• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daerah Sentra Produksi Mangga

Mangga telah menjadi komoditas andalan hampir diseluruh dunia. Data FAO pada tahun 2009, Indonesia menempati urutan ke empat produksi mangga setelah India, China, dan Thailand. Sentra produksi mangga di Indonesia terbagi di empat provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Tiga kabupaten yang menjadi sentra produksi di Jawa Barat diantaranya adalah Kabupaten Majalengka, Cirebon, dan Indramayu, sedangkan Tiga Kabupaten Sentra produksi Mangga di Provinsi Jawa Timur adalah Pasuruan, Situbondo, dan Probolinggo (Deptan 2011).

Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur, merupakan daerah yang paling banyak membudidayakan tanaman mangga (Broto 2003). Varietas mangga Manalagi dan Arumanis paling banyak ditanam di daerah Kabupaten Probolinggo. Probolinggo memiliki luas wilayah 1,621.5 km² yang merupakan dataran rendah dengan curah hujan per bulan rata-rata 183 mm dan hari hujan 67 hari per tahun. Kabupaten Indramayu, yang luasnya 204,011 ha, memproduksi varietas mangga Gedong Gincu pada umumnya, sedangkan varietas lain yang juga ditanam diantaranya adalah Golek, Arumanis, Manalagi, dan Indramayu atau Cengkir. (Deptan 2011)

Hama Ulat Bulu

Pertanaman mangga dibeberapa negara beberapa tahun terakhir ini diserang oleh hama kelompok Lepidoptera. Australia, pada tahun 2008, melaporkan adanya resiko pada tanaman mangga dari india. Beberapa hal diantaranya yang dilaporkan adalah adanya serangan hama dari kelompok Ordo Lepidoptera (Biosecurity Australia 2008). Indonesia dihebohkan oleh serangan ulat bulu di pertanaman mangga Probolinggo pada akhir Maret hingga April 2011. Rauf (2011) mengatakan bahwa ulat bulu yang menyerang pertanaman mangga merupakan ulat bulu Famili Lymantriidae. Ulat Famili Lymantriidae berjumlah

4 lebih dari ribuan spesies, dan sebagian besar ditemukan di wilayah Indo-Australia (Barlow 1982).

Para ahli entomologi telah mengatur beberapa kelompok dari Lepidoptera. Beberapa diantaranya pembagian ordo berdasarkan ciri-ciri sungut terbagi menjadi dua subordo, yaitu Rhopalocera (kupu-kupu) dan Heterocera (ngengat). Ciri-ciri utama dalam mengidentifikai imago Lepidoptera adalah sayap-sayap. Ciri-ciri lain yang dipakai juga dalam mengidentifikasi adalah sungut, bagian mulut, mata tunggal, dan tungkai-tungkai serta sering juga warna dan ukuran juga diperhatikan (Boror 2005).

Ulat bulu merupakan stadia larva dari ngengat yang aktif pada malam hari. Seperti serangga pada umumnya, ngengat memiliki eksoskeleton dan tungkai bersendi. Ngengat ini memiliki sayap berselaput dan ditutupi sisik berpigmen, oleh karena itu, dalam taksonomi disebut Lepidoptera atau "sayap bersisik". Ngengat, biasanya memiliki pola dan warna yang polos, aktif pada malam hari (Troy 2004c).

Ciri khas umum dari kelompok ngengat ini adalah ketika istirahat, sayap diletakkan secara horizontal atau menempel di atas atau di sekitar abdomen, sayap diletakkan bersama-sama secara vertikal di atas tubuh, seperti pada kupu-kupu.

Pada imago atau ngengat dewasa biasanya memiliki antena berbulu (feathery),

menebal (thickened), atau seperti benang, dan tidak memiliki pegangan atau

pengait, seperti pada kupu-kupu dan skippers (Troy 2004b). Ketika berkepompong di atas tanah, pupa memiliki kokon yang terbuat dari sutra, sering dikombinasikan dengan bahan-bahan alam lainnya seperti daun atau bulu tubuh mereka sendiri. Kebanyakan larvanya berkepompong dalam tanah (Troy 2004c).

Gejala dan Kerugian Serangan Ulat Bulu Lymantriidae

Hama ulat bulu merupakan kelompok Ordo Lepidoptera yang keberadaannya banyak diteliti di Dunia. Hal tersebut terjadi karena kebanyakan dari ordo ini mengakibatkan kerugian ekonomi, dan juga kemampuannya dalam berkembang biak yang begitu cepat. Kelompok imago betina banyak mengeluarkan feromon yang mudah menguap untuk menarik kelompok imago

jantan untuk melakukan perkawinan sehingga serangga ini cepat beregenerasi (Morgan 2004).

Mayoritas dari serangan larva spesies Lapidoptera memakan dedaunan. Sejumlah spesies juga menyebabkan defoliasi dengan memotong area yang luas dari lamina daun untuk menggulung menjadi pelindung atau mengikat bersama- sama dengan sutra, menggerek batang atau kayu, memakan umbi dan akar, bunga, buah, dan benih. Larva Lymantriidae, baik pada instar awal sampai dengan akhir,

makan terutama pada dedaunan semak dan pohon (Holloway et al. 1987). Larva

Lymantriidae merusak pohon-pohon. Ngengat-ngengat tussock, pengembara (gipsy) dan ekor coklat adalah hama-hama yang serius pada hutan dan pohon- pohon pelindung (Boror 2005).

Faktor Perkembangan Ulat Bulu Lymantriidae

Penyebaran kelompok Ordo Lepidoptera dipermudah dengan kemampuan imagonya untuk terbang. Kemampuan untuk terbang telah menjadi faktor utama keberhasilan serangga dalam mengisi relung ekologi, pencarian makanan dan pasangan, bermigrasi jarak jauh, dan melarikan diri dari musuh-musuh mereka (Nation 2008).

Setiap tanaman akan mengalami resistensi pertahanan dari serangan serangga. Respon seperti ini terlihat pada pohon-pohon yang telah menjadi inang bagi serangga dalam waktu yang lama. Kemampuan Ordo Lepidoptera dalam beralih ke tanaman inang yang baru akan dipengaruhi oleh kemiripan dari tanaman inang yang lama. Kesamaan diantara tanaman inang tidak hanya pada taksonominya saja, namun juga pada zat sekunder tanaman. Faktor lain yang mempengaruhi seperti kadar air, struktur dan arsitektur daun, dan bahan kimia secara keseluruhan yang juga penting (Scoble 1995).

Pengendalian Hama Ulat Bulu Lymantriidae

Setiap serangga memiliki garis pertahanan pertama dalam perlawanan dari invasi berbagai musuh alami, yaitu kerangka eksternal mereka kutikula dan lapisan kutikula dari foregut dan hindgut, sistem trakea, dan bagian dari sistem reproduksi. Ketika musuh alami dari serangga bisa melewati penghalang kutikula,

6 serangga segera meningkatkan respon imun bawaan, termasuk tanggapan baik selular dan humoral. Respon seluler termasuk fagositosis oleh hemosit benda kecil dan enkapsulasi dengan lapisan hemosit objek yang lebih besar, seperti telur parasitoid atau instar awal parasitoid. Hampir bersamaan dengan reaksi seluler, respon humoral mulai dengan elaborasi protein pengenalan pola oleh sel-sel epidermis, hemosit, dan sel-sel lemak tubuh. Pertahanan kekebalan tubuh

mengeluarkan banyak sumber daya energi dan metabolisme, dan ekologis trade-

off dengan dampak negatif pada kebugaran serangga, terutama ketika menghadapi

tekanan tambahan, seperti ketika terserang bakteri atau cendawan yang menyebabkan sumber-sumber nutrisi terbatas atau kondisi ekologi yang memburuk (Nation 2008).

Parasitoid dan parasit selalu menimbulkan respon imun dari inang mereka. Sehingga mereka melakukan persaingan evolusi untuk bertahan hidup. Evolusi, mungkin lebih penting bagi betina untuk bertahan ketika diserang mikroba dibandingkan jantan. Hal ini dikarenakan perbedaan jenis kelamin pada beberapa serangga juga menyebabkan perbedaan dalam merespon imun dan kelangsungan

hidup (Nation 2008). Menurut Hajizadeh et al. (2011), parasitoid mengambil

makanan dari dalam tubuh serangga inang dan membunuhnya dalam bertahap. Setelah parasitoid menyelesaikan perkembangannya, muncullah parasitoid dari serangga inang tersebut.

Dokumen terkait