• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kandungan C-Organik Substrat terhadap Kepadatan Moluska Gambar 21 menunjukkan hubungan antara kandungan C-Organik substrat

HASIL DAN PEMBAHASAN

7. Hubungan Kandungan C-Organik Substrat terhadap Kepadatan Moluska Gambar 21 menunjukkan hubungan antara kandungan C-Organik substrat

terhadap kepadatan Moluska pada Minggu I di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kandungan C-Organik substrat ditunjukkan dengan persamaan y = 15x + 16,83 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,069 dan koefisien determinasi r = 0,263.

Gambar 21. Grafik Regresi Kandungan C-Organik Substrat terhadap Kepadatan Moluska pada Minggu I

47,4 37,2 32 y = 0,022x - 59,77 R² = 0,851 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 4000 4100 4200 4300 4400 4500 4600 4700 4800 K epa da ta n m o lus k a ( Ind/ m 2)

Kerapatan mangrove (Ind/ha) r = 0,922 63 71 74 y = 15x + 16,83 R² = 0,069 0 15 30 45 60 75 3 3,2 3,4 3,6 3,8 4 K epa da ta n m o lus k a ( Ind/ m 2) C-organik (%) r = 0,263

Gambar 22 menunjukkan hubungan antara kandungan C-Organik substrat terhadap kepadatan Moluska pada Minggu II di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kandungan C-Organik substrat ditunjukkan dengan persamaan y = 25x - 47,16 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,206 dan koefisien determinasi r = 0,453.

Gambar 22. Grafik Regresi Kandungan C-Organik Substrat terhadap Kepadatan Moluska pada Minggu II

Gambar 23 menunjukkan hubungan antara kandungan C-Organik substrat terhadap kepadatan Moluska pada Minggu III di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kandungan C-Organik substrat ditunjukkan dengan persamaan y = 65x - 198,8 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,119 dan koefisien determinasi r = 0,346.

46 35 40 y = 25x - 47,16 R² = 0,206 0 10 20 30 40 50 3 3,1 3,2 3,3 3,4 3,5 3,6 3,7 K epa da a ta n m o lus k a ( Ind/ m 2) C-organik (%) r = 0,453

Gambar 23. Grafik Regresi Kandungan C-Organik Substrat terhadap Kepadatan Moluska pada Minggu III

Gambar 24 menunjukkan hubungan antara kandungan C-Organik substrat terhadap kepadatan Moluska pada Minggu IV di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kandungan C-Organik substrat ditunjukkan dengan persamaan y = -120x + 450,3 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,544 dan koefisien determinasi r = -0,738.

Gambar 24. Grafik Regresi Kandungan C-Organik Substrat terhadap Kepadatan Moluska pada Minggu IV

Gambar 25 menunjukkan hubungan antara kandungan C-Organik substrat terhadap kepadatan Moluska pada Minggu V di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Model

49 12 25 y = 65x - 198,8 R² = 0,119 0 10 20 30 40 50 60 3 3,1 3,2 3,3 3,4 3,5 3,6 3,7 K epa da ta n m o lus k a ( Ind/ m 2) C-organik (%) r = 0,346 43 36 12 y = -120x + 450,3 R² = 0,544 0 10 20 30 40 50 3 3,1 3,2 3,3 3,4 3,5 3,6 3,7 K epa da ta n m o lus k a ( Ind/ m 2) C-organik (%) r = -0,738

hubungan antara kepadatan Moluska dengan kandungan C-Organik substrat ditunjukkan dengan persamaan y = -155x + 428,1 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,62 dan koefisien determinasi r = -0,789.

Gambar 25. Grafik Regresi Kandungan C-Organik Substrat terhadap Kepadatan Moluska pada Minggu V

Gambar 26 menunjukkan hubungan antara kandungan C-Organik substrat terhadap kepadatan Moluska berdasarkan rata-rata pada setiap pengambilan sampel di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kandungan C-Organik substrat ditunjukkan dengan persamaan y = 26x + 129,8 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,110 dan koefisien determinasi r = -0,331.

Gambar 26. Grafik Regresi Kandungan C-Organik Substrat terhadap Kepadatan Moluska 36 32 9 y = -115x + 428,1 R² = 0,622 0 10 20 30 40 50 3 3,1 3,2 3,3 3,4 3,5 3,6 3,7 K epa da ta n m o lus k a ( Ind/ m 2) C-organik (%) r = -0,789 47,4 37,2 32 y = -26x + 129,8 R² = 0,110 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 3,35 3,4 3,45 3,5 3,55 3,6 3,65 K epa da ta n m o lus k a ( Ind/ m 2) C-organik (%) r = -0,331

Pembahasan

1. Kondisi Ekosistem Mangrove Kerapatan

Berdasarkan hasil survei lapangan diketahui bahwa pada seluruh stasiun kerapatan mangrove di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara masih tergolong baik. Dengan nilai kerapaatan pada stasiun I ialah 4700 Ind/ha, pada stasiun II ialah 4500 Ind/ha dan pada stasiun III ialah 4066 Ind/ha. Berdasarkan KepMen LH No. 201 Tahun 2004 bahwa kondisi mangrove dengan kerapatan >1500 dikategorikan dalam keadaan baik dengan kriteria sangat padat.

Stasiun I merupakan stasiun dengan kondisi mangrove alami yang memiliki kerapatan pohon tertinggi dari stasiun lainnya yaitu seluas 4700 Ind/ha. Kerapatan tertinggi terdapat pada spesies mangrove yaitu S. alba dengan jumlah kerapatan seluas 767 Ind/ha, dan kerapatan terendah terdapat pada spesies mangrove yaitu A. alba dan A. officinalis dengan jumlah kerapatan seluas 133 Ind/ha.

Nilai kerapatan tertinggi pada stasiun II terdapat pada spesies mangrove yaitu R. apiculata seluas 733 Ind/ha. Kerapatan spesies mangrove terendah dengan kerapatan seluas 133 Ind/ha terdapadat pada N. fruticans. Stasiun II merupakan stasiun dengan kondisi mangrove yang telah direhabilitasi dengan kerapatan pohon seluas 4500 Ind/ha.

Stasiun III ialah stasiun dengan kondisi lahan mangrove, yang sebagian lahannya telah dikonversi menjadi lahan tambak ikan dan udang bagi masyarakat setempat, yang mempunyai luas kerapatan terendah seluas 4066 Ind/ha. Kerapatan

tertinggi terdapat pada spesies mangrove yaitu R. stylosa dengan jumlah kerapatan seluas 567 Ind/ha, dan kerapatan terendah terdapat pada spesies mangrove yaitu A. floridum dan L. littorea dengan jumlah kerapatan seluas 167 Ind/ha.

Telah diketahui bahwa kerapatan jenis mangrove yang berbeda-beda dan memiliki jenis yang bervariasi pada setiap stasiun, salah satunya dipengaruhi oleh faktor lingkungan terhadap jenis mangrove yang ada pada lokasi stasiun masing-masing dan kegiatan yang terjadi di setiap stasiun yang ditentukan. Hal ini sesuai dengan Talib (2008), yang menyatakan bahwa kondisi-kondisi lingkungan luar yang terdapat dikawasan mangrove cenderung bervariasi di sepanjang gradien dari laut ke darat. Banyak spesies mangrove telah beradaptasi terhadap gradien ini dengan berbagai cara, sehingga di dalam suatu kawasan suatu spesies mungkin tumbuh secara lebih efisien daripada spesies lain. Tergantung pada kombinasi dari kondisi-kondisi kimia dan fisik setempat, karena hal ini, jalur-jalur atau zona-zona dari spesies tunggal atau asosiasi-asosiasi sederhana sering kali berkembang di sepanjang garis pantai.

2. Keanekaragaman Moluska Komposisi dan Kepadatan Moluska

Spesies Moluska di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara, yang hadir di semua stasiun penelitian (frekuensi kehadiran 100 %) adalah Gastropoda terdapat 9 spesies diantaranya adalah N. balteata, C. capucinus, C. cingulata, L. melanostoma, L. scabra, C. obtusa, T. telescopium, N. dorsatus dan P. cochlidium. Hal ini sesuai dengan Yolanda, dkk (2015), menyatakan bahwa Gastropoda adalah salah satu

kelompok Moluska yang dominan dan merupakan salah satu makrofauna yang paling makrofauna mencolok di ekosistem bakau dan sebagian besar dari mereka hidup di tanah.

Persentase dari spesies Moluska yang di dapat ialah N. balteata memiliki komposisi tertinggi sebesar 32% dari seluruh spesies Moluska. C. capucinus memiliki komposisi sebesar 25%, C. cingulata memiliki komposisi sebesar 24%. Untuk spesies lain yaitu, L. melanostoma sebesar 7%, L. scabra yaitu 4%. C. obtusa dan T. telescopium memiliki komposisi yang sama yaitu sebesar 3%. N. dorsatus memiliki komposisi sebesar 2% dan P. cochlidium memiliki komposisi sebesar 0%. Berdasarkan penelitian bahwa Gastropoda yang dominan atau yang ditemukan pada setiap stasiun adalah spesies N. balteata. Hal ini diduga spesies tersebut menyukai hutan mangrove sebagai habitatnya dan mampu memenangkan persaingan untuk mendapatkan makanan dan tempat hidup dibandingkan spesies lainnya. Hal ini sesuai dengan Ernanto dkk (2010) jika spesies mampu memenangkan kompetisi baik ruang maupun makanan maka spesies tersebut umumnya akan mendominasi suatu habitat.

Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Moluska

Jika dilihat secara spasial, nilai indeks keanekaragaman Moluska pada Minggu-I memiliki indeks keanekaragaman tertinggi yaitu 1,52 dan selanjutnya yang terendah pada IV. Nilai indeks keseragaman tertinggi pada Minggu-II dan Minggu IV yaitu 0,45 dan terendah pada Minggu-Minggu-III yaitu 0,37. Kemudian, untuk nilai indeks dominansi tertinggi pada Minggu-II dan terendah pada Minggu III dan Minggu IV (Tabel 3). Hal ini dikarenakan beberapa faktor yang

mempengaruhi Moluska di ekosistem mangrove. Hal ini sesuai Febrita, dkk (2015), menyatakan bahwa tinggi rendahnya nilai indeks keanekaragaman jenis dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain jumlah jenis atau individu yang didapat dan adanya beberapa jenis yang ditemukan dalam jumlah yang lebih melimpah dari pada jenis lainnya. Faktor fisika kimia mempunyai peranan penting bagi kehidupan makhluk hidup dalam proses perkembangannya termasuk Gastropoda.

Secara temporal jelas terlihat bahwa nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 1,54 dan nilai indeks keanekaragaman terendah pada stasiun II dengan nilai 1,20. Selanjutnya nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun III sebesar 0,48 dan nilai indeks keseragaman terendah terdapat pada stasiun II sebesar 0,42. Nilai dominansi tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 0,39 dan nilai dominansi terendah terdapat pada stasiun I sebesar 0,26 (Tabel 4).

Stasiun I merupakan kondisi mangrove dalam keadaan alami, sehingga memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun II dan III. Stasiun II merupakan stasiun dimana kondisi mangrove distasiun ini merupakan mangrove yang telah direhabilitasi, dan pada stasiun III merupakan stasiun dimana kondisi lahan mangrovenya telah mengalami konversi lahan menjadi lahan tambak. Sehingga berdasarkan aktivitas yang terjadi pada setiap stasiunnya sedikit banyaknya mempengaruhi biota yang beradaptasi di ekosistem mangrove. Hal ini sesuai dengan Hartoni dan Agussalim (2013), menyatakan bahwa komposisi Moluska pada ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi pada ekosistem tersebut, karena sifat Moluska yang

hidupnya cenderung menetap menyebabkan Moluska menerima setiap perubahan lingkungan ataupun perubahan dari dalam hutan mangrove tersebut, misalnya perubahan fungsi hutan mangrove menjadi areal pemukiman ataupun hutan mangrove yang semakin meningkat ini tertutama pada subsektor perikanan yang memanfaatkan hutan tersebut untuk kegiatan budidaya tambak.

3. Karakteristik Fisika Kimia Perairan

Hasil pengukuran suhu perairan pada ketiga stasiun pengamatan berkisar antara 28-31˚C pada stasiun I dan stasiun II, pada stasiun III berkisar antara 28-32˚C (Tabel 5). Kisaran ini sesuai untuk pertumbuhan Moluska maupun bentos. Menurut Dharma (1988), Gastropoda memiliki kemampuan beradaptasi terhadap suhu yang baik. Gastropoda masih dapat bertahan hidup pada kisaran suhu 12- 43˚C. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu dengan kisaran

28-32˚C, hal ini sesuai dengan Wantasen (2013), menyatakan bahwa suhu berperan

penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20º C.

Suhu antar stasiun secara keseluruhan tidak menunjukkan variasi yang besar. Tingginya suhu air disebabkan oleh kondisi cuaca pada saat pengamatan. Pengukuran suhu dilakukan pada waktu pagi hari hingga siang hari, dan nilai suhu tertinggi didapat pada saat pengukuran siang hari, hal itu dikarenakan intensitas cahaya matahari yang diterima oleh perairan pada saat itu sangat tinggi sehingga nilainya menjadi tinggi. Hal ini sesuai dengan Hutabarat dan Evans (1986), suhu suatu perairan dipengaruhi oleh radiasi dan posisi sinar matahari, musim, kondisi awan, serta interaksi antara air dan udara seperti penguapan dan hembusan angin.

Kandungan oksigen terlarut dari ketiga stasiun di lokasi penelitian adalah berkisar 1,4-3 mg/l pada stasiun I, pada stasiun II dan stasiun III berkisar antara 2-2,5 mg/l (Tabel 5). Oksigen terlarut terendah dan tertinggi pada kisaran suhu didapatkan pada stasiun I (1,4-3 mg/l). Menurut Effendi (2003), kadar oksigen terlarut tertinggi adalah pada saat pasang naik. Berdasarkan KepMenLH No. 51 tahun 2004, kadar oksigen yang sesuai baku mutu untuk ekosistem mangrove adalah >5 mg/l. Dapat dikatakan bahwa kadar oksigen terlarut di ekosistem mangrove Pulau Sembilan tidak memenuhi baku mutu perairan, disebabkan ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Hal ini sesuai dengan Simanjuntak (2007), menyatakan bahwa menurunnya kadar oksigen terlarut pada umumnya dipengaruhi proses sedimentasi yang tinggi, sehingga mengakibatkan terjadinya kekeruhan yang dapat menghalangi kelancaran proses fotosintetis dan proses diffusi udara.

Marpaung (2013) menyatakan bahwa semakin besar kandungan oksigen terlarut dalam ekosistem maka semakin baik pula kehidupan makrozoobentos yang mendiaminya. Kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh makrozoobentos adalah berkisar 1,00 – 3,00 mg/l. Hasil pengukuran pada masing–masing stasiun menujukkan kisaran nilai oksigen terlarut masih cukup baik bagi pertumbuhan makrozoobentos.

Kisaran salinitas pada stasiun I, II, dan III memenuhi baku mutu yaitu dengan nilai rata-rata 25,8 ‰, 27 ‰ dan 27,4 ‰ (Tabel 5). Berdasrkan hasil yang diperoleh salinitas rata-rata tertinggi terdapat pada stasiun III (27,4 ‰) dan terendah pada stasiun I (25,8 ‰,). Berdasarkan KepMenLH No.51 tahun 2004 bahwa kisaran salinitas di ekosistem mangrove ialah s/d 34 ‰.

Beberapa faktor yang mempengaruhi salinitas suatu perairan adalah pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran air tawar dari sungai. Kisaran salinitas pada kedua stasiun pengamatan berada pada kisaran nilai yang masih layak bagi makrozoobentos. Salinitas tidak memiliki pengaruh besar terhadap Gastropoda karena Gastropoda memiliki toleransi yang luas terhadap salinitas. Hal ini sesuai dengan Monika (2013) yang menyatakan bahwa kisaran salinitas yang layak bagi kehidupan makrozoobentos adalah 15 – 45‰.

Nilai derajat keasaman (pH) perairan yang terukur pada setiap stasiun pengamatan selama penelitian berkisar 6,3-7,8 untuk stasiun I, stasiun II berkisar 6-7,3 dan stasiun III adalah 6,1-7,6 (Tabel 5). Nilai suatu pH perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain aktivitas fotosintesis, kandungan oksigen, dan adanya kation dan anion dalam perairan. Nilai pH air pada ekosistem mangrove berkisar antara 8,0-9,0 (bersifat basa). Hal ini sesuai dengan Winarno (1996), menyatakan bahwa nilai hutan pH hutan mangerove berkisar antara 8,0-9,0.

Nilai pH pada lokasi penelitian didapat dengan rata-rata terendah adalah pada stasiun II yakni 6,6 dan tertinggi pada stasiun I yaitu 6,9. Menurut Ernanto dkk (2010) setiap jenis bentos atau organisme perairan lainnya mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap nilai pH. Namun pada umumnya biota air dapat hidup layak pada kisaran pH 5-9. Hal ini sesuai dengan Wahyuni dkk (2015), menyatakan bahwa untuk ukuran pH yang bagus bagi kelangsungan hidup Gastropoda berkisar antara 6,8-8,5. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masing-masing stasiun penelitian mempunyai derajat keasaman (pH) yang cukup baik bagi kehidupan organisme.

Hasil nilai kecepatan arus yang telah diukur dilapangan pada saat penelitian ialah berkisar antara 0,06-02 (m/s) pada stasiun I, kisaran 0,03-0,15 (m/s) pada stasiun II, dan kisaran 0,06-0,015 (m/s) pada stasiun III. Setelah dirata-ratakan dari hasil perstasiun, maka diperoleh hasil kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu 0,11 m/s, dan kecepatan arus terendah pada stasiun II dan stasiun III yaitu 0,08 m/s. Hal ini disebabkan karena ada perbedaan waktu pada saat pangukuran arus. Pengukuran arus dilakukan pada saat pasang dan pada saat surut, disertakan karena ada faktor angin yang mempengaruhi. Hal ini sesuai dengan Alwidakdo dkk (2014), menyatakan bahwa angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus.

4. Karakteristik Substrat

Beberapa jenis makrozoobentos memiliki fisiologi khusus untuk beradaptasi pada lingkungan perairan yang memiliki tipe substrat berlumpur, sehingga organisme tersebut dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada sedimen halus. Menurut Kartawinata et.al (1997) distribusi dan kelimpahan jenis Moluska dipengaruhi oleh diameter rata-rata butiran sedimen.

Karaketristik substrat yang diamati meliputi kadar C-Organik dan fraksi substrat (Tabel 6). Hasil analisis rata-rata kadar C-Organik pada setiap stasiun berkisar antara 3,4-3,6 %. Hasil rata-rata kadar C-Organik tertinggi ditemukan pada stasiun III yaitu 3,6%. Pada stasiun ini spesies mangrove yang mendominasi adalah R. apiculata dan spesies Moluska yang mendominasi adalah N. subsulcata dan C. capucinus. Hal ini sesuai dengan Jesus (2012), menyatakan bahwa R. yang banyak terpengaruh pasang surut karena tanah sering mengalami reduksi saat

pasang dan teroksidasi saat surut. Rhizophora lebih sulit terdekomposisi, sehingga banyak ditemukan dalam bentuk bahan organik.

Tinggi rendahnya kandungan bahan organik diduga berkaitan dengan aktivitas yang terjadi atau kondisi lingkungan yang berada di sekitarnya. Kondisi lingkungan yang dipengaruhi langsung oleh ombak dan arus yang kuat, cenderung mempunyai bahan organik yang relatif rendah dan sebaliknya lokasi yang cenderung terlindung memiliki bahan organik yang relatif tinggi. Rustam (2003), mengatakan bahwa arus pada substrat berpasir selain menghanyutkan partikel sedimen yang berukuran kecil juga dapat menghanyutkan bahan organik.

Hasil analisis tekstur substrat menunjukkan bahwa setiap stasiun memiliki komposisi fraksi debu, liat dan pasir yang jauh berbeda. Fraksi pasir tertinggi adalah di stasiun I plot 1 sebesar 58 % dan terendah di stasiun III plot 1 sebesar 22% . Stasiun II plot 1 memiliki fraksi debu tertinggi mencapai 48 % dan terendah di stasiun III plot 2 sebesar 26 %. Fraksi liat komposisi tertinggi ditemukan pada stasiun III plot 1 mencapai 48 % dan terendah pada stasiun I plot 1 sebesar 8 %.

Tipe substrat dasar ikut menentukan jumlah dan jenis hewan bentos di suatu perairan (Susanto, 2000). Tipe substrat seperti tanah dasar berupa lumpur sangat penting dalam perkembangan komunitas hewan bentos. Pasir cenderung memudahkan untuk bergeser dan bergerak ke tempat lain. Substrat berupa lumpur biasanya mengandung sedikit oksigen dan karena itu organisme yang hidup di dalamnya harus dapat beradaptasi pada keadaan ini (Ramli, 1989).

Fauna yang menghuni hutan mangrove juga tergantung pada kondisi substrat serta komposisi flora yang ada. Menurut Rangan (1996), kondisi substrat berpengaruh terhadap perkembangan komunitas Moluska dan substrat yang terdiri

dari lumpur dan pasir merupakan substrat yang disenangi oleh Gastropoda dan Bivalvia.

5. Pasang Surut

Pasang surut air laut sangat dipengaruhi oleh pergerakan bulan. Malik dkk (1999), meski pengaruhnya tidak sebesar arus, pasang surut juga mempengaruhi dinamika air sekitar pantai. Pergerakan air akan lebih mudah diamati di daerah estuaria yang lebar. Pada pasang naik, air tawar mengalir ke laut di atas massa air asin yang bergerak dari darat. Pasang tertinggi berada pada posisi dengan nilai 134.69 cm pada jam 241 di tanggal 3 April 2016. Sedangkan surut terendah berada dengan nilai -139.67 cm pada jam 269 pada tanggal 04 April 2016 (Gambar 14). Widjojo (2010) transportasi sedimen di muara sungai di sebabkan oleh arus pasang surut gelombang dan arus sungai air tawar.

Menurut Noor dkk (2006), areal yang digenangi oleh pasang sedang didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora spp. adapun areal yang digenangi hanya pada saat pasang tinggi, yang mana areal ini lebih ke daratan, umumnya didominasi oleh jenisjenis Bruguiera dan X. granatum, sedangkan areal yang digenangi hanya pada saat pasang tertinggi (hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya didominasi oleh B. sexangula dan L. Littorea.

6. Hubungan Kerapatan Mangrove terhadap Kepadatan Moluska

Hasil analisis regresi linier sederhana antara kerapatan mangrove terhadap kepadatan Moluska pada Minggu I di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara menghasilkan

Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kerapatan spesies mangrove ditunjukkan dengan persamaan y = 0,015x + 138,6. Koefisien korelasi (R2) yang diperoleh adalah sebesar 0,797 artinya pengaruh kerapatan mangrove terhadap kepadatan Moluska sebesar 79,7%. Koefisien determinasi (r) yang diperoleh adalah r = -0,893 (Gambar 15) artinya antara kerapatan mangrove dengan kepadatan Moluska berkorelasi negatif tetapi kuat.

Dari hasil analisis uji Anova diperoleh nilai F hitungnya sebesar 540,871 dan F Tabelnya sebesar 7,708, jika F hitung > F Tabel, maka dapat dinyatakan bahwa secara bersamaan kerapatan spesies mangrove berpengaruh signifikan terhadap kepadatan Moluska, dengan nilai signifikan sebesar 0,00002 (p < 0,05), maka dapat disimpulkan secara simultan (bersama-sama) kerapatan spesies mangrove berpengaruh signifikan terhadap kepadatan Moluska (Lampiran 9).

Hubungan antara kerapatan spesies mangrove terhadap kepadatan Moluska di Minggu I menunjukkan hubungan yang berbanding lurus. Hal ini berarti bahwa peningkatan kerapatan spesies mangrove mengakibatkan peningkatan kepadatan Moluska. Hal ini sesuai dengan Rumalutur (2004), bahwa kerapatan mangrove baik dilihat pada tingkat pohon, anakan dan semai berpengaruh signifikan terhadap kepadatan dan kelimpahan Gastropoda.

Hasil analisis regresi linier sederhana antara kerapatan mangrove terhadap kepadatan Moluska pada Minggu II di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara menghasilkan Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kerapatan spesies mangrove ditunjukkan dengan persamaan y = 0,006x + 13,43. Koefisien korelasi (R2) yang diperoleh adalah sebesar 0,128 artinya pengaruh kerapatan mangrove terhadap

kepadatan Moluska sebesar 12,8%. Koefisien determinasi (r) yang diperoleh adalah r = 0,357 artinya antara kerapatan mangrove dengan kepadatan Moluska berkorelasi positif tetapi lemah (Gambar 16).

Dari hasil analisis uji Anova diperoleh nilai F hitungnya sebesar 548,113 dan F Tabelnya sebesar 7,708, jika F hitung > F Tabel, maka dapat dinyatakan bahwa secara bersamaan kerapatan spesies mangrove berpengaruh signifikan terhadap kepadatan Moluska, dengan nilai signifikan sebesar 0,00001 (p < 0,05), maka dapat disimpulkan secara simultan (bersama-sama) kerapatan spesies mangrove berpengaruh signifikan terhadap kepadatan Moluska (Lampiran 9).

Hasil analisis regresi linier sederhana antara kerapatan mangrove terhadap kepadatan Moluska pada Minggu III di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara menghasilkan Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kerapatan spesies mangrove ditunjukkan dengan persamaan y = 0,026x – 90,41. Koefisien korelasi (R2) yang diperoleh adalah sebesar 0,216 artinya pengaruh kerapatan mangrove terhadap kepadatan Moluska sebesar 21,6 %. Koefisien determinasi (r) yang diperoleh adalah r = 0,465 artinya antara kerapatan mangrove dengan kepadatan Moluska berkorelasi positif tetapi lemah (Gambar 17).

Dari hasil analisis uji Anova diperoleh nilai F hitungnya sebesar 549,352 dan F Tabelnya sebesar 7,708, jika F hitung > F Tabel, maka dapat dinyatakan bahwa secara bersamaan kerapatan spesies mangrove berpengaruh signifikan terhadap kepadatan Moluska, dengan nilai signifikan sebesar 0,00001 (p < 0,05), maka dapat disimpulkan secara simultan (bersama-sama) kerapatan spesies mangrove berpengaruh signifikan terhadap kepadatan Moluska (Lampiran 9).

Hasil analisis regresi linier sederhana antara kerapatan mangrove terhadap kepadatan Moluska pada Minggu IV di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara menghasilkan Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kerapatan spesies mangrove ditunjukkan dengan persamaan y = 0,049x - 190,4. Koefisien korelasi (R2) yang diperoleh adalah sebesar 0,990 artinya pengaruh kerapatan mangrove terhadap kepadatan Moluska sebesar 99%. Koefisien determinasi (r) yang diperoleh adalah r = 0,995 artinya antara kerapatan mangrove dengan kepadatan Moluska berkorelasi positif tetapi kuat (Gambar 18).

Dari hasil analisis uji Anova diperoleh nilai F hitungnya sebesar 549,394 dan F Tabelnya sebesar 7,708, jika F hitung > F Tabel, maka dapat dinyatakan bahwa secara bersamaan kerapatan spesies mangrove berpengaruh signifikan terhadap kepadatan Moluska, dengan nilai signifikan sebesar 0,00001 (p < 0,05), maka dapat disimpulkan secara simultan (bersama-sama) kerapatan spesies mangrove berpengaruh signifikan terhadap kepadatan Moluska (Lampiran 9).

Hasil analisis regresi linier sederhana antara kerapatan mangrove terhadap kepadatan Moluska pada Minggu V di Dusun II Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara menghasilkan Model hubungan antara kepadatan Moluska dengan kerapatan spesies mangrove ditunjukkan dengan persamaan y = 0,044x - 170,0. Koefisien korelasi (R2) yang diperoleh adalah sebesar 0,969 artinya pengaruh kerapatan mangrove terhadap