• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

Genus Capsicum termasuk ke dalam famili Solanaceae yang terdiri atas 20 -30 spesies. Ahli taksonomi modern mengenalkan lima spesies yang telah dibudidayakan yaitu: Capsicum annuum L., C. frutescens L., C. chinense,

C. pubescens dan C. baccatum L. Lima spesies tersebut berasal dari nenek moyang yang berbeda di tiga pusat daerah penyebaran. Pusat penyebaran primer untuk Capsicum annuum adalah Meksiko, sedangkan pusat sekunder adalah Guatemala. Pusat penyebaran primer C. chinense dan C. frutescens adalah daerah Amazonia, sedangkan untuk C. baccatum dan C. pubescens adalah Peru dan Bolivia (Greenleaf 1986).

Cabai adalah tanaman herba tropika yang biasanya ditanam sebagai tanaman setahun (Bosland & Votava 2000). Perakaran tanaman cabai memiliki sistem perakaran dangkal yang diawali dengan akar tunggang kemudian tumbuh akar rambut ke samping. Batang utama tanaman tegak, berkayu dan bercabang banyak dengan tinggi sekitar 45 – 150 cm. Tipe percabangan tegak atau menyebar tergantung spesiesnya (Rubatzky & Yamaguchi 1997).

Daun cabai merupakan daun tunggal dengan helai daun berbentuk ovate, elliptic atau lanceolate. Daun cabai mempunyai keragaman ukuran, bentuk dan warna. Warna daun biasanya hijau muda sampai hijau tua, juga ditemukan warna ungu, variegata dan agak kekuningan. Cabai mempunyai tangkai daun pendek sampai panjang bergantung spesies dan kultivarnya. Daun-daun tumbuh pada tunas-tunas samping tersusun berurutan, sedangkan pada batang utama dan tunggal secara spiral (Kusandriani 1996b; Bosland & Votava 2000).

Seperti umumnya famili Solanaceae, bunga cabai berbentuk seperti terompet. Bunga cabai umumnya bersifat tunggal dan tumbuh pada ujung ruas dan merupakan bunga sempurna (hermaprodit), dimana bunga jantan dan betina terdapat pada satu bunga. Mahkota bunga berwarna putih atau ungu tergantung kultivarnya, helaian mahkota bunga berjumlah lima atau enam helai. Setiap bunga mempunyai satu putik (stigma), kepala putik berbentuk bulat dan berwarna kuning kehijauan. Terdapat lima sampai delapan helai benang sari dengan kepala sari

berbentuk lonjong berwarna biru keunguan. Pada saat antesis tangkai bunga umumnya merunduk. Bunga pertama terbentuk pada umur 21-31 hari sesudah tanam (HST) dan buah pertama mulai terbentuk pada umur 29 – 40 HST (Greenleaf 1986; Kusandriani 1996b).

Tepung sari berbentuk lonjong, terdiri dari tiga segmen, berwarna kuning mengkilat. Dalam kotak sari berkembang sekitar 11 000 sampai 18 000 butir tepung sari. Bunga normal berisi 1 – 1.5 mg tepung sari. Ketika tepung sari menempel pada stigma, terjadi imbibisi dan ukurannya meningkat dua kali ukuran normal. Temperatur udara berpengaruh besar pada perkembangan dan viabilitas tepung sari. Suhu optimal untuk perkecambahan tepung sari yaitu 20 – 25 oC (Kusandriani 1996b; Bosland & Votava 2000).

Bunga betina terdiri atas bakal buah, tangkai putik dan kepala putik. Bakal buah bentuknya berubah-ubah, demikian pula warnanya berubah mengikuti warna buah pada waktu proses pematangan. Posisi dan ukuran stigma sangat berpengaruh pada terjadinya penyerbukan silang. Pada bunga yang kepala putiknya lebih tinggi dari kotak sari memungkinkan terjadi penyerbukan silang. Pada bunga yang letak kepala putiknya lebih rendah dari kotak sari akan terjadi penyerbukan sendiri (Kusandriani 1996b).

Cabai merupakan tanaman menyerbuk sendiri ditandai dengan benang sari dan putik terdapat dalam satu bunga (hermaprodit), akan tetapi penyerbukan silang dapat juga terjadi secara alami, terutama dengan bantuan lebah. Penyerbukan silang di lapang mencapai 7.6 – 36.8%, dengan rata-rata 16.5%. Setelah terjadi penyerbukan, akan terjadi pembuahan. Tanaman cabai mempunyai jumlah kromosom 2n = 24 (Greenleaf 1986).

Pada saat pembentukan buah, mahkota bunga akan rontok tetapi kelopak bunga tetap menempel pada buah. Bentuk buah bervariasi mulai dari panjang lurus, lurus dengan ujung agak melengkung, sampai melintir. Panjang buah berkisar antara 9 – 18 cm bergantung varietas. Buah matang dalam waktu 34 - 40 hari setelah pembuahan, bentuk ujungnya runcing atau tumpul. Permukaan kulit dan warna buah bervariasi dari halus sampai bergelombang, warna mengkilat sampai kusam, hijau, kuning, coklat atau kadang-kadang ungu pada waktu muda dan menjadi merah waktu matang. Buah berongga, jumlah rongga berbeda

7

menurut kultivarnya. Di dalam rongga buah terdapat placenta sebagai tempat melekatnya biji. Biji memiliki kulit biji yang keras. Di dalam biji terdapat endosperma dan ovul. Warna biji C. annuum kuning jerami, hanya C. pubescens

berwarna hitam (Kusandriani 1996b).

Perkecambahan biji cabai memerlukan suhu optimum sekitar 30 oC, sedangkan untuk pertumbuhan optimum tanaman diperlukan suhu rata-rata harian 20 – 30 oC. Pada suhu kurang dari 15 oC atau lebih dari 32 oC, perkecambahan benih dan pertumbuhan tanaman umumnya terhambat. Tanaman cabai dapat tumbuh di dataran rendah maupun tinggi hingga 3 000 m di atas permukaan laut dan dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah (Rubatzky & Yamaguchi 1997).

Cabai tidak menghendaki curah hujan yang tinggi atau cuaca yang basah. Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah antara 600 – 1 250 mm per tahun. Kondisi tersebut juga menyebabkan tanaman cabai akan mudah terserang patogen. Cabai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asalkan drainase dan aerasi tanah cukup baik. Tanah yang paling ideal adalah yang mengandung bahan organik sekurang-kurangnya 1.5% dan mempunyai pH 6.0 – 6.5 (Sumarni 1996).

Penyakit layu bakteri

Penyakit layu bakteri disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum

(E.F.Smith) yang sebelumnya bernama Pseudomonas solanacearum (E.F.Smith) (Yabuuchi et al. 1995). Menurut Hayward (1985), lebih dari 35 famili dan 200 spesies tanaman baik yang bernilai maupun tidak bernilai ekonomis dapat menjadi inang. Tanaman dari famili Solanaceae seperti tomat dan cabai merupakan inang yang rentan terhadap serangan bakteri ini (Machmud 1985).

R. solanacearum merupakan bakteri berbentuk batang, Gram negatif, aerobik, tidak membentuk spora, tidak berkapsul dan sering bersifat non motil. Isolat yang virulen umumnya tidak berflagelum dan non motil, sedangkan isolat yang tidak virulen biasanya mengandung 1- 4 flagela polar dan motil (Kelman 1953).

Bakteri ini mempunyai bentuk koloni yang bervariasi, untuk membedakan antara strain avirulen dengan strain virulen dapat digunakan medium 2,3,5

triphenyl tetrazolium chlorida (TTC). Koloni strain virulen bentuknya tidak beraturan seperti berair, berwarna putih dengan pusat merah muda. Koloni strain avirulen berbentuk bundar, ukurannya lebih kecil, warnanya mula-mula merah, kemudian menjadi merah gelap sesuai umurnya (Hayward 1985).

Klasifikasi R. solanacearum dibagi menjadi dua sistem, yaitu sistem ras dan biovar. Ras dan biovar merupakan pengelompokan secara informal pada tingkat intra sub-spesies. Ras 1 mempunyai kisaran inang yang cukup luas di antaranya famili Solanaceae dan Leguminosae. Ras 2 menyerang Musa spp dan Heliconia

spp. dengan kisaran inang terbatas di Amerika Tropis dan Asia. Ras 3 menyerang kentang dengan kisaran inang di daerah tropis dan subtropis. Ras 4 menyerang jahe yang berasal dari Filipina. Ras 5 menyerang mulberry (Persley et al. 1985). Menurut Semangun (1994), di Indonesia ras yang dominan ditemukan adalah ras 1 (strain Solanaceae) dan ras 3 ( strain kentang).

Sistem biovar didasarkan pada karakteristik biokimia, kemampuan menggunakan atau menghidrolisa beberapa senyawa alkohol heksosa dan disakarida. Strain R. solanacearum yaitu biovar 1, 2, 3, 4, dan 5 (Hayward 1964). Kelima biovar dapat diidentifikasi berdasarkan kemampuannya mengoksidasi tiga senyawa disakarida (selobiosa, laktosa, dan maltosa) dan tiga alkohol heksosa (dulsitol, manitol, dan sorbitol) (Tabel 1).

Tabel 1. Pengelompokan biovar R. solanacearum berdasarkan kemampuannya menggunakan karbohidrat (Hayward 1964)

Reaksi biovar Sumber karbon 1 2 3 4 5 Selobiosa Laktosa Maltosa Manitol Sorbitol Dulsitol - - - - - - + + + - - - + + + + + + - - - + + + + + + + - -

+ = Reaksi positif atau mengubah warna medium dari biru menjadi kuning, - = Reaksi negatif atau tidak mengubah warna medium.

9

Virulensi R. solanacearum cenderung cepat menurun pada media biakan. Isolat bakteri yang disimpan pada media cair juga dapat kehilangan virulensi, dan viabilitasnya dengan cepat, berubah menjadi koloni yang tidak virulen (Hooker 1990).

Bakteri R. solanacearum umumnya masuk ke dalam jaringan tanaman inang melalui luka yang terjadi pada waktu bercocok tanam, melalui lubang- lubang alami (lentisel), melalui pertumbuhan akar sekunder, melalui akar yang luka akibat tusukan nematoda. Setelah masuk ke tanaman, bergerak secara sistemik mengikuti aliran cairan dalam pembuluh xilem ke bagian tanaman lain (AVRDC 2004b).

Gejala Penyakit Layu Bakteri pada Cabai

Gejala penyakit layu bakteri R. solanacearum dapat dilihat pada setiap fase pertumbuhan tanaman. Menurut Semangun (1994), jenis dan parahnya gejala penyakit sangat dipengaruhi oleh virulensi bakteri, ketahanan varietas, waktu terjadinya infeksi, dan kondisi lingkungan pertumbuhan tanaman.

Gejala serangan biasanya terlihat dengan terjadinya kelayuan. Kadang- kadang kelayuan tidak berkembang, tetapi tejadi pengkerdilan pada tanaman muda, terutama pada varietas yang tahan (Wang 1998). Gejala pertama kali terlihat pada umur 6-8 minggu. Daun-daun layu biasanya dimulai dari daun-daun muda, dan masih sukulen. Apabila batang tanaman yang sakit dipotong, akan terlihat berkas pembuluh yang berwarna coklat. Apabila batang ditekan akan keluar eksudat berupa lendir yang berwarna putih susu (Hayward 1983). Potongan batang yang sakit dimasukkan ke dalam tabung yang berisi air steril, akan terlihat aliran massa bakteri yang berwarna putih yang keluar dari berkas pembuluh. Aliran massa ini merupakan salah satu ciri khas layu bakteri yang membedakannya dengan layu yang disebabkan oleh cendawan (Semangun 1994).

Pemuliaan untuk Ketahanan Tanaman terhadap Layu Bakteri

Tahapan yang penting dalam program pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas yang tahan terhadap penyakit adalah mendapatkan sumber ketahanan dan menentukan pola pewarisan ketahanan tanaman serta sifat genetik dari interaksi antar tanaman dengan patogen (Allard 1960; Russel 1981). Sifat

tahan ini dapat berasal dari varietas yang berbeda, varietas komersial, varietas lokal, spesies liar sekerabat, spesies lain dalam satu genus atau genus lain (Kallo 1988).

Tahapan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik jika pengujian dilakukan pada lingkungan epidemik bagi patogen, baik di laboratorium, rumah kaca maupun lapangan. Masalah yang sering dihadapi adalah : 1) penentuan dan penilaian ketahanan, 2) identifikasi genetik dari sifat ketahanan yang melibatkan interaksi gen yang tidak sealel, kaitan gen, serta adanya bermacam-macam ras fisiologi atau biotipe dari patogen. Penentuan dan penilaian ketahanan diperlukan untuk membedakan antara tanaman yang tahan dan rentan secara tepat. Untuk keperluan tersebut maka dalam setiap pengujian dan seleksi ketahanan tanaman perlu diusahakan terciptanya lingkungan yang mampu memberikan kondisi epifitotik patogen (Allard 1960; Russel 1981).

Ketahanan tanaman terhadap patogen dapat dibedakan sebagai ketahanan horizontal dan ketahanan vertikal. Ketahanan horizontal dikendalikan oleh banyak gen sehingga disebut ketahanan poligenik atau multigenik. Setiap gen tersebut secara sendiri-sendiri tidak efektif mengatasi patogen dan memainkan peranan yang kecil dari keseluruhan ketahanan horizontal. Gen-gen yang tercakup dalam ketahanan horizontal memberi pengaruh dengan cara mengontrol tahap-tahap proses fisiologis tanaman yang menyebabkan mekanisme pertahanan. Ketahanan horizontal tidak melindungi tumbuhan dari infeksi yang terjadi, tetapi memperlambat perkembangan patogen sehingga menurunkan penyebaran penyakit dan perkembangan epidemik di lapangan. Ketahanan vertikal dikendalikan oleh satu atau sedikit gen (monogenik atau oligogenik). Gen-gen tersebut mengendalikan tahap-tahap dalam interaksi inang-patogen sehingga besar peranannya dalam ekspresi ketahanan vertikal (ketahanan gen mayor). Ketahanan vertikal menghambat perkembangan epidemik dengan membatasi inokulum awal (Agrios 1997).

Tanaman tahan dan rentan dapat dibedakan dengan mudah jika ketahanan dikendalikan oleh satu atau dua gen mayor atau disebut ketahanan kualitatif. Pada keadaan tersebut ragam ketahanan akan menunjukkan ragam terputus atau diskontinu. Sebaliknya, ketahanan dikendalikan oleh banyak gen, ragam

11

ketahanan dalam populasi yang bersegregasi bersifat kontinu dan tidak ada perbedaan yang jelas antara individu tanaman tahan dan tanaman rentan. Oleh karena itu pengukuran atau estimasi intensitas serangan dengan sistem pemberian nilai skor atas gejala serangan diperlukan pada seleksi ketahanan (Russel 1981).

Ketahanan tanaman terhadap penyakit dapat merupakan sifat kualitatif yang dikendalikan oleh gen mayor atau sifat kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen minor. Allard (1960) membedakan sifat kualitatif dan sifat kuantitatif sebagai berikut:

(1) Ciri sifat kualitatif adalah:

a. Adanya ragam terputus pada kurva sebaran frekuensi nilai ketahanan dengan munculnya kembali ragam kedua tetua di dalam generasi memisah (F2, BC, dan F3), dan munculnya kembali salah satu ragam tetua bila

terdapat pengaruh dominansi penuh dalam generasi F1.

b. Banyaknya macam fenotipe dalam populasi bersegregasi F2 bila terdapat

pengaruh dominansi penuh adalah p = (2)n dan bila tidak ada dominansi penuh tetapi terdapat aksi epistasis adalah p = (3)n (p = banyak macam fenotipe, n = jumlah pasangan yang berbeda alel antar kdua tetua).

(2) Ciri sifat kuantitatif adalah:

a. Adanya ragam kontinu pada kurva sebaran frekuensi dalam generasi memisah dengan ragam F2 yang lebih besar dari ragam F1.

b. Banyak macam fenotipe dalam populasi generasi F2 adalah p = (2n + 1).

Agar program pemuliaan yang dilakukan menjadi efektif, pola pewarisan karakter dimaksud terlebih dahulu harus diketahui. Informasi tentang ada tidaknya efek maternal, aksi dan jumlah gen pengendali, dan nilai heritabilitas adalah sangat penting. Ada tidaknya efek maternal dapat diuji dengan membandingkan data pengamatan pada F1 dan F1R.

Petr & Frey (1966) menggunakan pendugaan terhadap nilai potensi rasio (hp) untuk mengetahui aksi gen yang mengendalikan karakter apakah oleh gen dominan atau resesif. Potensi rasio adalah selisih nilai tengah kedua tetua (mid parent) dari rata-rata populasi F1 terhadap nilai tengah kedua tetua dari rata-rata

Analisis genetik untuk karakter yang dikendalikan oleh gen mayor biasanya dilakukan dengan analisa genetika Mendel, yaitu membandingkan nisbah frekuensi fenotipik hasil pengamatan pada populasi F2 terhadap nisbah Mendel,

atau nisbah fenotipik tertentu dengan uji Chi-Kuadrat (Crowder 1993). Untuk keperluan ini fenotipe pada populasi F2 dikelompokkan ke dalam kelas-kelas

tertentu sesuai dengan jumlah kelas dalam nisbah pembanding. Pendekatan ini menghasilkan dugaan jumlah dan aksi gen yang bersegregasi untuk karakter yang dipelajari.

Nilai duga heritabilitas adalah parameter yang sangat penting dalam pemuliaan karena sangat berpengaruh terhadap efektivitas seleksi pada populasi yang bersegregasi. Populasi dengan heritabilitas tinggi memungkinkan dilakukan seleksi pada generasi awal, sedangkan heritabilitas rendah yang hampir mendekati nilai 0, berarti pekerjaan seleksi tidak akan banyak berarti (Poespodarsono 1988)

Heritabilitas didefinisikan sebagai proporsi total variabilitas yang disebabkan oleh faktor genetik terhadap variabilitas fenotipik suatu karakter (Allard, 1960; Fehr 1987). Heritabilitas tipe ini dikenal sebagai heritabilitas dalam arti luas (broad sense heritability)(h2bs).

Heritabilitas dalam arti sempit (‘narrow sense heritability)(h2ns) dihitung

sebagai nisbah varians genetik aditif terhadap varians fenotipik. Varians aditif merupakan salah satu komponen varians genetik disamping varians dominan dan varians epistasis. Varians fenotipe adalah varians genetik ditambah varians lingkungan (Falconer 1989).

Heritabilitas digunakan untuk mengetahui apakah keragaman yang kita amati pada suatu karakter disebabkan terutama oleh faktor genetik atau faktor- faktor lingkungan. Selain itu konsep heritabilitas berhubungan dengan harapan kemajuan dalam berbagai metode seleksi terutama heritabilitas dalam arti sempit yang salah satu komponennya merupakan ragam aditif yang bersifat dapat difiksasi pada keturunannya. Karakter kualitatif biasanya memiliki heritabilitas yang tinggi karena dikendalikan oleh gen-gen sederhana, sehingga fenotipe tidak dikaburkan oleh faktor lingkungan (Poespodarsono 1988).

Dokumen terkait