalam kehidupan ditunjukkan oleh fungsi mangrove terkait aspek ekologis, ekonomis, dan sosio-kultural. Fungsi ekologis hutan mangrove yang paling menonjol adalah sebagai pelindung garis pantai dan kehidupan di belakangnya dari gempuran tsunami dan angin, mencegah terjadinya salinasi pada wilayah- wilayah di belakangnya, dan sebagai habitat bagi biota perairan. Secara ekonomis, pemanfaatan hutan mangrove berasal dari hasil kayunya sebagai kayu bangunan, kayu bakar dan bahan kertas serta hasil hutan bukan kayu, selain juga difungsikan sebagai kawasan wisata alam pantai. Secara sosial, hutan mangrove juga berfungsi melestarikan keterkaitan hubungan sosial dengan masyarakat lokal, sebagai tempat mencari ikan, kepiting, udang, dan bahan obat-obatan (Sawitri, dkk., 2013).

Secara ekologis hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan dan daerah pembesaran berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan, dan spesies

lainnya. Selain itu serasah mangrove yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan di perairan pesisir dan laut. Hutan mangrove dengan sistem perakaran dan canopy

yang rapat serta kokoh berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya kelautan yang ganas lainnya (Rumapea,2005).

Ekowisata

Prinsip Ekowisata

Pencadangan ataupun penetapan suatu daerah menjadi kawasan ekowisata bertujuan untuk mengharmonisasikan antara kebutuhan ekonomi masyarakat dengan keinginan untuk melestarikan sumberdaya alamnya, sehingga dalam perkembangannya kawasan ekowisata telah dimanfaatkan dengan berbagai tujuan seperti sebagai tempat penelitian, perlindungan alam, pelestarian spesies dan keragaman genetik, kegiatan wisata, kegiatan pendidikan lingkungan serta perlindungan unsur alam atau budaya yang spesifik (Bato,dkk., 2013).

Honey (1999), mengemukakan bahwa ada 7 butir prinsip-prinsip ekowisata :

1. Perjalanan ke suatu tempat alami (involves travel to natural destinations). Sering tempat tersebut jauh, ada penduduk atau tak ada penduduk, dan biasanya lingkungan tersebut dilindungi.

2. Meminimalkan dampak negatif (minimized impact).

Pariwisata menyebabkan kerusakan, tetapi ecoturisme berusaha untuk meminimalkan dampak negatif yang bersumber dari hotel, jalan dan

infrastruktur lainnya. Meminimalkan dampak negatif dapat dilakukan melalui pemanfaatan material/ sumberdaya setempat yang dapat di daur ulang, sumber energi yang terbaharui, pembuangan dan pengolahan limbah dan sampah yang aman, dan menggunakan arsitektur yang sesuai dengan lingkungan (landscape) dan budaya setempat, serta memberikan batas/jumlah wisatawan sesuai daya dukung obyek dan pengaturan prilaku.

3. Membangun kepedulian terhadap lingkungan (build environmental awareness).

Unsur penting dalam ekoturisme adalah pendidikan, baik kepada wisatawan maupun masyarakat penyangga obyek. Sebelumnya semua pihak yang terintegrasi dalam perjalanan wisata alam harus dibekali informasi tentang karakteristik obyek dan kode etik sehingga dampak negatif dapat diminimalkan.

4. Memberikan beberapa manfaat finansial secara langsung kepada kegiatan konservasi (Provides direct financial benefit for conservations).

Ekoturisme dapat membantu menigkatkan perlindungan lingkungan, penelitian dan pendidikan melalui mekanisme penarikan biaya masuk dan sebagainya.

5. Memberikan manfaat/keuntungan finansial dan pemberdayaan pada masyarakat lokal (Provides financial benefit and enpowerment for local people).

Masyarakat akan merasa memiliki dan peduli terhadap kawasan konservasi apabila mereka mendapatkan manfaat yang menguntungkan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keadaan ekoturisme di suatu kawasan harus

mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (local community walfare). Manfaat finansial dapat dimaksimalkan melalui pemberdayaan atau peningkatan kapasitas masyarakat lokal, baik dalam pendidikan, wirausaha permodalan dan manajemen.

6. Menghormati budaya setempat (Respect local culture).

Ekoturisme disamping ramah lingkungan, juga tidak bersifat destruktif, intrusif, polutan dan eksploitatif terhadap budaya setempat, yang justru merupakan salah satu “core” bagi pengembangan kawasan ekoturisme.

7. Mendukung gerakan hak azasi manusia dan demokrasi (Support human right and democratic movement).

Prinsip Pengembangan Ekowisata

Keberadaan ekowisata membawa pengaruh positif bagi masyarakat sekitar, terutama di permukiman nelayan dalam hal peningkatan kesejahteraan lingkungan desa. Pembangunan dalam konteks penataan dan pengembangan wilayah adalah berbagai jenis kegiatan, baik yang mencakup sektor pemerintah maupun masyarakat dilaksanakan dalam rangka memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup masyarakat (Nugrahanti, dkk., 2012).

Suatu strategi yang ditempuh pemerintah untuk mengembangkan sektor pariwisata adalah dengan mencari, membangun, dan mengembangkan ODTW (Obyek dan Daya Tarik Wisata) baru. Setiap tempat, lokasi atau kawasan yang dianggap berpotensi, akan dikembangkan menjadi ODTW, sehingga diharapkan semakin banyak wisatawan yang berkunjung kedaerah tersebut (Mangindaan, dkk., 2012).

The Ecoutorism Society (1999), menyebutkan ada 8 prinsip pengembangan ekowisata yakni :

1. Mencegah menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat.

2. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. proses ini dapat dilakukan langsung di alam.

3. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelolaan kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dapat digunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan perairan alam.

4. Prinsip masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula didalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif.

5. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian alam.

6. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas atau utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam.

7. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun

mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasinya.

8. Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara, Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar - besarnya dinikmati oleh negara atau pemerintah daerah setempat.

Potensi Ekowisata Mangrove

Menurut Dahuri (1996), alternative pemanfaatan ekosistem mangrove yang paling memungkinkan tanpa merusak ekosistem ini meliputi: penelitian ilmiah (scientific research), pendidikan (education), dan rekreasi terbatas/ ekoturisme (limited recreation/ecoturism).

Potensi rekreasi dalam ekosistem mangrove antara lain (Bahar, 2004) a. Bentuk perakaran yang khas yang umum ditemukan pada beberapa jenis

vegetasi mangrove seperti akar tunjang (Rhizophora spp.), akar lutut (Bruguiera spp.), akar pasak (Sonneratia spp., Avicenia spp.), akar papan (Heritiera spp.).

b. Buah yang bersifat viviparious (buah berkecambah semasa masih menempel pada pohon) yang terdapat di beberapa jenis vegetasi mangrove seperti

Rhizophora spp. dan Ceriops spp..

c. Adanya zonasi yang sering berbeda mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman (transisi zonasi).

d. Berbagai jenis fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove seperti beraneka ragam jenis burung, serangga dan primata yang hidup di tajuk pohon

serta berbagai jenis fauna yang hidup di dasar mangrove seperti babi hutan, biawak, buaya, ular, udang, ikan, kerang-kerangan, keong, kepiting dan sebagainya.

e. Atraksi adat istiadat masyarakat setempat yang berkaitan dengan sumberdaya mangrove.

f. Hutan-hutan mangrove yang dikelola secara rasional untuk pertambakan tumpang sari dan pembuatan garam, bisa menarik wisatawan. Potensi ini dapat dikembangkan untuk kegiatan lintas alam, memancing, berlayar, berenang, pengamatan jenis burung dan atraksi satwa liar, fotografi, pendidikan, piknik dan berkemah, serta adat istiadat penduduk lokal yang hidupnya bergantung pada keberadaan hutan mangrove.

Sifat Pengunjung Ekowisata

Menurut Muhaerin (2008) sifat dan karakteristik dari ekowisatawan adalah mempunyai rasa tanggung jawab sosial terhadap daerah wisata yang dikunjunginya. Kunjungan yang terjadi dalam satu satuan tertentu yang mereka lakukan tidak hanya terbatas pada sebuah kunjungan dan wisata saja. Wisatawan ekowisata biasanya lebih menyukai perjalanan dalam kelompok-kelompok kecil sehingga tidak mengganggu lingkungan disekitarnya. Daerah yang padat penduduknya atau alternatif lingkungan yang serba buatan dan prasarana lengkap kurang disukai karena dianggap merusak daya tarik alami. Secara khusus, ekowisatawan mempunyai karakteristik sebagai berikut :

a. Menyukai lingkungan dengan daya tarik utama adalah alam dan budaya masyarakat lokal, dan mereka juga biasanya mencari pemandu yang berkualitas.

b. Kurang memerlukan tata krama formal (amenities) dan juga lebih siap menghadapi ketidaknyamanan, meski mereka masih membutuhkan pelayanan yang sopan dan wajar, sarana akomodasi dan makanan yang bersih.

c. Sangat menghargai nilai-nilai (high value) dan berani membayar untuk suatu daya tarik yang mempesona dan berkualitas.

d. Menyukai daya tarik wisata yang mudah dicapai dengan batasan waktu tertentu dan mereka tahu bahwa daya tarik alami terletak didaerah terpencil.

Partisipasi Masyarakat Lokal

Ekosistem mangrove mempunyai sifat yang unik dan khas, dengan fungsi dan manfaat yang beraneka ragam bagi manusia serta mahluk hidup lainnya. Dalam rangka melestarikan fungsi biologis dan ekologis ekosistem hutan mangrove, maka diperlukan suatu pendekatan yang rasional di dalam pemanfaatannya, dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan. Pelibatan masyarakat dalam pengeloaan hutan mangrove merupakan salah satu langkah awal dalam mewujudkan pelestarian hutan mangrove yang berkelanjutan (Wiharyanto dan Asbar, 2010).

Untuk meningkatkan pengelolaan ekosistem mangrove, perlu dilibatkan masyarakat dalam menyusunan proses perencanaan dan pengelolaan ekosistem ini secara lestari. Dalam pengelolaan secara lestari dapat dikembangkan metode-metode sosial budaya masyarakat setempat yang bersahabat dengan ekosistem

mangrove, dalam bentuk penyuluhan, penerangan dan membangkitkan kepedulian masyarakat dalam berperan serta mengelola ekosistem mangrove (Bengen dan Adrianto, 1998).

Menurut Suratmo (1990), manfaat dari partisipasi masyarakat dalam sebuah rencana pembangunan adalah sebagai berikut:

a. Masyarakat mendapat informasi mengenai rencana pembangunan di daerahnya.

b. Masyarakat akan ditingkatkan pengetahuan mengenai masalah lingkungan, pembangunan dan hubungannya.

c. Masyarakat dapat menyampaikan informasi dan pendapat atau persepsinya terhadap pemerintahan terutama masyarakat di tempat pembangunan yang terkena dampak langsung

d. Dapat menghindari konflik di antara pihak-pihak yang terkait.

e. Masyarakat akan dapat menyiapkan diri untuk menerima manfaat yang akan dapat dinikmati dan menghindari dampak negatifnya.

f. Akan meningkatkan perhatian dari instansi pemerintah yang terkait pada masyarakat setempat.

Strategi Pengelolaan Ekowisata

Pengelolaan potensi ekowisata merupakan upaya untuk memanfaatkan hingga mendayagunakan potensi – potensi wisata khususnya potensi ekowisata untuk kepentingan pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Konsep pengelolaan ekowisata secara umum serupa dengan konsep pengelolaan kegiatan yang berhubungan dengan pemanfaatan potensi alam. Sejumlah kawasan yang

memiliki daya tarik wisata alam yang umumnya merupakan daerah yang ditetapkan sebagai pusat kegiatan pelestarian sumberdaya dan lingkungan. Untuk itu dalam pemanfaatan nantinya perlu menerapkan prinsip pelestarian lingkungan. Seringkali dalam upaya untuk memanfaatkan dan mengelola potensi ekowisata yang ada pihak pengelola dihadapkan pada masalah klasik seperti lemahnya dalam pemantauan kualitas lingkungan, kondisi sarana dan prasarana dan kurangnya kemampuan SDM dalam menjaga sumberdaya lingkungan yang ada (Muttaqin, dkk., 2011).

Penggunaan istilah strategi mengacu kepada istilah Strategi Generik dikemukakan oleh Porter (1980) diacu oleh Simanjuntak (2009) yang mengidentifikasikan bahwa strategi generik adalah suatu pendekatan strategi perusahaan dalam rangka mengungguli pesaing dalam industri sejenis. Dalam prakteknya, setelah perusahaan mengetahui strategi generiknya, untuk implementasinya akan ditindaklanjuti dengan langkah penentuan strategi yang lebih operasional. Pada tahap akhir yang lebih detil, penjabaran yang lebih detail dari strategi utama adalah strategi fungsional yang lebih menekankan pada bidang–bidang fungsional. Berdasarkan penggambaran definisi strategi, ekowisata dan pengelolaan ekowisata pada sub bab sebelumnya, ditetapkan pengertian strategi pengelolaan potensi ekowisata yaitu : rangkaian upaya–upaya strategis yang harus dilakukan untuk mengelola potensi ekowisata sehingga dapat memberikan manfaat bagi kelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Dokumen terkait