• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekosistem Mangrove

Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizophora spp). Nama mangrove diberikan kepada jenis tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di pantai atau goba-goba yang menyesuaikan diri pada keadaan asin. Kadang-kadang kata mangrove juga berarti suatu komunitas (mangrove). Sering kita jumpai kata mangal untuk komunitas mangrove dan untuk mangrove sebagai jenis tumbuh-tumbuhan. Ekosistem mangrove didefiniskan sebagai mintakat pasut dan mintakat supra-pasut dari pantai berlumpur dan teluk, goba dan estuari yang didominasi oleh halofita, yakni tumbuh-tumbuhan yang hidup di air asin, berpokok dan beradaptasi tinggi, yang berkaitan dengan anak sungai, rawa dan banjiran,

bersama-sama dengan populasi tumbuh-tumbuhan dan hewan (Romimohtarto dan Juwana, 2001).

Hutan mangrove sering dianggap sebagai ekosistem yang sangat berbeda. Kondisi lingkungan tumbuh yang ekstrim, karena faktor lingkungan yang mempengaruhi yaitu salinitas air tanah dan genangan air. Hutan mangrove memiliki berbagai kepentingan untuk lingkungan, satwa liar dan perikanan, dan telah dimanfaatkan oleh manusia untuk berbagai produk alami. Eksploitasi oleh manusia ini memiliki efek penting pada ekosistem. Daerah Sumatera, hutan mangrove telah mempelajari lebih dari hampir semua ekosistem alam lainnya. Setiap provinsi sumatera memiliki beberapa pantai, jika hanya dalam teluk terlindung sedikit atau pintu masuk sungai atau di sekitar pulau lepas pantai tetapi

dari 1.470.000 hektar hutan mangrove lebih dari 60% berada di Riau dan Sumatera Selatan (Whitten, dkk., 1987).

Hutan mangrove merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial. Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam mempertahankan, melestarikan dan pengelolaannya. Hutan mangrove sangat menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber pakan habitat biota laut (Waryono, 2002).

Daerah dimana air dangkal dan gelombang tidak terlalu besar, mangrove memiliki biji yang panjang mengambang di dalam air. Ketika benih menjadi penangkap dalam lumpur, mangrove mengambil akar. Pohon-pohon dapat mengeluarkan garam dari daun. Mangrove juga telah mengembangkan secara ekstensif akar yang berada di atas air, di mana dapat memperoleh oksigen dan menopang tanaman. Pohon-pohon perangkap sedimen dan menyediakan tempat bagi kepiting, ubur-ubur, spons, dan ikan hidup. Perangkap sedimen dan gerakan terus-menerus mangrove ke daerah dangkal mengakibatkan pengembangan ekosistem terestrial di laut dangkal. Hutan bakau ditemukan di Florida Selatan,

Karibia, Sotheast Asia, Afrika, dan bagian lain dari dunia di mana kondisi yang cocok (Enger dan Smith, 2000).

Peristiwa pasang-surut yang berpengaruh langsung terhadap ekosistem mangrove menyebabkan komunitas ini umumnya didominasi oleh spesies-spesies pohon yang keras atau semak-semak yang mempunyai manfaat pada perairan payau. Faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi komunitas mangrove, yaitu salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut, arus, kekeruhan, dan substrat dasar. Kondisi fisika kimia perairan hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh volume air tawar dan air laut yang bercampur. Mangrove tumbuh dengan baik dari ketinggian permukaan laut sampai dengan rata-rata permukaan pasang (Talib, 2008).

Segala bentuk usaha pemanfaatan dan pengelolaan mangrove harus direncanakan secara seksama agar kelestariannya tetap terjaga, serta memerlukan data-data mengenai kondisi habitat disertai dengan indikator yang mencerminkan peranannya terhadap kelangsungan hidup organisme di perairan sekitarnya. Fungsi ekologis mangrove akan berjalan dengan baik apabila parameter lingkungan tempat vegetasi mangrove hidup berada dalam kondisi yang baik. Karakteristik habitat mangrove yang berbeda akan memiliki kondisi lingkungan perairan yang berbeda juga (Ulqodry, dkk., 2010).

Peran dan Fungsi Mangrove

Mangrove merupakan contoh ekosistem yang banyak ditemui di sepanjang pantai tropis dan estuari. Ekosistem ini memiliki fungsi sebagai penyaring bahan nutrisi dan penghasil bahan organik, serta berfungsi sebagai daerah penyangga antara daratan dan lautan. Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat, antara

lain; sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen; penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan pohon mangrove; daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari makan (feeding grounds) dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya; penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, dan bahan baku kertas (pulp); pemasok larva ikan, udang, dan biota laut lainnya; dan sebagai tempat pariwisata (Talib, 2008).

Manfaat ekonomis mangrove, juga cukup memegang peranan penting bagi masyarakat, karena merupakan wahana dan sumber penghasilan seperti ikan, ketam, kerang dan udang, serta buah beberapa jenis mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Manfaat lainnya merupakan sumber pendapatan masyarakat melalui budidaya tambak, kulit mangrove bermanfaat dalam industri penyamak kulit, industri batik, patal dan pewarna jaring, serta sebagai wahana wisata alam, penelitian dan laboratorium pendidikan. Mencermati atas karakteristik ekosistem dan peranan fungsinya, nampaknya degradasi (kerusakan) kawasan mangrove akan menyebabkan berbagai fenomena baik terhadap kehidupan biota perairan, dan kehidupan liar lainnya, maupun sebagai sumber kehidupan masyarakat di sekitarnya (Waryono, 2002).

Mangrove juga bermanfaat bagi beberapa jenis burung migran sebagai lokasi antara (stop over area) dan tempat mencari makan, karena ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang kaya sehingga dapat menjamin ketersediaan pakan selama musim migrasi. Vegetasi mangrove juga memiliki kemampuan untuk memelihara kualitas air karena vegetasi ini memiliki kemampuan luar biasa untuk menyerap polutan (logam berat Pb, Cd dan Cu), di Evergaldes negara

bagian California Amerika Serikat, mangrove adalah komponen utama dalam menyaring polutan sebelum dilepas ke laut bebas (Setiawan, 2013).

Fungsi hutan mangrove adalah sebagai pencegah abrasi (pengikisan tanah akibat air laut), penghasil oksigen, tempat tinggal berbagai tumbuhan dan hewan kecil seperti kepiting, kerang, ikan-ikan kecil, dan tempat tinggal spesies primata, burung-burung dan masih banyak manfaat yang lain. Melihat manfaat dari hutan mangrove, masyarakat mempunyai peran yang besar untuk melestarikannya karena menyusutnya hutan mangrove akibat dari berbagai kegiatan masyarakat seperti pencemaran dan penggunaan kawasan hutan mangrove sebagai lahan tambak (Eflaha, 2014).

Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonservasi area hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itu, juga meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove cukup besar adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan. Kegiatan terakhir ini memberikan konstribusi terbesar dalam pengrusakan ekosistem mangrove. Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya. Secara umum, ada beberapa permasalahn yang timbul karena ketidaktahuan akan nilai alamiah yang dapat diberikan olehekosistem mangrove dan ketiadaan perencanaan untuk pengembangan secara integral (Dahuri, dkk., 2004).

Zonasi Mangrove

Hutan mangrove dapat dibagi menjadi lima bagian berdasarkan frekuensi air pasang, yaitu; zonasi yang terdekat dengan laut, akan didominasi oleh Avicennia spp dan Sonneratia spp, tumbuh pada lumpur lunak dengan kandungan organik yang tinggi. Avicennia spp tumbuh pada substrat yang agak keras, sedangkan Avicennia alba tumbuh pada substrat yang agak lunak; zonasi yang tumbuh pada tanah kuat dan cukup keras serta dicapai oleh beberapa air pasang. Zonasi ini sedikit lebih tinggi dan biasanya didominasi oleh Bruguiera cylindrica; ke arah daratan lagi, zonasi yang didominasi oleh Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata. Jenis Rhizophora mucronata lebih banyak dijumpai pada kondisi yang agak basah dan lumpur yang agak dalam. Pohon-pohon yang dapat tumbuh setinggi 35-40 m. Pohon lain yang juga terdapat pada hutan ini mencakup Bruguiera parviflora dan Xylocarpus granatum; hutan yang didominasi oleh Bruguiera parviflora kadang-kadang dijumpai tanpa jenis pohon lainnya; hutan mangrove di belakang didominasi oleh Bruguiera gymnorrhiza (Talib, 2008). Pola zonasi mangrove dapat dilihat pada Gambar 2.

Karena sifat lingkungannya keras, misalnya karena genangan pasang-surut air laut, perubahan salinitas yang besar, perairan yang berlumpur tebal dan anaerobik, maka pohon-pohon mangrove telah beradaptasi untuk itu baik secara morfologi maupun fisiologi. Adaptasi tersebut antara lain dapat terlihat pada bentuk sistem perakaran mangrove yang khas. Perakaran ini berfungsi antara lain untuk membantu mangrove bernafas dan tegak bediri. Ada jenis-jenis yang mempunyai akar horizontal di dalam tanah dan di sana-sini mencuat keluar, tegak bagaikan tonggak-tonggak tajam seperti pada api-api (Avicennia spp). Ada pula yang akarnya tersembul ke permukaan dan melengkung bagaikan lutut seperti pada tanjang (Bruguiera spp). Selain itu ada pula yang akar-akarnya mencuat dari batang, bercabang-cabang mengarah ke bawah dan menggantung kemudian masuk ke tanah seperti pada bakau (Rhizophora spp) (Nontji, 1987). Bentuk spesifikasi akar pada mangrove dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk Spesifikasi Akar Pada Mangrove (Kusmana, dkk., 2005) (a) Akar Papan (Heritiera spp.), (b) Akar Pasak atau Akar Napas

(Avicennia spp., Sonneratia spp. dan Xylocarpus spp.), (c) Akar Tunjang (Rhizophora spp.) dan (d) Akar Lutut (Bruguiera spp.) (a)

(d) (c)

Kualitas Air Suhu

Suhu merupakan suatu ukuran yang menunjukan derajat panas benda. Suhu biasa diGambarkan sebagai ukuran energi gerakan molekul. Suhu sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem suatu perairan. Suhu sangat memengaruhi segala proses yang terjadi di perairan baik fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu juga mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi pertumbuhannya. Makin tinggi kenaikan suhu air, maka makin sedikit oksigen yang terkandung di dalamnya. Suhu yang berbahaya bagi makrozoobentos adalah yang lebih kurang dari 35˚ C (Marpaung, 2013).

Kenaikan suhu air mengakibatkan menurunnya oksigen terlarut di dalam air, meningkatnya kecepatan reaksi kimia, terganggunya kehidupan ikan dan hewan air lainnya. Naiknya suhu air yang relatif tinggi seringkali ditandai dengan munculnya ikan-ikan dan hewan air lainnya ke permukaan air untuk mencari oksigen. Jika suhu tersebut tidak juga kembali pada suhu normal, lama kelamaan dapat menyebabkan kematian ikan dan hewan lainnya (Nugroho, 2006).

Salinitas

Perubahan salinitas akan memengaruhi keseimbangan di dalam tubuh organisme melalui perubahan berat jenis air dan perubahan tekanan osmosis. Semakin tinggi salinitas, semakin besar tekanan osmosisnya sehingga organisme harus memiliki kemampuan beradaptasi terhadap perubahan salinitas sampai batas

tertentu melalui mekanisme osmoregulasi, yaitu kemampuan mengatur konsentrasi garam atau air di cairan internal (Marpaung, 2013).

Keanekaragaman dan jumlah spesies organisme perairan mencapai maksimum pada perairan samudera dengan kisaran salinitas 30 - 40 %o. Kemudian berturut-turut menurun pada perairan tawar ( < 0,5 – 30 %o ), hypersalin ( 40 - 80 %o ) dan brine water ( > 80 %o ). Toleransi terhadap salinitas yang rendah pada hewan intertida berhubungan dengan beberapa mekanisme seperti pasang surut yang dipengaruhi oleh curah hujan dan penguapan yang besar

dan aktivitas manusia berupa adanya pembendungan sungai atau kanal (Faozan, 2004).

Oksigen terlarut (DO)

Oksigen terlarut dalam air berasal dari hasil proses fotosintesis oleh fitoplankton atau tanaman air lainnya dan difusi dari udara. Oksigen terlarut merupakan unsur senyawa kimia yang sangat penting untuk mendukung kehidupan organisme dalam suatu perairan. Oksigen terlarut digunakan oleh organisme perairan dalam proses respirasi. Secara alami senyawa kimia ini terdapat dalam air laut pada kadar yang sesuai. Perubahan kadar yang terjadi tentu akan mempengaruhi kehidupan organisme yang hidup dalam perairan. Rendahnya kandungan oksigen di perairan ini diduga karena masuknya bahan-bahan organik ke perairan, sehingga memerlukan banyak oksigen untuk menguraikannya. Semakin banyak bahan buangan organik yang ada di dalam air, semakin sedikit sisa kandungan oksigen yang terlarut di dalamnya (Patty, 2015).

Oksigen terlarut dalam air pada umumnya berasal dari difusi oksigen udara melalui permukaan air, aliran air, air hujan dan hasil fotosintesis tumbuhan air pada siang hari. Oksigen merupakan salah satu unsur yang penting di perairan yaitu sebagai pengatur proses-proses metabolisme komunitas, selain itu, kandungan produktivitas primer di suatu perairan dari hasil fotosintesis (Nugroho, 2006).

Derajat Keasaman (pH)

Air laut adalah sistem penyangga yang sangat luas dengan pH yang relatif stabil antara 7,0 – 8,0. Perubahan nilai pH air laut yang kecil saja dari nilai alaminya menunjukkan sistem penyangga perairan tersebut terganggu sebab air laut sebetulnya mempunyai kemampuan untuk mencegah perubahan pH. Kisaran pH yang baik dan netral untuk mangrove adalah 5- 7,6. Bila pH terlalu rendah dapat mengakibatkan terhambatnya bahan organik menjadi netral (Faozan, 2004).

Nilai pH suatu perairan mencerminkan keseimbangan antara asam dan basa dalam air. Nilai pH perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ialah aktivitas fotosintesis, aktivitas biologi, suhu, kandungan oksigen dan adanya kation serta anion dalam perairan. Komunitas Rhizophora spp. dan Avicennia spp. hidup pada sustrat dengan pH 6,6 dan 6,2 ketika dalam keadaan penuh air, tetapi pada kedaan kering pH akan turun menjadi 4,6 dan 5,7 untuk Avicennia spp. (Sadat, 2004).

Substrat

Substrat dasar merupakan salah satu faktor ekologis utama yang mempengaruhi struktur komunitas makrobentos. Penyebaran makrobentos dapat dengan jelas berkorelasi dengan tipe substrat. Makrobentos yang mempunyai sifat penggali pemakan deposit cenderung melimpah pada sedimen lumpur dan sedimen lunak yang merupakan daerah yang mengandung bahan organik yang tinggi. Substrat dasar atau tekstur tanah merupakan komponen yang sangat penting bagi kehidupan organisme. Substrat di dasar perairan akan menentukan kelimpahan dan komposisi jenis dari hewan bentos. Komposisi dan kelimpahan fauna invertebrata yang berasosiasi dengan mangrove berhubungan dengan variasi salinitas dan kompleksitas substrat (Susiana, 2011).

Karakteristik substrat diketahui juga menentukan kehidupan komunitas mangrove, substrat sedimen di daerah hutan mangrove mempunyai ciri-ciri selalu basah, mengandung garam, memiliki oksigen yang sedikit, berbutir-butir dan kaya akan bahan organik. Perbedaan tingkat kerapatan vegetasi mangrove serta jenis mangrove yang ditemukan juga berpengaruh terhadap kandungan bahan organik pada substrat dimana sesuai dengan besarnya nilai tingkat kerapatan suatu mangrove akan mempengaruhi proses penguraian dari bahan organik tersebut jenis mangrove juga ikut andil dalam proses cepat atau lambatnya proses penguraian tersebut rendahnya nilai kandungan bahan organik ini mengindikasikan bahwa pengaruh dari tingkat pasang surut yang tinggi sehingga serasah yang jatuh terangkut kembali terbawa arus dan tidak terurai menjadi bahan organik (Darmadi, dkk., 2012).

Moluska

Filum Moluska merupakan anggota yang terbanyak kedua setelah filum Arthropoda. Terdapat lebih dari 60.000 spesies hidup dan 15.000 spesies fosil. Pada umumnya Moluska menempati zona littoral, termasuk daerah pasang surut. Moluska terutama jenis kerang-kerangan banyak ditemukan terbenam dalam substrat lumpur berpasir. Moluska mempunyai bentuk tubuh yang beranekaragam. Berdasarkan bentuk tubuh, jumlah serta keping cangkang filum Moluska terbagi ke dalam 7 kelas yaitu : Aplacophora, Monoplacophora, Polyplacophora, Gastropoda, Bivalvia, Scaphopoda, dan Cephalopoda (Irawan, 2008).

Moluska merupakan hewan lunak yang mempunyai cangkang. Moluska banyak ditemukan di ekosistem mangrove, hidup di permukaan substrat maupun di dalam substrat dan menempel pada pohon mangrove. Kebanyakan Moluska yang hidup di ekosistem mangrove adalah dari spesies Gastropoda dan Bivalvia. Berbagai macam biota yang hidup di ekosistem mangrove seperti ikan, Moluska, udang, kepiting dan cacing. Mangrove merupakan habitat bagi biota - biota akuatik. Fungsi ekologis mangrove bagi biota-biota tersebut adalah sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah tempat mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) (Hartoni dan Agussalim, 2013).

Kelompok fauna perairan/akuatik yang berkoeksistensi di ekosistem hutan mangrove, terdiri atas dua tipe yaitu; biota yang hidup di kolam air, terutama berbagai jenis ikan dan udang; dan yang menempati substrat baik keras (akar dan batang mangrove) maupun lunak (lumpur) terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya (Talib, 2008).

Apabila salah satu komponen mata rantai suatu rantai makanan mengalami perubahan maka akan merubah keadaan mata rantai yang ada pada suatu ekosistem misalnya pada ekosistem mangrove dengan Moluska, perubahan ini akan berdampak terhadap ketidakstabilan ekosistem, baik dampak secara langsung maupun tidak langsung. Komposisi Moluska pada ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi pada ekosistem tersebut, karena sifat Moluska yang hidupnya cenderung menetap menyebabkan Moluska menerima setiap perubahan lingkungan ataupun perubahan dari dalam hutan mangrove tersebut, misalnya perubahan fungsi hutan mangrove menjadi areal pemukiman ataupun hutan mangrove yang semakin meningkat ini tertutama pada subsektor perikanan yang memanfaatkan hutan tersebut untuk kegiatan budidaya tambak, penambangan atau kegitan pembangunan lainnya yang kurang memperhitungkan akibat sampingannya (Hartoni dan Agussalim, 2013).

Keberadaan Moluska laut sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yang terdiri dari faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik terdiri dari pohon mangrove dan fitoplankton yang merupakan sumber makanan utama bagi Moluska. Faktor abiotik terdiri dari suhu, salinitas, substrat dasaran, dan kandungan bahan organik. Perubahan suhu dapat mempengaruhi perubahan komposisi, kelimpahan, dan keanekaragaman hewan pada suatu perairan. Salinitas juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan Moluska karena organisme laut hanya dapat mentoleransi terhadap perubahan salinitas yang kecil atau lambat. Tiap jenis Moluska memerlukan suatu kombinasi faktor abiotik yang optimum agar jenis tersebut dapat hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik (Ayunda, 2011).

Menurut Rangan (2010), menyatakan bahwa jenis-jenis Moluska yang hidup di hutan mangrove menjadi tiga kelompok sebagai berikut:

1. Jenis-jenis Moluska asli hutan mangrove, adalah jenis Moluska yang seluruh dan sebagian besar waktu hidup dewasanya dihabiskan di hutan mangrove umumnya merupakan pemakan serasah, dengan sebaran dari bagian tengah sampai ke belakang hutan mangrove.

2. Jenis-jenis Moluska fakultatif, adalah jenis Moluska yang menggunakan hutan mangrove sebagai salah satu tempat hidupnya. Umumnya hidup di bagian pinggiran hutan, baik ke arah pantai atau ke arah darat.

3. Jenis-jenis Moluska pengunjung, adalah jenis-jenis yang secara tak sengaja di dalam hutan mangrove. Umumnya hadir di sekitar perbatasan antara hutan dan ekosistem tempat hidupnya.

Komposisi Moluska pada ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi pada ekosistem tersebut, karena sifat Moluska yang hidupnya cenderung menetap menyebabkan Moluska menerima setiap perubahan lingkungan ataupun perubahan dari dalam hutan mangrove tersebut, misalnya perubahan fungsi hutan mangrove menjadi areal pemukiman ataupun hutan mangrove yang semakin meningkat ini tertutama pada subsektor perikanan yang memanfaatkan hutan tersebut untuk kegiatan budidaya tambak, penambangan atau kegitan pembangunan lainnya yang kurang memperhitungkan akibat sampingannya (Hartoni dan Agussalim, 2013).

Cerithidea obtusa

C. obtusa adalah salah satu Gastopoda asli mangrove dari suku Potamididae. Hewan tersebut ummnya berada di bagian akar dan cabang-cabang di atas substrat, atau pada mudbank di daerah pasang surut. Hewan ini sering ditemukan pada tempat yang paling basah pada surut terendah. Spesies ini umumnya berfungsi sebagai makanan di beberapa negara Asia Tenggara, terutama di Indonesia (Rusnaningsih, 2012).

Apertura pada C. obtusa berbentuk bulat (rounded), tanpa saluran siphon yang membentuk celah pada sudut apertura. Karakter penting yang lain adalah ter-erosinya apex pada C. obtusa sehingga membentuk ujung yang tumpul. Berdasarkan karakter apex tercebut C. obtusa dipisahkan dari anggota Cerithidea yang lain. Dari struktur tersebut penamaan obtusa diturunkan (Obtusus = tumpul). C. cingulata menunjukkan modifikasi yang membedakan dari anggota Cerithidea yang lain (Puguh, dkk., 2014).

Cerithidea cingulata

Habitat asli C. cingulata adalah di perairan hutan mangrove. Hewan tersebut dapat ditemukan di dasar perairan, akar perairan, atau menempel pada batang mangrove. Siput tersebut dapat hidup di perairan dengan kisaran salinitas 15 – 45 ppt. Siput C. cingulata tersebut mencapai usia dewasa setelah satu tahun dan umumnya berukuran 15 – 17 mm. Setelah mencapai usia satu tahun, siput tersebut dapat berproduksi dan berkembang biak dengan cepat. Pada salinitas air di atas 48 ppt hewan tersebut akan mati. Nilai pH air yang sesuai untuk C. cingulata berkisar antara 6 – 9 dengan kisaran suhu sekitar 24˚ - 36˚ C. Tekstur

substrat sangat mempengaruhi distribusi C. cingulata. Siput tersebut hampir tidak pernah dijumpai di dekat mulut estuari karena bersubstrat pasir. C. cingulata menghindari substrat pasir dan lumpur murni dan lebih memilih substrat campuran antara pasir dan lumpur. C. cingulata juga memiliki bentuk adaptasi terhadap pasang surut air laut, yakni bergerak seirama pasang surut. Gastropoda tersebut dapat memutuskan untuk naik ke batang mangrove beberapa saat sebelum terjadi pasang surut (Laksmana, 2011).

Gastropoda pada umumnya hidup di permukaan substrat atau menempel pada pohon mangrove. Gastropoda yang hidup di hutan mangrove pada umumnya bersifat bergerak (mobile), bergerak aktif turun naik mengikuti pasang surut sehingga Gastropoda sendiri memiliki adaptasi yang cukup besar dengan

perubahan faktor lingkungan yang disebabkan oleh suhu dan salinitas (Lihawa, dkk., 2004).

Littorina scabra

Habitat L. scabra melimpah di pohon dan akar, di tepi arah laut dari kawasan mangrove, atau kadang-kadang di kayu apung di pantai berpasir di mana tidak ada pohon mangrove serta berlindung dibalik batu. Dikonsumsi secara lokal untuk makanan, terutama di Viet Nam, Teluk Thailand dan Indonesia. Distribusi