• Tidak ada hasil yang ditemukan

Chronic Respiratory Disease

Chronic Respiratory Disease (CRD) adalah penyakit pernafasan pada unggas yang disebabkan oleh bakteri Mycoplasma gallisepticum. Infeksi

Mycoplasma gallisepticum ini sesungguhnya merupakan salah satu penyakit bakterial yang sering dijumpai di peternakan-peternakan, namun karena serangannya yang berjalan lama atau kronis serta angka kematian yang ditimbulkan amat rendah, maka penyakit ini sering di anggap remeh saja oleh peternak (Smith 1988). Menurut Suprijatna (2008) mortalitas penyakit ini akan meningkat bila infeksi bakteri ini disertai penyakit ND (Newcastle Disease) dan IB (Infectious Bronchitis). Penyakit ini cukup populer, terutama pada pergantian musim, pada saat banyak hujan dan suasana dalam kandang lembab serta didukung dengan cara pemeliharaan yang tidak intensif (Rasyaf 1983). Infeksi

Mycoplasma gallisepticum sering timbul sebagai infeksi saluran pernafasan bagian atas dalam bentuk subklinis, namun dapat menyebabkan airsacculitis bila terjadi gabungan dengan Newcastle disease (ND) atau Infectious bronchitis (IB) atau keduanya (Kleven et al. 1991).

Karakteristik Mycoplasma (Agent)

Mycoplasma termasuk kedalam kelas Mollicutes, ordo Mycoplasmatales dan famili Mycoplasmataceae. Bakteri ini memiliki ukuran 300-800 nm.

Mycoplasma tidak memiliki dinding sel namun ribosom dan DNA-nya terikat pada membran sitoplasma yang mengandung sterol, pospholipid dan protein. Ketiadaan dinding sel menyebabkan strukturnya begitu lentur dan memudahkannya untuk melewati filter pada pori yang berukuran 450 nm (Walker 2004). Mycoplasma memilki ciliostatic yang merupakan faktor virulensi yang menyebabkan lemahnya aktivitas silia. Salah satu dari strain Mycoplasma yaitu strain S66 mampu memproduksi neurotoksik yang menyebabkan meningitis pada otak unggas meskipun gejalanya jarang terlihat pada infeksi alam (Jordan 2006). Pertumbuhan bakteri ini berjalan lambat, dengan waktu satu generasi berkisar antara satu sampai enam jam (Songer 2005). Terdapat 17 spesies dari genus

Mycoplasma yang dapat diisolasi dari unggas, tetapi hanya empat spesies yang bersifat patogen terhadap unggas domestik. Keempat spesies tersebut adalah

Mycoplasma gallisepticum (MG), Mycoplasma synoviae (MS) pada ayam dan kalkun Mycoplasma meleagridis (MM), dan Mycoplasma iowae (MI) pada kalkun. Patogenesitas untuk spesies lainnya belum diketahui, pada kondisi eksperimental, infeksi Mycoplasma gallinarum bersama infeksi virus bronchitis

dapat menyebabkan peradangan kantong hawa pada broiler.

Inang (Host)

Unggas yang didomestikasi seperti ayam, bebek, burung, kalkun, dan jenis unggas lainnya merupakan inang yang dapat terinfeksi Mycoplasma sp. Terutama ayam dan kalkun yang dipelihara secara intensif. Bakteri ini juga menyerang pada semua tingkatan umur (Suprijatna 2008). Organisme ini juga dapat diisolasi dari bebek domestik dan sering dijumpai pula pada burung baik yang dikandangkan atau burung-burung yang terbang bebas. Mycoplasma juga dapat diisolasi dari angsa (Morris 2008). Ayam dan kalkun adalah spesies yang paling rentan terhadap infeksi saat inang tersebut menetas, namun inang akan mengalami peningkatan resistensi terhadap penyakit ini seiring peningkatan umurnya. Infeksi Mycoplasma gallisepticum dapat terjadi pada berbagai tingkatan umur. Namun gejala klinis lebih jelas terlihat pada unggas muda ataupun unggas yang mengalami stres (Ensminger 1992).

Patogenesis

Mycoplasma gallisepticum masuk ke traktus respiratorius melalui proses inhalasi ataupun konjungtiva. Penempelan pada glycoprotein permukaan pada sel mukosa tubuh unggas merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh bakteri tersebut. Disamping itu, Mycoplasma gallisepticum merupakan salah satu dari beberapa Mycoplasma yang mensekresikan hydrogen peroxide, yang dapat menyebabkan tekanan oksidasi pada membran sel inang. Meskipun dipandang sebagai patogen permukaan mukosa, dewasa ini diketahui bahwa Mycoplasma gallisepticum seperti Mycoplasma lainnya memiliki kemampuan untuk menyerang sel dan mengganggu mekanisme transport sel. Hal ini menyebabkan

mereka mampu mengelabui antibodi dan bahan antimikroba. Rute utama keluarnya Mycoplasma gallisepticum dari inang adalah melalui traktus respiratorius dan infeksi dari traktus genitalia yang dapat menyebabkan kontaminasi pada telur atau semen (Jordan 2006).

Penyebaran Infeksi Mycoplasma gallisepticum ( MG )

Penyebaran penyakit dapat terjadi melalui telur ayam dan kalkun yang terinfeksi (Mycoplasma gallisepticum yang diisolasi dari oviduct unggas) maupun penyebaran dari unggas satu ke unggas yang lainnya melalui kotoran dan peralatan dalam kandang (fomites). Penyebaran melalui fomites, terjadi pada tingkatan yang terbatas disaat hewan sedang stres akibat kondisi sanitasi kandang yang buruk. Pada kelompok yang rentan akan penyakit ini bila dikandangkan dalam satu ruangan akan menyebar dari satu unggas ke unggas yang lainnya, biasanya cukup cepat namun adanya dinding ruangan akan membentuk barier yang efektif dan dapat mencegah penyebaran organisme ini. Kandang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri ini bila digunakan dalam produksi berkelanjutan (multiple-agesites) akan menjadi media penyebaran penyakit sehingga infeksi sulit dikontrol (Ensminger 1992).

Unggas yang terinfeksi dapat menjadi sumber penyebaran penyakit dalam suatu kelompok melalui kontak langsung, hasil dari exhalasi, batuk, atau bersin. Hal ini dapat terjadi selama fase akut penyakit mikoplasmosis. Unggas dengan epitel saluran pernafasan yang rusak merupakan target yang baik untuk kolonisasi mikroorganisme ini (Adler 1970). Kepadatan kandang, jumlah mikroba, dan kepekaan individu terhadap strain Mycoplasma merupakan faktor predisposisi yang menentukan tingkat penyebaran. Bakteri ini mampu bertahan pada beberapa benda selama setengah hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jordan (2006) Mycoplasma gallisepticum dapat bertahan pada bulu unggas, rambut manusia, dan pakaian berbahan katun.

Gejala Klinis

Gejala klinis dalam bentuk akut berupa depresi yang berat, pertumbuhan terhambat, muka pucat, dada melepuh, kepincangan dan pembengkakan sendi,

tetapi pada kalkun gejala ini kurang tampak. Pada kalkun persendian kadang- kadang membengkak atau feces kehijauan (Tully & Whitcomb 1979). Pembengkakan pada persendian dapat menyeluruh terutama pada kasus berat dan sebagian pada kasus yang ringan. Kepincangan dapat disebabkan oleh panas, rasa sakit maupun bengkak pada hock joint. Bentuk yang akut ini dapat berlanjut menjadi bentuk kronis pada kondisi mengikuti vaksinasi ND dan IB (Tully & Whitcomb 1979). Pada umumnya bentuk kronis tidak menunjukkan gejala klinis yang nyata (Razin & Barile 1985). Penurunan produksi telur dapat terjadi pada ayam petelur dan kalkun. Gejala klinis lainnya berupa ataxia,

keratoconjunctivitis, arthritis, salpingitis, dan encephalopathy (Songer 2005). Infeksi Mycoplasma gallisepticum muncul dan menyebar pada saluran pernapasan yang mengakibatkan menurunnya karkas ayam broiler dan kalkun serta produksi telur suboptimal pada ayam layer. Bakteri ini dapat menyebabkan menurunnya daya tetas telur pada bebek dan unggas lainnya dan sering dihubungkan kondisi encephalopathy pada kalkun dan arthritis, tendosynovitis dan salpingitis pada ayam (Ensminger 1992).

Diagnosis

Gejala klinis dan adanya lesio pada unggas yang terinfeksi merupakan ekspresi pada penyakit Mycoplasma. Dalam mendiagnosa penyakit ini tidak ada tanda klinis atau lesio histologi yang patognomonis pada infeksi Mycoplasma galliseptium pada ayam atau kalkun (Ensminger 1992). Diagnosa penyakit ini wajib dilakukan uji di laboratorium agar tidak salah dalam mendiagnosa dan untuk menghindari diagnosa banding dari penyakit ini. Beberapa uji laboratorium untuk mendiagnosa Mycoplasma adalah isolasi dan identifikasi organisme, uji serologis dan deteksi DNA. Probe DNA yang baru-baru ini dikembangkan untuk identifikasi cara cepat Mycoplasma gallisepticum pada jaringan. Infeksi juga dapat dikenali dengan menunjukkan keberadaan antibodi spesifik melalui uji serologis. Uji serologis tersebut berupa uji serum aglutinasi secara cepat (RSA), uji aglutinasi tuba (TA), uji inhibisi hemaglutinasi (HI) dan ELISA (Enzyme- Linked Immunosorbent assays) (Ensminger 1992).

Bebek

Sejarah pustaka menyatakan bahwa nenek moyang bebek berasal dari Amerika Utara. Nenek moyang bebek ini merupakan bebek liar (Anas moscha) atau wild mallard. Bebek liar ini selanjutnya dijinakkan oleh manusia sehingga jadilah bebek yang dipelihara sekarang yang disebut Anas domesticus. Bebek bersifat monogamus yaitu hidup berpasangan pada keadaan liar dan bersifat poligamus setelah didomestikasi sehingga bisa dipelihara bersama-sama dalam satu kandang. Bebek menyebar ke kawasan yang luas karena bersifat aquatik. Selain itu, bebek bersifat omnivorus (pemakan segala), mulai dari biji-bijian, rumput-rumputan, umbi-umbian, dan makanan yang berasal dari hewan atau binatang-binatang kecil. Sifat spesifik lainnya dari bebek adalah kakinya yang relatif pendek dibandingkan dengan tubuhnya, antara jari yang satu dengan yang lain dihubungkan oleh selaput renang, serta bulu-bulunya tebal dan berminyak yang dapat menghalangi air masuk ke dalam tubuhnya ketika berada di dalam air (Suharno 2002).

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

Gambar 1. Beberapa jenis bebek yang ada di Indonesia (a) bebek Tegal (b) bebek Mojosari (c) bebek Magelang (d) bebek Bali (e) bebek alabio (f) bebek Cirebon.

Negara Amerika lebih menonjolkan ternak ayam dari pada ternak bebek (Winter & Funk 1956), sedangkan di Indonesia ternak bebek tidak kalah pentingnya dengan ternak ayam (Samosir 1973). American Standard of Perfection telah menetapkan sebanyak 11 breed bebek standar yang kebanyakan diantaranya merupakan keturunan bebek liar (Mallard). Ternak bebek tersebar dari Asia Timur sampai ke Amerika Utara (Winter & Funk 1956). Amerika lebih mengutamakan produksi dalam bentuk daging dari pada telur (Samosir 1973, Winter & Funk 1956) akan tetapi di Indonesia justru sebaliknya (Sudjai 1964 & Samosir 1973). Kebanyakan ternak bebek yang dipelihara di Indonesia adalah bebek Jawa (Pudjiarti 1972, Djanah 1973 & Samosir 1973). Daerah-daerah penyebaran ternak bebek antara lain: Karawang, Bekasi, Indramayu, Cirebon, Temanggung, Brebes, Tegal, Pekalongan, Comal, Bali, Lombok, Sulawesi Selatan (Sudjai 1964) dan penyebaran bebek Alabio di Kalimantan Selatan (Samosir 1973). Bebek mempunyai beberapa keunggulan di bandingkan unggas lainnya seperti mampu mempertahankan produksi telur lebih lama dibandingkan ayam, meskipun dipelihara dengan sistem pengelolaan yang sederhana, bebek masih mampu berproduksi dengan baik, tingkat kematian (mortalitas) bebek umumnya kecil dan bebek lebih tahan terhadap penyakit. Bebek selalu bertelur di pagi hari, dengan demikian kegiatan pengembilan telur hanya dilakukan sekali sehari sehingga peternak dapat melakukan kegiatan lainnya. Bebek masih bisa berproduksi walaupun dengan pakan yang berkualitas rendah dan telurnya cocok dibuat telur asin (Suharno 2002). Kelebihan pemeliharaan ternak bebek antara lain terletak pada pertumbuhannya yang cepat, mudah dikembangkan, dan tahan terhadap penyakit (Suharno 1999).

Mekanisme Kekebalan Bebek

Mekanisme kekebalan pada bebek terbentuk hampir sama seperti mekanisme kekebalan pada unggas secara umum. Peran utama dari sistem kekebalan tubuh adalah untuk mengenali benda asing, organisme atau zat yang telah berhasil masuk ke dalam tubuh untuk memulai dan mengelola respon fisiologis yang tepat untuk menghilangkannnya. Dalam keadaan optimal atau dalam keadaan sehat, sistem ini berfungsi secara efisien sehingga suatu individu

dapat terhindar dari dampak yang tidak menguntungkan akibat masuknya substansi asing. Ada tiga keadaan yang mengakibatkan kegagalan sistem imun sebagai sistem pertahanan tubuh yaitu: 1) respon yang in-adekuat terhadap pathogenisitas (immunodefisiensi) yang berakibat kepekaan terhadap infeksi; 2) kegagalan dalam mengenal antigen secara selektif yang berakibat hilangnya self- tolerance sehingga muncul penyakit auto-imun; 3) respon berlebihan dan tidak terkendali yang berakibat hipersensitifitas (Kresno 2001).

Sistem kekebalan unggas terbagi menjadi sistem kekebalan non-spesifik dan spesifik. Kedua sistem kekebalan tersebut saling bekerjasama menangkal benda asing dari luar tubuh yang dapat membahayakan tubuh. Individu yang terpapar oleh benda asing maka yang pertama kali akan merespon adalah sistem pertahanan bawaan/non-spesifik. Sistem kekebalan non-spesifik merupakan sistem kekebalan yang diperoleh secara alami oleh tubuh namun proteksi yang diberikan tidak terlalu kuat dan tidak spesifik terhadap penyakit tertentu. Kekebalan non-spesifik meliputi kekebalan fisik-mekanik, kekebalan kimikawi, dan kekebalan biologis. Kekebalan fisik-mekanik terdiri dari kulit dan membran mukosa serta hasil sekresi baik dari kulit maupun membran mukosa. Kulit dan membran mukosa merupakan sistem pertahanan utama tubuh karena bagian permukaan tubuh paling luar untuk mencegah masuknya bahan asing. Kekebalan kimiawi terdiri dari lisozim, asam lemak, asam lambung dan enzim proteolitik, sedangkan kekebalan biologis dapat berupa flora normal yang ada di dalam tubuh (Wibawan et al. 2003). Menurut Kresno (2001) komponen-komponen utama dalam respon imun non-spesifik lainnya adalah berbagai jenis protein dalam darah termasuk komponen sistem komplemen, sel-sel fagosit yaitu sel-sel polymorfonuklear dan makrofag serta sel Natural Killer (NK).

Mekanisme kekebalan spesifik diawali dari Antigen Presenting Cell (APC) yang menghancurkan antigen melalui proses fagositosis dan menyajikan bagian dari antigen tersebut sehingga dapat dikenali oleh sistem imun spesifik (Kuby 1997). Sel yang berperan penting dalam respon imun spesifik adalah limfosit dan

Antigen Presenting Cell (APC). Limfosit terdiri dari dua kelompok sel yaitu sel limfosit B dan sel limfosit T. Sumsum tulang menghasilkan sel limfosit B dan sel limfosit T. Pendewasaan sel limfosit B terjadi di bursa fabricius pada unggas,

sedangkan pendewasaan sel limfosit T terjadi di organ timus (Butcher 2003). Limfosit meninggalkan sumsum tulang bersirkulasi dalam darah dan sistem limfatik untuk menempati beberapa organ limfoid.

Antigen Presenting Cell (APC) yang memfragmentasi antigen akan mempresentasikan antigen tersebut kepada sel limfosit melalui molekul Major Histocompability Complex (MHC) yang terletak di permukaan makrofag. Sel limfosit T bisa berupa sel limfosit T-helper/sel Th dan sel limfosit T-cytotoxic/sel Tc. Sel T hanya akan bereaksi dengan antigen asing jika antigen tersebut ditampilkan pada permukaan Antigen Presenting Cell (APC) bersama-sama dengan MHC, sel Th mengenali antigen yang berikatan dengan molekul MHC kelas II (MHC II) dan sel Tc mengenali antigen yang berikatan dengan MHC kelas I (MHC I). Dengan demikian, maka molekul MHC berperan dalam mengatur interaksi antara berbagai sel yang terlibat dalam respon imun. Interaksi sel Th dengan MHC II dilakukan melalui molekul permukaan sel Th yaitu CD4 (Cluster of Differentiation 4) dan TCR (T Cell Receptor) yang dimiliki oleh sel Th. Interaksi sel Th dan Antigen Presenting Cell (APC) akan menginduksi pengeluaran sitokin atau interleukin yang merupakan alat komunikasi antar sel sehingga akan menginduksi pematangan sel limfosit B menjadi sel plasma yang akan menghasilkan antibodi. Antibodi yang dihasilkan dari proses ini hanya bereaksi dengan antigen yang ada di permukaan sel, sehingga disebut sebagai kekebalan humoral atau kekebalan permukaan (Humoral Mediated Immunity/ HMI) (Wibawan et al. 2003).

Kekebalan humoral ini tidak dapat berespon dengan antigen yang berada di dalam sel, oleh karena itu untuk menghilangkan antigen di dalam sel diperlukan mekanisme pembentukan kekebalan seluler yaitu dengan menggunakan sel limfosit Tc (Cytotoxic). Antigen akan di presentasikan oleh APC ke sel Tc melalui MHC I. Interaksi antara sel Tc dan MHC I dilakukan melalui molekul CD8 dan TCR yang dimiliki oleh sel Tc. Sel Tc ini akan mencari sel-sel yang mengalami kelainan fisiologis untuk kemudian menghancurkan seluruh sel tersebut beserta antigen yang ada di dalamnya walaupun host tidak menunjukan gejala sakit. Tujuan dari penghancuran ini adalah untuk mencegah penyebaran antigen intraseluler tersebut ke sel-sel sehat lain yang ada disekitarnya. Proses ini

dikenal sebagai proses kekebalan seluler (Cellular Mediated Immunity/ CMI) (Wibawan et al. 2003).

Gambar 2. Bagan sistem kekebalan humoral dan selular (Wibawan et al. 2003)

Antigen yang masuk kedalam tubuh akan merangsang dan memunculkan respon awal yang disebut respon imun primer. Respon ini memerlukan waktu lebih lama untuk memperbanyak limfosit dan membentuk ingatan imunologik berupa sel-sel limfosit yang lebih peka terhadap antigen. Pada saat antigen yang sama kembali menginfeksi tubuh maka respon yang muncul berupa respon imun sekunder. Respon sekunder muncul lebih cepat, lebih kuat, dan berlangsung lebih lama dibandingkan respon imun primer (Cann 1997).

Mycoplasma melakukan beberapa adaptasi agar dapat bertahan lebih lama pada inang. Mekanisme yang dilakukan Mycoplasma antara lain mimikri molekuler, kelangsungan hidup dalam sel fagosit dan generasi plastisitas fenotipik. Mimikri molekuler merupakan penyerupaan yang dilakukan oleh

Mycoplasma untuk menghindari dari mekanisme pertahanan tubuh. Plastisitas fenotipik didefinisikan sebagai kemampuan suatu genotipe tunggal untuk mengubah antigen memproduksi lebih dari satu bentuk morfologi, kondisi fisiologis dan perilaku dalam menanggapi kondisi lingkungan (Rottem 2003).

Mekanisme kekebalan dalam merespon infeksi Mycoplasma melibatkan respon non-spesifik maupun spesifik. Mekanismenya melalui proses adhesi, opsonisasi dan fagositosis. Adhesi merupakan proses memperpendek jarak antara bakteri dengan permukaan tubuh inang. Opsonisasi adalah pelapisan mikroba oleh antibodi atau komplemen. Opsonisasi antigen oleh immunoglobulin meningkatkan fagositosis, mempermudah Antigen Presenting Cell (APC) memproses dan menyajikan antigen ke sel T dan meningkatkan fungsi sel Natural Killer (NK) dalam mekanisme Antibody Dependent Cytotoxicity (ADCC) (Kresno 2001).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu pengambilan sampel yang dilakukan di daerah Subang pada bulan Desember 2009 dan pengujian laboratorium di Laboratorium Terpadu dan Laboratorium Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner pada bulan Februari sampai Juli 2010.

Bahan dan Alat Penelitian.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serum darah bebek. Kit ELISA pemeriksaaan Mycoplasma gallisepticum (MG) produksi BioCheck® yang terdiri dari microplate yang telah dilapisi dengan antigen MG, serum kontrol positif, kontrol negatif, larutan konjugat goat antiduck IgY peroxidase, larutan buffer pengencer sampel, buffer substrat, stop solution, washing solution. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah micropipette, diluted chamber, microtipe, ELISA reader, freezer.

Rancangan Percobaan

Sebanyak 145 bebek dari lima desa di kecamatan Cipunegara kabupaten Subang diambil darahnya untuk diperiksa serumnya terhadap keberadaan antibodi anti MG. Kelima desa yang terpilih adalah desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari. Sampel diambil dengan metode purposive sampling, yaitu dipilih bebek yang digembalakan berpindah dengan area pengembalaan di daerah kompartemen sekitar peternakan unggas sektor 1 dan 2.

Metode pemeriksaan antibodi anti MG dengan teknik ELISA tidak langsung

 Dilakukan penyiapan sampel berupa pengenceran serum sampel dengan buffer pengencer sebesar 1:500.

Microplate yang telah dilapisi antigen MG dan masih tersegel dikeluarkan dari kertas pembungkus.

 Sampel yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam tiap-tiap sumur sebanyak 100 µl, sesuai pola yang telah dibuat. Empat sumur pada kolom pertama microplate yaitu A1, B1, C1 dan D1 dikosongkan dari serum untuk dijadikan sumur kontrol positif dan negatif.

 Sebanyak 100 µl kontrol negatif ditambahkan ke dalam sumur A1 dan B1. Dan sebanyak 100 µl kontrol positif ditambahkan ke dalam sumur C1 dan D1.

 Inkubasi microplate selama 30 menit pada suhu ruang (22- 27 0C).

Microplate yang telah diinkubasi dicuci dengan menggunakan larutan pencuci sebanyak 350 µl dan dilakukan aspirasi minimal 4 kali sampai menyentuh dinding sumur.

Plate dikeringkan dengan membalikkan plate pada kain yang berdaya serap tinggi sampai sumur benar- benar kosong.

 Sebanyak 100 µl konjugat (antiduck peroksidase) ditambahkan ke dalam tiap sumur dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 22- 27 0C.

Plate kemudian dicuci seperti langkah pencucian diatas.

 Sebanyak 100 µl substrat ditambahkan ke dalam tiap sumur. Saat penambahan substrat sebaiknya dilakukan dalam kondisi intensitas cahaya yang rendah atau matikan lampu ruangan. Hal ini dikarenakan substrat sangat reaktif terhadap cahaya.

Microplate ditutup dengan alumunium foil.

Microplate diinkubasi pada suhu ruangan 22- 27 0C selama 15 menit, kemudian ditambahkan 100 µl stop solution untuk menghentikan reaksi.

Microplate dibaca menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 405 nm.

Pembacaan Hasil

Hasil yang valid ditunjukkan dengan nilai absorban kontrol negatif harus terbaca di bawah 0.30 dan perbedaan nilai rata-rata negatif kontrol dengan positif kontrol lebih besar daripada 0.15.

Interpretasi Hasil

Sampel dengan nilai ratio absorbansi sampel dibagi absorbansi kontrol positif (ratio S/P) sebesar 0.5 atau lebih diartikan bahwa serum yang diperiksa mengandung antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum (positif).

Perhitungan rasio S/P = � � � �� − � � �� �

� � � �� − � � �� �

Nilai S/P Status Antibodi

0.499 atau kurang Negatif 0.500 atau lebih Positif

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dipilihnya desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari di Kecamatan Cipunegara pada penelitian ini karena daerah ini memiliki banyak peternakan unggas sektor 1 dan 2 yang dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang memelihara unggas. Dikelima desa tersebut terdapat berbagai tipe pemeliharaan unggas yaitu unggas backyard (sektor 4), ayam ras pedaging komersial skala kecil (sektor 3), tempat penampungan unggas/ tempat pemotongan unggas serta penggembalaan bebek berpindah (Eko 2003 & Syafrison 2011).

Tingkat biosecurity pada peternakan sektor 3 dan sektor 4 masih sangat rendah. Sistem biosecurity yang rendah merupakan sistem yang tidak melakukan kontrol terhadap lalu lintas orang, vaksinasi, pencatatan riwayat flock, pencucian kandang, pakan, air, limbah (sisa-sisa) produksi dan ayam mati. Semakin buruk kondisi lingkungan dan manajemen kandang maka periode inkubasi Mycoplasma

akan berlangsung lebih cepat (Poultry Disease Network 2011). Menurut Bradbury (2006) Mycoplasma gallisepticum dapat bertahan dengan sangat baik pada bulu unggas, rambut manusia dan pakaian berbahan katun. Dengan sistem biosecurity

yang sangat rendah pada sektor 3 dan 4 memungkinkan terjadinya interaksi penyakit antar kelompok unggas dengan sangat cepat. Selain itu, jika penyakit benar-benar telah berada di lingkungan peternakan sektor 4, unggas yang terinfeksi dikhawatirkan akan menjadi sumber penularan bagi unggas lain di peternakan sektor 4 maupun unggas di peternakan sektor lainnya.

Hasil pengujian terhadap sampel serum yang diperoleh menunjukkan bahwa prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum pada bebek di Kabupaten Subang cukup rendah, yaitu hanya 2 sampel yang menunjukkan positif mengandung antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum dari 145 sampel yang diperoleh. Berdasarkan sebaran nilai prevalensinya hanya 2 desa yang menunjukan adanya sampel positif yaitu desa Pada Mulya (1 sampel) dan Parigi Mulya (1 sampel). Berdasarkan data tersebut maka prevalensi Mycoplasma gallisepticum pada bebek adalah 1.4%. (Tabel 1).

Tabel 1 Hasil pengujian prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum

Nama Desa Jumlah Sampel

Positif Negatif Persentase Positif (%) Persentase Negatif(%) Tanjung 59 0 59 0 100 Jati 29 0 29 0 100 Pada Mulya 7 1 6 14.3 85.7 Parigi Mulya 28 1 27 3.6 96.4 Wanasari 22 0 22 0 100 Total 145 2 143 1.4 98.6

Jumlah sampel yang diambil dari tiap desa berbeda-beda tergantung dari populasi bebek yang ada di masing-masing desa. Desa yang memiliki tingkat prevalensi paling tinggi yaitu desa Parigi Mulya yaitu sebesar 14.3% dan diikuti oleh desa Pada Mulya yaitu sebesar 3.6%. Desa Tanjung, Jati dan Wanasari memiliki tingkat prevalensi yang sangat rendah karena tidak ditemukan adanya sampel positif di desa tersebut (prevalensi 0%). Prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum pada bebek jauh lebih rendah dibandingkan ayam kampung. Hasil

Dokumen terkait