Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian
Tali Plastik Alat Tulis
Meteran Tanah Meteran Diameter
Buku Identifikasi Mangrove Plastik
Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian. Lanjutan
pH Meter Refraktometer
Tissue Pipet Tetes
Aquadest Karet
Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian. Lanjutan
Sendok Substrat Termometer
Tally Sheet Cutter
Lampiran 2. Pengamatan Kondisi Ekosistem Mangrove
Penarikan Tali Transek Mangrove Pengamatan Jenis Identifikasi Mangrove
Pengukuran Diameter Pohon Mangrove Pengambilan Sampel pH Tanah
Lampiran 3. Pengukuran Parameter Kualitas Air (In Situ)
Pengukuran Salinitas Menggunakan Pengukuran Suhu Air Menggunakan Refraktometer Termometer
Lampiran 4. Prosedur Penghitungan Nilai pH Tanah (Ex Situ)
Ambil Sampel Tanah Sesuai Urutan Plot Timbang Sampel Tanah Menggunakan Pengamatan Sebanyak 10 gram Timbangan Analitik
Masukkan tanah sebanyak 10 gram kedalam Ukur pH menggunakan alat pH meter Erlenmeyer 100 cc, letakkan pada
alat penggoncang (shaker) selama 15 menit
Lampiran 5. Prosedur Penghitungan Tekstur Tanah (Ex Situ)
Timbang tanah halus kering 50 gram Tambahkan 250 ml H2O,
Tambahkan 10 ml larutan Natrium Kocok 2 menit, Masukkan ke dalam pirosofat, aduk tunggu 1 malam gelas ukur 1000 ml + H2O 1000 ml
Lampiran 6. Keanekaragaman Jenis Mangrove pada Setiap Stasiun
Acanthus ebracteus Acanthus ilicifolius
Acrostichum aureum Aegiceras cornilatum
Aegiceras floridum Avicennia alba
Lampiran 6. Keanekaragaman Jenis Mangrove pada Setiap Stasiun. Lanjutan
Avicennia officinalis Bruguiera cylindrica
Bruguiera gymnorhyza Ceriops decandra
Ceriops tagal Excoecaria agallocha
Lampiran 6. Keanekaragaman Jenis Mangrove pada Setiap Stasiun. Lanjutan
Nypa fruticans Rhizophora apiculata
Rhizophora mucronata Rhizophora stylosa
Scyphiphora hydrophyllaceae Sesuvium portulacastrum
Lampiran 6. Keanekaragaman Jenis Mangrove pada Setiap Stasiun. Lanjutan
Sonneratia ovata Xylocarpus granatum
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D. G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Bengen, D. G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL-IPB. Bogor.
Chaerani, N. 2011. Kerapatan, Frekuensi, dan Tingkat Penutupan Jenis Mangrove di Desa Coppo Kecamatan Barru Kabupten Barru. [Jurnal]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Darmadi, M. W., Lemuru dan A. M. A. Khan. 2012. Struktur Komunitas Vegetasi Mangrove Berdasarkan Karakteristik Substrat di Muara Harmin Desa Cangkring Kecamatan Cantigi Kabupaten Indramayu. Universitas Padjajaran, Bandung.
Departemen Kehutanan. 1992. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi (RTR) Daerah Pantai. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Eriza, A. O. 2010. Keanekaragaman Jenis Vegetasi di Areal Model Arboretum Mangrove Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara, Medan..
Gultom, S. 2010. Studi Keanekaragaman Mangrove Berdasarkan Tingkat Salinitas Air Laut di Desa Selotontong Kecamatan Sicanggang Kabupaten Langkat. Universitas Sumatera Utara. [Skripsi]. Medan.
Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber hayati Perikanan Pantai. Litbang Pertanian 23(1). 15-21.
Harahap, A. A. 2010. Analisa Keanekaragaman Jenis Pohon Hutan Mangrove di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera. Universitas Sumatera Utara. [Skripsi]. Medan.
Hutabarat, D., Yunasfi dan A. M. Rangkuti. 2015. Kondisi Ekologi Mangrove di Pantai Putra Deli Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. [Jurnal]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004. Tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004. Tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Jakarta.
Krebs, C. J. 1989. Ecological Methodology. Universitas Of British Colombia. Harper Collins Publisher. New York.
Kusmana, C. 1995. Manajemen Hutan Mangrove Indonesia. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kusmana, C. 2005. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. Prosiding Simposium Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi. Jakarta.
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia, 2008. Ekosistem Mangrove di Indonesia. Jakarta.
Lisnawati, L. A., B. Rochaddi., D. H. Ismunarti. 2013. Studi Tipe Pasang Surut di Pulau Parang Kepulauan Karimunjawa Jepara, Jawa Tengah. [Jurnal]. Vol. 261-67.
Noor, Y. K., M. Khazali dan I. N. N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor.
Nurrahman, Y. A., S. D. Otong dan R, Rita. 2012. Struktur dan Komposisi Vegetasi Mangrove di Pesisir Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat. [Jurnal]. ISSN 2088-3137. Volume 3 Nomor 1 Maret 2012:99-107. Universitas Padajajaran, Bandung.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis (Terjemahan Oleh : M. Eidman, Koessoebiono dan D. G. Bengen, M. Hutomo dan Sukristijono). Penerbit PT. Gramedia. Jakarta. Indonesia.
Purnamasari, D. 2010. Keanekaragaman Ikan di Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat. [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Sitompul, O.S., Yunasfi., A. M. Rangkuti. 2014. Kondisi Ekologi Mangrove di Pantai Bali Kabupaten Batu Bara Provinsi Sumatera Utara. [Jurnal]. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Siregar, E. dan Agus Purwoko, 2002. Pengelolaan Ekosistem dan Lingkungan Pesisir. Makalah pada Lokakarya Partisipasi Publik dalam Pengelolaan Pesisir dan Laut. Kerjasama Pemkab Deli Serdang dan dengan LPPM [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara. Medan.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2016 di Dusun
II Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat, Provinsi
Sumatera Utara. Identifikasi jenis mangrove dilakukan di Laboratorium Terpadu
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Pengukuran substrat dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara. Pengukuran pH tanah dilakukan di Laboratorium Dasar Ilmu
Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain adalah tali rafia, kantong
plastik, parang, kompas, gunting, Global Positioning System (GPS), alat tulis, kamera,
kertas milimeter, pH meter, termometer, hand refraktometer, pipa paralon berukuran 5
inchi, bola duga, meteran, papan tide, kayu berukuran ± 3 meter dan buku identifikasi
mangrove. Bahan yang digunakan adalah bagian tumbuhan mangrove sebagai sampel,
tissue, karet, kertas label, tally sheet dan spidol. Adapun alat dan bahan penelitian dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Deskripsi Area
Lokasi pengambilan sampel berada di pesisir Desa Pulau Sembilan Kecamatan
Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara yang memiliki luas ±15,65
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian di pesisir Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat
a. Stasiun I
Stasiun I merupakan daerah pengamatan yang paling dekat ke arah laut yang
masih sangat dipengaruhi oleh keadaan pasang surut air laut. Stasiun I berada pada titik
koordinat 4°8’35”LU dan 98°14’38”BT. Lokasi stasiun I dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Lokasi Stasiun I
b. Stasiun II
Stasiun II merupakan daerah hutan mangroveyang berjarak sekitar 70 meter dari
berada pada titik koordinat 4°8’42”LU dan 98°14’42”BT. . Lokasi stasiun II dapat dilihat
pada Gambar 5.
Gambar 5. Lokasi Stasiun II
c. Stasiun III
Stasiun III merupakan daerah yang berjarak sekitar 70 meter dari stasiun II. Stasiun
III berada pada titik koordinat 4°8’45”LU dan 98°14’39”BT. Stasiun III merupakan daerah
yang dekat dengan pertambakan masyarakat setempat. Lokasi stasiun III dapat dilihat pada
Gambar 6.
Gambar 6. Lokasi Stasiun III
d. Stasiun IV
Stasiun IV merupakan daerah hutan mangrove yang berjarak sekitar 50 meter dari
ini merupakan stasiun dengan kondisi yang masih alami. Lokasi stasiun III dapat dilihat
pada Gambar 7.
Gambar 7. Lokasi Stasiun IV
e. Stasiun V
Stasiun V merupakan daerah yang paling dekat ke arah daratan dan merupakan
stasiun yang memiliki kerapatan yang rendah dibandingkan dengan stasiun lainnya.
Stasiun V berada pada titik koordinat 4°8’43”LU dan 98°14’40”BT. Lokasi stasiun V
dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Lokasi Stasiun V
Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel dilakukan secara Puposive Sampling pada 5 stasiun.
dibentangkan mulai dari batas laut tumbuhnya mangrove sampai batas daratan dimana
mangrove masih tumbuh. Pada setiap stasiun ditentukan 5 transek/plot. Transek pertama
dimulai dari arah laut menuju ke daratan dan tegak lurus garis pantai. Skematik transek
pengukuran mangrove di lokasi pengamatan dapat dilihat pada Gambar 9. Adapun
prosedur penelitian pengambilan sampel dapat dilihat pada Lampiran 2.
Transek/plot
Stasiun I
Stasiun II Laut
Stasiun III
Stasiun IV
Stasiun V
Stasiun
Gambar 9. Skematik transek pengukuran mangrove di lokasi pengamatan
Pengambilan Contoh Vegetasi Mangrove
Pengambilan contoh untuk analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan
transek garis (line transect). Transek garis ditarik dari titik acuan (pohon mangrove terluar)
langsung ditentukan di lapangan dan jenis mangrove yang belum diketahui jenisnya
diidentifikasi di Laboratorium Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan dengan mengacu
pada buku identifikasi Noor dkk (2006). Pada transek pengamatan dibuat petak-petak
contoh untuk pengamatan dan identifikasi mangrove dengan mengacu pada Kusmana
(1997) :
1. Pohon, adalah vegetasi mangrove yang memiliki diameter batang ≥ 10 cm pada petak
contoh 10 x 10 meter.
2. Pancang, adalah anakan mangrove yang memiliki diameter batang kurang dari 10 cm
dengan tinggi lebih dari 1,5 meter pada petak contoh 5 x 5 meter.
3. Semai, adalah anakan mangrove yang memiliki tinggi kurang dari 1,5 meter pada petak
contoh 2 x 2 meter.
Bentuk transek dan petak contoh untuk analisis vegetasi mangrove dapat dilihat pada
Gambar 10.
10 m
10 m 50 m
Arah Rintis
10 m
10 m
Gambar 10. Bentuk Transek Petak Contoh untuk Analisis Vegetasi Mangrove.
Setelah dilakukan identifikasi jenis mangrove kemudian dilakukan pengambilan
data tinggi dan diameter pohon. Pengambilan data dilakukan pada setiap jenis-jenis
Pengambilan Contoh Substrat
Pengambilan contoh substrat diambil menggunakan pipa 5 inchi. Proses ini
dilakukan pada saat perairan surut bersamaan dengan pengambilan sampel mangrove.
Pengambilan contoh ini dilakukan satu kali pada plot/transek. Karakteristik substrat yang
dianalisis meliputi tekstur substrat.
Pengambilan Data Parameter Fisika Kimia Lingkungan
Pengukuran parameter fisika kimia lingkungan dilakukan sebanyak tiga kali dengan
interval waktu 2 minggu selama jangka waktu penelitian. Parameter fisika kimia yang
diukur dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter Fisika Kimia yang Diukur
Parameter Satuan Alat Tempat
Fisika
Suhu °C Termometer In Situ
Jenis Substrat - Pipa Paralon 5 inchi Ex Situ Arus m/s Bola duga In Situ
Kimia
Salinitas Ppt Refraktometer In Situ
pH - pH meter In Situ
Analisis Data
Analisis Kondisi Ekosistem Mangrove
Analisa data yang dilakukan mengikuti Kusmana (1997), perhitungan nilai
kuantitatif parameter vegetasi dalam penentuan indeks penting mencakup nilai kerapatan
jenis, kerapatan relatif, frekuensi jenis, frekuensi relatif, penutupan jenis, penutupan relatif
dan indeks nilai penting.
1. Kerapatan Jenis dan Kerapatan Relatif
Kerapatan (K) =∑ Individu Suatu Jenis Luas Plot Pengamatan
Kerapatan relatif (KR) adalah perbandingan antara jumlah kerapatan jenis i dan
jumlah total kerapatan seluruh jenis :
Kerapatan Relatif (KR) = K suatu jenis
K total seluruh jenisx100%
2. Frekuensi jenis dan Frekuensi Relatif
Frekuensi (F) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam semua plot yang diamati
dibandingkan dengan jumlah total plot yang dibuat :
Frekuensi =∑jumlah plot sitemukan suatu spesies
∑seluruh plot pengamatan
Frekuensi relatif (FR) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i dengan jumlah
frekuensi untuk seluruh jenis :
Frekuensi relatif (FR) = F suatu spesies
∑F �100%
3. Dominansi (Penutupan Jenis) dan Dominansi relatif (Penutupan Relatif)
Dominansi (D) adalah luas penutupan jeni ke-I dalam suatu unit tertentu :
D =∑BA
A Keterangan :
D : Dominansi (Penutupan Jenis) BA : Luas bidang dasar pohon 1
4��
2 dengan nilai �= 3,1416 A : Luas petak contoh
Dominansi relatif (DR) yaitu perbandingan antara penutupan jenis ke-I dengan
luas total penutupan untuk seluruh jenis :
D = D suatu spesies
∑D seluruh spesies x 100%
Indeks nilai penting adalah jumlah nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatof
(FR) dan dominansi relatif jenis (DR).
Untuk pohon :
INP = KR + FR + DR
Untuk semai dan pancang :
INP = KR + FR
Nilai penting ini memberikan gambaran peranan suatu jenis mangrove dalam
ekosistem tersebut. Indeks nilai penting memiliki kisaran antrara 0 – 300.
5. Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wienner
Keanekaragaman jenis dapat diartikan sebagai heterogenitas jenis dan merupakan
ciri khas struktur komunitas. Berikut ini rumus keanekaragaman Shannon-Wienner.
H’ = - ∑ Pi ln Pi
Keterangan :
H’ : Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
Pi : Proporsi jumlah individu spesies ke-i terhadap jumlah individu total yaitu Pi = ni/N dengan ni : jumlah suatu spesies i
N : total jumlah spesies
6. Indeks Keseragaman
Keseragaman juga dapat dikatakan sebagai keseimbangan, yaitu komposisi individu
tiap jenis yang terdapat dalam suatu komunitas. Rumus indeks keseragaman dinyatakan
sebagai berikut (Krebs, 1989):
J′= H′
J’ : Indeks keseragaman (Evennes)
H’ : Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
H max : Log2S
S = jumlah spesies atau taksa
Nilai indeks keseragaman spesies berkisar antara 0 – 1. Bila nilai indeks
keseragaman mendekati 0, maka dalam ekosistem tersebut ada kecenderungan terjadi
dominasi spesies. Bila nilai keseragaman mendekati 1, maka ekosistem tersebut berada
dalam kondisi yang relatif merata..
Kriteria Baku Mutu Kerusakan Mangrove
Kriteria baku kerusakan mangrove ditentukan berdasarkan persentase luas tutupan
dan nilai kerapatan mangrove (tegakan/ha) yang hidup (Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup No.201 Tahun 2004). Tabel kriteria baku kerusakan mangrove dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria Baku Kerusakan Mangrove
Kriteria Penutupan (%) Kerapatan
(Tegakan/ha)
Baik Sangat Padat > 70 > 1500
Rusak Sedang > 50 - >70 > 1000 - < 1500
Berat Sedikit < 50 < 1000
Analisis pH Tanah
Penentuan pH tanah menggunakan metode elektrometri. Cara elektrometri
menggunakan alat pH meter yang dilengkapi dengan elektroda dan biasanya cara ini
digunakan dilaboratorium. Hasil pengukuran pH dengan cara elektrometri lebih teliti
dibandingkan dengan cara colorimetri. Perbandingan air dengan tanah biasanya dipakai 1 :
Analisis Substrat
Langkah-langkah dalam penentuan tekstur substrat segitiga USDA yaitu :
1. Menentukan komposisi dari masing-masing fraksi substrat. Misalnya, fraksi pasir 45%,
debu 30% dan liat 25%.
2. Menarik garis lurus pada sisi persentase pasir dititik 45% sejajar dengan persentase debu,
kemudian ditarik garis lurus pada sisi persentase debu dititik 30% sejajar dengan sisi
persentase liat, dan tarik garis lurus pada sisi persentase liat 25% sejajar dengan sisi
persentase pasir.
3. Titik perpotongan ketiga garis tersebut akan menentukan tipe substrat yang dianalisis.
Tekstur substrat dianalisis berdasarkan Segitiga USDA. Adapun prosedur. Adapun
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
1. Komposisi Vegetasi Mangrove
Hasil analisis data vegetasi mangrove di Dusun II Desa Pulau Sembilan dengan
menggunakan metode transek garis pada 5 stasiun sehingga diperoleh vegetasi mangrove
dengan total identifikasi jenis berjumlah 27 spesies mangrove. Komposisi vegetasi
mangrove yang dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Komposisi dan Jenis Mangrove
2. Kondisi Ekosistem Mangrove Kerapatan
Pada stasiun 1 ditemukan 15 jenis mangrove yaitu A. floridum, A.alba, A.marina,
A. officinalis, B. cylindrica, B. gymnorhyza, C. decandra, C. tagal, N.
fruticans, R. apiculata, R. mucronata, R. stylosa, S. alba, X. granatum, dan
X. moluccensis. Kerapatan jenis mangrove yang paling tinggi pada stasiun I yaitu S.alba.
Kerapatan jenis mangrove pada stasiun I dapat dilihat pada gambar 11.
(c). Pohon
Gambar 11. Kerapatan jenis mangrove di Stasiun I (a) Semai, (b) Pancang dan (c) Pohon
Jenis mangrove yang ditemukan distasiun II yaitu 13 jenis antara lain A.ebracteus,
A. lanata, B. gymnorhyza, C. decandra, C. tagal, R. apiculata, R. mucronata,
R. stylosa, S. hidrophidacae, S. portucastrum, S. alba, dan S. caseolaris. Kerapatan jenis
mangrove yang paling tinggi pada stasiun II yaitu R. apiculata. Kerapatan mangrove pada
stasiun II dapat dilihat pada gambar 12.
(b). Pancang
(c). Pohon
Gambar 12. Kerapatan jenis mangrove di Stasiun II (a). Semai, (b) Pancang dan (c) Pohon
Jenis mangrove yang ditemukan distasiun III yaitu 14 jenis antara lain A.
floridum, A.lanata, A. marina, B. cylindrica, C. decandra, C. tagal, L.littorea, N.
fruticans, R.apiculata, R. mucronata, R. stylosa, S.hidrophidaca, S.ovata, dan X.
granatum. Kerapatan jenis mangrove yang paling tinggi pada stasiun III yaitu R.stylosa.
Kerapatan mangrove pada stasiun III dapat dilihat pada gambar 13.
(a). Semai
(b). Pancang
(c). Pohon
Jenis mangrove yang ditemukan distasiun IV yaitu 18 jenis antara lain
A. aureum, A.marina, B. cylindrica, C. decandra, E.agallocha, L. littorea,
N. fruticans, R. apiculata, R. stylosa, S. hidrophidacae, dan S. alba. Kerapatan jenis
mangrove yang paling tinggi pada stasiun IV yaitu B. cylindrica. Kerapatan pada stasiun
IV dapat dilihat pada gambar 14.
(c). Pohon
Gambar 14. Kerapatan jenis mangrove di Stasiun IV (a). Semai, (b) Pancang dan (c) Pohon
Jenis mangrove yang ditemukan di stasiun V 12 jenis antara lain A.
ilicifolius, A. aureum, C. decandra, C. tagal, E. agallocha, L. littorea, L.
racemosa, N. fruticans, R. apiculata, R.hizophora mucronata, S.hidrophidacae, dan S.
alba. Kerapatan mangrove yang paling tinggi pada stasiun V yaitu E.agallocha. Kerapatan
kategori semai stasiun V dapat dilihat pada gambar 15.
(b). Pancang
(c). Pohon
Gambar 15. Kerapatan jenis mangrove di Stasiun V (a). Semai, (b) Pancang dan (c) Pohon
Frekuensi
Pada stasiun I kategori semai R. stylosa, C. tagal dan C. decandra ditemukan pada
dua plot dari tiga plot. R. apiculata ditemukan pada tiga plot pengamatan. Dari kategori
Pancang dan pohon R. apiculata, B. cylindrica, dan N. fruticans ditemukan pada
tiga plot pengamatan. Perbandingan frekuensi masing-masing jenis mangrove pada stasiun
I ditampilkan pada Gambar 16.
(a). Semai
(b). Pancang
(c). Pohon
Pada stasiun II kategori semai R. stylosa dan S. alba ditemukan pada tiga plot
pengamatan. S. hidrophidacae ditemukan pada satu plot dari tiga plot pengamatan. Dari
kategori Pancang dan pohon R. apiculata, R. stylosa dan B.cylindrica ditemukan pada tiga
plot pengamatan. Perbandingan frekuensi masing-masing jenis mangrove pada stasiun II
ditampilkan pada Gambar 17.
(c). Pohon
Gambar 17. Frekuensi jenis mangrove di Stasiun II (a). Semai, (b) Pancang dan (c) Pohon
Pada stasiun III kategori semai R. apiculata ditemukan pada tiga plot pengamatan.
C. tagal, R. stylosa dan R. mucronata ditemukan pada dua plot dari tiga plot pengamatan.
C. decandra dan A. marina ditemukan pada satu plot dari tiga plot pengamatan. Dari
kategori Pancang dan pohon R.apiculata, C.tagal dan N. fruticans ditemukan
pada tiga plot pengamatan. Perbandingan frekuensi masing-masing jenis mangrove pada
stasiun II ditampilkan pada Gambar 18.
(b). Pancang
(c). Pohon
Gambar 18. Frekuensi jenis mangrove di Stasiun III (a). Semai, (b) Pancang dan (c) Pohon
Pada stasiun IV kategori semai R. apiculata dan B. cylindrica ditemukan pada tiga
plot pengamatan. S. alba, dan L. littorea ditemukan pada dua plot dari tiga plot
pengamatan. S. caseolaris dan A. ebracteus ditemukan pada satu plot dari tiga plot
pengamatan. Dari kategori Pancang dan pohon A.aureum, B.cykindrica dan C.
decandra ditemukan pada tiga plot pengamatan. Perbandingan frekuensi masing-masing
jenis mangrove pada stasiun IV ditampilkan pada Gambar 19.
(a). Semai
(b). Pancang
(c). Pohon
Pada stasiun V kategori semai E. agallocha dan R. apiculata ditemukan pada tiga
plot pengamatan. S. hydropllaceae ditemukan pada dua plot dari tiga plot pengamatan.
Dari kategori Pancang dan pohon A. aureum, R. apiculata dan E. agallocha
ditemukan pada tiga plot pengamatan. Perbandingan frekuensi masing-masing jenis
mangrove pada stasiun V ditampilkan pada Gambar 20.
(a). Semai
(b). Pancang
(c). Pohon
Dominansi Relatif
Pada stasiun I nilai dominansi pohon paling tinggi, yaitu X. mollucensis sebesar
12,73%. Pada stasiun II nilai dominansi pohon paling tinggi yaitu X.
granatum sebesar 14,90. Pada stasiun III nilai dominansi pohon paling tinggi yaitu
B.cylindrica yaitu 11,50%. Pada stasiun IV nilai dominansi pohon paling tinggi yaitu
S.ovata yaitu 5,77. Pada stasiun V nilai dominansi pohon paling tinggi yaitu N. fruticans
yaitu 6,74. Perbandingan nilai dominansi jenis mangrove dilihat pada Gambar 21.
(a). Dominansi Pohon pada Stasiun I
(b). Dominansi Pohon pada Stasiun II
(c). Dominansi Pohon pada Stasiun III
(c). Dominansi Pohon pada Stasiun IV
(d). Dominansi Pohon pada Stasiun V
Gambar 21. Dominansi jenis mangrove di Stasiun V (a). Semai, (b) Pancang dan (c) Pohon
Indeks Nilai Penting (INP)
Vegetasi yang terdapat pada suatu wilayah tentu akan memiliki pengaruh atau
peranan terhadap lingkungan sekitarnya, besarnya pengaruh atau peranan suatu jenis
vegetasi pada suatu lokasi biasa ditentukan dengan INP (Indeks Nilai Penting), maka
banyak jumlah vegetasi yang ditemukan, semakin tinggi frekuensi yang ditemukannya,
semakin besar diameter batang yang dimilikinya tentu akan memperbesar nilai dari INP
tersebut. Nilai INP dari jenis semai, pancang dan pohon dapat dilihat pada Tabel 4, Tabel 5
dan Tabel 6.
Tabel 4. Indeks Nilai Penting Semai
No Spesies Stasiun
I II III IV V
1. R. apiculata 41,00 48,57 44,44 40,87 47,95
2. R. stylosa 34,00 25,24 50,00 26,79 -
3. C. tagal 38,00 - 31,94 - 22,82
4. C. decandra 31,33 - 18,06 - -
5. S. alba 58,33 29,52 - 25,40 25,38
6. A. ebracteus - 21,67 - 14,09
7. S. hidrophidaceae - 15,00 - - 40,51
8. R. mucronata - 27,62 34,72 - -
9. S. portucastrum - 32,38 - - -
10. A. marina - - 20,83 - -
11. S. caseolaris - - - 15,48 -
12. B. cylindrica - - - 46,43 -
13. L. littorea - - - 30,95 -
14. E. agallocha - - - - 57,78
Tabel 5. Indeks Nilai Penting Pancang
No Spesies Stasiun
I II III IV V
1. R. apiculata 34,85 38,90 23,30 - 32,46
2. R. stylosa 23,59 32,65 38,16 - -
3. X. granatum 25,74 20,51 - - -
4. B. cylindrica 32,70 - 22,02 36,42 -
5. S. alba 38,08 - - 24,69 -
6. C. tagal 20,37 - 34,31 - 25,11
7. R. mucronata 24,67 29,26 20,74 - -
8. B. gymnorhyza - 31,40 - - -
9. S. hidrophidacae - 10,88 11,01 11,73 11,51
10. S. caseolaris - 12,13 - - -
11. A. lanata - 24,26 25,87 - -
12. A. marina - - 12,29 - -
13. C. decandra - - 12,29 25,31 19,90
14. A. ilicifolius - - - 14,20 10,47
15. A. ebracteus - - - 20,99 -
16. L.littorea - - - 23,46 17,82
17. A. aureum - - - 31,48 27,25
18. A. floridum - - - 11,73 -
19. E. agallocha - - - - 34,54
20. L. racemosa - - - - 20,94
Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (J’)
Nilai Indeks keanekaragaman (H’) paling tinggi terdapat pada stasiun I pada
kategori pohon sebesar 2,59. Nilai indeks keanekaragaman (H’) paling rendah yaitu pada
stasiun V kategori semai dengan nilai 1,55. Nilai Indeks keseragaman (J’) tertinggi
terdapat pada stasiun I pada kategori Pohon sebesar 1,06 dan nilai indeks keseragaman (J’)
paling rendah yaitu terdapat pada stasiun I pada kategori semai dengan nilai 0,72. Indeks
keanekaragaman (H’) dan indeks keseragaman (J’) dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman Jenis Mangrove
Indeks Indeks
Stasiun Kategori Keanekaragaman
(H’)
Karakteristik Fisika Kimia Lingkungan
Pengukuran parameter fisika kimia perairan pada kawasan ekosistem mangrove
Dusun II Pulau Sembilan meliputi pengukuran suhu, arus, salinitas dan pH air yang
dilakukan sebanyak 3 kali dengan interval waktu 2 minggu. Hasil pengukuran parameter
Tabel 8. Hasil Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan
Berdasarkan perhitungan rata-rata nilai parameter fisika kimia air yang dilakukan
secara in-situ dilapangan, pada kelima stasiun pada setiap stasiun pengamatan suhu air
masih tergolong normal yaitu rata rata 29°C - 30°C. Kecepatan arus yang paling tinggi
terdapat pada stasiun 1, dimana posisi stasiun dekat ke arah laut. Salinitas pada setiap
stasiu pengamatan masih tergolong baik untuk pertumbuhan mangrove yaitu kisaran 24‰ -
26‰. Nilai derajat keasaman (pH) air pada setiap stasiun pengamatan juga tergolong
normal untuk pertumbuhan mangrove yaitu kisaran 7,0 – 7,3.
Karakteristik pH Tanah
Karakteristik pH tanah pada setiap 5 stasiun dan terbagi dalam 3 plot pengamatan.
Analisis pH tanah dilakukan di laboratorium secara ex-situ. Hasil pengukuran parameter
kimia (pH) tanah dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Pengukuran Kimia (pH) Tanah
Stasiun Plot Nilai Derajat Keasaman
(pH) Tanah
Plot 1 7,19 Basa
Stasiun I Plot 2 6,69 Basa
Plot 3 6,55 Basa
Plot 1 6,77 Basa
Stasiun II Plot 2 7,18 Basa
Plot 3 7,01 Basa
Plot 1 7,02 Basa
Stasiun III Plot 2 6,74 Basa
Plot 3 7,21 Basa
Plot 1 6,69 Basa
Stasiun IV Plot 2 6,59 Basa
Plot 3 6,60 Basa
Plot 1 5,64 Asam
Stasiun V Plot 2 5,00 Asam
Plot 3 6,41 Basa
Berdasarkan hasil analisis nilai pH tanah secara ex-situ dilaboratorium, pada setiap
stasiun pengamatan nilai pH tanah cenderung basa, dengan kisaran nilai pH 6,59 – 7,21,
nilai pH tanah tersebut masih tergolong normal untuk pertumbuhan mangrove. Pada
stasiun 5 diperoleh nilai pH ˂6, yaitu 5,00 - 5,64 yang termasuk dalam kategori asam.
Posisi stasiun 5 terletak paling dekat dengan daratan, dan merupakan bekas lahan
pertambakan masyarakat setempat. Keadaaan tanah pada stasiun 5 kering dengan substrat
Karakteristik Substrat
Karakteristik substrat mangrove yang diamati pada 5 stasiun pengamatan yang
terbagi dalam 3 plot meliputi tekstur substrat yang dianalisis secara ex-situ dilaboratorium.
Karakteristik tekstur substrat dapat dilihat pada tabel 10.
Tabel 10. Karakteristik Tekstur Substrat
Stasiun Plot Tekstur (%) Tipe Substrat Pasir Debu Liat
Berdasarkan hasil analisis tekstur substrat secara ex-situ dilaboratorium,. Pada
stasiun I dan II tipe substrat cenderung lempung, lempung berpasir dan lempung berliat.
Pada stasiun III tipe substrat pada setiap plot pengamatan relatif sama yaitu liat. Pada
stasiun IV tipe substrat lempung berliat dan relatif liat. Pada stasiun V tipe substrat
Pasang Surut
Gambar 16. Grafik tinggi Pasang Surut tanggal 24 Maret s/d 07 April 2016
Pasang surut air laut sangat dipengaruhi oleh pergerakan bulan. Menurut Malik
dkk (1999) menyatakan bahwa meskipun pengaruhnya tidak sebesar arus, pasang surut
juga mempengaruhi dinamika air sekitar pantai. Pergerakan air akan lebih mudah diamati
di daerah estuaria yang lebar. Pada pasang naik, air tawar mengalir ke laut di atas massa air
asin yang bergerak di darat. Pasang tertinggi berada pada posisi dengan nilai 134.69 cm
pada jam 241 di tanggal 3 April 2016. Sedangkan surut terendah berada dengan nilai
Pembahasan
Kondisi Ekosistem Mangrove Kerapatan
Berdasarkan hasil analisis vegetasi, kerapatan jenis mangrove dikelompokkan ke
dalam 3 kategori yaitu pohon, pancang dan semai. Masing-masing stasiun memiliki
panjang transek 100 meter. Stasiun I merupakan stasiun yang paling dekat ke arah laut.
Pada stasiun I, dari kategori semai S. alba memiliki nilai kerapatan tertinggi sebesar 19167
ind/ha, dari kategori pancang jenis S. alba memiliki nilai kerapatan tertinggi sebesar 2533
ind/ha, dari kategori pohon jenis S. alba 767 ind/ha. Hal ini berarti S. alba mampu
beradaptasi dengan baik di lingkungan yang berada Stasiun I.
Hal ini berarti Sonneratia spp. mampu beradaptasi dengan baik dilingkungan yang
berada di stasiun I. Hal initidak berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Bengen (2004) yang menyatakan bahwa Sonneratia spp. merupakan spesies
yang dapat tumbuh pada daerah paling dekat dengan laut dan dengan substrat agak
berpasir. Berdasarkan Kepmen LH No. 201 tahun 2004, nilai kerapatan semai dan pancang
termasuk dalam kategori sangat adat dan nilai kerapatan pohon di stasiun I termasuk dalam
kategori sangat padat.
Stasiun II memiliki jenis mangrove yang lebih sedikit dari pada stasiun I. Nilai
kerapatan jenis R.apiculata tertinggi pada tingkat pohon, pancang dan semai yaitu dengan
nilai 20000 ind/ha, 11333 ind/ha dan 733 ind/ha. Hal ini diduga karena pernah dilakukan
penanaman mangrove jenis ini dan mangrove jenis R. apiculata memiliki pertumbuhan
yang relatif cepat. Berdasarkan Kepmen LH No. 201 tahun 2004, nilai kerapatan semai dan
pancang termasuk dalam kategori sangat padat dan nilai kerapatan pohon di stasiun II
Pada stasiun III memiliki jenis mangrove yang lebih banyak dari pada stasiun II.
Nilai kerapatan R. stylosa tertinggi pada tingkat pohon, pancang dan semai yaitu dengan
nilai 15000 ind/ha, 2133 ind/ha dan 567 ind/ha. Berdasarkan Kepmen LH No. 201 tahun
2004 nilai kerapatan semai dan pancang termasuk dalam kategori sangat padat dan nilai
kerapatan pohon termasuk dalam kriteria sangat padat.
Pada stasiun IV memiliki jenis mangrove yang lebih banyak dari pada stasiun III.
Nilai kerapatan B. cylindirca tertinggi pada tingkat pohon, pancang dan semai yaitu dengan
nilai 15000 ind/ha, 2133 ind/ha dan767 ind/ha. Berdasarkan Kepmen LH No. 201 tahun
2004 nilai kerapatan semai dan pancang termasuk dalam kategori sangat padat dan nilai
kerapatan pohon termasuk dalam kriteria sangat padat.
Berdasarkan hal ini berarti Bruguiera spp. mampu beradaptasi dengan baik di
lingkungan yang berada di stasiun IV. Hal ini tidak berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Huatabarat (2015) di pesisir Pantai Putra Deli Kabupaten Deli Serdang
bahwa Bruguiera spp. dominan berada di lokasi pengamatan karena dapat beradaptasi
dengan baik di daerah stasiun pengamatan. Berdasarkan Kepmen LH No. 201 tahun 2004,
nilai kerapatan semai dan pancang termasuk dalam kategori sangat padat dan nilai
kerapatan pohon di stasiun IV termasuk dalam kategori sangat padat.
Pada stasiun V merupakan stasiun yang paling dekat dengan muara sungai atau
bagian estuari dan mengarah ke arah daratan.Stasiun V memiliki jenis mangrove yang
lebih sedikit dari pada stasiun IV. Nilai kerapatan E. agallocha tertinggi pada tingkat
pohon, pancang dan semai yaitu dengan nilai 10833 ind/ha, 2400 ind/ha dan 867 ind/ha.
Berdasarkan Kepmen LH No. 201 tahun 2004, nilai kerapatan semai dan pancang termasuk
dalam kategori sangat padat dan nilai kerapatan pohon di stasiun V termasuk dalam
pohon/ha dikategorikan dalam kriteria baik (padat). Maka dapat disimpulkan bahwa
kondisi mangrove pada kelima stasiun dalam kategori baik (padat).
Berdasarkan hal ini berarti Excoecaria. mampu beradaptasi dengan baik di
lingkungan yang berada di stasiun V. Hal ini tidak berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Sitompul (2014) yang menyatakan bahwa di pesisir Pantai Bali Kabupaten
Batubara yang menyatakan Excoecaria dominan berada di lokasi pengamatan karena dapat
beradaptasi dengan baik didaerah yang paling dekat dengan muara sungai atau bagian
estuari yang mengarah ke daratan.
Kerapatan jenis mangrove didominasi oleh jenis yang berbeda-beda pada tiap
stasiun pengamatan tergantung daya adaptasi dan faktor yang mempengaruhi jenis
mangrove tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Darmadi (2012) bahwa tingginya
nilai kerapatan serta beragamnya jenis mangrove yang ditemukan dapat mengindikasikan
bahwa tingkat regenerasi mangrove baik dan dapat bertahan pada kondisi lokal tersebut.
Dari hasil pengamatan langsung di lapangan dengan menggunakan metode analisis
vegetasi, didapat hasil bahwa jenis mangrove yang dominan pada stasiun I adalah
Sonneratia alba dengan kerapatan sebesar 3833 ind/ha, dimana posisi stasiun I tersebut
sangat dekat kearah laut sehingga dapat dikaitkan dengan pembagian zonasi mangrove.
Menurut Bengen (2001) jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove, umumnya mangrove
di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya dapat dibedakan menjadi 4
zonasi. Zonasi pertama yaitu zona api-api-prepat (Avicennia spp., - Sonneratia spp.,)
terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak lembek
(dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan kadar garam agak
Berdasarkan pengamatan langsung ke lapangan yang telah dilakukan, didapat
hasil jenis pohon mangrove yang dominan pada stasiun II adalah R.
apiculata dengan kerapatan sebesar 3666 ind/ha, dimana posisi stasiun tersebut ± 80 meter
dari stasiun I. Menurut Bengen (2001) menyatakan bahwa Zona bakau (Rhizophora spp.,)
biasanya terletak dibelakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek (dalam).
Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora spp.,) dan dibeberapa tempat dijumpai
berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera spp.,).
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan dengan menggunakan metode analisis
vegetasi, diperoleht hasil bahwa jenis mangrove yang dominan pada stasiun III adalah R.
apiculata dan R. stylosa dengan kerapatan sebesar 2000 ind/ha, diikuti mangrove B.
cylindrica dengan kerapatan sebesar 1666 ind/ha dan N. fruticans dengan kerapatan
sebesar 2333 ind.ha. Menurut Bengen (2001) pengaruh air laut sama dengan pengaruh air
tawar yang dicirikan oleh mintakan tipis Rhizophora spp. Di tepian alur, diikuti komunitas
campuran Rhizophora spp. – Bruguiera spp., dan diakhiri komunitas murni N. fruticans.
Kerapatan jenis mangrove yang berbeda-beda setiap stasiun pengamatan salah
satunya dipengaruhi oleh faktor lingkungan terhadap jenis mangrove yang ada pada lokasi
stasiun masing-masing. Hal ini sesuai dengan Hasmawati (2001) yang menyatakan bahwa
faktor-faktor lingkungan yang berinteraksi satu sama lain secara kompleks akan
menghasilkan asosiasi jenis yang juga kompleks dimana distribusi individu jenis tumbuhan
mangrove sangat dikontrol oleh variasi faktor-faktor lingkungan.
Frekuensi
Berdasarkan Gambar 17, Gambar 18, Gambar 19, Gambar 20 dan Gambar 21 di
dapat hasil bahwa jenis R. apiculata dan C. decandra lebih dominan di temukan pada
ditemukan pada ke lima stasiun pengamatan. Hal ini dikarenakan jenis tersebut mampu
beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya. Hal ini sesuai dengan penelitian Jamili,
dkk (2009) yang menyatakan bahwa Rhizophora spp dan Ceriops spp memiliki cara
adaptasi perkembangbiakan alami yang sama yaitu dengan propagul (vivipar). Rhizophora
spp berada di daerah yang selalu terkena pasang harian dengan penggenangan yang tinggi,
memiliki akar tunjang dan ukuran propagul yang jauh lebih lebih panjang, dan Ceriops
spp. yang tumbuh di daerah yang hanya terkena genangan pada saat pasang tertinggi dan
mempunyai akar lutut.
Pada stasiun I jenis S.alba dan R. apiculata memiliki nilai frekuensi tertinggi pada
tingkat semai. Pada tingkat pancang jenis S.alba, R. apiculata dan B. Cylindrica yang
juga memiliki nilai frekuensi tertinggi. Pada tingkat pohon terdapat jenis S.alba, R.
apiculata dan N. fruticans yang memiliki nilai frekuensi tertinggi dengan nilai 1,0 yang
artinya jenis tersebut ditemukan pada tiga plot pengamatan (Gambar 17). Jenis Sonneratia
spp yang dominan ditemukan pada tingkat semai, pancang dan pohon hal ini dikarenakan
Sonneratia spp memiliki kecocokan terhadap karakteristik tempat hidupnya. Menurut
peryantaan Noor, dkk (2006) yang menyatakan bahwa jenis Sonneratia spp tumbuh pada
tanah lumpur yang dalam dan terpengaruh oleh pasang surut.
Pada stasiun II S. alba dan R. apiculata juga memiliki nilai frekuensi tertinggi pada
tingkat semai. Pada tingkat pancang R. stylosa dan B. gymnorhyza memiliki nilai frekuensi
tertinggi. Pada tingkat pohon R. apiculata, R. stylosa, B. gymnorhyza dan S.
alba juga memiliki nilai frekuensi tertinggi dengan nilai 1,0 yang artinya jenis tersebut
ditemukan pada tiga plot pengamatan (Gambar 18). Bruguiera spp. dominan
ditemukan pada tingkat pancang dan pohon dikarenakan kecocokan dari karakteristik
mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan serta toleran terhadap kadar garam
yang tinggi.
Pada stasiun III R. apiculata dan R. stylosa memiliki nilai frekuensi tertinggi pada
tingkat semai. Pada tingkat pancang C. tagal dan R. stylosa memiliki nilai frekuensi
tertinggi. Pada tingkt pohon R. apiculata, N. fruticans dan C. tagal memiliki nilai
frekuensi tertinggi dengan nilai 1,0 yang artinya jenis tersebut ditemukan hampir pada
semua plot pengamatan (Gambar 19).
Pada stasiun IV B. cylindrica dan R. apiculata memiliki nilai frekuensi tertinggi
pada tingkat semai. Pada tingkat pancang A. aureum, B. cylindrica dan C. decandra
memiliki nilai frekuensi tertinggi. Pada tingkat pohon jenis C. decandra, N. fruticans dan
B. cylindrica memiliki nilai frekuensi tertinggi dengan nilai 1,0 yang artinya jenis tersebut
ditemukan pada tiga plot pengamatan (Gambar 20). Jenis Ceriops spp. dominan ditemukan
pada ringkat pancang dan pohon. Hal ini disebabkan Ceriops spp.tumbuh di daerah yang
hanya terkena genangan pada saat pasang tertinggi dan memiliki cara adaptasi
perkembangbiakan alami (propagul).
Pada stasiun V R. apiculata dan E. agallocha memiliki nilai tertinggi pada tingkat
semai. Pada tingkat pancang dan pohon R. apiculata, E. agallocha dan A. aureum
memiliki nilai frekuensi tertinggi dengan nilai 1,0 yang artinya jenis tesebut ditemukan
pada setiap tiga plot pengamatan.
Dominansi Relatif
Dominansi digunakan untuk memperoleh informasi mengenai seberapa besar
kemampuan mangrove dapat menutupi suatu lahan. Semakin banyak jumlah pohon yang
Penutupan jenis relatif pada Gambar 22 menunjukkan mangrove
X. mollucensis memiliki nilai paling tinggi pada stasiun I yaitu 12,73%. Hal ini
menunjukkan bahwa keberadaan mangrove X. mollucensis mendominasi diareal stasiun I
terutama pada plot I. Kondisi tersebut berarti stasiun I memberikan kondisi lingkungan
yang baik bagi pertumbuhan jeni X. mollucensis terbukti dari diameter pohon mangrove
jenis ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Noor, dkk (2006) bahwa ekologi X. mollucensis
jenis mangrove sejati dihutan pasang surut, pematang sungai pasang surut, serta tampak
sepanjang pantai.
Pada stasiun II mangrove X. granatum memiliki nilai paling tinggi yaitu 14,90%.
Hal ini berarti jenis mangrove ini mendominasi diarel stasiun II terutama pada plot I dan
plot II. Kondisi ini disebabkan karena stasiun II yang terletak tidak jauh dari stasiun I
dimana kondisi lingkungannya hampir sama, yakni baik bagi pertumbuhan mangrove jenis
Xylocarpus spp. yakni mangrove yang tumbuh di hutan pasang surut.
Pada stasiun III mangrove jenis B. cylindrica memiliki nilai paling tinggi pada
stasiun I yaitu 11,50%. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan mangrove B.
cylindrica mendominasi di areal stasiun III. Kondisi ini disebabkan karena stasiun III
memiliki tipe substrat liat pada semua plot pengamatan di stasiun ini. Hal ini sesuai dengan
Noor, dkk (2006) bahwa ekologi B. cylindrica biasanya pada tanah liat dibelakang zona
Avicennia spp.
Pada stasiun IV dan V mangrove jenis N. fruticans memiliki nilai paling tinggi
yaitu 12,01% dan 14,08%. Hal ini berarti mangrove jenis ini mendominasi di areal stasiun
IV dan V. Kondisi ini disebabkan karena stasiun IV berada pada garis sungai Pulau
Sembilan dan stasiun V merupakan areal yang paling dekat ke arah daratan. Hal ini sesuai
intertidal yang jenis tanah berlumpur atau berpasir, menerima pasokan air tawar yang
cukup dari darat dan arus pasang surut yang kuat.
Indeks Nilai Penting
INP tertinggi menunjukkan bahwa mangrove memiliki peran dan fungsi yang
sangat besar dalam ekosistem. Berdasarkan tabel 4 pada tingkat semai mangrove S. alba
memiliki nila INP tertinggi pada stasiun I sebesar 58,33% terlihat dari nilai kerapatan dan
frekuensinya (Lampiran 7) karena jenis ini mampu tumbuh dengan baik pada lingkungan
stasiun I. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chaerani (2011) bahwa ketergantungan
terhadap jenis tanah ditunjukkan oleh Sonneratia spp. yaitu merupakan ciri umum untuk
tanah berlumpur dalam. Nilai INP terendah kategori tingkat semai yaitu jenis A. ebracteus
pada stasiun IV sebesar 14,09%.
Berdasarkan tabel 5 nilai INP tertinggi pada tingkat pancang yakni mangrove R.
apiculata sebesar 38,90% pada stasiun II terlihat dari nilai kerapatan dan frekuensinya
(Lampiran 8) karena jenis ini mampu tumbuh dengan baik pada lingkungan di beberapa
plot pengamatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jamili dkk, (2009) bahwa Lingkungan
zona Rhizophora spp. merupakan area yang selalu tergenang pasang harian, dengan
penggenangan yang tinggi, memiliki akar udara, mengembangkan pola adaptasi yang
cukup unik. Rhizphora spp. tidak hanya berkembang biak secara generatif melalui
propagul, tetapi juga berkembang biak secara vegetatif. Nilai INP terendah kategori tingkat
pancang yaitu A.ilicifolius pada stasiun V sebesar 10,47%.
Berdasarkan tabel 6 nilai INP tertinggi pada tingkat pohon yakni mangrove E.
agallocha sebesar 45,85% pada stasiun V terlihat dari nilai kerapatan dan frekuensinya
(Lampiran 11) karena jenis ini mampu tumbuh dengan baik pada lingkungannya stasiun V
dengan pernyataan Noor, dkk (2006) bahwa E. agallocha sepanjang tahun memerlukan
masukan air tawar dalam jumlah besar. umumnya ditemukan pada bagian pinggir
mangrove di bagian daratan.
Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman
Perhitungan indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman di lakukan untuk
mengetahui seberapa besar tingkat keanekaragaman hayati mangrove, seberapa besar
ingkat kemerataan dari spesies mangrove dan seberapa besar suatu spesies mangrove
mendominasi suatu wilayah kajian. Nilai indeks keanekaragaman
Tertinggi pada tingkat semai terdapat pada stasiun IV yaitu sebesar 1,86, pada tingkat
pancang nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun IV dan V yaitu
sebesar 2,13 dan pada tingkat pohon nilai Indeks Keanekaragaman Tertinggi terdapat pada
stasiun I yaitu sebesar 2,59.
Berdasarkan perhitungan terhadap keanekaragaman jenis (Tabel 7) secara umum
nilai keanekaragaman jenis mangrove tingkat semai dan pancang termasuk
keanekaragaman rendah, dan pada tingkat pohon nilai keanekaragaman termasuk
keanekaragaman sedang. Menurut Nurrahman, dkk (2009) bahwa hal ini menunjukkan
bahwa telah terjadi tekanan oleh faktor luar yang menyebabkan hilangnya spesies tertentu,
hilangnya jenis tumbuhan tertentu dalam vegetasi diakibatkan penebangan dan rendahnya
regenerasi.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Sitompul, dkk (2014) bahwa
rendahnya nilai Indeks Keanekaragaman di Pantai Bali tingkat semai dan pancang.
Rendanya nilai indeks keanekaragaman ini juga dipengaruhi oleh faktor anthrophogenic
yang berdasarkan pengamatan langsung terjadi penebangan. Selain itu juga luasan pantai
potensi untuk “nursery or hatching area” bagi biota yang tinggal di kawasan mangrove
ini.
Indeks keseragaman pada tingkat semai tertinggi terdapat pada stasiun IV dengan
nilai indeks 0.86, pada tingkat pancang nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada
stasiun III dengan nilai indeks 0.96 dan pada stasiun IV dengan nilai indeks yang sama
yaitu 0.96 dan pada tingkat pohon nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasin I
dengan nilai indeks 1,06.
Berdasarkan nilai indeks keseragaman pada tingkat semai di stasiun IV
menunjukkan nilai > 0.6, berdasarkan kriteria dalam Magurran (1998) di acu oleh
Prasetyo, dkk (2014) bahwa tingkat keseragaman jenis mangrove pada tingkat semai di
stasiun I tergolong tinggi, dan indeks keseragaman jenis mangrove pada stasiun II, III, IV
dan V juga tergolong tinggi karena > 0.6.
Nilai indeks keseragaman pada tingkat pancang di stasiun I, II, III, IV dan V
menunjukkan nilai lebih besar > 0.6, berdasarkan kriteria dalam Magurran (1998) di acu
oleh Prasetyo, dkk (2014) bahwa tingkat keseragaman jenis mangrove pada tingkat
pancang di stasiun I, II, III, IV dan V tergolong tinggi.
Berdasarkan nilai indeks keseragaman pada tingkat pohon di stasiun I, II, III, IV
dan V menunjukkan nilai lebih besar > 0.6, berdasarkan kriteria dalam Magurran (1998) di
acu oleh Prasetio, dkk (2014) bahwa tingkat keseragaman jenis mangrove pada tingkat
pohon di stasiun I, II, III, IV dan V menunjukkan kemerataan jenis mangrove tergolong
tinggi dan cocoknya karakteristik lokasi bagi jenis mangrove lain untuk berkembang.
Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi). Dalam
ekosistem mangrove. Hasil pengukuran suhu dilapangan masih menunjukkan kisaran suhu
yang idel yaitu antara 28°C - 31°C. Kisaran nilai ini masih dalam batas toleransi mangrove
dan dapat dikatakan baik untuk pertumbuhan mangrove. Menurut Eriza (2010) yang
menyatakan bahwa Rhizophora, stylosa, Bruguiera, Ceriops, Excocaria dan Lumnitzera
tumbuh optimal pada suhu 26-28°C. Menurut Setyawan, dkk (2002) menyatakan bahwa
kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan mangrove adalah 18-30 °C, akan tetapi
beberapa jenis mangrove dapat bertoleransi pada suhu tinggi. perbedaan suhu pada habitat
mangrove disebabkan oleh intensitas cahaya matahari yang diterima oleh badan air.
Fluktuasi suhu air yang terjadi antar masing-masing stasiun tidak terlalu signifikan.
Adanya variasi suhu disebabkan oleh perbedaan waktu pengukuran dimana waktu
pengukuran erat kaitannya dengan intensitas cahaya matahari yang diserap oleh air. Suhu
yang ada pada masing-masing stasiun penelitian lebih banyak disebabkan oleh faktor
intensitas cahaya matahari yang terpapar langsung di lingkungan mangrove sehingga lebih
menyebabkan suhu di kelima stasiun berubah-ubah sesuai dengan kondisi di wilayah
tersebut.
Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh kadar salinitas pada setiap stasiun berkisar
antara 21 ‰ – 29 ‰. Kadar salinitas tersebut masih sesuai dengan kisaran salinitas untuk
mendukung pertumbuhan mangrove. Menurut Eriza (2010) bahwa salinitas optimum yang
dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt. Salinitas secara langsung
mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi
penggenangan. Salinitas akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam
Pengukuran pH air secara in situ menunjukkan bahwa kisaran pH air pada kelima
stasiun pengamatan pada umumnya berkisar antara 6,6 – 7,8. (Tabel 8) Berdasarkan
pengukuran kualitas yang dilakukan pH tersebut masih sesuai dengan kisaran pH yang
mendukung pertumbuhan mangrove. Menurut Suwondo dkk, (2006) menyatakan bahwa
kisaran pH 6,5 – 9 masih mendukung kehidupan perairan hutan mangrove. Disamping itu
jenis dan ketebalan substrat yang lempung berlumpur dan lumpur sedikit berpasir juga
mendukung kehidupan mangrove.
Karakteristik Substrat
Karakteristik substrat diketahui untuk menentukan kehidupan komunitas mangrove.
Substrat di daerah hutan mangrove mempunyai ciri-ciri selalu basah, mengandung garam,
berbutir-butir dan kaya akan bahan organik. Menurut Setiawan (2013) di acu oleh
Sitompul, dkk (2014) bahwa penelitian tentang karakteristik substrat sangat penting di
lakukan untuk menunjang kegiatan rehabilitasi mangrove.
Karakteristik substrat yang diamati meliputi derajat keasaman (pH) dan fraksi
substrat (Tabel 9 dan Tabel 10). Nilai pH tanah pada setiap stasiun mengalami fluktuatif.
Kisaran nilai pH tanah yang didapat adalah 5,00 – 7,21. Berdasarkan nilai pH tersebut
maka nilai pH substrat dalam kisaran asam – basa. Nilai pH terendah terdapat pada stasiun
V plot 1 dan plot 2 (5,00 dan 5,67). Menurut Rahman (2010) mengungkapkan bahwa nilai
pH pada kawasan mangrove akan mudah berkembang menjadi tanah asam. Hal ini
disebabkan karena di bawah vegetasi mangrove terdapat bahan-bahan organik yang berasal
dibeberapa plot dalam stasiun pengamatan diduga dipengaruhi tingginya bahan organik
berupa serasah mangrove. Stasiun V merupakan lokasi pengamatan yang paling dekat ke
arah daratan dan merupakan bekas areal pertambakan masyarakat setempat. Adapun
keberadaan kegiatan lain di sekitar lokasi di duga ikut berperan sebagai pemicu lain
rendahnya nilai pH substrat di lokasi ini. Perombakan bahan-bahan organik oleh kegiatan
mikroorganisme akan menghasilkan senyawa asam yang berpotensi menurunkan nilai pH.
Hasil analisis tekstur substrat menunjukkan bahwa setiap stasiun memiliki
komposisi fraksi debu, liat dan pasir yang tidak jauh berbeda. Fraksi pasir tertinggi adalah
di V plot 2 sebesar 68% dan terendah di stasiun III plot 1 dan stasiu IV plot 3 yaitu 22%.
Fraksi debu tertinggi terdapat pada stasiun II plot 1 sebesar 48% dan terendah di stasiun V
plot 2 yaitu 2%. Untuk fraksi liat komposisi tertinggi ditemukan pada stasiun III plot 1
mencapai 48% dan terendah pada stasiun I plot 1 yaitu hanya mencapai 8%.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan tipe substrat lempung berpasir lebih
dominan di temukan pada stasiun I di ketiga plot pengamatan. Pada substrat lempung
berpasir didominasi oleh S. alba. Sesuai dengan pernyataan Noor, dkk (2006) bahwa S.
alba menyukai tanah yang bercampur lumpur dan pasir, sering ditemukan di lokasi pesisir
yang terlindung dari hempasan gelombang. Akar nafas tidak terdapat pada pohon yang
tumbuh pada substrat yang keras.
Tipe substrat dan lempung berliat lebih dominan ditemukan pada stasiun II plot 2
dan plot 3. Pada substrat lempung berliat di dominasi oleh R.apiculata. Hal ini karena R.
apiculata dapat tumbuh pada tanah berlumpur, halus dalam, dan tergenang pada saat
pasang normal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jamili dkk, (2009) bahwa salah satu ciri
daerah lumpur dan penyerapan unsur hara. Rhizophora spp. merupakan jenis pionir pada
endapan lumpur yang terbentuk di depan formasi mangrove paling luar (arah laut).
Tipe substrat liat lebih dominan ditemukan pada stasiun III di ketiga plot
pengamatan dan stasiun IV pada plot 2 dan 3. Pada substrat liat di dominasi oleh
Rhizophora spp. dan Avicennia spp. dan Bruguiera spp. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Noor dkk, (2006) yang menyatakan bahwa Avicennia spp tumbuh pada daratan lumpur,
Rhizophora spp tumbuh pada habitat beragam di daerah pasang surut dan lumpur dan
Bruguiera spp bisasanya tumbuh pada tanah liat di belakang zona Avicennia atau dibagian
tengah vegetasi mangrove ke arah laut.
Pasang Surut
Perairan Pulau Sembilan dikategorikan pasang surut campuran condong ke harian
tunggal dimana dalam satu hari terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan periode
yang berbeda. Menurut Wyrtki dalam Lisnawati (2013) bahwa tipe pasang surut campurran
condong harian tunggal ini disebabkan karena lokasi perairan tersebut berdekatan dan
terdapat dalam satu jalur perairan. Pasang tertinggi terjadi pada tanggal 3 April 2016
dengan ketinggian air laut 134.69 cm dan surut terendah pada tanggal 4 April 2016berada
dengan nilai -139.67 cm
Upaya Pengelolaan Mangrove
Upaya pengelolaan mangrove untuk kawasan mangrove di Dusun II Desa Pulau
Sembilan ini perlu dilakukan pada beberapa titik karena dijumpai jumlah kerapatan
mangrove yang bervariasi sesuai dengan aktivitas yang ada pada lokasi tersebut. Pada
mengurangi kepadatan mangrove didaerah tersebut. Pada stasiun II, III dan IV merupakan
lokasi yang dialiri garis sungai Pulau Sembilan dan merupakan jalur yang dilintasi oleh
nelayan sekitar yang diduga juga terapat aktivitas para nelayan yang memanfaatkan
mangrove yang diindikasikan dapat mempengaruhi kerapatan dan frekuensi mangrove
dibeberapa lokasi tersebut. Pada stasiun V merupakan areal bekas lahan pertambakan
masyarakat setempat yang diindikasikan dapat mempengaruhi keseimbangan antar
komponen dikawasan mangrove tersebut. Dengan demikian perlu dilakukan pengelolaan
dan pengendalian pemanfaatan agar kondisi ekologi tetap terjaga. Oleh karena itu upaya
pengelolaan mangrove yang lebih tepat untuk kawasan ini adalah dengan sistem
rehabilitasi dibeberapa titik.
Menurut Rahman (2010) bahwa kajian utama dari ekologi mangrove adalah
mangrove itu sendiri dan hubungannya dengan komunitas lain sebagai pengguna ekosistem
tersebut. Tidak terlepas dari hal ini, sejumlah pengaruh parameter lingkungan pun ikut
berperan dalam menentukan stastus ekologi manrove di kawasan ini baik karakteristik
lingkungan perairan mapun substrat/tanah. Secara umum kawasan Dusun II Desa Pulau
Sembilan memiliki sejumlah kategori tegakan mangrove yang bervariasi mulai dari pohon,
pancang dan semai. Pada kawasan ini sudah pernah dilakukan rehabilitasi mangrove pada
beberapa tahun terakhir ini. Oleh karena itu upaya pengelolaan mangrove untuk kawasan
ini adalah sistem rehabilitasi mangrove yang harus ditingkatkan lagi oleh instansi tertentu,
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan terkait struktur dan komposisi mangrove di
Dusun II Desa Pulau Sembilan dengan kerapatan stasiun I 4800 ind/ha, stasiun II 4766
ind/ha, stasiun III 4067 ind/ha, stasiun IV 4800 ind/ha dan stasiun V 3666 ind/ha.
2. Kondisi perairan pada ekosistem mangrove di Dusun II Desa Pulau Sembilan untuk
parameter suhu, salinitas, arus, pH air dan pH tanah masih tergolong ideal (optimum)
untuk pertumbuhan mangrove.
3. Status kondisi mangrove di Dusun II Desa Pulau Sembilan berdasarkan kriteria baku
kerusakan mangrove (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004) dengan
nilai kerapatan > 1500 ind/ha, dikategorikan dalam kriteria baik (padat).
Saran
Sebaiknya dilakukan tindakan manajemen pengelolaan terhadap kawasan hutan
mangrove di Dusun II Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten
Langkat Sumatera Utara, tingkat kesadaran dan peran masyarakat sekitar lebih
ditingkatkan lagi agar rehabilitasi hutan mangrove tetap berkelanjutan sehingga kelestarian
hutan mangrove tetap terjaga dengan baik demi keberlangsungan ekosistem pesisir di
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Mangrove
Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian
No.60/Kpts/DJ/I/1978 hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat disepanjang pantai
atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada waktu
pasang dan bebas genangan pada waktu surut. Dari sudut ekologi, hutan mangrove
merupakan bentuk ekosistem yang unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsur
biologis penting yang fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa (Departemen
Kehutanan, 1992).
Menurut Nybakken (1992) menyatakan hutan mangrove sebagai formasi tumbuhan
litoral yang tumbuh di daerah pantai yang terlindung dari ombak besar dan umumnya
tersebar di daerah tropis dan subtropis, vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang
surut yang diatasnya ditimbuni selapis pasir (lumpur) atau pada pantai berlumpur. Hutan
mangrove merupakan suatu komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohonan yang khas yang memiliki kemampuan untuk tumbuh di
lingkungan laut.
Tempat ideal bagi pertumbuhan hutan mangrove adalah sekitar pantai, delta, muara
sungai yang arus sungainya banyak mengandung pasir dan lumpur serta umumnya pada
pantai yang landai yang terhindar dari ombak besar. selain tempat hidupnya berbagai jenis
satwa tersebut, hutan mangrobe juga berperan dalam keberlanjuran ekosistem pantai dan
Ciri-Ciri Ekosistem Mangrove
Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang
unik, adalah memiliki jenis pohon yang relatif sedikit, memiliki akar tidak beraturan
(pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau
Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada Sonneratia spp., dan
pada api-api Avicennia spp., memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di
pohonnya. Khususnya pada Rhizophora spp., memiliki banyak lentisel pada bagian kulit
pohon. Sedangkan tempat hidup hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan
memiliki ciri-ciri khusus diantaranya adalah tanahnya tergenang air laut secara berkala,
baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat pasang pertama, menerima pasokan air
tawar yang cukup dari darat, airnya berkadar garam (bersalinitas) payau hingga asin
(Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia, 2008).
Vegetasi Hutan Mangrove
Berdasarkan Bengen (2001) jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove,
umumnya mangrove di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya dapat
dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut; (1). Zona api-api-prepat (Avicennia spp.,
- Sonneratia spp.,) terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah
berlumpur agak lembek (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik
dan kadar garam agak tinggi, (2). Zona bakau (Rhizophora spp.,) biasanya terletak
dibelakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek (dalam). Pada umumnya
didominasi bakau (Rhizophora spp.,) dan dibeberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan
jenis lain seperti tanjang (Bruguiera spp.), (3). Zona tanjang (Bruguiera spp.), terletak
ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera spp.), dan dibeberapa tempat berasosiasi dengan jenis
lain, (4). Zona nipah (Nypa fruticans) terletak paling jauh dari laur atau paling dekat ke
arah darat. Zona ini mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona
lainnya, tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berasal
ditepi-tepi disungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fruticans) dan
beberapa spesies palem lainnya.
Karakteristik Vegetasi Hutan Mangrove
Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Telah
diketahui lebih dari 20 famili flora mangrove dunia yang terdiri dari 30 genus dan lebih
kurang 80 spesies. Sedangkan jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove
Indonesia adalah sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis
perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Soerianegara, 1987 diacu oleh Eriza,
2010)
Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi 3 kelompok yaitu; (1). Flora
mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan kesetiaan
terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan
mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus
(bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme
fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia spp., Rhizophora spp.,
Bruguiera spp., Ceriops spp., Kandelia spp., Sonneratia spp., Lumnitzera spp.,
Laguncularia spp., dan Nypa fruticans, (2). Flora mangrove minor, yakni flora mangrove
yang tidak mampu membentuk tegakan murni sehingga secara morfologis tidak berperan
Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis dan Pelliciera, (3).
Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus dan
lain-lain.
Struktur dan Zonasi Hutan Mangrove
Menurut Kusmana (1995) menyatakan bahwa hutan mangrove dapat dibagi
menjadi lima bagian berdasarkan frekuensi air pasang yaitu, zonasi yang terdekat dengan
laut akan didominasi oleh Avicennia spp., dan Sonneratia spp., tumbuh pada lumpur lunak
dengan kandungan organik yang tinggi. Avicennia spp., Tumbuh pada substrat yang agak
keras, sedangkan Avicennia alba tumbuh pada substrat yang agak lunak, zonasi yang
tumbuh pada tanah kuat dan cukup keras, zonasi yang tumbuh pada tanah kuat dan cukup
keras serta dicapai oleh beberapa air pasang. Zonasi ini sedikit lebih tinggi dan biasanya
didominasi oleh Bruguiera cylindrica, kearah daratan lagi, zonasi yang didominasi oleh
Rhyzophora mucronata dan Rhyzophora apiculata. Jenis Rhyzophora mucronata lebih
banyak dijumpai pada kondisi yang agak basah dan lumpur yang agak dalam. Pohon lain
yang juga mencakup Bruguiera parviflora dan Xylocarpus granatum. Hutan yang
didominasi oleh Bruguiera parviflora sering dijumpai tanpa jenis pohon lainnya, hutan
mangrove dibelakang didominasi oleh Bruguiera gymnorhiza. Pola zonasi mangrove dapat