Lampiran 1. Lanjutan Stasiun III
Pohon
No. Nama Jlh ind (ind/ha) Plot Kerapatan
1. A. floridum 5 1 167
2. A. lanata 12 2 400
3. A. marina 7 1 233
4. B. cylindrica 10 2 333
5. C. decandra 8 1 267
6. C. tagal 11 3 367
7. L. littorea 5 1 167
8. N. fruticans 13 3 433
9. R. apiculata 12 3 400
10. R. mucronata 8 2 267
11. R. Stylosa 17 3 567
12. S. ovata 7 1 233
13. X. granatum 7 1 233
Lampiran 2. Kepmen LH No. 201 Tahun 2004
Lampiran I
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 201 Tahun 2004 Tanggal: 13 Oktober 2004
KRITERIA BAKU KERUSAKAN MANGROVE
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
Kriteria Penutupan (%) Kerapatan (pohon/ha)
Baik Sangat Padat ≥75 ≥ 1500
Sedang ≥50 − < 75 ≥ 1000 − < 1500
Lampiran 3. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan
Diambil sebanyak 100 ml Dititrasi Na
yang terpakai (= nilai DO akhir)
Sampel Air
Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat
Larutan Sampel Berwarna Coklat
Lampiran 5. Kepmen LH No. 51 Tahun 2004
BAKU MUTU AIR LAUT UNTUK BIOTA LAUT
No Parameter Satuan Baku Mutu
Padatan tersuspensi totalb
Sampah
PCB total (poliklor bifenil) Surfaktan (deterjen)
Minyak & lemak Pestisidaf
TBT (tributil tin)7
No Parameter Satuan Baku Mutu
Komposisi yang tidak diketahui
mg/l
1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan)
2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional.
3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim).
4. Pengamatan oleh manusia (visual ).
5. Pengamatan oleh manusia (visual ). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer ) dengan ketebalan 0,01mm
6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan plankton itu sendiri.
7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal
a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2
musiman
d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH
e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman
f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata
musiman]
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Lampiran 6. Data Analisis Moluska Minggu I
Stasiun I
Nama Spesies ∑ ind K (ind/m) Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Keseragaman Indeks Dominansi H maks
Cerithidea cingulata 17 17 1,676658389 0,465909132 0,072814311 3,5986811
Cerithidea obtusa 5 5 0,006298816
Nassarius dorsatus 3 3 0,002267574
Nerita balteata 19 19 0,0909549
Chicoreus capucinus 13 13 0,042579995
Telescopium telescopium 3 3 0,002267574
Littorina melanostoma 3 3 0,002267574
Jumlah 63 63 0,219450743
Stasiun II
Nama Spesies ∑ ind K (ind/m) Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Keseragaman Indeks Dominansi H maks
Cerithidea cingulata 14 14 1,480166027 0,399772951 0,038881174 3,7025167
Cerithidea obtusa 4 4 0,003173973
Nerita balteata 25 25 0,123983337
Chicoreus capucinus 22 22 0,096012696
Telescopium telescopium 3 3 0,00178536
Littorina melanostoma 3 3 0,00178536
Lampiran 6. Lanjutan Stasiun III
Nama Spesies ∑ ind K (ind/m) Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Keseragaman Indeks Dominansi H maks
Cerithidea cingulata 18 18 1,396253984 0,378368508 0,066122449 3,6901961
Nassarius dorsatus 2 2 0,000816327
Nerita balteata 33 33 0,222244898
Chicoreus capucinus 14 14 0,04
Telescopium telescopium 2 2 0,000816327
Littorina melanostoma 1 5 0,000204082
Jumlah 70 74 0,330204082
Minggu II Stasiun I
Nama Spesies ∑ ind K (ind/m) Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Keseragaman Indeks Dominansi H maks
Cerithidea cingulata 9 9 1,628753662 0,489774768 0,038279773 3,325515663
Cerithidea obtusa 2 2 0,001890359
Nassarius dorsatus 3 3 0,004253308
Nerita balteata 13 13 0,079867675
Chicoreus capucinus 15 15 0,106332703
Telescopium telescopium 2 2 0,001890359
Littorina melanostoma 2 2 0,001890359
Lampiran 6. Lanjutan Stasiun II
Nama Spesies ∑ ind K (ind/m) Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Keseragaman Indeks Dominansi H maks
Cerithidea cingulata 5 5 1,412787194 0,457488645 0,020408163 3,088136089
Nassarius dorsatus 1 1 0,000816327
Nerita balteata 15 15 0,183673469
Chicoreus capucinus 10 10 0,081632653
Telescopium telescopium 1 1 0,000816327
Littorina melanostoma 3 3 0,007346939
Jumlah 35 35 0,294693878
Stasiun III
Nama Spesies ∑ ind K (ind/m) Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Keseragaman Indeks Dominansi H maks
Cerithidea cingulata 7 7 1,270526851 0,396529112 0,030625 3,204119983
Nerita balteata 15 15 0,140625
Chicoreus capucinus 14 14 0,1225
Littorina melanostoma 4 4 0,01
Minggu III Stasiun I
Nama Spesies ∑ ind K (ind/m) Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Keseragaman Indeks Dominansi H maks
Cerithidea cingulata 1 1 1,542289668 0,456245783 0,000416493 3,3803922
Nerita balteata 15 15 0,093710954
Chicoreus capucinus 12 12 0,05997501
Littorina scabra 5 5 0,010412328
Telescopium telescopium 3 3 0,003748438
Littorina melanostoma 13 13 0,070387339
Jumlah 49 49 0,238650562
Stasiun II
Nama Spesies ∑ ind K (ind/m) Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Keseragaman Indeks Dominansi H maks
Cerithidea cingulata 2 2 1,560710409 0,723099301 0,027777778 2,158362
Cerithidea obtusa 2 2 0,027777778
Nerita balteata 4 4 0,111111111
Chicoreus capucinus 2 2 0,027777778
Littorina scabra 2 2 0,027777778
Lampiran 6. Lanjutan Stasiun III
Nama Spesies ∑ ind K (ind/m) Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Keseragaman Indeks Dominansi H maks
Cerithidea obtusa 1 1 1,064315404 0,380672775 0,0016 2,79588
Nerita balteata 3 3 0,0144
Chicoreus capucinus 14 14 0,3136
Littorina melanostoma 7 7 0,0784
Jumlah 25 25 0,408
Minggu IV Stasiun I
Nama Spesies ∑ ind K (ind/m) Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Keseragaman Indeks Dominansi H maks
Cerithidea cingulata 3 3 1,557882031 0,476863213 0,004867496 3,266937
Nassarius dorsatus 1 1 0,000540833
Nerita balteata 19 19 0,195240671
Chicoreus capucinus 10 10 0,054083288
Littorina scabra 4 4 0,008653326
Telescopium telescopium 4 4 0,008653326
Littorina melanostoma 2 2 0,002163332
Lampiran 6. Lanjutan Stasiun II
Nama Spesies ∑ ind K (ind/m) Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Keseragaman Indeks Dominansi H maks
Cerithidea cingulata 26 26 0,760526775 0,244337709 0,521604938 3,112605
Nerita balteata 3 3 0,006944444
Chicoreus capucinus 7 7 0,037808642
Jumlah 36 36 0,566358025
Stasiun III
Nama Spesies ∑ ind K (ind/m) Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Keseragaman Indeks Dominansi H maks
Cerithidea cingulata 6 6 1,357977855 0,629170429 0,25 2,158362
Littorina scabra 1 1 0,006944444
Nerita balteata 2 2 0,027777778
Chicoreus capucinus 2 2 0,027777778
Pugilina cochlidium 1 1 0,006944444
Lampiran 6. Lanjutan Minggu IV
Stasiun I
Nama Spesies ∑ ind K (ind/m) Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Keseragaman Indeks Dominansi H maks
Cerithidea cingulata 2 2 1,306185206 0,419643741 0,00308642 3,112605
Cerithidea obtusa 1 1 0,000771605
Littorina scabra 10 10 0,077160494
Nerita balteata 18 18 0,25
Chicoreus capucinus 4 4 0,012345679
Littorina melanostoma 1 1 0,000771605
Jumlah 36 36 0,344135802
Stasiun II
Nama Spesies ∑ ind K (ind/m) Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Keseragaman Indeks Dominansi H maks
Cerithidea cingulata 25 25 0,804672564 0,26730644 0,610351563 3,0103
Cerithidea obtusa 3 3 0,008789063
Nerita balteata 1 1 0,000976563
Chicoreus capucinus 2 2 0,00390625
Littorina melanostoma 1 1 0,000976563
Lampiran 6. Lanjutan Stasiun III
Nama Spesies ∑ ind K (ind/m) Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Keseragaman Indeks Dominansi H maks
Cerithidea cingulata 4 4 1,214889654 0,636572801 0,197530864 1,908485
Littorina scabra 1 1 0,012345679
Chicoreus capucinus 3 3 0,111111111
Pugilina cochlidium 1 1 0,012345679
Lampiran 7. Alat dan Bahan Penelitian Alat
GPS (Global Positioning System) Kamera
pH meter Refraktometer
63
Lampiran 7. Lanjutan
Toolbox Botol winkler
Erlenmeyer Meteran
Lampiran 7. Lanjutan
Parang Bahan
Tali plastik Tisu
Lampiran 7. Lanjutan
Aquades Plastik
Lakban Buku panduan mangrove
Lampiran 7. Lanjutan
Lampiran 8. Data ANOVA hubungan Kerapatan Mangrove terhadap Kepadatan Moluska Minggu I
Anova: Single Factor ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 28418561 1 28418560,67 540,8715032 2,02595E-05 7,7086474 Within Groups 210168,7 4 52542,16667
Total 28628729 5
Minggu II
Anova: Single Factor ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 28798504 1 28798504,17 548,1131462 1,97309E-05 7,7086474 Within Groups 210164,7 4 52541,16667
Total 29008669 5
Lampiran 8. Lanjutan Minggu III
Anova: Single Factor ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 28952067 1 28952066,67 549,3524934 1,96425E-05 7,7086474 Within Groups 210808,7 4 52702,16667
Total 29162875 5
Minggu IV
Anova: Single Factor ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 28930104 1 28930104,17 549,3944434 1,96395E-05 7,7086474 Within Groups 210632,7 4 52658,16667
Total 29140737 5
Lampiran 8. Lanjutan Minggu V
Anova: Single Factor ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 28991620 1 28991620,17 550,8346322 1,95376E-05 7,7086474 Within Groups 210528,7 4 52632,16667
Total 29202149 5
Pengamatan setiap Minggu
Anova: Single Factor ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 28817787 1 28817786,73 548,318179 1,97162E-05 7,708647421 Within Groups 210226,7 4 52556,68667
Lampiran 9. Data ANOVA hubungan Kandungan C-organik Substrat terhadap Kepadatan Moluska Minggu I
Anova: Single Factor ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 6501,042 1 6501,042 402,0019582 3,65197E-05 7,708647421 Within Groups 64,68667 4 16,17167
Total 6565,728 5
Minggu II
Anova: Single Factor ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 2035,042 1 2035,042 134,1343513 0,000317533 7,708647421 Within Groups 60,68667 4 15,17167
Lampiran 9. Lanjutan Minggu III
Anova: Single Factor ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 950,0417 1 950,0417 5,392704086 0,080939393 7,708647421 Within Groups 704,6867 4 176,1717
Total 1654,728 5
Minggu IV
Anova: Single Factor ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 1080,042 1 1080,042 8,171506753 0,045995148 7,708647421 Within Groups 528,6867 4 132,1717
Total 1608,728 5
Lampiran 9. Lanjutan Minggu V
Anova: Single Factor ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 737,0417 1 737,0417 6,941980754 0,057896684 7,708647421 Within Groups 424,6867 4 106,1717
Total 1161,728 5
Pengamatan setiap Minggu
Anova: Single Factor ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 1876,202 1 1876,202 61,13065 0,0014444 7,708647 Within Groups 122,7667 4 30,69167
Lampiran 10. Gambar Spesies Moluska yang ditemukan
Klasifikasi Nerita balteata Kingdom : Animalia Filum : Moluska Kelas : Gastropoda Ordo : Neogastropoda Famili : Nassaridae Genus : Nerita
Spesies : N. balteata (Reeve, 1855) Nama umum : Nerita lineata
Nama lokal : Siput hijau
Klasifikasi Chicoreus capucinus Kingdom : Animalia Filum : Moluska Kelas : Gastropoda Ordo : Neogastropoda Famili : Muricidae Genus : Chicoreus
Spesies : C. Capucinus (Lamarck, 1822) Nama umum : Mangrove murex
Nama lokal : Siput laut
Lampiran 10. Lanjutan
Klasifikasi Nassarius dorsatus Kingdom : Animalia Filum : Moluska Kelas : Gastropoda Ordo : Neogastropoda Famili : Nassaridae Genus : Nassarius
Spesies : N. dorsatus (Roding, 1978) Nama umum : Channeled nassa
Nama lokal : Siput laut
Klasifikasi Littorina scabra Kingdom : Animalia Filum : Moluska Kelas : Gastropoda Ordo : Mesogastropoda Famili : Littorinidae Genus : Littorina
Spesies : L. Scabra (Linnaeus, 1758) Nama umum : Helix scabra
Lampiran 10. Lanjutan
Klasifikasi Cerithidea cingulata Kingdom : Animalia Filum : Moluska Kelas : Gastropoda Ordo : Caenogastropoda Famili : Potamididae Genus : Cerithidea
Spesies : C. Cingulata (Gmelin, 1791) Nama umum : Murex cingulatus
Nama lokal : Siput tanduk
Klasifikasi Pugilina cochlidium Kingdom : Animalia Filum : Moluska Kelas : Gastropoda Ordo : Neogastropoda Famili : Melongenidae Genus : Pugilina
Spesies : P. Cochlidium (Linnaeus, 1758) Nama umum : Spiral melongena
Nama lokal : Siput laut
Lampiran 10. Lanjutan
Klasifikasi Cerithidea obtusa Kingdom : Animalia Filum : Moluska Kelas : Gastropoda Ordo : Caenogastropoda Famili : Potamididae Genus : Cerithidea
Spesies : C. Obtusa (Lamarck, 1822) Nama umum : Chut-chut
Nama lokal : Siput nenek
Klasifikasi Littorina melanostoma Kingdom : Animalia
Filum : Moluska Kelas : Gastropoda Ordo : Mesogastropoda Famili : Littorinidae Genus : Littorina
Spesies : L. Melanostoma (Gray, 1839) Nama umum : Kuchiguro
71
Lampiran 10. Lanjutan
Klasifikasi Telescopium telescopium Kingdom : Animalia
Filum : Moluska Kelas : Gastropoda Ordo : Mesogastropoda Famili : Potamididae Genus : Telescopium
Spesies : T. telescopium (Linnaeus, 1758) Nama umum : Horn snail
Lampiran 11. Dokumentasi Kegiatan Penelitian
Transek pohon mangrove Pengukuran DO air
Pengambilan sampel Moluska Pengukuran pH air
73
Lampiran 11. Lanjutan
DAFTAR PUSTAKA
Aflaha, E. 2014. Manfaat Mangrove sebagai Pelestarian Lingkngan Hidup di Desa Olaya Kecamatan Parigi Kabupaten Parigi Moutong. Program Studi Pendidikan Geografi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako, Palu. Alwidakdo, A., Z. Azham dan L. Kamarubayana. 2014. Studi Pertumbuhan
Mangrove pada Kegiatan Rehabilitasi Hutan Mangrove di Desa Tanjung Limau Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara. Jurnal Agrifor ISSN : 1412 – 6885 11 Vol. 13 ; No. 1. Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, Kalimantan Timur.
Ayunda, R. 2011. Struktur Komunitas Gastropoda pada Ekosistem Mangrove di Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi Biologi Universitas Indonesia, Jakarta. Bachry, S. 2013. Analisis Keanekaragaman Gastropoda pada Hutan Mangrove di
Kawasan Taman Nasional Bunaken Sulawesi Utara. Universitas Negeri Manado, Manado.
Bengen, D. G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove, Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor.
Berry, A. J dan E. Chew. 1973. Reproductive Systems and Cyclic of eggs in Littorina melanostoma from Malayan Mangrove Swamps (Mollusca : Gastropoda). Marine Zoology Vol. 171 ; No. 3 ; Hal. 333-344. University of Singapore, Singapore.
Carpenter, K. E. dan V. H. Niem. 1998. The Living Marine Resource of the Western Central Pacific Vol. 1Seaweeds, Corals, Bivalves and Gastropods. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome, Italy.
Chan, S. Y. 2009. The Melongenidae (Mollusca: Gastropoda) of Singapore. Nature in Singapore Vol. 2 ; Hal. 63–67. National University of Singapore, Singapore.
Darmadi, M. W., Lewaru dan A. M. A. Khan. 2012. Struktur Komunitas Vegetasi Mangrove berdasarkan Karakteristik Substrat di Muara Harmin Desa Cangkring Kecamatan Cantigi Kabupaten Indramayu. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjajaran, Bandung.
Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia. PT. Sarana Graha, Jakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Cetakan Kelima. Kanisius, Yogjakarta.
Enger, E. D dan B. F. Smith. 2000. Environmental Science, sixth edition. Mc-Graw Hill, New York.
Ernanto, R., F. Agustriani dan R. Aryawati. 2010. Struktur Komunitas Gastropoda pada Ekosistem Mangrove di Muara Sungai Batang Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan. Maspari Journal 01 Hal. 73-78. Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya, Palembang.
Faozan, M. 2004. Kepadatan dan Penyebaran Kepiting Berukuran Kecil di Ekosistem Hutan Mangrove Muara Sungai Bengawan Solo Kecamatan Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hartoni dan A. Agussalim. 2013. Komposisi dan Kelimpahan Moluska (Gastropoda dan Bivalvia) di Ekosistem Mangrove Muara Sungai Musi Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Maspari Journal Vol. 5 ; No. 1 ; Hal. 6-15. Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya, Palembang.
Hutabarat dan Evans. 1986. Kunci Identifikasi Plankton. Universitas Indonesia, Jakarta.
Hobri. 2013. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dan Sains. Penerbit FKIP Universitas Jember. Jawa Timur.
Irawan, I. 2008. Struktur Komunitas Moluska (Gastropoda dan Bivalvia) serta Distribusinya di Pulau Burung dan Pulau Tikus Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu. Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Jesus, A. 2012. Kajian Kondisi Ekosistem Mangrove di Sub Distrik Bazartete Distrik Liquisa Timor-Leste. Jurnal Kelautan ISSN : 1907-9931 Vol. 5 ; No. 2. Pascasarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004. Tentang Baku Mutu Air Laut.
Kusmana, C. 1997. Metode Survei Vegetasi. Penerbit Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kusmana, C., S. Wilarso., I. Hilwan., P. Pamoengkas., C. Wibowo., T. Tiryana., A. Triswanto., Yunasfi dan Hamzah. 2005. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Laksmana, S. T. 2011. Lama Waktu Pemangsaan dan Ukuran Lubang Pengeboran Chicoreus capucinus (Neogastropoda : Muricidae) terhadap Cerithdea cingulata (Mesogastropoda : Potamididae). Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Departemen Biologi Univesitas Indonesia, Depok. Lihawa, Y., F. M. Sahami dan C. Panigoro. 2004. Keanekaragaman dan
Kelimpahan Gastropoda Ekosistem Mangrove Desa Lamu Kecamatan Tilamuta Kabupaten Boalemo. Universitas Gorontalo, Gorontalo.
Leandha, M. 2015. Hutan Bakau Nyaris Hilang di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kompas.com, Medan.
Marpaung, A. A. F. 2013. Keanekaragaman Makrozoobentos di Ekosistem Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami Kawasan Ekowisata Pantai Boe Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. Program Studi Ilmu Kelautan Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar
Monika, N. S. 2013. Struktur Komunitas Makrozoobentos pada Ekosistem Mangrove di Pesisir Distrik Merauke, Kabupaten Merauke. Program Studi Pengelolaan Lingkungan Hidup Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar
Nasution, S dan Zulkifli. 2014. Species Richness and Abundance of Bivalvia and Gastropoda (Molluscs) in Mangrove Forest of Dumai City, Riau Province. International Journal of Innovation and Applied Studies ISSN 2028‐9324 Vol. 9 ; No. 4 ; Hal. 1981-1986. Marine Biology Laboratory Fisheries and Marine Science Faculty University of Riau, Riau.
Nugroho, A. 2006. Bioindikator Kualitas Air. Universitas Trisakti. Jakarta.
Nurrudin., A. Hamidah dan W. D. Kartika. 2015. Keanekaragaman Jenis Gastropoda di Sekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Parit 7 Desa Tungkal I Tanjung Jabung Barat. Biospecies Vol. 8 ; No.2 ; Hal. 51-60. Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Jambi, Jambi.
Nontji, A. 1987. Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Kondisi Kritis Hutan Mangrove di Kabupaten Pamekasan. Jurnal Kelautan Vol. 2 ; No. 2. Bogor.
Noor, Y. K., M. Khazali dan I. N. N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor.
Odum, E. P. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan Samingan T. Gadjah Mada. University of Gadjah Mada Press, Yogyakarta.
Patty, S. I. 2015. Karakteristik Fosfat Nitrat dan Oksigen Terlarut di Perairan Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis Vol. 1 ; No. 1. UPT. Loka Konservasi Biota Laut Bitung-LIPI, Sulawesi Utara.
Pelu, R. 2011. Biologi Laut tentang Spesies dari Class Gastropoda. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun, Ternate.
Ramli, D. 1989. Ekologi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Rangan, J.K. 1996. Struktur dan Tipologi Komunitas Gastropoda pada Zona Hutan Mangrove Perairan Pulau Kulu, Kabupaten. Minahasa Sulawesi Utara. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rangan, J. K. 2010. Inventarisasi Gastropoda di Lantai Hutan Mangrove Desa
Rap-Rap Kabupaten Minahasa Selatan Sulawesi Utara. Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 6 ; No. 1 ; HL. 63-66. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Riniatsih dan E. W. Kushartono. 2009. Substrat Dasar dan Parameter Oseanografi sebagai Penentu Keberadaan Gastropoda dan Bivalvia di Pantai Sluke Kabupaten Rembang. Ilmu Kelautan ISSN 9853-7291 Vol. 14 (1) : 50-59. Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang.
Sadat, A. 2004. Kondisi Ekosistem Mangrove berdasarkan Indikator Kualitas Lingkungan dan Pengukuran Morfometrik Daun di Way Penet Kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sihombing, B., S. Nasution dan Efriyeldi. 2014. Distribusi Kelimpahan Gastropoda Telescopium telescopium di Ekosistem Mangrove Muara Sungai Dumai. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru.
Simanjuntak, M. 2007. Oksigen Terlarut dan Apparent Oxygen Utilization di Perairan Teluk Klabat, Pulau Bangka. Jurna Ilmu Kelautan ISSN 0853 – 7291 Vol. 12 ; No.2 ; Hal. 59-66. Bidang Dinamika Laut, Penelitian Oseanografi-LIPI. Universitas Diponegoro, Semarang.
Susiana. 2011. Diversitas dan Kerapatan Mangrove, Gastropoda dan Bivalvia di Estuari Perancak, Bali. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Setiawan, H. 2013. Status Ekologi Hutan Mangrove pada Berbagai Tingkat Ketebalan (Ecological Status Of Mangrove Forest At Various Thickness Levels). Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea Vol. 2 ; No. 2 ; Hal. 104 – 120. Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Makassar.
Talib, M. F. 2008. Struktur dan Pola Zonasi (Sebaran) Mangrove serta Makrozoobentos yang Berkoeksistensi, di Desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil Kabupaten Kupang. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tan, S. K dan R. Clements, 2008. Taxonomy and Distribution of the Neritidae
(Mollusca: Gastropoda) in Singapore. Zoological Studies Vol. 47 ; No. 4 ; Hal. 481-494. Department of Biological Sciences National University of Singapore, Singapore.
Ulqodry, T. Z., D. G. Bengen dan R. F. Kaswadji. 2010. Karakteristik Perairan Mangrove Tanjung Api-Api Sumatera Selatan Berdasarkan Sebaran Parameter Lingkungan Perairan dengan Menggunakan Analisis Komponen Utama (PCA). Maspari Journal Vol.1 ; Hal.16-21. Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya, Palembang.
Wahyuni, S., A. A. Purnama dan N. Afifah. 2016. Jenis-jenis Moluska (Gastropoda dan Bivalvia) pada Ekosistem Mangrove di Desa Dedap Kecamatan Tasikputripuyu Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pasir Pengaraian, Riau. Vol. 1 ; No. 1.
Wantasen, A. S. 2013. Kondisi Kualitas Perairan dan Substrat Dasar sebagai Faktor Pendukung Aktivitas Pertumbuhan Mangrove di Pantai Pesisir Desa Basaan I, Kabupaten Minahasa Tenggara. Jurnal Ilmiah Platax ISSN: 2302-3589 Vol. 1 ; No. 4. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Waryono, T. 2002 Restorasi Ekologi Hutan Mangrove (Studi Kasus Dki Jakarta). Jurusan Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, Jakarta.
Whitten, A. J., S. J. Damanik., J. Anwar and N. Hisyam. 1987. The Ecology of Sumatra. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Widjojo, S. 2010. Transportasi Sedimen oleh Kombinasi Aliran Permanen dan Gelombang Seragam. Jurnal Media Teknik Sipil Vo. 10 ; No. 2 ; Hal. 75-80.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2016 sampai dengan Mei 2016 di Dusun II Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Identifikasi jenis mangrove dilakukan di Laboratorium Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Pengukuran parameter fisika dan kimia perairan dilakukan di langsung di lapangan dan pengukuran tipe substrat dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan adalah parang, tali rafia, kantong plastik, kompas, Global Positioning System (GPS), alat tulis, kamera, kertas milimeter, meteran,
refraktometer, termometer, botol winkler 250 ml, erlenmeyer 100 ml, suntik,
pipet tetes, buku identifikasi mangrove, pipa paralon diameter 5 inchi, pH meter dan toolbox.
Bahan yang digunakan adalah bagian tumbuhan mangrove sebagai sampel (daun mangrove), MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3, amillum, tissue, kertas
label, karet, tally sheet, sampel Moluska, alkhol 70 % buku identifikasi mangrove (Noor, dkk., 2006) dan buku identifikasi Moluska (Carpenter dan Niem, 1998),
Metode Pengambilan Sampel
Metode yang digunakan adalah purposive random sampling yang dibagi menjadi 3 stasiun. Stasiun pengamatan ditetapkan sebanyak 3 stasiun dengan area sepanjang transek garis yang dibentangkan mulai dari batas laut tumbuhnya mangrove sampai batas daratan di mana mangrove masih tumbuh. Transek dilakukan sepanjang 100 meter dengan pembagian plot pada setiap transek masing-masing 3 plot.
Deskripsi Stasiun Pengambilan Sampel
Gambar 5. Lokasi Stasiun I
Stasiun II : Lokasi pengambilan sampel pada stasiun II dapat dilihat pada Gambar 6. Dengan letak titik koordinat 4˚8′42″ N dan 98˚14′42″ E. Stasiun ini didominansi oleh kondisi mangrove yang direhabilitasi. Jarak antara stasiun II ke stasiun III ialah 50 m.
Stasiun III : Lokasi pengambilan sampel pada stasiun III dapat dilihat pada Gambar 7. Dengan letak titik koordinat 4˚8′45″ N dan 98˚14′39″ E. Stasiun ini didominansi oleh kondisi lahan mangrove yang dikonversi menjadi tambak.
Gambar 7. Lokasi Stasiun III
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah berupa kerapatan, frekuensi, dominansi mangrove, kepadatan Moluska, keanekaragaman Moluska, kualitas perairan serta tipe substrat. Pengumpulan data dilakukan secara in situ dan pengamatan laboratorium.
Pengamatan Mangrove
Manajemen Sumberdaya Perairan dengan mengacu pada buku identifikasi Noor dkk (2006). Pada transek pengamatan dibuat petak-petak contoh untuk pengamatan dan identifikasi mangrove dengan mengacu pada Kusmana (1997) : 1. Pohon, adalah memiliki diameter batang lebih besar dari 10 cm pada petak
contoh 10 x 10 meter.
2. Pancang, adalah anakan yang memiliki diameter batang kurang dari 10 cm dengan tinggi lebih dari 1,5 meter pada petak contoh 5 x 5 meter.
3. Semai, adalah anakan mangrove yang memiliki tinggi kurang dari 1,5 meter pada petak contoh 2 x 2 meter.
Bentuk transek dan petak contoh untuk analisis vegetasi mangrove dapat dilihat pada Gambar 8.
10 m 10 m
10 m Arah rintis
10 m
Gambar 8. Transek Pengukuran Vegetasi Mangrove berdasarkan Kategori Pohon (10 x 10 m), Pancang (5 x 5 m), dan semai (2 x 2 m) (Kusmana, 1997)
Pengambilan Contoh Biota
Pengambilan contoh Moluska dilakukan dalam plot/transek yang sama dengan pengambilan vegetasi mangrove. Sampel Moluska diambil dari substrat dan yang menempel di pohon yang ada dalam plot kemudian dihitung jumlah
kepadatannya. Eratnya hubungan antara jenis mangrove dengan Moluska tertentu ditentukan dengan banyaknya jumlah individu Moluska yang ditemukan pada lokasi jenis mangrove.
Pengambilan Contoh Substrat
Pengambilan contoh substrat diambil menggunakan pipa 5 inchi. Proses ini dilakukan pada saat perairan surut bersamaan dengan pengambilan sampel mangrove. Contoh substrat yang diperoleh dimasukkan ke dalam kantong plastik untuk dianalisis di laboratorium. Beberapa karakteristik substrat yang dianalisis meliputi nilai pH, dan tekstur substrat. Pengambilan sampel ini dilakukan secara acak pada plot 1, plot 3 dan plot 5 pada masing-masing stasiun pengamatan.
Pengambilan Data Parameter Fisika Kimia Perairan
Pengukuran parameter fisika kima perairan dilakukan sebanyak enam kali dengan interval waktu 2 Minggu selama 3 bulan. Dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter Fisika Kimia Perairan yang diukur
Parameter Satuan Alat Tempat Analisis
Fisika
Suhu ˚C Termometer In situ
Jenis Substrat - Pipa paralon Ex situ Kimia
DO Mg/l Metode winkler In situ
Salinitas Ppt Refraktometer In situ
Pengambilan contoh air juga dilakukan pada plot. Contoh air diambil kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium. Hasil dari pengukuran parameter fisika dan kimia perairan akan dibandingkan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut.
Analisis Data
Analisis Kondisi Ekosistem Mangrove
Analisis data yang dilakukan menurut prosedur Kusmana (1997) mencakup nilai kerapatan jenis, kerapatan relatif, frekuensi jenis, frekuensi relatif, penutupan jenis, penutupan relatif, dan indeks nilai penting.
1. Kerapatan Jenis dan Kerapatan Relatif
Kerapatan Jenis (K) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area :
Kerapatan (K) = Jumlah individu
Luas petak contoh
Analisis Biota 1. Kepadatan Biota
Kepadatan biota dihitung menghitung jumlah individu yang didapat dalam satu plot per Luas daerah Plot tersebut, yaitu :
K =ni
A
Keterangan : K : Kepadatan
2. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner
Rumus indeks keanekaragaman dinyatakan sebagai berikut, yaitu :
H′ =− �Pi ln Pi
�
�=1
Keterangan:
H′ : Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
Pi : Proporsi jumlah individu spesies ke-i terhdap jumlah jumlah individu total yaitu Pi = ni/N dengan ni : jumlah suatu spesies i N : total jumlah spesies.
Kriteria: H' < 1 = keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan komunitas biota rendah (tidak stabil). 1 < H' < 3 = keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap
spesies rendah dan komunitas biota sedang.
H' > 3 = keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi dan komunitas biota tinggi (stabil).
3. Indeks Keseragaman
Rumus indeks keseragaman dinyatakan sebagai berikut, yaitu :
E = H′
H max
Keterangan :
E : Indeks keseragaman (Evennes)
H' : Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner H max : Log2S ; S = jumlah spesies atau taksa
4. Indeks Dominansi
Menurut Odum (1994) untuk mengetahui adanya dominansi jenis di perairan dapat digunakan indeks dominansi Simpson dengan persamaan berikut :
D =� �ni
N�2
s
�=1
Keterangan :
Keterangan :
D = 0 : berarti tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan stabil.
D = 1 : berarti tedapat spesies yang mendominansi spesies lainnya atau struktur komunitas labil, karena terjadi tekanan ekologi (stres).
Analisis Substrat
Berikut ini adalah langkah-langkah penentuan tekstur substrat yaitu : 1. Menentukan komposisi dari masing-masing fraksi substrat. Misalnya, fraksi
pasir 45 %, debu 30 % dan liat 25 %.
2. Menarik garis lurus pada sisi persentase pasir dititik 45 % sejajar dengan sisi persentase debu, kemudian ditarik garis lurus pada sisi persentase debu di titik 30 % sejajar dengan persentase liat, dan tarik garis lurus pada sisi persentase liat 25 % sejajar dengan sisi persentase pasir.
3. Titik perpotongan ketiga garis tersebut akan menentukan tipe substrat yang dianalisis, misalnya hal ini adalah lempung. Untuk analisis substrat menggunakan panduan segitiga USDA dapat dilihat pada Gambar 9.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
1. Kondisi Ekosistem Mangrove Kerapatan
Hasil analisis vegetasi di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara pada stasiun I ditemukan 15 spesies mangrove, yaitu A. alba, Aegiceras floridum, A. marina, A. officinalis, B. cylindrica, B. gymnorhyza, Ceriops decandra, Ceriops decandra, Ceriops tagal,
N. fruticans, R. apiculata, R. mucronata, R. stylosa, S. alba, X. granatum dan X.
moluccensis. Kerapatan spesies mangrove yang tertinggi pada kategori pohon
adalah S. alba. Kerapatan spesies mangrove kategori pohon di stasiun I dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Kerapatan Spesies Mangrove di Stasiun I
Spesies mangrove yang ditemukan di stasiun II sebanyak 11 spesies, antara lain A. lanata, B. gymnorhyza, C. decandra, C. tagal, N. fruticans, R. apiculata, R. mucronata, R. Stylosa, S. alba, S. Caseolaris dan X. granatum.
Kerapatan spesies mangrove yang tertinggi pada kategori pohon adalah R. apiculata. Kerapatan spesies mangrove kategori pohon di stasiun II disajikan pada
Gambar 11.
Gambar 11. Kerapatan Spesies Mangrove di Stasiun II
Spesies mangrove yang ditemukan di stasiun III sebanyak 13 spesies, antara lain A. floridum, A. lanata, A. marina, B. cylindrica, C. decandra, C. tagal, Lumnitzera littorea, N. fruticans, R. apiculata, R. mucronata, R. Stylosa, S. ovata,
dan X. granatum. Kerapatan spesies mangrove yang tertinggi pada kategori pohon adalah R. stylosa Kerapatan spesies mangrove kategori pohon di stasiun III disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12. Kerapatan Spesies Mangrove di Stasiun III
Kerapatan spesies mangrove pada stasiun I, stasiun II, stasiun III dapat dilihat pada Gambar 13. Jumlah Kerapatan spesies tertinggi terdapat pada stasiun I adalah 4700 Ind/ha, dan kerapatan tertinggi setelah stasiun I adalah stasiun II dengan nilai sebesar 4500 Ind/ha, dan kerapatan terendah tedapat pada stasiun III dengan nilai sebesar 4066 Ind/ha.
Gambar 13. Kerapatan Spesies Mangrove berdasarkan Stasiun I Stasiun II dan Stasiun III
Stasiun I Stasiun II Stasiun III
2. Keanekaragaman Moluska Komposisi dan Kepadatan Moluska
Moluska merupakan hewan lunak yang mempunyai cangkang. Moluska banyak ditemukan di ekosistem mangrove, hidup di permukaan substrat maupun di dalam substrat dan menempel pada pohon mangrove. Kebanyakan Moluska yang hidup di ekosistem mangrove adalah dari spesies Gastropoda dan Bivalvia (Hartoni dan Agussalim, 2013).
Moluska yang hidup di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara umumnya hidup di permukaan substrat dan menempel pada vegetasi mangrove. N. balteata memiliki komposisi tertinggi sebesar 32% dari seluruh spesies Moluska. C. capucinus memiliki komposisi sebesar 25%, C. cingulata memiliki komposisi sebesar 24%. Untuk spesies lain yaitu, L. melanostoma sebesar 7%, L. scabra yaitu 4%. C. obtusa dan T. telescopium memiliki komposisi yang sama yaitu sebesar 3%. N. dorsatus
memiliki komposisi sebesar 2% dan P. cochlidium memiliki komposisi sebesar 0% dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Spesies Moluska pada Seluruh Stasiun Pengamatan
No. Nama Spesies Jumlah Rata-rata Persentase
Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Moluska
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman tertinggi secara spasial di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara ialah pada Minggu-I, yaitu 1,52 dan nilai indeks keanekaragaman terendah pada Minggu-IV dengan nilai 0,71. Selanjutnya nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada Minggu-II dan Minggu-IV sebesar 0,45 dan nilai indeks keseragaman terendah terdapat pada Minggu-III sebesar 0,37. Nilai dominansi tertinggi terdapat pada Minggu-II sebesar 0,82 dan nilai dominansi terendah terdapat pada Minggu-I dan Minggu-V sebesar 0,27.
Tabel 3. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Moluska secara Spasial
Indeks Minggu
I II III IV V
H' (Keanekaragaman) 1,52 1,44 0,87 0,71 1,10
E' (Keseragaman) 0,41 0,45 0,37 0,45 0,44
D (Dominansi) 0,27 0,82 0,29 0,29 0,27
Tabel 4. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Moluska secara
3. Karakteristik Fisika Kimia Perairan
Kisaran dari hasil pengukuran masing-masing parameter yang dilakukan di lapangan disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Data Kisaran Kualitas Air
Parameter
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Baku
mutu ** Kisaran Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran Rata-rata
Suhu (˚C)
** Baku Mutu Menurut Kepmen LH No 51 Tahun 2004
4. Karakteristik Substrat
Tabel 6. Karakteristik Fisika-Kimia Substrat
Tabel 7. Karakteristik Fisika-Kimia Substrat (Lanjutan)
Stasiun C-Organik (%)
Parameter Tekstur (Hydrometer)
(%) Fraksi
Pasir Debu Liat Tekstur
St. III. Plot 1 3,83 22 30 48 Li St. III. Plot 2 4,19 32 26 42 Li St. III. Plot 3 2,92 30 28 42 Li
Keterangan : L = Lempung ; Li = Liat ; Lli = Lempung berliat ; Lp = Lempung berpasir
5. Pasang Surut
Hasil pengolahan data pasang surut di wilayah pesisir Pulau Sembilan diketahui bahwa pasang tertinggi dan surut terendah terjadi pada tanggal 02 april 2016. Tinggi rendahnya pasang surut air laut dapat dilihat dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Grafik Tinggi Pasang Surut Tanggal 24 Maret s/d 07 April 2016 (Sumber : BPPS Belawan 2016)
6. Hubungan Kerapatan Mangrove terhadap Kepadatan Moluska
hubungan antara kepadatan Moluska dengan kerapatan spesies mangrove ditunjukkan dengan persamaan y = 0,015x + 138,6 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,797 dan koefisien determinasi r = -0,893.
Gambar 15. Grafik Regresi Kerapatan Spesies Mangrove terhadap Kepadatan Moluska pada Minggu I
Gambar 16 menunjukkan hubungan antara kerapatan spesies mangrove terhadap kepadatan Moluska pada Minggu II di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kerapatan spesies mangrove ditunjukkan dengan persamaan y = 0,006x + 13,43 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,128 dan koefisien determinasi r = 0,357.
Gambar 16. Grafik Regresi Kerapatan Spesies Mangrove terhadap Kepadatan Moluska pada Minggu II
63
4000 4200 4400 4600 4800
K
4000 4200 4400 4600 4800
Gambar 17 menunjukkan hubungan antara kerapatan spesies mangrove terhadap kepadatan Moluska pada Minggu III di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kerapatan spesies mangrove ditunjukkan dengan persamaan y = 0,026x – 90,41 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,216 dan koefisien determinasi r = 0,465.
Gambar 17. Grafik Regresi Kerapatan Spesies Mangrove terhadap Kepadatan Moluska pada Minggu III
Gambar 18 menunjukkan hubungan antara kerapatan spesies mangrove terhadap kepadatan Moluska pada Minggu IV di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kerapatan spesies mangrove ditunjukkan dengan persamaan y= 0,049x - 190,4 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,990 dan koefisien determinasi r = 0,995.
49
4000 4200 4400 4600 4800
Gambar 18. Grafik Regresi Kerapatan Spesies Mangrove terhadap Kepadatan Moluska pada Minggu IV
Gambar 19 menunjukkan hubungan antara kerapatan spesies mangrove terhadap kepadatan Moluska pada Minggu V di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kerapatan spesies mangrove ditunjukkan dengan persamaan y= 0,044x - 170,0 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,969 dan koefisien determinasi r = 0,984.
Gambar 19. Grafik Regresi Kerapatan Spesies Mangrove terhadap Kepadatan Moluska pada Minggu V
Gambar 20 menunjukkan hubungan antara kerapatan spesies mangrove terhadap kepadatan Moluska berdasarkan rata-rata pada setiap pengambilan sampel di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Model hubungan antara kepadatan Moluska
43
4000 4200 4400 4600 4800
K
4000 4200 4400 4600 4800
dengan kerapatan spesies mangrove ditunjukkan dengan persamaan y = 0,022x - 59,77 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,851 dan koefisien determinasi r = 0,922.
Gambar 20. Grafik Regresi Kerapatan Spesies Mangrove terhadap Kepadatan Moluska
7. Hubungan Kandungan C-Organik Substrat terhadap Kepadatan Moluska Gambar 21 menunjukkan hubungan antara kandungan C-Organik substrat terhadap kepadatan Moluska pada Minggu I di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kandungan C-Organik substrat ditunjukkan dengan persamaan y = 15x + 16,83 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,069 dan koefisien determinasi r = 0,263.
Gambar 21. Grafik Regresi Kandungan C-Organik Substrat terhadap Kepadatan Moluska pada Minggu I
47,4
4000 4100 4200 4300 4400 4500 4600 4700 4800
Gambar 22 menunjukkan hubungan antara kandungan C-Organik substrat terhadap kepadatan Moluska pada Minggu II di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kandungan C-Organik substrat ditunjukkan dengan persamaan y = 25x - 47,16 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,206 dan koefisien determinasi r = 0,453.
Gambar 22. Grafik Regresi Kandungan C-Organik Substrat terhadap Kepadatan Moluska pada Minggu II
Gambar 23 menunjukkan hubungan antara kandungan C-Organik substrat terhadap kepadatan Moluska pada Minggu III di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kandungan C-Organik substrat ditunjukkan dengan persamaan y = 65x - 198,8 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,119 dan koefisien determinasi r = 0,346.
Gambar 23. Grafik Regresi Kandungan C-Organik Substrat terhadap Kepadatan Moluska pada Minggu III
Gambar 24 menunjukkan hubungan antara kandungan C-Organik substrat terhadap kepadatan Moluska pada Minggu IV di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kandungan C-Organik substrat ditunjukkan dengan persamaan y = -120x + 450,3 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,544 dan koefisien determinasi r = -0,738.
Gambar 24. Grafik Regresi Kandungan C-Organik Substrat terhadap Kepadatan Moluska pada Minggu IV
Gambar 25 menunjukkan hubungan antara kandungan C-Organik substrat terhadap kepadatan Moluska pada Minggu V di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Model
hubungan antara kepadatan Moluska dengan kandungan C-Organik substrat ditunjukkan dengan persamaan y = -155x + 428,1 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,62 dan koefisien determinasi r = -0,789.
Gambar 25. Grafik Regresi Kandungan C-Organik Substrat terhadap Kepadatan Moluska pada Minggu V
Gambar 26 menunjukkan hubungan antara kandungan C-Organik substrat terhadap kepadatan Moluska berdasarkan rata-rata pada setiap pengambilan sampel di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kandungan C-Organik substrat ditunjukkan dengan persamaan y = 26x + 129,8 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,110 dan koefisien determinasi r = -0,331.
Pembahasan
1. Kondisi Ekosistem Mangrove Kerapatan
Berdasarkan hasil survei lapangan diketahui bahwa pada seluruh stasiun kerapatan mangrove di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara masih tergolong baik. Dengan nilai kerapaatan pada stasiun I ialah 4700 Ind/ha, pada stasiun II ialah 4500 Ind/ha dan pada stasiun III ialah 4066 Ind/ha. Berdasarkan KepMen LH No. 201 Tahun 2004 bahwa kondisi mangrove dengan kerapatan >1500 dikategorikan dalam keadaan baik dengan kriteria sangat padat.
Stasiun I merupakan stasiun dengan kondisi mangrove alami yang memiliki kerapatan pohon tertinggi dari stasiun lainnya yaitu seluas 4700 Ind/ha. Kerapatan tertinggi terdapat pada spesies mangrove yaitu S. alba dengan jumlah kerapatan seluas 767 Ind/ha, dan kerapatan terendah terdapat pada spesies mangrove yaitu A. alba dan A. officinalis dengan jumlah kerapatan seluas 133 Ind/ha.
Nilai kerapatan tertinggi pada stasiun II terdapat pada spesies mangrove yaitu R. apiculata seluas 733 Ind/ha. Kerapatan spesies mangrove terendah dengan kerapatan seluas 133 Ind/ha terdapadat pada N. fruticans. Stasiun II merupakan stasiun dengan kondisi mangrove yang telah direhabilitasi dengan kerapatan pohon seluas 4500 Ind/ha.
tertinggi terdapat pada spesies mangrove yaitu R. stylosa dengan jumlah kerapatan seluas 567 Ind/ha, dan kerapatan terendah terdapat pada spesies mangrove yaitu A. floridum dan L. littorea dengan jumlah kerapatan seluas 167 Ind/ha.
Telah diketahui bahwa kerapatan jenis mangrove yang berbeda-beda dan memiliki jenis yang bervariasi pada setiap stasiun, salah satunya dipengaruhi oleh faktor lingkungan terhadap jenis mangrove yang ada pada lokasi stasiun masing-masing dan kegiatan yang terjadi di setiap stasiun yang ditentukan. Hal ini sesuai dengan Talib (2008), yang menyatakan bahwa kondisi-kondisi lingkungan luar yang terdapat dikawasan mangrove cenderung bervariasi di sepanjang gradien dari laut ke darat. Banyak spesies mangrove telah beradaptasi terhadap gradien ini dengan berbagai cara, sehingga di dalam suatu kawasan suatu spesies mungkin tumbuh secara lebih efisien daripada spesies lain. Tergantung pada kombinasi dari kondisi-kondisi kimia dan fisik setempat, karena hal ini, jalur-jalur atau zona-zona dari spesies tunggal atau asosiasi-asosiasi sederhana sering kali berkembang di sepanjang garis pantai.
2. Keanekaragaman Moluska Komposisi dan Kepadatan Moluska
Spesies Moluska di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara, yang hadir di semua stasiun penelitian (frekuensi kehadiran 100 %) adalah Gastropoda terdapat 9 spesies diantaranya adalah N. balteata, C. capucinus, C. cingulata, L. melanostoma, L. scabra, C. obtusa, T. telescopium, N. dorsatus dan P. cochlidium. Hal ini sesuai
kelompok Moluska yang dominan dan merupakan salah satu makrofauna yang paling makrofauna mencolok di ekosistem bakau dan sebagian besar dari mereka hidup di tanah.
Persentase dari spesies Moluska yang di dapat ialah N. balteata memiliki komposisi tertinggi sebesar 32% dari seluruh spesies Moluska. C. capucinus memiliki komposisi sebesar 25%, C. cingulata memiliki komposisi sebesar 24%. Untuk spesies lain yaitu, L. melanostoma sebesar 7%, L. scabra yaitu 4%. C. obtusa dan T. telescopium memiliki komposisi yang sama yaitu sebesar 3%. N.
dorsatus memiliki komposisi sebesar 2% dan P. cochlidium memiliki komposisi
sebesar 0%. Berdasarkan penelitian bahwa Gastropoda yang dominan atau yang ditemukan pada setiap stasiun adalah spesies N. balteata. Hal ini diduga spesies tersebut menyukai hutan mangrove sebagai habitatnya dan mampu memenangkan persaingan untuk mendapatkan makanan dan tempat hidup dibandingkan spesies lainnya. Hal ini sesuai dengan Ernanto dkk (2010) jika spesies mampu memenangkan kompetisi baik ruang maupun makanan maka spesies tersebut umumnya akan mendominasi suatu habitat.
Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Moluska
mempengaruhi Moluska di ekosistem mangrove. Hal ini sesuai Febrita, dkk (2015), menyatakan bahwa tinggi rendahnya nilai indeks keanekaragaman jenis dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain jumlah jenis atau individu yang didapat dan adanya beberapa jenis yang ditemukan dalam jumlah yang lebih melimpah dari pada jenis lainnya. Faktor fisika kimia mempunyai peranan penting bagi kehidupan makhluk hidup dalam proses perkembangannya termasuk Gastropoda.
Secara temporal jelas terlihat bahwa nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 1,54 dan nilai indeks keanekaragaman terendah pada stasiun II dengan nilai 1,20. Selanjutnya nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun III sebesar 0,48 dan nilai indeks keseragaman terendah terdapat pada stasiun II sebesar 0,42. Nilai dominansi tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 0,39 dan nilai dominansi terendah terdapat pada stasiun I sebesar 0,26 (Tabel 4).
hidupnya cenderung menetap menyebabkan Moluska menerima setiap perubahan lingkungan ataupun perubahan dari dalam hutan mangrove tersebut, misalnya perubahan fungsi hutan mangrove menjadi areal pemukiman ataupun hutan mangrove yang semakin meningkat ini tertutama pada subsektor perikanan yang memanfaatkan hutan tersebut untuk kegiatan budidaya tambak.
3. Karakteristik Fisika Kimia Perairan
Hasil pengukuran suhu perairan pada ketiga stasiun pengamatan berkisar antara 28-31˚C pada stasiun I dan stasiun II, pada stasiun III berkisar antara 28-32˚C (Tabel 5). Kisaran ini sesuai untuk pertumbuhan Moluska maupun bentos. Menurut Dharma (1988), Gastropoda memiliki kemampuan beradaptasi terhadap suhu yang baik. Gastropoda masih dapat bertahan hidup pada kisaran suhu 12- 43˚C. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu dengan kisaran
28-32˚C, hal ini sesuai dengan Wantasen (2013), menyatakan bahwa suhu berperan
penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20º C.
Kandungan oksigen terlarut dari ketiga stasiun di lokasi penelitian adalah berkisar 1,4-3 mg/l pada stasiun I, pada stasiun II dan stasiun III berkisar antara 2-2,5 mg/l (Tabel 5). Oksigen terlarut terendah dan tertinggi pada kisaran suhu didapatkan pada stasiun I (1,4-3 mg/l). Menurut Effendi (2003), kadar oksigen terlarut tertinggi adalah pada saat pasang naik. Berdasarkan KepMenLH No. 51 tahun 2004, kadar oksigen yang sesuai baku mutu untuk ekosistem mangrove adalah >5 mg/l. Dapat dikatakan bahwa kadar oksigen terlarut di ekosistem mangrove Pulau Sembilan tidak memenuhi baku mutu perairan, disebabkan ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Hal ini sesuai dengan Simanjuntak (2007), menyatakan bahwa menurunnya kadar oksigen terlarut pada umumnya dipengaruhi proses sedimentasi yang tinggi, sehingga mengakibatkan terjadinya kekeruhan yang dapat menghalangi kelancaran proses fotosintetis dan proses diffusi udara.
Marpaung (2013) menyatakan bahwa semakin besar kandungan oksigen terlarut dalam ekosistem maka semakin baik pula kehidupan makrozoobentos yang mendiaminya. Kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh makrozoobentos adalah berkisar 1,00 – 3,00 mg/l. Hasil pengukuran pada masing–masing stasiun menujukkan kisaran nilai oksigen terlarut masih cukup baik bagi pertumbuhan makrozoobentos.
Beberapa faktor yang mempengaruhi salinitas suatu perairan adalah pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran air tawar dari sungai. Kisaran salinitas pada kedua stasiun pengamatan berada pada kisaran nilai yang masih layak bagi makrozoobentos. Salinitas tidak memiliki pengaruh besar terhadap Gastropoda karena Gastropoda memiliki toleransi yang luas terhadap salinitas. Hal ini sesuai dengan Monika (2013) yang menyatakan bahwa kisaran salinitas yang layak bagi kehidupan makrozoobentos adalah 15 – 45‰.
Nilai derajat keasaman (pH) perairan yang terukur pada setiap stasiun pengamatan selama penelitian berkisar 6,3-7,8 untuk stasiun I, stasiun II berkisar 6-7,3 dan stasiun III adalah 6,1-7,6 (Tabel 5). Nilai suatu pH perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain aktivitas fotosintesis, kandungan oksigen, dan adanya kation dan anion dalam perairan. Nilai pH air pada ekosistem mangrove berkisar antara 8,0-9,0 (bersifat basa). Hal ini sesuai dengan Winarno (1996), menyatakan bahwa nilai hutan pH hutan mangerove berkisar antara 8,0-9,0.
Hasil nilai kecepatan arus yang telah diukur dilapangan pada saat penelitian ialah berkisar antara 0,06-02 (m/s) pada stasiun I, kisaran 0,03-0,15 (m/s) pada stasiun II, dan kisaran 0,06-0,015 (m/s) pada stasiun III. Setelah dirata-ratakan dari hasil perstasiun, maka diperoleh hasil kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu 0,11 m/s, dan kecepatan arus terendah pada stasiun II dan stasiun III yaitu 0,08 m/s. Hal ini disebabkan karena ada perbedaan waktu pada saat pangukuran arus. Pengukuran arus dilakukan pada saat pasang dan pada saat surut, disertakan karena ada faktor angin yang mempengaruhi. Hal ini sesuai dengan Alwidakdo dkk (2014), menyatakan bahwa angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus.
4. Karakteristik Substrat
Beberapa jenis makrozoobentos memiliki fisiologi khusus untuk beradaptasi pada lingkungan perairan yang memiliki tipe substrat berlumpur, sehingga organisme tersebut dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada sedimen halus. Menurut Kartawinata et.al (1997) distribusi dan kelimpahan jenis Moluska dipengaruhi oleh diameter rata-rata butiran sedimen.
pasang dan teroksidasi saat surut. Rhizophora lebih sulit terdekomposisi, sehingga banyak ditemukan dalam bentuk bahan organik.
Tinggi rendahnya kandungan bahan organik diduga berkaitan dengan aktivitas yang terjadi atau kondisi lingkungan yang berada di sekitarnya. Kondisi lingkungan yang dipengaruhi langsung oleh ombak dan arus yang kuat, cenderung mempunyai bahan organik yang relatif rendah dan sebaliknya lokasi yang cenderung terlindung memiliki bahan organik yang relatif tinggi. Rustam (2003), mengatakan bahwa arus pada substrat berpasir selain menghanyutkan partikel sedimen yang berukuran kecil juga dapat menghanyutkan bahan organik.
Hasil analisis tekstur substrat menunjukkan bahwa setiap stasiun memiliki komposisi fraksi debu, liat dan pasir yang jauh berbeda. Fraksi pasir tertinggi adalah di stasiun I plot 1 sebesar 58 % dan terendah di stasiun III plot 1 sebesar 22% . Stasiun II plot 1 memiliki fraksi debu tertinggi mencapai 48 % dan terendah di stasiun III plot 2 sebesar 26 %. Fraksi liat komposisi tertinggi ditemukan pada stasiun III plot 1 mencapai 48 % dan terendah pada stasiun I plot 1 sebesar 8 %.
Tipe substrat dasar ikut menentukan jumlah dan jenis hewan bentos di suatu perairan (Susanto, 2000). Tipe substrat seperti tanah dasar berupa lumpur sangat penting dalam perkembangan komunitas hewan bentos. Pasir cenderung memudahkan untuk bergeser dan bergerak ke tempat lain. Substrat berupa lumpur biasanya mengandung sedikit oksigen dan karena itu organisme yang hidup di dalamnya harus dapat beradaptasi pada keadaan ini (Ramli, 1989).
dari lumpur dan pasir merupakan substrat yang disenangi oleh Gastropoda dan Bivalvia.
5. Pasang Surut
Pasang surut air laut sangat dipengaruhi oleh pergerakan bulan. Malik dkk (1999), meski pengaruhnya tidak sebesar arus, pasang surut juga mempengaruhi dinamika air sekitar pantai. Pergerakan air akan lebih mudah diamati di daerah estuaria yang lebar. Pada pasang naik, air tawar mengalir ke laut di atas massa air asin yang bergerak dari darat. Pasang tertinggi berada pada posisi dengan nilai 134.69 cm pada jam 241 di tanggal 3 April 2016. Sedangkan surut terendah berada dengan nilai -139.67 cm pada jam 269 pada tanggal 04 April 2016 (Gambar 14). Widjojo (2010) transportasi sedimen di muara sungai di sebabkan oleh arus pasang surut gelombang dan arus sungai air tawar.
Menurut Noor dkk (2006), areal yang digenangi oleh pasang sedang didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora spp. adapun areal yang digenangi hanya pada saat pasang tinggi, yang mana areal ini lebih ke daratan, umumnya didominasi oleh jenisjenis Bruguiera dan X. granatum, sedangkan areal yang digenangi hanya pada saat pasang tertinggi (hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya didominasi oleh B. sexangula dan L. Littorea.
6. Hubungan Kerapatan Mangrove terhadap Kepadatan Moluska
Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kerapatan spesies mangrove ditunjukkan dengan persamaan y = 0,015x + 138,6. Koefisien korelasi (R2) yang diperoleh adalah sebesar 0,797 artinya pengaruh kerapatan mangrove terhadap kepadatan Moluska sebesar 79,7%. Koefisien determinasi (r) yang diperoleh adalah r = -0,893 (Gambar 15) artinya antara kerapatan mangrove dengan kepadatan Moluska berkorelasi negatif tetapi kuat.
Dari hasil analisis uji Anova diperoleh nilai F hitungnya sebesar 540,871 dan F Tabelnya sebesar 7,708, jika F hitung > F Tabel, maka dapat dinyatakan bahwa secara bersamaan kerapatan spesies mangrove berpengaruh signifikan terhadap kepadatan Moluska, dengan nilai signifikan sebesar 0,00002 (p < 0,05), maka dapat disimpulkan secara simultan (bersama-sama) kerapatan spesies mangrove berpengaruh signifikan terhadap kepadatan Moluska (Lampiran 9).
Hubungan antara kerapatan spesies mangrove terhadap kepadatan Moluska di Minggu I menunjukkan hubungan yang berbanding lurus. Hal ini berarti bahwa peningkatan kerapatan spesies mangrove mengakibatkan peningkatan kepadatan Moluska. Hal ini sesuai dengan Rumalutur (2004), bahwa kerapatan mangrove baik dilihat pada tingkat pohon, anakan dan semai berpengaruh signifikan terhadap kepadatan dan kelimpahan Gastropoda.
kepadatan Moluska sebesar 12,8%. Koefisien determinasi (r) yang diperoleh adalah r = 0,357 artinya antara kerapatan mangrove dengan kepadatan Moluska berkorelasi positif tetapi lemah (Gambar 16).
Dari hasil analisis uji Anova diperoleh nilai F hitungnya sebesar 548,113 dan F Tabelnya sebesar 7,708, jika F hitung > F Tabel, maka dapat dinyatakan bahwa secara bersamaan kerapatan spesies mangrove berpengaruh signifikan terhadap kepadatan Moluska, dengan nilai signifikan sebesar 0,00001 (p < 0,05), maka dapat disimpulkan secara simultan (bersama-sama) kerapatan spesies mangrove berpengaruh signifikan terhadap kepadatan Moluska (Lampiran 9).
Hasil analisis regresi linier sederhana antara kerapatan mangrove terhadap kepadatan Moluska pada Minggu III di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara menghasilkan Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kerapatan spesies mangrove ditunjukkan dengan persamaan y = 0,026x – 90,41. Koefisien korelasi (R2) yang diperoleh adalah sebesar 0,216 artinya pengaruh kerapatan mangrove terhadap kepadatan Moluska sebesar 21,6 %. Koefisien determinasi (r) yang diperoleh adalah r = 0,465 artinya antara kerapatan mangrove dengan kepadatan Moluska berkorelasi positif tetapi lemah (Gambar 17).
Hasil analisis regresi linier sederhana antara kerapatan mangrove terhadap kepadatan Moluska pada Minggu IV di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara menghasilkan Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kerapatan spesies mangrove ditunjukkan dengan persamaan y = 0,049x - 190,4. Koefisien korelasi (R2) yang diperoleh adalah sebesar 0,990 artinya pengaruh kerapatan mangrove terhadap kepadatan Moluska sebesar 99%. Koefisien determinasi (r) yang diperoleh adalah r = 0,995 artinya antara kerapatan mangrove dengan kepadatan Moluska berkorelasi positif tetapi kuat (Gambar 18).
Dari hasil analisis uji Anova diperoleh nilai F hitungnya sebesar 549,394 dan F Tabelnya sebesar 7,708, jika F hitung > F Tabel, maka dapat dinyatakan bahwa secara bersamaan kerapatan spesies mangrove berpengaruh signifikan terhadap kepadatan Moluska, dengan nilai signifikan sebesar 0,00001 (p < 0,05), maka dapat disimpulkan secara simultan (bersama-sama) kerapatan spesies mangrove berpengaruh signifikan terhadap kepadatan Moluska (Lampiran 9).
Dari hasil analisis uji Anova diperoleh nilai F hitungnya sebesar 550,834 dan F Tabelnya sebesar 7,708, jika F hitung > F Tabel, maka dapat dinyatakan bahwa secara bersamaan kerapatan spesies mangrove berpengaruh signifikan terhadap kepadatan Moluska, dengan nilai signifikan sebesar 0,00001 (p < 0,05), maka dapat disimpulkan secara simultan (bersama-sama) kerapatan spesies mangrove berpengaruh signifikan terhadap kepadatan Moluska (Lampiran 9).
Hasil analisis regresi linier sederhana antara kerapatan mangrove terhadap kepadatan Moluska pada setiap Minggu pengamatan di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara menghasilkan Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kerapatan spesies mangrove ditunjukkan dengan persamaan y = 0,022x - 59,77. Koefisien korelasi (R2) yang diperoleh adalah sebesar 0,851 artinya pengaruh kerapatan mangrove terhadap kepadatan Moluska sebesar 85,1%. Koefisien determinasi (r) yang diperoleh adalah r = 0,922 artinya antara kerapatan mangrove dengan kepadatan Moluska berkorelasi positif tetapi kuat (Gambar 20).