• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ayam kampung

Batasan yang pasti mengenai pengertian ayam kampung sampai saat ini belum ada. Penyebutan ayam kampung hanya untuk menunjukkan jenis ayam lokal dengan keragaman genetis tinggi yang sudah dikenal luas dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Jenis ayam lokal ini diperkirakan menjadi bervariasi karena pengaruh isolasi tempat. Variasi individu dalam satu jenis ini tidak hanya terbatas pada warna bulu, tetapi juga pada ukuran tubuh, produktivitas telur, dan suara. Ayam kampung juga disebut sebagai ayam buras (Nurcahyo & Widyastuti 1998).

Ayam kampung tidak memiliki ciri spesifik yang khas, dalam hal ini keragaman fenotip maupun genotipnya cukup tinggi. Secara umum ayam kampung dapat diketahui dari bentuk tubuh yang ramping, kakinya panjang dan warna bulu beragam. Manfaat dan keunggulan ayam kampung adalah sebagai produsen daging dan telur, dan tahan terhadap penyakit. Ayam kampung mudah dikenali karena banyak berkeliaran di desa-desa hampir di seluruh wilayah Indonesia (Sulandari et al. 2007).

Masalah yang paling menonjol dalam pemeliharaan ayam buras adalah tingginya kematian pada anak ayam di bawah umur dua bulan, karena serangan penyakit. Perawatan, kebersihan, pemberian pakan dan minuman yang baik diperlukan agar ayam selalu sehat dan prima kondisinya (Sarwono 2003).

Pemeliharaan ayam kampung oleh masyarakat selama ini jauh berbeda dengan sistem pemeliharaan ayam ras yang relatif intensif. Biasanya ayam kampung dipelihara secara semiintensif atau diumbar sehingga ayam dibiarkan hidup bebas berkeliaran dan bahkan ada yang tanpa dikandangkan. Hal ini menjadi penghambat perkembangan ayam kampung karena sulitnya melakukan pengawasan dan pengendalian penyakit. Ayam membutuhkan tempat tinggal layak yang memenuhi syarat kesehatan, yakni kandang yang nyaman untuk tempat hidupnya. Tanpa tersedianya kandang yang baik, tidak mungkin peternak bisa mendapatkan hasil yang baik dari ayamnya. Syarat kesehatan untuk kandang ayam antara lain tidak terlalu sempit, cukup mendapatkan cahaya matahari, dapat

melindungi ayam dari terik matahari, hujan, kencangnya angin malam, dan di kandang tersedia alat perlengkapan pokok (tempat minum, tempat makan, tenggeran untuk tidur, sarang untuk bertelur) bagi kepentingan hidup ayam (Sarwono2003).

Penyakit yang biasa diketahui dan sering dilaporkan pada ayam kampung selama ini adalah penyakit AI dan ND. Banyak sekali penyakit lain selain kedua penyakit tersebut yang dapat menyerang ayam kampung, baik penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, parasit, jamur, maupun penyakit yang disebabkan oleh hal-hal lain. Penyakit yang disebabkan oleh virus selain AI dan ND antara lain IB, CRD, fowl pox, Mareks disease, dan IBD. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri antara lain salmonellosis dan infectious coryza. Penyakit yang disebabkan oleh jamur antara lain aspergillosis. Penyakit yang disebabkan oleh hal-hal lain misalnya bubul (penyakit kaki bengkak) (Sulandari et al. 2007).

Sistem kekebalan pada ayam kampung

Sistem kekebalan ayam terdiri atas kekebalan non-spesifik dan kekebalan spesifik. Kekebalan non-spesifik disebut juga kekebalan bawaan. Sistem kekebalan ini tidak dapat dibuat melalui program kesehatan unggas. Keberadaan kekebalan non-spesifik sangat penting, misalnya faktor genetik, suhu tubuh, bentuk anatomi, mikroflora normal, dan silia saluran respirasi. Faktor lain yang terlibat dalam kekebalan bawaan antara lain nutrisi, lingkungan, umur, proses peradangan, dan faktor metabolis (Gary 1991).

Sistem kekebalan spesifik (dapatan) terdiri atas komponen seluler dan non seluler. Komponen non seluler yaitu imunoglobulin (antibodi) dan sel-sel yang memproduksinya. Antibodi bekerja secara spesifik terhadap antigen yang menyerang, misalnya antibodi terhadap virus IB hanya akan melawan virus IB, tidak terhadap virus yang lain. Antibodi yang diproduksi oleh ayam setelah terpapar oleh penyakit ada tiga kelas: Ig M, Ig G, dan Ig A. Ig M muncul setelah empat sampai lima hari setelah paparan dan akan hilang setelah 10 sampai 12 hari. Ig G terdeteksi setelah lima hari paparan, mencapai puncak pada minggu ketiga, dan akan menurun secara pelan-pelan. Ig A muncul

setelah lima hari paparan. Antibodi ini sering ditemukan pada sekresi mukus mata, usus, dan saluran pernafasan (Gary 1991).

Sel-sel yang memproduksi antibodi disebut limfosit B. Sel ini diproduksi oleh kuning telur dan sumsum tulang. Sel-sel tersebut berpindah menuju bursa fabrisius (BF) pada 15 hari inkubasi dan berhenti pada umur 10 minggu (Gary 1991). Antibodi tidak dapat menembus sel, sehingga antibodi hanya akan bekerja selama antigen berada di luar sel. Antibodi bekerja untuk mempertahankan tubuh terhadap antigen penyebab penyakit yaitu: (1) dengan cara langsung menginaktifasi antigen penyebab penyakit (2) dengan mengaktifkan sistem komplemen yang kemudian akan menghancurkan agen penyakit tersebut (Guyton 1995).

Komponen seluler yaitu seluruh sel yang bereaksi secara spesifik terhadap antigen, kecuali yang berhubungan dengan pembentukan antibodi. Sel yang berhubungan dengan sistem ini yaitu limfosit T. Limfosit T lebih banyak diprogram oleh timus daripada bursa fabrisius (Gary 1991).

Ayam bisa menjadi kebal terhadap penyakit karena memproduksi antibodi atau memperoleh antibodi dari individu lain. Ayam yang memproduksi antibodinya sendiri karena adanya paparan antigen disebut pembentukan kekebalan aktif. Hal ini terjadi setelah ayam divaksinasi atau terpapar suatu penyakit. Ayam yang menerima antibodi dari induk melalui telur disebut mendapatkan kekebalan pasif. Antibodi tersebut tidak diproduksi oleh anak ayam, tetapi merupakan antibodi asal induk. Antibodi asal induk terdapat pada kuning telur dan albumin. Induk yang memiliki titer antibodi tinggi terhadap suatu penyakit maka anaknya akan memiliki kekebalan selama beberapa minggu terhadap penyakit tersebut (Gary 1991).

Infectious Bronchitis (IB) Karakteristik

Infectious bronchitis (IB) pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1931 sebagai penyakit pernapasan menular tertinggi pada ayam. Penyakit IB dapat menyebabkan gangguan saluran respirasi serta berpengaruh terhadap oviduk dan ginjal. Organisme penyebabnya adalah virus RNA utas tunggal yang

merupakan dari famili Coronaviridae (Jordan 1990). Sampai saat ini, telah teridentifikasi lebih dari 60 serotip atau varian IBV di seluruh dunia (Ignajatovic & Sapats 2000; Yu et al. 2001).

Virus infectious bronchitis berbentuk pleomorfik. Virus ini mempunyai amplop berdiameter sekitar 120 nm dengan club-shaped surface projections (spikes) yang panjangnya sekitar 20 nm. Spike tidak dikemas seperti roadshapes dari paramyxovirus. Virus IB mengandung tiga protein virus utama yang spesifik yaitu spike glycoprotein (S), glikoprotein membran (M), dan protein nucleocapsid internal (N). Protein yang keempat adalah small membran protein (sM) yang menghubungkan amplop dengan virion. Protein S terdiri dari dua atau tiga kopi yang masing-masing mempunyai dua glikopolipeptida S1 dan S2 (berturut-turut sekitar 520-620) asam amino. Perbedaan antigenik di antara serotipe virus IB berkaitan dengan adanya variasi struktural dari protein S, yaitu suatu struktur peplomerik pada permukaan amplop virus. Subunit S1 menunjukkan variasi urutan nukleotida yang lebih tinggi dibandingkan dengan subunit S2 (Dharmayanti et al. 2005).

Inang

Inang yang secara alami terinfeksi penyakit IB adalah ayam. Penyakit IB hanya dilaporkan terjadi pada ayam dan tidak terjadi pada unggas lain akan tetapi semua tingkatan umur ayam rentan terhadap infeksi penyakit IB (Butcher et al. 2002). Infeksi pada saat ayam berumur beberapa hari setelah penetasan akan menyebabkan abnormalitas perkembangan pada oviduk, sementara itu bentuk nephritic dan gangguan saluran respirasi lebih terlihat pada ayam berumur di bawah 10 minggu. Status kekebalan ayam bisa mempengaruhi proteksi terhadap infeksi virus IB. Kekebalan asal induk dan kekebalan aktif yang dihasilkan dari infeksi alami atau vaksinasi bisa mencegah dan menurunkan efek dari infeksi (Jordan 1990; Sharma & Adlakha 1995).

Penyebaran infeksi

Penyakit IB menyebar ke seluruh dunia (Saif 2003). Menurut Ignjatovic & Sapats (2000) hampir di semua negara dengan industri unggas yang dipelihara

secara intensif, insidensi infeksi IB mencapai 100%. Indonesia sebagai negara dengan industri unggas yang besar memiliki insidensi infeksi cukup tinggi. Beberapa isolat yang diteliti telah dinyatakan sebagai isolat lokal Indonesia, antara lain isolat I-269 dan I-14 (Dharmayanti et al. 2005).

Penyakit IB, disebut juga Avian Infectious Bronchitis yang merupakan penyakit peradangan akut pada bronkus. Penyakit ini menyerang organ respirasi dan sangat menular pada ayam dengan karakteristik batuk dan bersin. Penyakit IB sangat berpengaruh terhadap perekonomian karena menyebabkan penurunan berat badan, penurunan produksi, dan kualitas telur. Angka kematian oleh penyakit IB mencapai puncak pada dua minggu terakhir, umumnya pada umur lima sampai enam minggu. Kematian biasanya disebabkan oleh infeksi sekunder bakteri. Bakteri menjadi sistemik mengikuti kerusakan saluran respirasi yang disebabkan oleh IBV (Saif 2003). Kematian pada ayam dewasa yang berumur lebih dari enam minggu hampir tidak ada, kasus kematian sering terjadi pada ayam yang berumur kurang dari enam minggu (Darmana & Sukma 2003).

Infeksi penyakit IB pada satu individu unggas di sebuah flok dapat berlangsung persisten selama beberapa bulan dan bersiklus dari satu unggas ke unggas lain. Transmisi virus IB secara langsung melalui udara, dari unggas ke unggas dalam flok serta antar flok. Penyebaran virus juga dapat terjadi melalui feses ayam yang terinfeksi ke lingkungan. Selain itu, penyebaran virus IB dapat terjadi melalui peralatan dan telur. Virus bisa bertransmisi melalui telur, meskipun ini bersifat eksepsional (Jordan 1990; Sudaryani 1994).

Penyakit IB sangat mudah menular, terutama pada anak ayam umur empat minggu dan ayam dara. Virus IB bersifat infeksius dan bisa bertahan di dalam saluran respirasi selama empat minggu. Virus IB pada feses ayam yang terinfeksi dapat bertahan selama tiga minggu. Pada beberapa kasus ayam yang terserang penyakit IB, virusnya bertahan hingga tujuh minggu. Transmisi tidak langsung dapat terjadi melalui tempat pakan, air, pakaian, dan peralatan (Sharma & Adlakha 1995). Pencegahan penyakit IB dilakukan melalui pemberian vaksin IB (Suprijatna et al. 2005).

Patogenesa penyakit IB

Penularan penyakit IB terjadi melalui kontak langsung antara ayam yang yang sakit dengan ayam lainnya. Kontak tidak langsung dapat terjadi melalui sekresi mukus dari ayam yang sakit. Infeksi pada ayam muda menyebabkan penyakit pernapasan ringan, tetapi berakibat penurunan daya tahan tubuh dan pertumbuhan. Akibat penurunan daya tahan tubuh dan gangguan pernafasan tersebut, memudahkan terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri yang ada di lingkungan kandang. Kejadian penyakit dapat diperburuk oleh manajemen yang kurang baik, stres akibat iklim, dan serangan mikoplasmosis. Pada ayam dewasa penyakit IB tidak menyebabkan kematian, tetapi pada ayam berumur kurang dari enam minggu dapat menyebabkan kematian (Anonimous 2008). Tingkat mortalitas pada anak ayam sangat tinggi (100%) tapi pada ayam muda sampai umur tiga minggu hanya sekitar 30% (Anonimous 2010).

Virus IB masuk kedalam tubuh melalui udara dan menempel pada sel-sel mukosa saluran pernafasan. Pada sel epitel mukosa saluran pernafasan virus melekat di sel epitel bersilia, di dalam sel tersebut virus bereplikasi memperbanyak diri. Virus yang telah diperbanyak akan keluar dari sel epitel masuk ke pembuluh darah sehingga virus menyebar ke seluruh organ tubuh, kondisi tersebut dikenal sebagai viremia primer. Akibat keluarnya partikel virus dari sel epitel menyebabkan sel epitel lisis semakin banyak sel epitel lisis menyebabkan mukosa saluran pernafasan mengalami nekrosa. Masuknya virus dan kerusakan mukosa menimbulkan reaksi peradangan dan menginduksi terbentuknya lendir, kondisi tersebut mengakibatkan timbulnya gejala klinis berupa batuk dan bersin. Penyebaran virus saat viremia primer membuat virus IB dapat menembus sel-sel ginjal menyebabkan pembengkakan dan urolithiasis di ginjal. Secara mikroskopik, asam urat bisa ditemukan di tubulus ginjal atau ureter. Pada sistem reproduksi, viremia menyebabkan virus masuk ke sel-sel epitel di oviduct sehingga menyebabkan gangguan produksi telur dan penurunan kualitas telur (Anonimous 2010).

Gejala klinis dan lesio yang ditimbulkan oleh infeksi virus IB

Virus IB yang masuk ke dalam saluran pernafasan menyebabkan diproduksinya mukus secara berlebih dan disekresikan eksudat pada trakhea dan paru-paru. Kondisi tersebut menyebabkan gejala klinis berupa nafas terengah- engah, batuk, bersin, dan adanya kotoran hidung. Mata terlihat basah, sinus membengkak, gejala klinis tersebut tampak pada anak ayam. Anak ayam tampak depresi dan berkumpul di bawah sumber cahaya. Konsumsi pakan dan berat badan menurun secara signifikan. Pada ayam yang berumur lebih dari enam minggu dan ayam dewasa, tanda-tandanya mirip dengan anak ayam. Infeksi virus IB bisa tidak terlihat pada suatu flok, namun hal itu dapat diketahui dengan pengamatan secara hati-hati dan mendengarkan adanya suara ngorok dari ayam-ayam di flok tersebut pada malam hari. Infeksi IBV pada DOC bisa menimbulkan kerusakan permanen pada oviduk sehingga menurunkan produksi dan kualitas telur (Saif 2003).

Perubahan patologi yang tampak pada ayam yang terinfeksi IBV adalah adanya kongesti pada paru-paru, penebalan kantong hawa dan kantong hawa tampak suram. Inflamasi ringan hingga sedang terjadi pada saluran respirasi atas dan menyebabkan airsacculitis. Gambaran mikroskopik tampak adanya sel-sel mukosa pada trakhea dan bronkhi kehilangan silia, sel-selnya mengalami hiperplasia dan metaplasia. Infeksi IB pada oviduk mengakibatkan regresi ukuran sel-sel epitel, terjadi metaplasia epitel, dilatasi glandular, infiltrasi monosit di jaringan subepitel dan proliferasi folikel-folikel limpoid. Infeksi pada sel-sel ginjal menyebabkan terjadinya gejala uremik dan pembengkakan ginjal. Gambaran mikroskopik lainnya yaitu tampak terjadinya infiltrasi limfositik interstitial dan nekrosis pada epitel tubular, dengan akumulasi asam urat di lumen. Pada ureter terjadi metaplasia dan nekrosis epitel disertai pengelupasan ke dalam lumen (Jordan 1990).

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap I yaitu pengambilan sampel pada ayam kampung yang dipelihara di area peternakan unggas sektor I dan II dalam satu kompartemen peternakan unggas di Kecamatan Cipunegara, Kabupaten Subang pada bulan Desember 2009. Tahap II yaitu pengujian laboratorium di Laboratorium Terpadu dan Laboratorium Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner pada bulan Februari 2010 sampai Juni 2011.

Bahan dan alat

Bahan penelitian ini adalah sampel serum yang diperoleh dari ayam kampung di lima desa di Kecamatan Cipunegara. Ayam yang diambil sampelnya merupakan ayam kampung yang dipelihara di daerah kompartemen peternakan unggas komersial sektor satu dan dua. Bahan-bahan lain adalah Antigen IBV tipe M41 yang diperoleh dari Central Veterinary Institute (CVI) Lelystad the Netherland, suspensisel darah merah 1%, Phosphate Buffer Saline (0.01 M) pH 7.0-7.2, kontrol positif serum dan kontrol negatif serum. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain mikro pipet, microplate berdasar V, timer dan shaker.

Penyiapan suspensi sel darah merah 1%

Darah utuh (whoole blood) ayam dewasa sehat ditambahkan antikoagulan Na Sitrat 3.8% dengan perbandingan 4:1. Darah dipisahkan dari Na Sitrat dengan cara disentrifugasi 1500 G selama 10 menit. Hasil sentrifugasi dibuang supernatannya dan diambil endapannya yang merupakan sel darah merah. Selanjutnya endapan dicuci dengan menambahkan NaCl fisiologis sebanyak dua volume sel darah merah kemudian disentrifugasi kembali dengan pada kecepatan dan waktu yang sama seperti di atas. Pencucian dilakukan sebanyak tiga kali, hasil pencucian sel darah merah merupakan suspensi sel darah merah 100%. Suspensi sel darah merah diencerkan bertingkat menjadi 50% kemudian diencerkan

kembali menjadi 5%. Suspensi sel darah merah tersebut bisa langsung digunakan dengan diencerkan terlebih dahulu menjadi suspensi 1% untuk uji haemaglutinasi inhibisi mikrotitrasi.

Prosedur penyiapan virus standar dengan haemagglutination (HA) test (OIE 2009)

1. PBS sebanyak 25 µ l dimasukkan ke plate berdasar V baris pada A sampai E, kolom dua sampai 12.

2. Selanjutnya antigen IB sebanyak 50 µl dimasukkan ke sumur A1 sampai E1. 3. Antigen IB sebanyak 25 µ l dipindahkan dari sumur A1 sampai E1 ke dalam

sumur A2 sampai E2 menggunakan multichanelpipet. Setiap memasukkan antigen dilakukan penggantian tips.

4. Sebanyak 25 µ l PBS dimasukkan ke dalam sumur B2 dan dihomogenkan 10 kali dengan memipet naik dan turun. Selanjutnya dari sumur B2 dikeluarkan sebanyak 25 µ l campuran tersebut sehingga pengenceran pada sumur B2 menjadi 1/3.

5. PBS sebanyak 75 µ l dimasukkan ke dalam sumur C2 dan dihomogenkan 10 kali dengan cara memipet naik dan turun. Dari sumur C2 diambil 75 µ l campuran pada sumur tersebut sehingga pengencerannya menjadi 1/5. 6. PBS sebanyak 125 µ l dipipet ke dalam sumur D2 dan dihomogenkan 10 kali

dengan cara memipet naik dan turun. Dari sumur D2 diambil 125 µ l suspensi sehingga pengenceran pada sumur tersebut menjadi 1/7.

7. PBS sebanyak 175 µ l dipipet ke dalam sumur E2 dan dihomogenkan 10 kali dengan cara memipet naik dan turun. Dari sumur E2 diambil 175 µ l suspensi sehingga pengenceran pada sumur tersebut menjadi 1/9.

8. Selanjutnya digunakan multichanelpipet dengan tips baru. Dipipet 25 µ l suspensi dari kolom A2 sampai E2 ke dalam A3 sampai E3 dan dihomogenkan 5 kali dengan cara memipet ke atas dan ke bawah. Dipipet dengan tips yang sama 25 µ l suspensi dari kolom A3 sampai E3 ke dalam kolom A4 sampai E4 dan dihomogenkan 5 kali dengan memipet naik dan turun. Langkah ini diulangi hingga kolom A12 sampai E12. Setelah dihomogenkan 5 kali dari A12 sampai E12 dibuang 25 µl suspensi.

9. Selanjutnya dimasukkan sebanyak 25 µl PBS ke dalam setiap sumur.

10. Terakhir ditambahkan 25 µ l sel darah merah (1% v/v) ke dalam setiap sumur. Plate dikocok selama 10 detik.

11. Kemudian plate diinkubasi selama 60 menit pada suhu 4 oC.

Prosedur Haemagglutination Inhibition (HI) Test

1. PBS sebanyak 0.025 ml dimasukkan ke setiap sumur microplate plastik berdasar V, kemudian ditambahkan 0.025 ml serum ke dalam sumur pertama dari plate. Setiap sampel diuji dua kali.

2. Serum pada sumur pertama dihomogenkan dengan menggunakan mikropipet dan dipindahkan ke sumur kedua. Selanjutnya dilakukan pemindahan sampai sumur ke-12.

3. Antigen standar virus IB bertiter 4 HAU selanjutnya ditambahkan sebanyak 0.025 ml pada setiap sumur, kemudian dikocok selama 10 detik dan diinkubasi selama 60 menit dengan suhu 4 oC.

4. Plate yang telah diinkubasi kemudian ditambahkan sel darah merah (1% v/v) pada setiap sumur dan dikocok selama 10 detik. Selanjutnya plate diinkubasi selama 60 menit dengan suhu 4 oC. Berikutnya diamati adanya penghambatan aglutinasi dengan membandingkan terhadap serum kontrol.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini menguji 115 sampel serum ayam kampung yang berasal dari lima desa di Kecamatan Cipunegara, Kabupaten Subang yaitu Desa Tanjung, Parigi Mulya, Pada Mulya, Wanasari dan Jati. Seluruh sampel diperoleh dari ayam kampung yang tidak pernah mendapatkan vaksinasi dengan vaksin IB strain apapun dan dipelihara secara ekstensif di sekitar peternakan sektor satu dan dua. Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa dari 115 sampel tersebut 91% diantaranya positif mengandung antibodi terhadap virus infectious bronchitis (IBV) (Tabel 1). Berdasarkan umurnya, sampel dibedakan menjadi sampel asal ayam muda dan ayam dewasa. Ayam muda adalah ayam yang berumur kurang dari tiga bulan, sedangkan ayam yang lebih dari tiga bulan dikategorikan dewasa. Pada penelitian ini diperoleh 62 sampel asal ayam muda dan 53 sampel ayam dewasa. Berdasarkan pengujian diketahui bahwa prevalensi serologis terhadap IBV di kelima desa adalah 85% pada ayam dewasa sedangkan pada ayam muda sebesar 95%. Tingginya prevalensi serologis ini menggambarkan bahwa paparan virus IB pada ayam kampung di Kecamatan Cipunegara cukup tinggi, karena sampel yang diuji pada penelitian ini diperoleh dari ayam kampung yang tidak pernah divaksinasi. Dengan demikian, antibodi yang terbentuk pada ayam kampung tersebut merupakan akibat interaksi antara virus IB yang ada di lingkungan tempat pemeliharaaan/umbaran ayam-ayam tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa keberadaan virus IB di lingkungan ayam kampung di Kecamatan Cipunegara cukup tinggi.

Tabel 1 Hasil pengujian HI terhadap sampel serum ayam kampung di Kabupaten Cipunegara, Kabupaten Subang

Ayam Jumlah sampel Jumlah sampel positif Positif (%) Dewasa 53 45 85 Muda 62 59 95 Total 115 104 91

Penelitian terhadap seroprevalensi IBV telah dilakukan di beberapa negara baik pada peternakan komersial maupun pada ayam kampung. Seroprevalensi IBV pada ayam broiler dan ayam kampung yang diteliti di Grenada adalah sebesar 31.01%. Angka prevalensi ini lebih rendah jika dibandingkan dengan laporan sebelumnya di negara lain. Di Yordania, 90% dan 61.4% penyakit respirasi menunjukkan hasil seropositif terhadap galur virus IB 4/91 dan D274 (Roussan et al. 2009). Di Pakistan, survei yang dilakukan di peternakan komersial, 88% flok menunjukkan hasil seropositif mengandung antibodi M-41, sedangkan 40, 52 dan 8% flok positif terhadap galur virus IB D274, D1466 dan 4-91 (Ahmad et al. 2007). Seroprevalensi yang tinggi dilaporkan di Nigeria Barat Daya yaitu sebesar 82.7% (Emikpe et al. 2010). Seroprevalensi IBV pada ayam kampung di Mexico dilaporkan 56.5% (Guitirrez et al. 2000). Seroprevalensi IBV di Bangladesh dilaporkan mencapai 100% (Das et al. 2009). Berdasarkan gambaran berbagai penelitian tersebut mengindikasikan bahwa seroprevalensi IB pada ayam kampung di Kecamatan Cipunegara tinggi. Tingginya seroprevalensi ini dapat disebabkan oleh banyaknya virus yang bersirkulasi di lingkungan tempat pemeliharaan ayam kampung.

Salah satu penyebab tingginya virus di lingkungan adalah karena daerah tersebut merupakan daerah peternakan komersial ayam ras. Menurut Ignjatovic & Sapats (2000) hampir semua negara dengan industri unggas yang dipelihara secara intensif, insidensi infeksi mencapai 100%. Tingginya kasus penyakit IB di peternakan ayam ras selama ini diatasi dengan program vaksinasi. Vaksinasi IB merupakan program vaksinasi yang tetap untuk ayam ras pedaging maupun petelur di sektor satu, dua maupun tiga. Vaksin yang digunakan ada yang bersifat aktif. Vaksin aktif merupakan vaksin yang berisi virus hidup, sehingga virus tersebut dapat berbiak dalam tubuh ayam dan juga disekresikan ke lingkungan oleh ayam tervaksin. Kondisi ini juga meningkatkan sirkulasi virus IB di lingkungan. Kondisi lingkungan area peternakan yang tinggi sirkulasi virusnya memungkinkan virus tersebut memapar ayam kampung yang berkeliaran di area peternakan. Interaksi antara peternakan unggas komersial dengan unggas yang

Dokumen terkait