• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hutan Mangrove

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian No.60/Kpts/DJ/I/1978 hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat disepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada waktu pasang dan bebas genangan pada waktu surut. Dari sudut ekologi, hutan mangrove merupakan bentuk ekosistem yang unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsur biologis penting yang fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa (Departemen Kehutanan, 1992).

Menurut Nybakken (1992) menyatakan hutan mangrove sebagai formasi tumbuhan litoral yang tumbuh di daerah pantai yang terlindung dari ombak besar dan umumnya tersebar di daerah tropis dan subtropis, vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut yang diatasnya ditimbuni selapis pasir (lumpur) atau pada pantai berlumpur. Hutan mangrove merupakan suatu komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohonan yang khas yang memiliki kemampuan untuk tumbuh di lingkungan laut.

Tempat ideal bagi pertumbuhan hutan mangrove adalah sekitar pantai, delta, muara sungai yang arus sungainya banyak mengandung pasir dan lumpur serta umumnya pada pantai yang landai yang terhindar dari ombak besar. selain tempat hidupnya berbagai jenis satwa tersebut, hutan mangrobe juga berperan dalam keberlanjuran ekosistem pantai dan terumbu karang dan tempat berkembang biaknya ikan-ikan tertentu (Eriza, 2010).

Ciri-Ciri Ekosistem Mangrove

Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik, adalah memiliki jenis pohon yang relatif sedikit, memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada Sonneratia spp., dan pada api-api Avicennia spp., memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya. Khususnya pada Rhizophora spp., memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon. Sedangkan tempat hidup hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri khusus diantaranya adalah tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat pasang pertama, menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, airnya berkadar garam (bersalinitas) payau hingga asin (Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia, 2008).

Vegetasi Hutan Mangrove

Berdasarkan Bengen (2001) jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove, umumnya mangrove di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya dapat dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut; (1). Zona api-api-prepat (Avicennia spp., - Sonneratia spp.,) terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak lembek (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan kadar garam agak tinggi, (2). Zona bakau (Rhizophora spp.,) biasanya terletak dibelakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek (dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora spp.,) dan dibeberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera spp.), (3). Zona tanjang (Bruguiera spp.), terletak dibelakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Pada umumnya

ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera spp.), dan dibeberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain, (4). Zona nipah (Nypa fruticans) terletak paling jauh dari laur atau paling dekat ke arah darat. Zona ini mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berasal ditepi-tepi disungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fruticans) dan beberapa spesies palem lainnya.

Karakteristik Vegetasi Hutan Mangrove

Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Telah diketahui lebih dari 20 famili flora mangrove dunia yang terdiri dari 30 genus dan lebih kurang 80 spesies. Sedangkan jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia adalah sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Soerianegara, 1987 diacu oleh Eriza, 2010)

Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi 3 kelompok yaitu; (1). Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia spp., Rhizophora spp., Bruguiera spp., Ceriops spp., Kandelia spp., Sonneratia spp., Lumnitzera spp., Laguncularia spp., dan Nypa fruticans, (2). Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas, contoh: Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras,

Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis dan Pelliciera, (3). Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus dan lain-lain.

Struktur dan Zonasi Hutan Mangrove

Menurut Kusmana (1995) menyatakan bahwa hutan mangrove dapat dibagi menjadi lima bagian berdasarkan frekuensi air pasang yaitu, zonasi yang terdekat dengan laut akan didominasi oleh Avicennia spp., dan Sonneratia spp., tumbuh pada lumpur lunak dengan kandungan organik yang tinggi. Avicennia spp., Tumbuh pada substrat yang agak keras, sedangkan Avicennia alba tumbuh pada substrat yang agak lunak, zonasi yang tumbuh pada tanah kuat dan cukup keras, zonasi yang tumbuh pada tanah kuat dan cukup keras serta dicapai oleh beberapa air pasang. Zonasi ini sedikit lebih tinggi dan biasanya didominasi oleh Bruguiera cylindrica, kearah daratan lagi, zonasi yang didominasi oleh Rhyzophora mucronata dan Rhyzophora apiculata. Jenis Rhyzophora mucronata lebih banyak dijumpai pada kondisi yang agak basah dan lumpur yang agak dalam. Pohon lain

yang juga mencakup Bruguiera parviflora dan Xylocarpus granatum. Hutan yang

didominasi oleh Bruguiera parviflora sering dijumpai tanpa jenis pohon lainnya, hutan mangrove dibelakang didominasi oleh Bruguiera gymnorhiza. Pola zonasi mangrove dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Pola Zonasi Mangrove (Bengen, 2004).

Menurut Bengen (2001) flora mangrove umunya tumbuh membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi hutan mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove. Zonasi yang terbentuk berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah arus pasang surut dapat menyebabkan kerusakan terhadap pertumbuhan anakan dari spesies intoleran seperti Rhizophora spp., Avicennia spp., dan Sonneratia spp.

Secara sederhana mangrove tumbuh dalam empat zona, yaitu pada daerah

terbuka, darah tengah, daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawardan daerah ke arah daratan yang memiliki air tawar. (a). Mangrove terbuka: mangrove berada pada bagian yang berhadapan langsung dengan laut. Salah satu contoh mangrove terbuka adalah Hutan Mangrove Karang Agung Sumatra Selatan, di zona ini didominansi oleh Sonneratia alba yang tumbuh pada daerah yang di pengaruhi oleh air laut. S. alba dan Avicennia alba merupakan jenis-jenis dominan pada areal pantai yang sangat tergenang dan menyukai habitat berlumpur dengan frekuensi tergenang air tinggi. (b). Mangrove tengah: mangrove tengah terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini biasanya

didominasi oleh jenis Bruguiera cylindrical. Jenis-jenis penting lainnya yang di temukan B. gymnorrhiza, Excoeicaria agallocha, R. mucronata, Xylocarpus granatum dan X. moluccensis. (c). Mangrove payau: mangrove berada di sepanjang sungai berair payau

hingga hampir tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau

Sonneratia. Di jalur-jalur tersebut sering sekali ditemukan tegakan N. fruticans yang bersambung dengan vegetasi yang terdiri dari Cerveza spp., dan Xylocarpus granatum. (d). Mangrove daratan: mangrove darat berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus dan Xylocarpus moluccensis (Noor, dkk., 2006).

Menurut sturktur ekosistem secara garis besar dikenal tiga tipe formasi mangrove yaitu, (1). Mangrove pantai: tipe ini air laut dominan dipengaruhi air sungai. Struktur horizontal formasi ini dari arah laut ke arah darat adalah mulai dari tumbuhan pionir (Avicennia spp.), diikuti oleh komunitas campuran Sonneratia alba, Rhizophora apiculata,

selanjutnya komunitas murni Rhizophora spp., dan akhirnya komunitas campuran

(Rhizophora spp. - Bruguiera spp.). Bila genangan berlanjut, akan ditemui komunitas murni Nypa fruticans dibelakang komunitas campuran yang terakhir, (2). Mangrove muara: pengaruh air laut sama dengan pengaruh air sungai yang dicirikan oleh mintakan tipis Rhizophora spp. Di tepian alur, diikuti komunitas campuran Rhizophora spp. – Bruguiera spp., dan diakhiri komunitas murni Nypa fruticans, (3). Mangrove sungai: pengaruh oleh air sungai lebih dominan daripada air laut dan berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara. Jenis-jenis mangrove banyak berasosiasi dengan komunitas daratan (Bengen, 2001).

Gunarto (2004) menyatakan bahwa vegetasi mangrove mempunyai morfologi dan anatomi tertentu sebagai respons fisiogenetik terhadap habitatnya. Vegetasi mangrove yang

bersifat halopitik menyukai tanah-tanah yang bergaram, misalnya Avicennia spp., Bruguiera spp., Lumnitzera spp., Rhizophora spp., dan Xylocarpus spp. Vegetasi tersebut menentukan ciri lahan mangrove berdasarkan sebaran, dan sangat terikat pada habitat mangrove. Vegetasi yang tidak terikat dengan habitat mangrove antara lain Acanthus spp., Baringtonia spp., Callophyllum spp., Cerbera spp., Derris spp., Hibiscus spp., Ipomoea spp.

Vegetasi mangrove dapat dibagi menjadi tiga, yaitu vegetasi utama, vegetasi pendukung, dan vegetasi asosiasi. 17 spesies vegetasi utama, di antaranya R. apiculata, R. mucronata, B. gymnorrhiza, B. cylindrica, dan Xylocarpus granatum (vegetasi utama), 13 spesies vegetasi pendukung antara lain A. aureum, Aegiceras corniculatum, dan A. floridum, serta 19 spesies vegetasi mangrove asosiasi, misalnya Acanthus spp., Baringtonia spp., Callophyllum spp., Calotropis spp., Cerbera spp., dan Derris spp. (Kitamura, dkk., 1997).

Kondisi Tapak Hutan Mangrove

Menurut Kusmana (2005) jenis tanah pada hutan mangrove umumnya tanah ini berupa lumpur kaku dengan persentase liat yang tinggi, bervariasi, tanah liat biru dengan sedikit atau tanpa bahan organik sampai tanah lumpur coklat hitam yang mudah melepas karena banyak mengandung pasir dan bahan organik. Tanah mangrove dapat diklasifikasikan menjadi 3 golongan utama yaitu:

1. Golongan I, tanah tidak matang (Unripped soils) adalah tanah baru, sifat fisik tanahnya belum sempurna, hanya horizon A dan C yang dapat diamati dari profil tanah. Umumnya berwarna gelap dari tanah bawah yang biasanya berwarna hijau atau biru. Adapun sifat

kimia tanahnya pH sangat rendah hingga 2,5 dan kadar garam tinggi, variasai bahan organik ±2-2,5% mengandung sejumlah K dan P, variasi tekstur dari liat sampai berpasir. 2. Golongan II, tanah matang (repening soils) tanah yang sudah berkembang dan umumnya

ditemukan didaerah paling atas pada waktu air pasang, yaitu tanah bagian atasnya adalah liat berwarna gelap yang memiliki kedalaman sebesar 10-30 cm dengan kandungan bahan organik yang relatif tinggi, tanah bagian bawah, bahan organiknya lenih rendah dengan kedalaman 40-49 cm yang berwarna kebih terang, pH tinggi, kadar garam tinggi dan kadar P rendah.

3. Golongan III, tanah organik (organic soils) adalah tanah yang mengandung bahan organik tinggi dan profil yang dalam. Lapisan tanah organik yang tidak sempurna terdegradasi. Tanah bagian atas abu-abu sampai coklat keabuan. Sifat kimia tanahnya adalah pH rendah, kadar garam dan K yang tinggi, tetapi kadar P yang rendah dan teksturnya liat.

Menurut Kusmana, dkk., (2005), bahwa untuk menghadapi habitatnya berupa substrat lumpur dan selalu tergenang (reaksi anaerob), tumbuhan mangrove beradaptasi dengan membentuk akar-akar dapat dilihat pada Gambar 3.

(a) Akar pasak (pneumatophore): akar yang muncul dari sistem akar kabel dan

memanjang ke luar arah udara seperti pasak. Akar pasak ini terdapat pada Avcennia spp.,Xylocarpus spp., dan Sonneratia spp., (b) Akar lutut (knee root): akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh kearah permukaan substrat. Kemudian melengkung menuju ke substrat lagi. Akar lutut ini terdapat pada Bruguiera spp., (c) Akar tunjang (stilt root): akar tunjang merupakan akar (cabang−cabang akar) yang keluar dari batang dan tumbuh ke dalam substrat. Akar ini terdapat pada Rhizophora spp., (d) Akar papan (buttress root): akar papan hampir sama dengan akar tunjang tetapi akar ini melebar menjadi bentuk lempeng mirip struktur silet. (e) Akar gantung (aerial root): Akar

gantung adalah akar yang tidak bercabang yang muncul dari batang atau cabang bagian bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat, terdapat pada Rizophora sp., Avicennia sp., dan Acanthus sp.

Faktor Lingkungan Pertumbuhan Mangrove

Faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan komunitas mangrove diantaranya yaitu salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut, arus, kekeruhan dan substrat dasar. Kondisi fisika dan kimia perairan hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh volume air tawar dan air laut yang bercampur. Mangrove tumbuh dengan baik dari ketinggian permukaan air laut sampai dengan rata-rata permukaan pasang air laut (Bengen, 2004).

Karakteristik Substrat Hutan Mangrove

Menurut Kusmana (1997) dalam Eriza (2010) sifat tanah merupakan faktor pembatas utama terhadap pertumbuhan didalam hutan mangrove. Karakteristik kimia dan sifat tanah mangrove berbeda dengan tanah diluar daerah mangrove. Susunan jenis dan kerapatan pada hutan mangrove dipengaruhi oleh susunan tekstur tanah dan konsentrasi ion tanah. Pada lahan mangrove yang tanahnya lebih banyak terdiri atas (clay) dan debu (silt), terdapat tegakan yang lebih rapat dari lahan yang tanahnya mengandung liat dan debu pada konsentrasi yang lebih rendah. Tanah dengan konsentrasi kation Na>Mg>Ca> atau K, tegakan dikuasai oleh jenis Avivennia spp. Tanah dengan susunan konsentrasi kation Mg>Ca>Na atau K, tegakan dikuasai oleh Nypa (Nypa fruticans).

Karakteristik Substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan mangrove. Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang dalam tebal dan berlumpur, Avicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir. Tekstur dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatan tegakan, misalnya jika

komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan debu (silt) maka tegakan menjadi lebih rapat (Harahap, 2010).

Tanah hutan mangrove dibagi dalam dua kategori umum yaitu; (1). Halic

hydaquent, lebih dekat ke laut yaitu tanah liat tidak tua (unripe clay soils) mempunyai nilai entisol (n) > 0,7. Nilai n adalah hubungan antara persentase tanah liat inorganik dan humus. Semakin kecil nilai n berarti tingkat kematangan tanah semakin besar, (2). Halic sulvaquent, lebih dekat ke rawa-rawa yaitu tanah liat muda yang mengandung air secara permanen, mempunyai bahan-bahan sulfidik dalam 50 cm lapisan permukaan tanah (Eriza, 2010).

Fungsi dan Peranan Mangrove

Menurut Bengen (2004) menyatakan ekosistem mangrove memiliki fungsi sebagai daerah penyangga antara daratan dan lautan. Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat antara lain; sebagai peredam gelombang, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen, daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari makan (feeding grounds) dan daerah pemijahan (feeding grounds) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya, penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya dan sebagai tempat pariwisata.

Fisika Kimia Perairan Suhu

Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi). Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20°C dan jika suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang. Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria dan Lumnitzera

tumbuh optimal pada suhu 26-28°C. Bruguiera tumbuh pada suhu 27°C dan Xylocarpus tumbuh pada suhu 21-26°C (Eriza, 2010).

Pasang Surut

Pasang surut air laut dimana pada waktu air pasang masuklah air laut dan menyebabkan meningkatnya salinitas air hutan mangrove. Pada waktu air surut, air dalam hutan mangrove mengalir keluar, mengalirnya air tawar melalui air permukaan menurunkan salinitas air dalam hutan mangrove. Pasang surutnya dari hutan mangrove mengakibatkan berfluktuasinya salinitas air di dalam hutan mangrove. Pada keadaan demikian, dimana fluktuasi alami ini jelas dapat ditoleransi oleh pohon-pohon mangrove asalkan salinitasnya tidak melebihi ambang batas (Pariyono, 2006).

Salinitas

Menurut Eriza (2010) menyatakan bahwa salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang. Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air.

Derajat Keasaman (pH)

Adalah indikator baik buruknya lingkungan air dan digunakan secara luas untuk menggambarkan kondisi asam atau basa suatu larutan. Air yang bersifat basa dapat lebih cepat mendorong proses pembongkaran bahan organik menjadi garam mineral seperti ammonia, nitrat dan phospat yang akan diserap menjadi bahan makanan oleh tumbuhan renik dalam air, sedangkan bila pH asam maka daya produksi potensialnya tidak begitu baik (Effendi, 2003).

Arus

Arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove. Arus mempengaruhi transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove kelaut. Nutrien-nutrien yang berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari run off daratan dan terjebak dihutan mangrove akan terbawa oleh arus ke laut pada saat surut (Kusmana, 1995).

Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove

Potensi manfaat ekonomi, sosial dan kemasyarakatan dari kawasan tersebut akan terus menerun atau bahkan hilang, baik pada tingkat spesies maupun tingkat ekosistem apabila bentuk pengelolaan dan relasi sosial ekonomi yang dibangun antara ekosistem dengan masyarakat sekitar kawasan tidak mengalami perubahan. Ditambah lagi dengan fenomena bahwa sampai dengan saat ini belum terbentuk sistem pengelolaan kawasan mangrove yang efektif dan efisien di Pantai Timur Sumatera Utara dengan berbasis pada potensi kawasan yang ada. Fenomena diatas secara langsung menimbulkan akibat berupa sumberdaya alam akan terus menurun (Siregar dan Purwoko, 2002).

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (2004) menjelaskan bahwa status kondisi mangrove adalah tingkatan kondisi mangrove pada suatu lokasi tertentudalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan mangrove.Semakin meningkatnya kegiatan pembangunan dapat menimbulkan dampakterhadap kerusakan mangrove, oleh karena itu perlu dilakukan upayapengendalian, dimana salah satu upaya pengendalian untuk melindungi mangrove dari kerusakan adalah dengan mengetahui adanya tingkat kerusakan berdasarkan kriteria baku kerusakannya. Kriteria baku kerusakan

mangrove untuk menentukan status kondisi mangrove diklasifikasikan dalam tiga tingkatan yaitu :

1. Sangat baik (sangat padat) dengan penutupan ≥ 75% dan kerapatan ≥ 1.500 pohon/ha; 2. Rusak ringan (baik) dengan penutupan antara ≥ 50% - <75% dan kerapatan ≥1.000

pohon/ha - <1.500 pohon/ha;

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang khas umumnya terdapat di sepanjang pesisir pantai atau muara sungai yang keberlangsungan hidupnya dipengaruhi oleh keadaan pasang surut air laut. Mangrove tumbuh di daerah terjadinya pengendapan lumpur dan pasir yang merupakan substrat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mangrove itu sendiri, yang tergenang pada saat pasang dan bebas genangan pada saat surut. Komunitas tumbuhan mangrove sangat toleran terhadap salinitas perairan. Fungsi hutan mangrove digolongkan menjadi fungsi fisik (menjaga kestabilan garis pantai dan penahan abrasi), fungsi ekologis (feeding ground dan spawning ground) serta fungsi ekonomis.

Keanekaragaman jenis mangrove yang berbeda-beda berdasarkan pembagian zonasi yang disebabkan oleh faktor fisiologis tumbuhan mangrove itu sendiri, yaitu untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan tidak terlepas juga peran masyarakat sekitar dalam memelihara ekosistem mangrove. Pada saat ini keanekaragaman dan kerapatan vegetasi mangrove sudah menurun. Hal ini disebabkan oleh laju perubahan habitat akibat pembangunan tambak, penebangan hutan mangrove sebagai bahan baku kayu bakar dan alih fungsi lahan mangrove menjadi area kelapa sawit yang semakin meningkat terjadi di wilayah pesisir Sumatera Utara, khususnya Kabupaten Langkat.

Pulau Sembilan merupakan salah satu wilayah pesisir di Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati hutan

mangrove. Luas Pulau Sembilan ± 15,65 km², berbatasan dengan Selat Malaka dan merupakan tujuan wisata di Kabupaten Langkat. Jenis Avicennia, Rhizophora dan Nypah dapat ditemukan di Pesisir Pulau Sembilan lahan pasang surut air laut. Pulau Sembilan sebagai wilayah pesisir yang cukup luas saat ini mengalami peningkatan berbagai aktivitas manusia yang ada disekitarnya seperti penebangan kayu mangrove, budidaya tambak ikan, aktivitas nelayan, tujuan wisata dan sebagainya yang akan memberikan dampak pada kelestarian hutan mangrove (Purnamasari, 2010).

Terjadinya kerusakan hutan mangrove di pesisir Desa Pulau Sembilan pada beberapa tahun terakhir disebabkan oleh penebangan hutan menjadi areal pertambakan dan alih fungsi lahan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit. Berbagai aktivitas ini akan mengakibatkan perubahan faktor-faktor lingkungan yang berdampak terhadap menurunnya struktur dan komposisi vegetasi hutan mangrove di pesisir Desa Pulau Sembilan.

Penelitian ini dilakukan di Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat karena wilayah ini memiliki kawasan hutan mangrove yang cukup luas. Namun demikian, kawasan ini telah lama dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai sumber penghidupan terutama penebangan kayu hutan mangrove dan areal pertambakan. Menyadari pentingnya peran ekosistem hutan mangrove terhadap kawasan pesisir untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai struktur dan komposisi vegetasi mangrove di pesisir Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.

Perumusan Masalah

Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat merupakan kawasan yang masih memiliki kekayaan keanekaragaman hayati mangrove. Dampak yang

di timbulkan dari berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir pada umumnya, seperti abrasi, intrusi air laut yang semakin jauh ke arah darat dan lainnya. Pada sepanjang kawasan ini terdapat areal hutan mangrove yang cukup luas, tetapi belum teridentifikasi jenis-jenis mangrove tersebut

Dokumen terkait