• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Jenis dan Pendugaan Cadangan Karbon yang Tersimpan pada Hutan Sekunder dan Tambak di Desa Pulau Sembilan, kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Keanekaragaman Jenis dan Pendugaan Cadangan Karbon yang Tersimpan pada Hutan Sekunder dan Tambak di Desa Pulau Sembilan, kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN PENDUGAAN CADANGAN

KARBON TERSIMPAN PADA HUTAN SEKUNDER DAN

TAMBAK DI DESA PULAU SEMBILAN, KECAMATAN

PANGKALAN SUSU, KABUPATEN LANGKAT SUMATERA

UTARA

SKRIPSI

ELIZABETH OKTARINI SIMANJUNTAK

081202042/ BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN PENDUGAAN CADANGAN

KARBON TERSIMPAN PADA HUTAN SEKUNDER DAN

TAMBAK DI DESA PULAU SEMBILAN, KECAMATAN

PANGKALAN SUSU, KABUPATEN LANGKAT SUMATERA

UTARA

SKRIPSI

ELIZABETH OKTARINI SIMANJUNTAK 081202042/ BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

di Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Keanekaragaman Jenis dan Pendugaan Cadangan Karbon yang Tersimpan pada Hutan Sekunder dan Tambak di Desa Pulau Sembilan, kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

Nama : Elizabeth Oktarini Simanjuntak

Nim : 081202042

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Mohammad Basyuni, S.Hut, M.Si, Ph.D

Nip. 19730421 20012 1 001 Nip. 19670821 199301 2 001

Dr. Ir. Lollie Agustina P. Putri, M.Si

Mengetahui

Ketua Program Studi Kehutanan

(4)

ABSTRACT

ELIZABETH OKTARINI SIMANJUNTAK. Species diversity and Carbon stock estimation Pulau Sembilan Village, Pangkalan Susu Subdistrict, Langkat Regency, supervised by MOHAMMAD BASYUNI and LOLLIE AGUSTINA P. PUTRI.

The purpose of this research is to identify the types of vegetation and the carbon stock estimation from mangrove forest and aquaculture in the village of Pulau Sembilan, Pangkalan Susu subdistrict, Langkat regency. The result showed that Bakau (Rhizophora apiculata)predominated vegetation type of seedlings, saplings and treees in the mangrove forest, with the highest importance value index (116,13%). On the other hand, Bruguiera parviflora had the highest INP (71,37%) of saplings, while at seedlings and trees levels were dominated by R. apiculata with INP, 65,30% and 75,48%, respectively. The diversity index of Shannon-Weiner was 1,11-1,49 at mangrove forest, while it was 1,44-1,72 at aquaculture. This results suggested that diversity index in this study was low.

Keywords : Analysis of vegetation, Diversity Index of Shannon-Wiener,

Pulau Sembilan village, Pangkalan Susu subdistrict, Langkat regency, North Sumatera.

(5)

ABSTRAK

ELIZABETH OKTARINI SIMANJUNTAK. Keanekaragaman Jenis dan Pendugaan Cadangan Karbon yang Tersimpan pada Hutan Sekunder dan Tambak di Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Dibimbing oleh MOHAMMAD BASYUNI dan LOLLIE AGUSTINA P. PUTRI.

Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui jenis-jenis vegetasi dan potensi cadangan karbon yang terdapat pada kawasan di Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis vegetasi yang mendominasi pada setiap tingkat pertumbuhan di lokasi hutan mangrove adalah Bakau (Rhizophora apiculata) dengan Nilai INP tertinggi yaitu sebesar 116,13%, sementara jenis vegetasi di lokasi tambak pada tingkat pertumbuhan semai didominasi oleh Rhizophora apiculata (INP=65,29%), pada tingkat pertumbuhan pancang didominasi oleh Bruguiera parviflora (INP=70,29), dan pada tingkat pertumbuhan pohon didominasi oleh Rhizophora apiculata (INP=72,79%). Indeks Keanekaragaman di desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat pada lokasi hutan mangrove berkisar antara 1,11-1,49, sedangkan pada lokasi tambak diperoleh indeks keragaman berkisar antara 1,44-1,72.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Karang Raja Kecamatan Muara Enim Kabupaten

Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 13 Oktober 1989 dari Ayah

Hutman Simanjuntak dan Ibu Bungani Sitorus. Penulis adalah anak ke-1 dari 5

bersaudara.

Pada Tahun 2002 penulis lulus dari SD Negeri no. 173564 Kecamatan Silaen

dan tahun 2005 lulus dari SLTP Swasta Budhi Dharma Balige, dan pada tahun 2008

penulis lulus dari SMA Negeri 1 Balige dan lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru

melalui jalur Ujian Masuk bersama (UMB) pada tahun 2008 di Jurusan Budidaya

Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Pada masa perkuliahan, penulis melaksanakan kegiatan Praktek Pengenalan

Ekosistem Hutan (PEH) di Hutan Cagar Alam Deleng Lancuk, Gunung Sinabung,

Kabupaten Tanah Karo. Selain itu, penulis juga melaksanakan Praktek Kerja

Lapangan (PKL) di PT. Sari Bumi Kusuma Tontang, Kabupaten Sintang, Provinsi

Kalimantan Barat. Penulis juga merupakan anggota dari organisasi kemahasiswaan

Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) USU, Unit Kegiatan Mahasiswa Kegiatan

Mahasiswa Kristen Unit Pelayanan Fakultas Pertanian (UKM KMK UP FP ) USU,

Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI) USU, dan Parsadaan Mahasiswa

Samosir (PAMASA), serta muda/i Gereja HKBP.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang telah

diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Keanekaragaman Jenis dan Pendugaan Cadangan Karbon yang Tersimpan pada

Hutan Sekunder dan Tambak di Desa Pulau Sembilan, kecamatan Pangkalan Susu,

Kabupaten Langkat, Sumatera Utara”.

Dalam menyelesaikan Tugas Sarjana ini, penulis banyak mendapat dukungan

dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis ingin

mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Orang tua dan keluarga serta Rivo Khartajaya Pangaribuan, yang senantiasa

memberikan kasih sayang, dukungan, motivasi, dan nasihat yang tak ternilai

harganya.

2. Mohammad Basyuni S. Hut, M.Si, Ph.D dan Dr. Ir. Lollie Agustina P. Putri

M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya

membimbing, memotivasi, dan membantu penulis dalam menyelesaikan

Tugas Sarjana ini.

3. Siti Latifah S.Hut. M.Si. Ph.D selaku Ketua Departemen Kehutanan Fakultas

Pertanian USU.

4. Bapak/Ibu Staf Pengajar dan Pegawai serta staf laboratorium di Departemen

(8)

5. Ade Irma Sembiring, Esry Ninta Sipayung, Fernawati Sipayung, Christin,

Robert Sinaga, Melfa Siadari, Jeprianto Manurung, Juliance Munthe, Elisa

Hutabarat, Marthalena Ginting, Morina G. Simanjuntak, Novelina Siahaan,

Theresia Irene Pasaribu, Wahman Saragih dan Hana Manurung sebagai

saudara/i tercinta di Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) yang telah

memberikan motivasi serta dukungan doa.

6. Sahabat–sahabat tercinta Romasli T Nadeak, Lusi H Manalu, Mega B

Sianturi, Korestina Siagian, dan Devanelka.

7. Rekan-rekan mahasiswa Departemen Kehutanan yakni Janner W Ginting,

Leo Sembiring, Frans Felix Sitio, Eva S Sitorus, Lateranita Sembiring, Friska

Simatupang, Lisdayani, rekan-rekan di kost Berdikari 52, juga seluruh rekan

Budidaya Hutan 2008 yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu

persatu.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan-kekurangan dalam skripsi ini.

Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun

untuk penyempurnaan skripsi ini. Sebelum dan sesudahnya penulis ucapkan terima

kasih.

(9)

DAFTAR ISI

Defenisi dan Jenis Hutan Mangrove ... 5

Keragaman Struktur dan Komposisi ... 7

Hutan Primer dan Hutan Sekunnder ... 12

Diagram Profil Hutan Mangrove ... 13

Pendugaan Cadangan Karbon Tersimpan ... 13

Konversi, Pengusahaan Hutan Mangrove menjadi Tambak ... 14

METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 15

Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 15

Letak Geografis ... 16

Sifat Fisika Tanah ... 17

Bahan dan Alat ... 17

Metode Penelitian... 18

Pelaksanaan Penelitian ... 19

(10)

Potensi Karbon Tersimpan ... 36

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 39 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

DAFTAR LAMPIRAN

Kesimpulan ... 39 Dominansi ... 33 Saran ... 40

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian ... 24

(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Tabel Indeks Kekayaan Jenis di lokasi Hutan Sekunder ... 24

2. Tabel Indeks Kekayaan Jenis di lokasi Tambak ... 25

3. Tabel Indeks Nilai Penting Vegetasi di lokasi Hutan Sekunder ... 26

4. Tabel Indeks Nilai Penting Vegetasi di lokasi Tambak ... 27

5. Tabel Indeks Keanekaragaman Vegetasi di lokasi Hutan Sekunder ... 28

6. Tabel Indeks Keanekaragaman Vegetasi di lokasi Tambak ... 28

7. Tabel Biomassa Vegetasi di lokasi Hutan Sekunder ... 29

8. Tabel Biomassa Vegetasi di lokasi Tambak ... 30

(13)

ABSTRACT

ELIZABETH OKTARINI SIMANJUNTAK. Species diversity and Carbon stock estimation Pulau Sembilan Village, Pangkalan Susu Subdistrict, Langkat Regency, supervised by MOHAMMAD BASYUNI and LOLLIE AGUSTINA P. PUTRI.

The purpose of this research is to identify the types of vegetation and the carbon stock estimation from mangrove forest and aquaculture in the village of Pulau Sembilan, Pangkalan Susu subdistrict, Langkat regency. The result showed that Bakau (Rhizophora apiculata)predominated vegetation type of seedlings, saplings and treees in the mangrove forest, with the highest importance value index (116,13%). On the other hand, Bruguiera parviflora had the highest INP (71,37%) of saplings, while at seedlings and trees levels were dominated by R. apiculata with INP, 65,30% and 75,48%, respectively. The diversity index of Shannon-Weiner was 1,11-1,49 at mangrove forest, while it was 1,44-1,72 at aquaculture. This results suggested that diversity index in this study was low.

Keywords : Analysis of vegetation, Diversity Index of Shannon-Wiener,

(14)

ABSTRAK

ELIZABETH OKTARINI SIMANJUNTAK. Keanekaragaman Jenis dan Pendugaan Cadangan Karbon yang Tersimpan pada Hutan Sekunder dan Tambak di Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Dibimbing oleh MOHAMMAD BASYUNI dan LOLLIE AGUSTINA P. PUTRI.

Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui jenis-jenis vegetasi dan potensi cadangan karbon yang terdapat pada kawasan di Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis vegetasi yang mendominasi pada setiap tingkat pertumbuhan di lokasi hutan mangrove adalah Bakau (Rhizophora apiculata) dengan Nilai INP tertinggi yaitu sebesar 116,13%, sementara jenis vegetasi di lokasi tambak pada tingkat pertumbuhan semai didominasi oleh Rhizophora apiculata (INP=65,29%), pada tingkat pertumbuhan pancang didominasi oleh Bruguiera parviflora (INP=70,29), dan pada tingkat pertumbuhan pohon didominasi oleh Rhizophora apiculata (INP=72,79%). Indeks Keanekaragaman di desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat pada lokasi hutan mangrove berkisar antara 1,11-1,49, sedangkan pada lokasi tambak diperoleh indeks keragaman berkisar antara 1,44-1,72.

Kata Kunci : Analisis Vegetasi, Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener, Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki mangrove yang terluas di dunia dan memiliki keragaman

hayati yang terbesar serta strukturnya paling bervariasi. Warisan alam yang sangat

luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi Indonesia untuk

melestarikannya, sekaligus memberikan kesempatan yang berharga bagi mereka yang

bermaksud mempelajari dan menikmati habitat ini (Noor dkk, 2006).

Mangrove sebagai salah satu komponen ekosistem pesisir memegang peranan

yang cukup penting, baik di dalam memelihara produktivitas perairan pesisir maupun

di dalam menunjang kehidupan penduduk di wilayah tersebut. Bagi wilayah pesisir,

keberadaan hutan mangrove, terutama sebagai jalur hijau di sepanjang pantai/muara

sungai sangatlah penting untuk suplai kayu bakar, ikan, dan udang serta

mempertahankan kualitas ekosistem pertanian, perikanan dan permukiman yang

berada di belakangnya dari gangguan abrasi, instrusi dan angin laut yang kencang

(Onrizal, 2002).

Kerusakan ekosistem mangrove akibat terjadinya penebangan hutan mangrove

secara besar-besaran untuk dikonversikan menjadi beberapa bentuk pemanfaatan

secara ekonomi misalnya usaha pertambakan, pertanian, perindustrian, permukiman,

pariwisata, pertambangan dan penangkapan ikan. Fakta ini merupakan kondisi umum

di kawasan pesisir Sumatera Utara. Usaha pertambakan dapat menyebabkan

terputusnya siklus hidup sumberdaya ikan dan udang disekitarnya. Berkurangnya

(16)

yang biasanya beroperasi di sekitar pantai, penyudu udang, pencari kepiting dan

penjala ikan. Di pesisir timur Sumatera Utara, berkurangnya ikan hasil tangkapan

menyebabkan sebagian nelayan beralih profesi sebagai penebang kayu di hutan

mangrove, atau setidaknya menebang kayu tersebut menjadi aktivitas alternatif pada

saat musim tidak melaut (Yayasan Mangrove, 1993).

Hutan mangrove mengabsorpsi CO2 selama proses fotositesis dan

menyimpannya sebagai materi organik dalam biomassa tanaman. Banyaknya materi

organik yang tersimpan dalam biomassa hutan per unit luas dan per unit waktu

merupakan pokok dari produktivitas hutan. Produktivitas hutan merupakan gambaran

kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO2 di atmosfir melalui aktivitas

fisiologisnya. Pengukuran produktivitas hutan relevan dengan pengukuran biomassa.

Biomassa hutan menyediakan informasi penting dalam menduga besarnya potensi

penyerapan CO2 dan biomassa dalam umur tertentu yang dapat dipergunakan untuk

mengestimasi produktivitas hutan. Pendugaan besarnya biomassa dapat digunakan

sebagai dasar perhitungan bagi kegiatan pengolahan hutan, karena hutan dapat

dianggap sebagai sumber (source) dan rosot (sink) dari karbon (Heriansyah, 2006).

Kondisi lingkungan di masa depan dapat diprediksi dari komposisi dan

struktur hutan pada saat ini. Spesies atau komunitas tertentu yang interaksinya unik

dalam ekosistem dapat digunakan sebagai bioindikator untuk mengetahui kualitas

lingkungan, mengidentifikasi permasalahan kawasan, dan memberikan peringatan

awal berbagai perubahan yang kemungkinan terjadi pada masa depan. Pengetahuan

tentang pola pertumbuhan berbagai vegetasi hutan dapat menjadi dasar untuk

(17)

memprediksi kemungkinan perubahan lingkungan yang akan terjadi di masa depan

(Aumeeruddy, 1994).

Oleh karena itu, penelitian tentang keanekaragaman jenis dan pendugaan

cadangan karbon tersimpan pada Hutan Sekunder dan Tambak di Desa Pulau

Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten langkat Sumatera Utara ini

menjadi sangat penting. Penelitian ini menghasilkan data dan informasi tentang flora

dan habitat hutan mangrove Pulau Sembilan Sumatera Utara yang dapat dijadikan

sebagai dasar dan acuan untuk (a) rehabilitasi mangrove yang sudah rusak, (b)

pengelolaan mangrove untuk masa kini dan masa mendatang, dan (c) sekaligus

memperkaya data dan pengetahuan tentang hutan mangrove.

Perumusan Masalah

Berdasarkan survei pendahuluan dan sumber data yang ada, maka disusun

rumusan permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah tingkat struktur hutan sekunder dan tambak di kawasan hutan

mangrove Pulau Sembilan.

b. Bagaimanakah keadaan komposisi hutan hutan sekunder dan tambak di

kawasan hutan mangrove Pulau Sembilan.

c. Bagaimanakah potensi karbon tersimpan hutan sekunder dan tambak di

(18)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui struktur hutan sekunder dan tambak di kawasan hutan mangrove

Pulau Sembilan, dan untuk mengetahui komposisi hutan sekunder dan tambak di

kawasan hutan mangrove Pulau Sembilan.

b. Untuk mengetahui potensi karbon tersimpan hutan sekunder dan tambak di kawasan

hutan mangrove Pulau Sembilan.

Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian Struktur, Komposisi dan Potensi Karbon Tersimpan Hutan

Sekunder dan Tambak di kawasan Hutan Mangrove desa Pulau Sembilan ini

diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:

a. Diperoleh keadaan struktur, komposisi dan potensi karbon hutan sekunder dan

tambak di kawasan hutan mangrove Pulau Sembilan.

b. Sebagai bahan informasi dan masukan kepada pengelola kawasan hutan mangrove

Pulau Sembilan untuk menentukan arah dan kebijakan managemen, agar tercapai

optimalisasi fungsi hutan mangrove.

c. Menambah kasanah ilmu pengetahuan, khususnya tentang potensi karbon

tersimpan pada hutan mangrove.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Defenisi dan Jenis Hutan Mangrove

Asal kata “mangrove” tidak diketahui secara jelas dan terdapat berbagai

pendapat mengenai asal-usul katanya. Macnae (1968) menyebutkan kata mangrove

merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove.

Sementara itu, menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu

kuno mangi-mangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avicennia dan masih

digunakan sampai saat ini di Indonesia bagian timur.

Beberapa ahli mendefinisikan istilah “mangrove” secara berbeda-beda, namun

pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Tomlinson (1986) dan Wightman (1989)

mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang

surut maupun sebagai komunitas. Mangrove juga di definisikan sebagai formasi

tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang

terlindung. Sementara itu Soerianegara (1987) mendefinisikan hutan mangrove

sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan

muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis

pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera,

Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa (Noor, 2006)

Kusmana et al., (2002), mengemukakan bahwa mangrove adalah suatu

komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas

(20)

dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem

yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu

habitat mangrove. Menurut Steenis (1978), yang dimaksud dengan “mangrove”

adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut.

Secara sederhana, mangrove umumnya tumbuh dalam 4 zona, yaitu pada

daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki sungai beair payau sampai

hampir tawar.

a) Mangrove terbuka

Mangrove berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. Di zona ini

didominasi oleh Sonneratia alba yang tumbuh pada areal yang betul-betul

dipengaruhi oleh air laut. Komposisi floristik darikomunitas di zona terbuka

sangat bergantung pada substratnya. S. alba cenderung untuk mendominasi

daerah berpasir, sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata

cenderung untuk mendominasi daerah yang lebih berlumpur. Meskipun

demikian Sonneratia akan berasosiasi dengan Avicennia jika tanah

lumpurnya kaya akan bahan organik.

b) Mangrove tengah

Mangrove di zona ini terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini

biasanya di dominasi oleh jenis Rhizophora dan jenis Bruguiera.

c) Mangrove payau

Mangrove ini berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar.

Di zona ini biasanya di dominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia hingga

ke arah pantai.

(21)

d) Mangrove daratan

Mangrove ini berada di zona paerairan payau atau hampir tawar di belakang

jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis yang sering ditemukan

pada zona ini termasuk Ficus microcarpus (F. retusa), Intsia bijuga, N.

frutican, Lumnitzera racemosa, Pandanus sp. Dan Xylocarpus moluccensis.

Zona ini memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona

lainnya.

Meskipun kelihatannya terdapat zonasi dalam vegetasi mangrove, namun kenyataan

di lapangan tidaklah sesederhana itu. Banyak formasi serta zona vegetasi yang

tumpang tindih dan bercampur serta seringkali struktur dan korelasi yang nampak di

suatu daerah tidak selalu dapat diaplikasikan di daerah yang lain (Noor dkk, 2006).

Keragaman Struktur dan Komposisi

1. Struktur Hutan Mangrove

Struktur vegetasi tumbuhan, seperti tinggi, biomassa, serta heterogenitas

vertikal dan horizontal, merupakan faktor penting yang mempengaruhi perpindahan

aliran materi dan energi, serta keanekaragaman ekosistem (Dubayah dkk., 1997).

Kanopi/tajuk hutan merupakan faktor pembatas bagi kehidupan tumbuhan, karena

dapat menghalangi penetrasi cahaya ke lantai hutan (Walters dan Reich, 1997; Fahey

dkk., 1998). Keberhasilan sebuah pohon untuk mencapai konopi hutan tergantung

karakter/penampakan anak pohon (Clark dan Clark, 1991; Kobe dkk., 1995). Variasi

(22)

(Latham, 1992; Pacala dkk., 1996). Perbedaan kemampuan antara spesies anakan

pohon dalam menoleransi naungan mempengaruhi dinamikahutan (Finzi dan

Canham, 2000). Pada kondisi cahaya rendah,perbedaan kecil dalam pertumbuhan

pohon muda dapat menyebabkan perbedaan mortalitas yang besar (Kobe dkk., 1995),

sehingga mempengaruhi kemelimpahan relatifnya (Pacala dkk., 1996).

2. Komposisi Hutan Mangrove

Kemampuan adaptasi dari tiap jenis terhadap keadaan lingkungan menyebabkan

terjadinya perbedaan komposisi hutan mangrove dengan batas-batas yang khas. Hal

ini merupakan akibat adanya pengaruh dari kondisi tanah, kadar garam, lamanya

penggenangan dan arus pasang surut. Komposisi mangrove terdiri dari jenis-jenis

yang khas dan jenis tumbuhan lainnya. Vegetasi mangrove menjadi dua kelompok,

yaitu:

1. Kelompok utama, terdiri dari Rhizophora, Sonneratia, Avicennia, Xylocarpus.

2. Kelompok tambahan, meliputi Excoecaria agallocha, Aegiceras sp., Lumnitzera, dan

lainnya.

Struktur suatu vegetasi terdiri dari individu-individu yang membentuk tegakan

di dalam suatu ruang. Komunitas tumbuhan terdiri dari sekelompok tumbuhan yang

masing-masing individu mempertahankan sifatnya (Muller Dombois, 1974),

sedangkan komposisi dan struktur suatu vegetasi merupakan fungsi dari beberapa

faktor, seperti : flora setempat, habitat (iklim, tanah dan lain-lain), waktu dan

kesempatan.

(23)

Formasi hutan mangrove terdiri dari empat genus utama, yaitu Avicennia,

Sonneratia, Rhizophora, dan Bruguiera (Chapman, 1992; Nybakken, 1993). Hutan

mangrove alami membentuk zonasi tertentu. Bagian paling luar didominasi

Avicennia, Sonneratia, dan Rhizophora, bagian tengah Bruguiera gymnorrhiza,

bagian ketiga Xylocarpus, dan Heritieria, bagian dalam Bruguiera cylindrica,

Scyphiphora hydrophyllacea, dan Lumnitzera, sedangkan bagian transisi didominasi

Cerbera manghas. Pada perbatasan hutan mangrove dengan rawa air tawar tumbuh

Nypa fruticans (Odum, 1971; Sukardjo, 1985; Tomlison, 1986). Pada masa kini pola

zonasi tersebut jarang ditemukan karena tingginya laju konversi habitat mangrove

menjadi tambak, penebangan hutan, sedimentasi/reklamasi, dan pencemaran

lingkungan (Walsh, 1974; Lewis, 1990; Nybakken, 1993; Primavera, 1993).

Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil.

Dikatakan Kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi

mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah

yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil)

yang mempunyai kandungan liat yang tinggi duengan nilai kejenuhan basa dan

kapasita tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan

ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada

bagian arah daratan (Kusmana, 2002). Bersifat dinamis karena hutan mangrove

dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan

perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan

(24)

mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan di

sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut serta ciri dari hutan ini

terdiri dari tegakan pohon Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Rhizophora, Bruguiera,

Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Scyphyphora dan Nypa. Flora

mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Telah diketahui

lebih dari 20 famili flora mangrove dunia yang terdiri dari 30 genus dan lebih kurang

80 spesies. Berdasarkan jenis jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove

Indonesia memiliki sekitar 89 jenis, yang terdir atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9

jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.

Mangrove diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok mayor,

kelompok minor dan kelompok asosiasi mangrove.

• Kelompok mayor (vegetasi dominan) merupakan komponen yang

memperlihatkan karakter morfologi, seperti mangrove yang memiliki sistem

perakaran udara dan mekanisme fisiologi khusus untuk mengeluarkan garam

agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Komponen penyusunnya

berbeda taksonomi dengan tumbuhan daratan, hanya terjadi di hutan

mangrove serta membentuk tegakan murni, tetapi tidak pernah meluas sampai

ke dalam komunitas daratan.

Di Indonesia, mangrove yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah R.

apiculata, R. mucronata, S. alba, A. marina, A. officinalis, B. gymnorhiza, B.

cylinrica, B. parvifolia, B. sexangula, ceriops tagal, Kandelia candel,

Xylocarpus granatum, dan X. moluccensis.

(25)

• Kelompok minor (vegetasi marjinal) merupakan komponen yang tidak

termasuk elemen yang menyolok dari tumbuh-tumbuhan yang mungkin

terdapat di sekeliling habitatnya dan yang jarang berbentuk tegakan murni.

Jenis-jenis ini biasanya bersekutu dengan mangrove yang tumbuh pada

pinggiran yang mengarah ke darat dan terdapat secara musiman pada rawa air

tawar, pantai, dataran landai, dan lokasi-lokasi mangrove, tetapi jenis-jenis ini

tidak terbatas pada zona litoral.

Jenis-jenis ini yang penting di Indonesia adalah B. cylindrica, L. racemosa, X.

moluccensis, I. bijuga, N. fruticans, Ficus retusa, F. microcorpa, Pandanus

spp., Calamus erinaceus, Glochidionlittorale, Scolopia macrophylla, dan

Oncosperma tigillaria.

• Asosiasi mangrove merupakan komponen yang jarang ditemukan spesies

yang tumbuh dalam komunitas mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan

sering ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan darat. Beberapa ilustrasi asosiasi

yang dapat ditemui dalam komunitas mangrove yaitu asosiasi mangrove jenis

Tapak Kuda (Ipomoea pescaprae), Jeruju (Acanthus illicifolius), Nipah (Nypa

fruticans), dan Gelang Laut (Sesuvium portulacastrum L.).

Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis

mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa

diantaranya secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media

tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari

(26)

Hutan Primer dan Hutan Sekunder

Menurut Catterson (1994) hutan sekunder merupakan suatu bentuk hutan

dalam proses suksesi yang mengkolonisasi areal-areal yang sebelumnya rusak akibat

sebab-sebab alami atau manusia, dan yang suksesinya tidak dipengaruhi oleh vegetasi

asli disekitarnya karena luasnya areal yang rusak. Bentuk-bentuk formasi vegetasi

berikut ini dapat terbentuk: lahan kosong/padang-padang rumput buatan/areal areal

bekas-tebangan baru/areal-areal bekas tebangan yang lebih tua.

Menurut Lamprecht (1986) Hutan sekunder adalah fase pertumbuhan hutan

dari keadaan tapak gundul, karena alam ataupun antropogen, sampai menjadi klimaks

kembali. Tidak benar bahwa hutan sekunder tidak alami lagi, yang benar istilahnya

adalah “Hutan Alam Sekunder” untuk membedakannya dari hutan alam primer

Sifat-sifat hutan sekunder :

1. Komposisi dan struktur tidak saja tergantung tapak namun juga tergantung pada

umur.

2. Tegakan muda berkomposisi dan struktur lebih seragam dibandingkan hutan aslinya.

3. Tak berisi jenis niagawi. Jenis-jenis yang lunak dan ringan, tidak awet, kurus, tidak

laku.

4. Persaingan ruangan dan sinar yang intensif sering membuat batang bengkok.

Jenis-jenis cepat gerowong.

5. Riap awal besar, lambat laun mengecil.

6. Karena struktur, komposisi dan riapnya tidak akan pernah stabil, sulit merencanakan

pemasaran hasilnya.

(27)

Diagram Profil Hutan Mangrove

Diagram profil hutan dibuat dengan meletakkan plot, biasanya dengan

panjang 40 - 70 m dan lebar 10 m, tergantung densitas pohon. Ditentukan posisi

setiap pohon, digambar arsitekturnya berdasarkan skala tertentu, diukur tinggi,

diameter setinggi dada, tinggi cabang pertama, serta dilakukan pemetaan proyeksi

kanopi ke tanah. Profil hutan menunjukkan situasi nyata posisi pepohonan dalam

hutan, sehingga dapat langsung dilihat ada tidaknya strata hutan secara visual dan

kualitatif (Aumeeruddy, 1994; Baker dan Wilson, 2000). Dalam kasus tertentu,

histogram kelas ketinggian atau biomassa dibuat sebagai pelengkap diagram profil

hutan (Grubb dkk., 1963; Ashton dan Hall, 1992).

Pendugaan Cadangan Carbon Tersimpan

Daya adaptasi atau toleransi jenis tumbuhan mangrove terhadap kondisi

lingkungan yang ada mempengaruhi terjadinya zonasi atau permintakatan pada

kawasan hutan mangrove. Permintakatan jenis tumbuhan mangrove dapat dilihat

sebagai proses suksesi dan merupakan hasil reaksi ekosistem dengan kekuatan yang

datang dari luar seperti tipe tanah, salinitas, tingginya ketergenangan air dan pasang

(28)

Konversi, Pengusahaan Hutan Mangrove menjadi Tambak

Tambak dalam perikanan adalah kolam buatan, biasanya di daerah pantai,

yang diisi air dan dimanfaatkan sebagai sarana budidaya perairan (akuakultur).Hewan

yang dibudidayakan adalah hewan air, terutama ikan, udang, serta kerang.

Penyebutan “tambak” ini biasanya dihubungkan dengaair payau atau air laut. Kolam

yang berisiair tawar biasanya disebut kolam saja atau empang (Dirjen Perikanan

1991).

Tambak merupakan salah satu jenis habitat yang dipergunakan sebagai tempat

untuk kegiatan budidaya air payau yang berlokasi di daerah pesisir. Secara umum

tambak biasanya dikaitkan langsung dengan pemeliharaan udang windu, walaupun

sebenamya masih banyak spesies yand dapat dibudidayakan di tambak misalnya ikan

bandeng, ikan nila, ikan kerapu, kakap putih dan sebagainya. Tetapi tambak lebih

dominan digunakan untuk kegiatan budidaya udang windu. Udang windu (Penaeus

monodon) merupakan produk perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi

berorientasi eksport (Dirjen Perikanan 1997).

(29)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai bulan Maret

2013 di Hutan Mangrove Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu,

Kabupaten Langkat Sumatera Utara dan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan

Prodram studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Gambar 1. Peta Lokasi Peneltian di Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat

Kawasan Pulau Sembilan merupakan ekosistem hutan pantai atau mangrove

yang secara administratif pemerintahan terletak di Kecamatan Pangkalan Susu,

(30)

pernah ada di tempat yang kini merupakan kota kecil bernama Tanjung Pura, sekitar

20 km dari Stabat. Hutan mangrove yang masih tersisa di Pulau Sembilan termasuk

dalam hutan sekunder. Hutan yang masih tersisa tersebut tidak masuk dalam

kawasan hutan negara, melainkan lahan milik masyarakat. Namun, sebagian

masyarakat memelihara tegakan mangrove khususnya yang terletak pada areal

kawasan lindung seperti kanan kiri sungai dan tepi pantai.

Letak Geografis

Pulau Sembilan secara administratif pemerintahan terletak pada Kecamatan

Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat. Kabupaten langkat merupakan sebuah

kabupaten yang terletak di Sumatera Utara , Indonesia. Ibukotanya berada di Stabat.

Kabupaten Langkat terdiri dari 23 kecamatan dengan luas 6.272 km2 dan berpenduduk sejumlah 902.986 jiwa (2000). Secara Geografis Pulau Sembialn

terletak antara 3o 14’ dan 4o13’lintang utara, serta 93o51’ dan 98o45’ Bujur Timur dengan batas-batas sebagai berikut :

• Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Provinsi Daerah Istimewa

Aceh

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Dati II Karo

• Sebelah Timur berbatasan dengan DatiII Deli Serdang

• Sebelah Barat berbatasan dengan Dati Daerah Istimewa Aceh (Aceh Tengah)

(Pemerintah Kabupaten Langkat).

(31)

Sifat Fisika Tanah

Jenis tanah yang terdapat di Pulau Sembilan yaitu di sepanjang pantai terdiri

dari jenis tanah alluvial, yang sesuai untuk jenis tanaman pertanian pangan. Dataran

rendah dengan jenis tanah glei humus rendah, hydromofil kelabu dan plarosal.

Dataran tinggi jenis tanah podsolid berwarna merah kuning.

Tanah aluvial adalah tanah yang dibentuk dari lumpur sungai yang

mengendap di dataran rendah yang memiliki sifat tanah yang subur dan cocok untuk

lahan pertanian. Aluvial ialah tanah muda yang berasal dari hasil pengendapan.

Sifatnya tergantung dari asalnya yang dibawa oleh sungai. Tanah aluvial yang berasal

dari gunung api umumnya subur karena banyak mengandung mineral. Tanah ini

sangat cocok untuk persawahan. Penyebarannya di lembah-lembah sungai dataran

pantai. Tanah ini memiliki tekstur tanah liat atau liat berpasir.

Aluvial pantai terutama dijumpai di sepanjang pantai. Sungai-sungai yang

bermuara di sini membawa muatan sedimen material pasir. Sebagian dari pasir

tersebut diendapkan di sepanjang garis pantai (Ningsih, 2008).

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kawasan hutan mangrove

di desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat Sumatera

(32)

Alat yang digunakan dalampenelitian ini adalah GPS (Geographic Position

System), pita ukur, tali rafia, kompas, tali pita, clinometer, tally sheet, kamera digital,

alat tulis, parang, tongkat kayu, dan buku pengenalan mangrove.

Metode Penelitian

Pengambilan sampel dan pengukuran di lapangan dilakukan dengan

menggunakan metode jalur berpetak (Kusmana, 1997). Pada setiap lokasi sampel

yang diteliti dibuat jalur dengan lebar 10 m dan panjang 100 m (1000 m2), jalur dibuat dimulai dari tepi laut dan diupayakan searah tegak lurus tepi laut. Pada setiap

jalur dibuat sub petak ukur dengan ukuran 2 m x 2 m untuk semai (tinggi < 1,5 m), 5

m x 5 m untuk tingkat pancang (tinggi 1,5 m - diameter batang < 10 cm) dan untuk

tingkat pohon (diameter ≥ 10 cm) ukuran petak 10 m x 10 m. sam pel yang akan di

ambil hanya 3 plot dalam tiap jalur. Jarak antar plot 35 m sedangkan jarak antar jalur

150 m sebanyak 20 jalur sehingga didapat sebanyak 60 plot. Dalam setiap plot dibuat

pencatatan pohon dan diukur diameter batang setiap pohon pada ketinggian 1,3 meter

dari permukaan tanah kecuali genus Rhizophora, kemudian diukur tinggi pohon dan

dicatat nama individu pohonnya. Jalur penelitian dapat digambarkan sebagai berikut.

150 m

Gambar 2. Pengambilan contoh menggunakan metode jalur berpetak

(33)

Pelaksanaan Penelitian

Pengukuran biomassa vegetasi mangrove di hutan mangrove desa Pulau

Sembilan dilakukan dengan pembuatan plot contoh pengamatan dengan intensitas

sampling 10% dengan luas areal hutan mangrove dan tambak masing-masing 1 Ha.

Penentuan awal plot contoh dilakukan secara purposive random sampling.

Plot contoh diambil pada areal yang memiliki potensi pertumbuhan mangrove

yang baik dan jenis tanaman relatif seragam, untuk selanjutnya diplotkan di lapangan.

Plot contoh dibuat berbentuk transek dimulai dari tepi laut menuju daratan, dengan

langkah-langkah pengamatan pada plot contoh sebagai berikut:

 sub petak contoh 10 m x 10 m untuk tingkat pohon (berdiameter ≥ 10 cm)  sub petak contoh 5 m x 5 m untuk tingkat pancang (berdiameter 5-10 cm), dan  sub petak contoh 2 m x 2 m untuk tingkat semai.

data yang diukur meliputi tinggi pohon, diameter pohon setinggi dada (dbh) dan

mencatat nama semua jenis vegetasi yang ditemui.

Identifikasi jenis vegetasi dilakukan dengan menggunakan buku determinasi

mangrove (manual mangrove) dan jasa pemandu lokal terutama dalam penamaan

lokal. Untuk tingkat semai dicatat nama daerah dan nama ilmiah dengan

menggunakan buku Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia (Noor dkk, 2006),

kemudian dihitung jumlah individunya. Untuk tingkat pancang dan pohon dicatat

nama ilmiah dan nama daerah, dihitung jumlah individu, tinggi dan diameter batang

dari setiap individu. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis untuk memperoleh

(34)

Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi adalah cara untuk mengetahui komposisi jenis dan struktur

vegetasi dalam suatu ekosistem (Kusmana,1997), data yang diperoleh dari hasil

pengukuran di lapangan dihitung untuk menentukan variabel sebagai berikut:

Kekayaan Jenis dan Kerapatan Vegetasi Mangrove

a. Indeks Nilai Penting (INP) digunakan untuk menentukan dominansi dari suatu

jenis vegetasi. Indeks Nilai Penting diperoleh dari perhitungan sebagai berikut:

Untuk tingkat semai dan pancang , INP = KR + FR

Untuk tingkat pohon, INP = KR + FR + DR

Dimana KR = kerapatan relatif

FR = frekuensi relatif dan

DR = dominansi relatif.

Kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif dapat dihitung

dengan rumus sebagai berikut:

Kerapatan suatu jenis (K), dihitung dengan rumus:

K = ����� ℎ�������� ����� ����� ��������� ����� ℎ

Kerapatan relatif (KR) suatu jenis, dihitung dengan rumus:

KR = ��������� ����� �����

��������� ������ ℎ����� x 100 %

(35)

Frekuensi (F) suatu jenis, dihitung dengan rumus :

F = ����� ℎ����� ��������� ����� ����� ����� ℎ������ ℎ����� ����� ℎ

Frekuensi Relatif (FR) suatu jenis, dihitung dengan rumus:

FR = ��������� ����� �����

��������� ������ ℎ����� x 100 % Dominansi (D) suatu jenis, dihitung dengan rumus:

D = ���� ������ ����� ����� ����� ��������� ����� ℎ

Dominansi Relatif (DR) suatu jenis, dihitung dengan rumus:

DR = ��������� ����� �����

��������� ������ ℎ����� x 100 %

b. Indeks Keanekaragaman (H1)

Indeks keanekaragaman dihitung dengan menggunakan indeks Shannon

Wienner :

H1 = − ∑�=1�� (����)

Dimana, H1 = Indeks Shannon Wienner

Pi = Kelimpahan relatif dari spesies ke-i = (ni/N)

ni = Jumlah individu suatu jenis ke-i

N = Jumlah total untuk semua individu

(36)

Biomassa Pohon

Data biomassa yang diperoleh dari hasil pengukuran vegetasi mangrove yang

berdiameter > 5 cm dilakukan penghitungan biomassa melalui pendekatan alometrik

dengan menggunakan rumus yang telah diperkenalkan oleh Komiyama et al. (2008),

seperti yang dapat kita lihat dari Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Rumus perhitungan alometrik yang direview oleh Komiyama et al. (2008)

Above- Ground Tree Weight (Wtop in kg) Below- Ground Tree Weight (Wtop in kg)

Estimasi akhir jumlah karbon (C) tersimpan dihitung dengan rumus:

C = Total biomassa (kg ha-1) x 0,46.

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kekayaan Jenis dan Kerapatan Vegetasi Mangrove

Dari hasil analisis vegetasi dapat dilihat tingkat keragaman dan kerapatan

vegetasi mangrove dari dua lokasi yaitu pada hutan sekunder dan tambak berdasarkan

tingkat pertumbuhan yang ditemui di 30 plot pada masing-masing lokasi. Pada lokasi

hutan sekunder tercatat 5 jenis vegetasi yang ditemukan pada seluruh tingkat

pertumbuhan yaitu pada tingkat semai, tingkat pancang, dan tingkat pohon dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tabel 1. Kekayaan jenis dan potensi vegetasi mangrove yang ditemui pada lokasi hutan sekunder di Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Jenis yang mendominasi terdapat pada jenis R. apiculata pada setiap

pertumbuhan, sedangkan yang terendah terdapat pada A. marina pada tingkat

pertumbuhan semai dan pancang, dan pada tingkat pertumbuhan pohon yang terendah

terdapat pada jenis A. marina dan L. racemosa.

Famili

Jenis ∑ Ind Tingkat pertumbuhan

Nama lokal Nama ilmiah Semai Pancang Pohon

Avicenniaceae Api-api putih Avicennia marina 2 9 26

Combretaceae Truntun Lumnitzera racemosa 3 10 26

Euphorbiaceae Buta-buta Excoecaria agallocha 4 15 49

Rhizophoraceae Bakau Rhizophora apiculata 8 46 252

Sonneratiaceae Pedada Sonneratia alba 3 12 31

(38)

Pada lokasi Tambak tercatat 8 jenis vegetasi yang ditemukan pada seluruh

tingkat pertumbuhan yaitu pada tingkat semai (7 jenis), tingkat pancang (7 jenis), dan

tingkat pohon (8 jenis) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kekayaan jenis dan potensi vegetasi mangrove yang ditemui pada lokasi Tambak di Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Jenis yang mendominasi pada tingkat pertumbuhan pohon adalah R.

apiculata, jenis yang mendominasi pada tingkat pertumbuhan pancang terdapat pada

jenis B. parviflora dan jenis yang mendominasi pada tingkat pertumbuhan semai

terdapat pada jenis B. sexangula dan jenis R. apiculata. Dengan demikian, pada

masing-masing lokasi penelitian didominasi oleh jenis famili Rhizophoraceae.

Famili

Jenis ∑ Ind Tingkat pertumbuhan

Nama lokal Nama ilmiah Semai Pancang Pohon

Avicenniaceae Api-api putih Avicennia marina 15 7 7

Combretaceae Truntun Lumnitzera racemosa 4 43 1

Meliaceae Nyirih Xylocarpus granatum 2 1 6

Rhizophoraceae Lenggadai Bruguiera parviflora 14 93 11

Rhizophoraceae Mata buaya Bruguiera sexangula 21 13 1

Rhizophoraceae Bakau Rhizophora apiculata 21 30 14

Rhizophoraceae Bakau hitam Rhizophora mucronata 0 0 1

Rubiaceae Mengkudu Morinda citrifolia L. 1 6 1

Total 78 194 43

(39)

Dominansi

Penentuan jenis vegetasi dominan dilakukan dengan menggunakan indeks

nilai penting (INP), beberapa jenis tumbuhan yang ditemui di setiap plot contoh

penelitian di lokasi hutan sekunder untuk tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan

tingkat pohon dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi Mangrove untuk Tingkat Pertumbuhan

Semai, Pancang dan Pohon yang terdapat di lokasi hutan sekunder di Desa

Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat,

Sumatera Utara.

B

erdasarkan data Tabel 3, dapat dilihat jenis yang dominan pada tingkat pohon terdapat

pada jenis R. apiculata (INP = 116,13 %) dan terendah terdapat pada jenis A. marina

(INP = 41,71). Pada tingkat pancang jenis yang mendominasi masih terdapat pada

jenis R. apiculata (INP = 88,67%) dan terendah juga masih terdapat pada jenis A.

No Jenis

Tingkat pertumbuhan

Semai Pancang Pohon

INP (%) INP (%) INP (%)

1 Avicennia marina 19,75 21,80 41,71

2 Lumnitzera racemosa 31,18 24,12 44,97

3 Excoecaria agallocha 41,06 36,34 50,32

4 Rhizophora apiculata 82,11 88,67 116,13

5 Sonneratia alba 25,90 29,07 46,88

(40)

masih terdapat pada jenis R. apiculata (INP = 82,11%) dan terendah juga masih

terdapat pada jenis A. marina (INP = 19,75%).

Penentuan jenis vegetasi dominan dilakukan dengan menggunakan indeks

nilai penting (INP), beberapa jenis tumbuhan yang ditemui di setiap plot contoh

penelitian di lokasi tambak untuk tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tingkat

pohon dapat dilihat pada Tabel 4 :

Tabel 4. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi Mangrove untuk Tingkat Pertumbuhan

Semai, Pancang dan Pohon yang terdapat di lokasi tambak di Desa Pulau

Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera

Utara.

Berdasarkan data Tabel 4, dapat dilihat jenis yang dominan pada tingkat

pohon terdapat pada jenis R. apiculata (INP = 75,48 %) dan terendah terdapat pada

(41)

jenis L. racemosa dan R. mucronata (INP = 15,29). Pada tingkat pancang jenis yang

mendominasi terdapat pada jenis B. parviflora (INP = 71,37%) dan terendah terdapat

pada jenis R. mucronata (INP = 0%). Sementara pada tingkat semai, jenis yang

mendominasi terdapat pada jenis R. apiculata (INP = 65,30%) dan terendah terdapat

(42)

Keanekaragaman Jenis

Hasil pengukuran keanekaragaman jenis (H’) yang telah dilakukan dari dua

lokasi yaitu pada lokasi hutan sekunder dan lokasi tambak pada 30 plot petak contoh

di kedua lokasi penelitian untuk tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tingkat

pohon dapat dilihat pada tabel 5 dan tabel 6.

Tabel 5. Indeks Keanekargaman (H') Vegetasi Hutan Mangrove pada lokasi hutan

sekunder di Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten

Langkat, Sumatera Utara.

No Jenis Indeks Keanekaragaman

Semai Pancang Pohon

1 Avicennia marina -0,23 -0,23 -0,18

2 Lumnitzera racemosa -0,29 -0,24 -0,18

3 Excoecaria agallocha -0,32 -0,30 -0,26

4 Rhizophora apiculata -0,37 -0,35 -0,28

5 Sonneratia alba -0,28 -0,27 -0,20

1,49 1,38 1,11

(43)

Tabel 6. Indeks Keanekargaman (H') Vegetasi Hutan Mangrove pada lokasi tambak

di Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat,

Sumatera Utara.

Komposisi vegetasi pada suatu tipe hutan sangat penting diketahui, komposisi

dimaksud meliputi vegetasi pada lapisan tajuk di bagian atas (pohon) dan vegetasi

pada lapisan bawah (lantai hutan). Tingginya tingkat keanekaragaman hayati

(biodiversity) di hutan mangove dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk kondisi

tempat tumbuh mangrove tersebut. Indeks keragaman yang digunakan dalam

penelitian ini adalah indeks keragaman Shanon-wiener. Kriteria nilai indeks

karagaman jenis berdasarkan Shanon-wiener (H’) berkisar 0 – 3 dengan kriteria

sebagai berikut: jika H’ (0 < 2) tergolong rendah, H’ (2 < 3) tergolong sedang, H’

(> 3) atau lebih tergolong tinggi. Sehingga dapat dilihat dari tabel 5 dan tabel 6,

No Jenis Indeks Keanekaragaman

Semai Pancang Pohon

1 Avicennia marina -0,32 -0,12 -0,30

2 Lumnitzera racemosa -0,15 -0,33 -0,09

3 Xylocarpus granatum -0,09 -0,03 -0,28

4 Bruguiera parviflora -0,31 -0,35 -0,35

5 Bruguiera sexangula -0,35 -0,18 -0,09

6 Rhizophora apiculata -0,35 -0,29 -0,37

7 Rhizophora mucronata 0 0 -0,09

8 Morinda citrifolia L. -0,06 -0,11 -0,09

(44)

keanekaragaman hayati yang terdapat di masing-masing lokasi penelitian ini

tergolong rendah ( H’= 0 < 2 ).

Potensi Karbon Tersimpan

Hasil pengukuran biomasa vegetasi mangrove untuk tingkat pertumbuhan

pohon pada 30 plot contoh yang terdapat pada lokasi hutan sekunder di Desa Pulau

Sembilan, Kecamatan pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara dapat

dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Biomasa Vegetasi mangrove pada lokasi hutan sekunder di Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Dari Tabel 7 dapat diihat bahwa jenis vegetasi L. racemosa mempunyai

potensi biomasa yang tertinggi dengan jumlah biomasa 35.944,45 kg/Ha dan yang

terendah terdapat pada S. alba dengan jumlah biomasa 2.421,07 kg/Ha. Hasil

pengukuran pada plot contoh penelitian di lokasi hutan mangrove menunjukan bahwa

No Nama lokal Nama ilmiah W

1 Api-api putih Avicennia marina 2.421,07

2 Truntun Lumnitzera racemosa 35.944,45

3 Buta-buta Excoecaria agallocha 6.827,31

4 Bakau Rhizophora apiculata 3.251,54

5 Pedada Sonneratia alba 3.145,46

Jumlah kg/Ha 51.589,83 kg/Ha

Estimasi Karbon (C=total biomassa kg/ha x 0,46) 23.731,32 kg/Ha

Jumlah ton/Ha 23,73 ton/Ha

(45)

kawasan Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat,

Sumatera Utara memiliki total biomasa tegakan mangrove sebesar 51.589,83 kg/Ha

dengan potensi karbon 23,73 ton/Ha.

Hasil pengukuran biomasa vegetasi mangrove untuk tingkat pertumbuhan

pohon pada 30 plot contoh yang terdapat pada lokasi tambak di Desa Pulau Sembilan,

Kecamatan pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara dapat dilihat pada

Tabel 8.

Tabel 8. Biomasa Vegetasi mangrove pada lokasi tambak di Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Dari Tabel 8 dapat diihat bahwa jenis vegetasi R. apiculata mempunyai

potensi biomasa yang tertinggi dengan jumlah biomasa 2.297,91 kg/Ha dan yang

terendah terdapat pada R. mucronata dengan jumlah biomasa 43,80 kg/Ha. Hasil

No Nama local Nama ilmiah W

1 Api-api putih Avicennia marina 518,61

2 Truntun Lumnitzera racemosa 51,74

3 Nyirih Xylocarpus granatum 461,23

4 Lenggadai Bruguiera parviflora 1.007,54

5 Mata buaya Bruguiera sexangula 117,16

6 Bakau Rhizophora apiculata 2.297,91

7 Bakau hitam Rhizophora mucronata 43,80

8 Mengkudu Morinda citrifolia L. 59,44

Jumlah kg/Ha 4.557,43 kg/Ha

Estimasi Karbon (C=total biomassa kg/ha x 0,46) 2.096,42 kg/Ha

(46)

pengukuran pada plot contoh penelitian di lokasi tambak menunjukan bahwa kawasan

Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera

Utara memiliki total biomasa tegakan mangrove sebesar 4.557,43 kg/Ha dengan

potensi karbon 2,10 ton/Ha.

(47)

Pembahasan

Kekayaan Jenis dan Kerapatan Vegetasi Mangrove

Dari hasil analisis vegetasi pada 30 plot sampel penelitian yang telah

dilakukan di masing-masing lokasi penelitian ditemukan 7 famili vegetasi mangrove.

Pada lokasi hutan mangrove terdapat 5 famili vegetasi yang terdiri dari:

Avicenniaceae, Combretaceae, Euphorbiaceae, Rhizoporaceae, dan Sonneratiaceae

dengan 5 sepesies yang terdiri dari : A. marina, L. racemosa, E. agallocha, R.

apiculata, dan S. alba. Jumlah vegetasi setiap tingkat pertumbuhan/ha ditemukan

semai sebanyak 20 batang, pancang 92 batang dan tingkat pertumbuhan pohon 384

batang. Pada lokasi tambak juga terdapat 5 famili vegetasi yang terdiri dari:

Avicenniaceae, Combretaceae, Meliaceae, Rhizoporaceae, dan Rubiaceae dengan 8

sepesies yang terdiri dari : A. marina, L. racemosa, X. granatum, B. parviflora, B.

sexangula, R. apiculata, R. mucronata, dan M. citrifolia. Jumlah vegetasi setiap

tingkat pertumbuhan/ha ditemukan semai sebanyak 78 batang, pancang 193 batang

dan tingkat pertumbuhan pohon 42 batang.

Pada lokasi hutan mangrove di kawasan Desa Pulau Sembilan, Kecamatan

Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat pada dasarnnya merupakan lahan bekas kegiatan

reboisasi yang dilakukan masyarakat dan Departemen Kehutanan sekitar tahun 90an.

Hal ini dapat dilihat dengan pertumbuhan tinggi dan diameter tiap jenis mangrove

yang relatif sama pada setiap plot, dan jenis vegetasi yang banyak dijumpai adalah

pada tingkat pertumbuhan pohon, sedangkan vegetasi dengan tingkat pertumbuhan

(48)

penyebaran tergolong rendah. Sedangkan pada lokasi tambak di kawasan Desa Pulau

Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat merupakan lahan yang

mayoritas digenangi oleh air. Jenis vegetasi yang banyak dijumpai adalah pada

tingkat pertumbuhan semai dan pancang, sedangkan vegetasi dengan tingkat

pertumbuhan pohon sedikit ditemukan. Ini disebabkan oleh keadaan tempat

tumbuhnya yang mayoritas digenangi oleh air, sehingga penyebaran tergolong lebih

tinggi dibandingkan dengan yang berada di lokasi hutan mangrove.

Keanekaragaman jenis yang tinggi merupakan indikator dari kemantapan atau

kestabilan dari suatu lingkungan pertumbuhan. Kestabilan yang tinggi menunjukkan

tingkat kompleksitas yang tinggi, hal ini disebabkan terjadinya interaksi yang tinggi

pula sehingga akan mempunyai kemampuan lebih tinggi dalam menghadapi

gangguan terhadap komponen-komponennya (Barbour et al ,1987). Pada tabel 6

dapat dilihat bahwa pada lokasi hutan mangrove, dari 5 jenis vegetasi mangrove yang

ditemukan dalam plot penelitian diketahui bahwa indeks keanekaragaman vegetasi

mangrove untuk tingkat pertumbuhan semai (H' = 1,4875), pancang (H' = 1,3761),

dan pohon (H' = 1,1066), maka berdasarkan Barbour, et al, (1987) apabila nilai H' 0-2

adalah termasuk kriteria keanekaragaman vegetasinya tergolong rendah. Demikian

juga halnya dengan yang ditemukan pada lokasi tambak yang dapat kita lihat dari

tabel 7, dari 8 jenis vegetasi mangrove yang ditemukan dalam plot penelitian

diketahui bahwa indeks keanekaragaman vegetasi mangrove untuk tingkat

pertumbuhan semai (H' = 1,63), pancang (H' = 1,44), dan pohon (H' = 1,72).

(49)

Dominansi

Baik tidaknya pertumbuhan mangrove dalam suatu komunitas dapat dilihat

dari analisis kondisi vegetasinya yang menunjukkan besar kecilnya peranan suatu

jenis terhadap komunitas yang ada. Keadaan ini dapat dilihat dalam indeks nilai

penting yang dimiliki oleh suatu jenis mangrove. INP yang tinggi menggambarkan

bahwa jenis-jenis ini mampu bersaing dengan lingkungannya dan disebut jenis

dominan atau menguasai ruang di dalam komunitas tersebut. Hal ini disebabkan jenis

tersebut mempunyai kesesuaian tempat tumbuh yang baik serta mempunyai daya

tahan hidup yang baik pula jika dibandingkan dengan jenis lain yang ada dalam

komunitas tersebut. Sebaliknya, rendahnya INP pada jenis tertentu mengindikasikan

bahwa jenis ini kurang mampu bersaing dengan lingkungan yang ada disekitarnya

serta jenis lainnya. Rendahnya ketahanan terhadap gejala alam serta besarnya

eksploitasi mengakibatkan jenis-jenis tersebut dapat berkurang dari tahun ke

tahunnya.

Berdasarkan nilai tertinggi dari INP pada lokasi hutan mangrove dapat

diketahui bahwa jenis yang mendominansi pada tingkat semai antara lain R. apiculata

(INP = 82,11%), E. agallocha (INP = 41,06%) dan L. racemosa (INP = 31,18%).

Pada tingkat pancang jenis- jenis yang dominan antara lain R. apiculata (INP =

88,67%) , E. agallocha (INP = 36,34%), dan S. alba (INP = 29,03 %), dan pada

tingkat pohon adalah R. apiculata (INP = 116,13%) , E. agallocha (INP = 50,32%),

dan S. alba (INP = 46,88%). Sedangkan pada lokasi tambak, jenis yang

(50)

jenis- jenis yang dominan antara lain B. parviflora (INP = 67,92%), L. racemosa

(INP = 33,82%), dan R. apiculata (INP = 30,96%), dan pada tingkat pohon adalah R.

apiculata (INP = 75,48%), B. parviflora (INP = 67,92%), dan A. marina (INP =

45,53%). Jenis-jenis ini membentuk hutan mangrove di daerah zona inti yang mampu

bertahan terhadap pengaruh salinitas (garam). Kebanyakan jenis mangrove

mempunyai adaptasi khusus yang memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang

dalam substrat/lahan mangrove seperti kemampuan berkembang biak, toleransi

terhadap kadar garam tinggi, kemampuan bertahan terhadap perendaman oleh pasang

surut dan memiliki akar napas.

Jenis yang mendominansi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain;

faktor genetik dan lingkungan, persaingan antara tumbuhan yang ada, dalam hal ini

berkaitan dengan iklim dan mineral yang diperlukan. Iklim dan mineral yang

dibutuhkan akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan suatu spesies,

sehingga spesies tersebut akan lebih unggul dan lebih banyak ditemukan di dalam

suatu kawasan. Ini dapat dilihat pada kawasan Desa Pulau Sembilan, Kecamatan

Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat dimana vegetasi yang mendominan terdapat

pada jenis vegetasi R. apiculata yang hampir terdapat pada setiap plot pengamatan.

Dominasi oleh jenis R. apiculata juga disebabkan oleh mudahnya propagul

jenis tersebut tumbuh dan didukung oleh daur hidup yang khusus dari jenis bakau

tersebut dengan benih yang dapat berkecambah pada masih berada pada induk

sehingga sangat mendukung pada proses distribusi yang luas dari jenis tersebut. Pada

tingkat pohon jenis yang mendominasi adalah tanaman bakau. Banyaknya indukan

pohon bakau yang mendominasi ini dapat sebagai penghasil sebaran biji dalam

(51)

jumlah yang banyak sehingga penyebaran biji, cukup mengasilkan distribusi yang

luas tingkat semai dan tingkat pancang yang luas pula dari jenis tersebut.

Hal lain yang menjadi faktor dominan mengapa jenis Bakau (R. apiculata)

sangat mendominasi adalah adanya kegiatan rehabilitasi pada lahan hutan pesisir di

Desa Pulau Sembilan ini pada tahun 1990-an karena hutan sempat ditebang habis

oleh warga sekitar untuk keperluan sehari-hari seperti kayu bakar. Data yang

diperoleh dari warga setempat bahwa penanaman kembali yang diadakan pada tahun

tersebut banyak menggunakan spesies Bakau (R. apiculata) ini dengan jarak tanam

yang diatur sehingga hutan pesisir di Desa Pulau Sembilan ini termasuk ke dalam

hutan yang seumur dengan tingkat kerapatan tajuk dan tinggi yang hampir serupa.

Kegiatan rehabilitasi ini juga yang menjadi alasan mengapa spesies lainnya

mempunyai dominasi yang rendah dibandingkan dengan spesies dari jenis Bakau (R.

apiculata).

Onrizal (2005) juga melaporkan, jenis yang dominan mempunyai

produktivitas yang besar, dan dalam menentukan suatu jenis vegetasi dominan yang

perlu diketahui adalah diameter batangnya. Keberadaan jenis dominan pada lokasi

penelitian menjadi suatu indikator bahwa komunitas tersebut berada pada habitat

yang sesuai dan mendukung pertumbuhannya. Beberapa hal yang mempengaruhi

kondisi hutan mangrove adalah pasang surut air laut, salinitas, kondisi subrat tempat

tumbuh dan keterbukaan terhadap hempasan gelombang. Dengan adanya kondisi

yang berpengaruh tersebut hutan mangrove beradaptasi dalam hal sistem akar napas

(52)

buah (vivipar, kriptovivipar dan biji normal), dan pola zonasi pertumbuhan dan

komposisi mangrove (Kustanti, 2011).

Berbeda halnya dengan jumlah yang vegetasi yang minoritas, jumlah yang

sedikit ini disebabkan karena ekologi dari spesies Api-api putih (A. marina) yang

tumbuh pada tanah yang payau dan bersalinitas tinggi, hal ini tidak sesuai dengan

karakteristik lokasi penelitian dimana mayoritas tanahnya dipengaruhi oleh air tawar.

Sedangkan pada spesies mengkudu (M. citrifolia) mempunyai ekologi yang sesuai

dengan lokasi tempat tumbuh yaitu memerlukan masukan air tawar dalam jumlah

yang besar namun karena adanya kegiatan rehabilitasi lahan yang dilakukan sehingga

tanaman ini jumlah yang minoritas karena telah didominasi oleh tanaman hasil

rehabilitasi lahan.

Potensi Karbon Tersimpan

Menurut Arief (2001) biomassa merupakan hasil fotosintesis berupa selulosa,

lignin, gula bersama dengan lemak, pati, protein, damar, fenol dan berbagai senyawa

lainnya begitu pula unsur hara, nitrogen, fosfor, kalium dan berbagai unsur lain yang

dibutuhkan tumbuhan melalui perakaran. Di alam sendiri proporsi penyimpanan

karbon terbesar umumnya terdapat pada komponen tegakan atau biomasa pohon.

Biomassa tegakan di kawasan Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan

Susu, dihitung dengan pendekatan alometrik dengan menggunakan rumus yang telah

diperkenalkan Komiyama et al. (2008). Hasil pengukuran pada plot contoh penelitian

menunjukan bahwa pada kawasan lokasi hutan mangrove memiliki total biomasa

(53)

tegakan mangrove sebesar 51.589,83 kg/Ha dengan potensi karbon sebesar 23,73

ton/ha. Sementara hasil pengukuran lokasi tambak sebesar 4.557,43 ton/Ha dengan

potensi karbon sebesar 2,10 ton/Ha.

Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan dapat diketahui bahwa jumlah

karbon tersimpan di kedua lokasi terdapat perbedaan yang signifikan. Potensi

cadangan karbon yang terdapat pada hutan mangrove (23,73 ton/Ha) lebih tinggi dari

potensi cadangan karbon yang terdapat pada lokasi tambak (2,10 ton/Ha).

Perbedaan jumlah cadangan karbon pada setiap lokasi penelitian disebabkan

karena perbedaan kerapatan tumbuhan pada setiap lokasi. Cadangan karbon pada

suatu sistem penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh jenis vegetasinya. Suatu sistem

penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai nilai

kerapatan kayu tinggi, biomasanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan

yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu rendah (Rahayu, et al., 2007) .

Tinggi rendahnya jumlah spesies pada suatu hutan selain dipengaruhi oleh kondisi

habitat dan faktor lingkungan juga tingkat gangguan baik dari hewan dan terutama

akibat kegiatan manusia. Mengingat jumlah karbon yang semakin meningkat pada

saat ini harus diimbangi dengan jumlah serapannya oleh tumbuhan guna menghindari

pemanasan global. Dengan demikian dapat diduga berapa banyak tumbuhan yang

harus ditanam pada suatu lahan untuk mengimbangi jumlah karbon yang terbebas.

Nilai karbon tersimpan menyatakan banyaknya karbon yang mampu diserap

oleh tumbuhan dalam bentuk biomassa. Jumlah karbon yang semakin meningkat pada

(54)

pemanasan global. Dengan demikian dapat diramalkan berapa banyak tumbuhan yang

harus ditanam pada suatu lahan untuk mengimbangi jumlah karbon yang terbebas.

Lasco (2002) juga menyatakan bahwa peningkatan penyerapan cadangan

karbon dapat dilakukan dengan (a) meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan

secara alami, (b) menambah cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman

pohon atau mengurangi pemanenan kayu, dan (c) mengembangkan hutan dengan

jenis pohon yang cepat tumbuh, karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam

bentuk biomasa kayu, sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan

cadangan karbon adalah menanam dan memelihara pohon

(55)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pada lokasi hutan mangrove ditemukan 5 jenis vegetasi pada setiap tingkat

pertumbuhan, pada lokasi tambak terdapat 8 jenis vegetasi yang ditemukan

pada seluruh tingkat pertumbuhan yaitu pada tingkat semai (7 jenis), tingkat

pancang (7 jenis), dan tingkat pohon (8 jenis). Indeks Nilai Penting (INP) di

lokasi hutan mangrove pada tingkat semua pertumbuhan didominasi oleh

jenis Rhizopora apiculata, yang terendah pada jenis Avicennia marina, di

lokasi tambak didominasi oleh jenis Rhizopora apiculata dan Bruguiera

parviflora, yang terendah pada jenis Morinda citrifolia dan Rhizophora

mucronata. Indeks keanekaragaman vegetasi mangrove pada lokasi hutan

mangrove untuk tingkat pertumbuhan semai (H' = 1,49), pancang (H' = 1,38),

dan pohon (H' = 1,11), pada lokasi tambak untuk tingkat pertumbuhan semai

(H' = 1,63), pancang (H' = 1,44), dan pohon (H' = 1,72), kriteria

keanekaragaman vegetasinya tergolong rendah.

2. Pada kawasan lokasi hutan mangrove memiliki total biomasa tegakan

mangrove sebesar 35.944,45 kg/Ha dengan potensi karbon sebesar 23,73

ton/ha. Sementara hasil pengukuran lokasi tambak sebesar 4.557,43 kg/Ha

dengan potensi karbon sebesar 2,10 ton/Ha. Potensi cadangan karbon yang

terdapat pada hutan mangrove (23,73 ton/Ha) lebih tinggi dari potensi

(56)

Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang potensi cadangan karbon di hutan

mangrove dan tambak di desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu,

Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

(57)

DAFTAR PUSTAKA

Adame, M. F dan Catherine, E. L. 2011. Carbon and Nutrient exchange of mangrove

forests with the coastal ocean. Hydrobiologia (663):23-50.

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogyakarta.

Ashton, P.S., and P. Hall. 1992. Comparisons of structure among mixed dipterocarp

forests of north-western Borneo. Journal of Ecology 80: 459-481.

Aumeeruddy, Y. 1994. Local Representations and Management of Agroforests on the

Periphery of Kerinci Seblat National Park, Sumatra, Indonesia, People and

Plants Working Paper 3. Paris: UNESCO.

Baker, P.J. and J.S. Wilson. 2000. A quantitative technique for the identification of

canopy stratifikasi in tropical and temperate forests. Forest Ecology and Management 127: 77-86.

Barbour, M.G,. Burk. J.H., dan Pitts, W.D., 1987. Torrestrial Plant Ecology. Second

Edition. Menlo Park CA : The Benjamin Cumming Pub. Co. Inc.

Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. 1991. Statistik Perikanan

Indonesia. Jakarta.

Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. 1997. Statistik Perikanan

Indonesia. Jakarta.

Dubayah, R., J.B. Blair, J.L. Bufton, D.B. Clark, J. Jaja, R. Knox, S. Luthcke, S. Prince and J. Weishampel. 1997. The vegetation canopy lidar mission, Land

Satellite Information in the Next Decade II: Sources and Applications. ASPRS Proceedings: 100-112.

Chapman, V.J. 1992. Wet coastal formations of Indo Malesia and Papua- New

Guinea. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier.

Clark, D.A. dan D.B. Clark. 1991. The impact of physical damage on canopy tree

regeneration in tropical rain forests. Journal of Ecology 79: 447-457.

Finzi, A.C and C.D. Canham. 2000. Sapling growth in response to light and nitrogen

Gambar

Gambar 1. Peta Lokasi Peneltian di Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat
Gambar 2. Pengambilan contoh menggunakan metode jalur berpetak
Tabel 1. Rumus perhitungan alometrik yang direview oleh Komiyama et al. (2008)
Tabel 1. Kekayaan jenis dan potensi vegetasi mangrove yang ditemui pada lokasi hutan sekunder di Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Jika suatu permintaan ekstradisi dibuat atas dasar pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1), dan jika Negara Pihak yang diminta menolak atau

[r]

CABANG OLAH RAGA FUTSAL MA/SMA/SMK

[r]

CABANG LOMBA SEPAK TAKRAW MTS/SMP

[r]

CABANG OLAH RAGA BULU TANGKIS MTs/SMP PUTRA 1..