• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ayam Pedaging

Ayam ras pedaging disebut juga broiler, yang merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging ayam. Sebenarnya ayam pedaging baru populer di Indonesia sejak tahun 1980-an dimana pemegang kekuasaan mencanangkan penggalakan konsumsi daging ruminansia yang pada saat itu semakin sulit keberadaannya.

Pedaging adalah istilah untuk menyebutkan galur ayam hasil budidaya teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat, konversi pakan yang baik dan dapat dipotong pada usia yang relatif muda sehingga sirkulasi pemeliharaannya lebih cepat dan efisien serta menghasilkan daging yang berkualitas baik (Rasyaf 2008).

Menurut Hardjoswaro dan Rukmiasih (2000), ayam pedaging dapat digolongkan kedalam kelompok unggas penghasil daging artinya dipelihara khusus untuk menghasilkan daging. Umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: kerangka tubuh besar, pertumbuhan badan cepat, pertumbuhan bulu yang cepat, lebih efisien dalam mengubah ransum menjadi daging.

Penyakit Infectious Bursa Disease (IBD)

Tahun 1957 AS Cosgrove menemukan sindrom yang terjadi di peternakan ayam pedaging dekat Gumboro, Delaware. Sindrom ini kemudian dikenal dengan penyakit Gumboro karena daerah tempat penyakit yang mula-mula terjadi.

Penyakit ini sangat penting di dunia perunggasan karena terjadi kematian yang tinggi pada ayam muda (umur 3–6 minggu) dan merupakan penyakit imunosupresif apabila terjadi secara subklinis akan mengakibatkan reaksi terhadap vaksinasi rendah, serta ayam akan mudah terkena infeksi bakteri, protozoa, dan virus lain.

Virus IBD tergolong kedalam keluarga Birnaviridae dari genus Abivirnavirus

(Huang et al. 2004). Nama genus Birnaviridae dimaksudkan untuk menggambarkan virus yang memiliki dua segmen RNA utas ganda (Muller et al. 2003) dan dikelilingi oleh protein capsid berbentuk icosahedral simetri (Van Den Berg et al. 2004). Panjang segment A adalah 3.2 Kb sementara segmen B lebih pendek yaitu 2.8 Kb. Organisasi genom virus IBD dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Organisasi genom virus IBD (a); (b) modifikasi post translasi ORF segment A; NC= Sekuen non-coding (Van Den Berg. 2000).

Pada segmen A terdapat dua open reading frames (ORF). Utas tambahan pada segmen A memiliki monocistronic ORF yang panjangnya 3.039 pb (Van Den Berg 2000). Mundt et al. (2003) mengemukakan bahwa ORF yang pendek dengan panjang basa 438 pb sebagian bertumpuk pada ujung 5’ ORF pertama dan menyandikan protein nonstruktural VP5. Genome segmen B menyandikan VP1 (Boot et al. 2000). Protein ini bertanggung jawab terhadap sintesis mRNA dan replikasi genomnya, lebih lanjut ditunjukkan bahwa VP1 memiliki pengaruh pada efisiensi replikasi viral dan juga memodulasi virulensi virus secara in vivo (Liu dan Vakaria 2004).

Lejal et al. (2000) mengkarakterisasi lima protein virus IBD melalui analisa SDS-PAGE, yaitu VP1 (90 Kd), VP2 (40 Kd), VP3 (35 Kd), VP4 (28 Kd) and VP5 (21 Kd). VP1 memiliki polymerase dan aktivitas penangkapan enzim (Boot et al.

2000). Protein VP2 mengandung daerah antigenik yang bertanggung jawab untuk memicu netralisasi antibodi dan spesifisitas serotipe (Sharma et al. 2000).

Protein VP3 merupakan protein kedua dan menyusun sekitar 40% serta mengandung kelompok antigen spesifik dan sumber netralisasi antibodi (Becht dan Muller 1991). Baik protein VP2 maupun VP3 bertanggung jawab terhadap integritas struktur virus. Protein VP4 (6%) dan VP1 (3%) merupakan protein yang kecil yang menyusun protein virus. Protein VP5 dikodekan oleh ORF kedua yang sebagian bertumpuk (overlapping) dengan ORF kedua (Yao dan Vakharia 2001). Lombardo et al. (2000) mengamati bahwa ekspresi VP5 pada sistem sel berbeda menyebabkan efek sitotoksis hebat yang menghasilkan sel lisis dan disimpulkan bahwa VP5 berfungsi sebagai mematikan protein dan fungsi pada pelepasan virus.

Struktur virus IBD adalah non-envelop dengan diameter 60nm dan memiliki berat jenis 1.336 g/ml di CsCl (Kibenge dan Dharma 1997). Capsid pada virion mengandung lapisan tunggal 32 capsomer disusun dengan 5:3:2 secara asimetri (Hirai dan Shimakura 1974). Visualisasi struktur virus IBD dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur virus IBD menggunakan mikroskop electron. (a) partikel virus IBD; (b) struktur seperti tubula ketika VP2 terekspresi menggunakan sistem baculovirus; (c) Partikel seperti virus (VLP) jelas ketika poluprotein terekspresi via sistem baculovirus (Van Den Berg, 2000).

Penyebaran Virus IBD pada ayam komersial melalui infeksi secara oral atau pernafasan. Virus berpindah dari lambung ke jaringan lainnya lewat sel phagositis seperti makrofag. Di dalam usus makrofag berasosiasi dengan jaringan yang dapat dideteksi awal sekitar 4 jam setelah inokulasi oral menggunakan immunofluoresen (Van Den Berg et al. 2000). Lebih lanjut dikatakan oleh Van Den Berg et al. (2000). Virus kemudian mencapai bursa lewat darah dimana virus akan bereplikasi. Setelah 13 jam PI (post inoculation) ditemukan bahwa folikel terdapat virus IBD selanjutnya pada 16 jam PI kedua jelas terjadi viremia disertai dengan replikasi kedua pada organ lainnya yang dapat menyebabkan penyakit dan kematian.

Menurut Cereno (2004), sampai saat ini terdapat tiga galur virus IBD yang dapat dibedakan dari gejala klinisnya yaitu galur klasik, galur variant dan galur sangat virulen atau disebut juga vvIBD. Galur sangat virulen secara antigenik berhubungan dengan galur klasik dan secara antigenik berbeda dari galur varian dan virus serotipe 2 (Abdel-Alim and Saif 2001).

Organ target virus IBD adalah bursa fabricius (BF). BF mencapai perkembangan maksimum antara umur 3-6 minggu dan pada saat itu ayam rentan terhadap penyakit. Infeksi menghasilkan mortalitas tinggi selama masa akut penyakit atau penurunan sel B setelah masa penyembuhan dari penyakit (Van Den Berg 2000; Lukert dan Saif 2003). Ayam yang terinfeksi dengan virus IBD ketika berumur lebih dari 12 minggu tidak menunjukkan gejala klinis (Van Den Berg 2000).

Sel IgM termasuk target virus IBD. Selama fase akut penyakit IBD, bursa akan atrofi disebabkan sel B folikel bursa kosong. Replikasi virus menyebabkan kerusakan yang luar biasa pada sel limfoid dalam medulla dan daerah cortical folikel. Apoptosis sel B tetangga menambah kerusakan pada morfologi bursa. Pada saat yang bersamaan, sejumlah antigen viral dapat dideteksi pada organ lainnya (Kim et al.

2000).

Produksi antibodi distimulir pada situs awal replikasi viral didalam usus berasosiasi dengan jaringan dan virus ini dapat dideteksi cepat setelah 3 hari post infeksi. Antibodi ini menghindari penyebaran virus ke jaringan lainnya. Akibat

cepatnya serbuan antibodi, foci necrosis yang terbentuk di dalam BF terhenti berkembang dan sepenuhnya dieliminasi (Van Den Berg et al. 2004)

Virus ini tahan terhadap keadaan fisika maupun bahan kimia. Sehubungan dengan kestabilan dan kekuatannya, virus ini mempunyai resistensi terhadap berbagai macam desinfektan dan faktor – faktor lingkungan lainnya. Virus IBD akan tetap memiliki kemampuan menginfeksi sekurangnya selama 4 bulan di dalam lingkungan kandang ayam (Butcher dan Miles 2009). Virus ini tidak aktif pada pH 12, tahan terhadap suhu 370C selama 90 menit dan 560C selama 5 jam (Lukert and Saif 2003).

Virus IBD di Indonesia

Rudd et al. (2002) telah mendapatkan sekuen nukleotida yang lengkap dari virus IBD lapangan Indonesia isolat Tasik 94 serta sekuen asam amino dari segmen genom A dan B. Hasil sekuen menunjukkan adanya kemiripan dengan galur vvIBD yang beredar di Eropa, memiliki homologi nukleotida yang sangat besar (99,7 %) dengan vvIBD galur Belanda, yaitu D6948.

Parede et al. (2003) juga telah mengkarakterisasi virus IBD di Indonesia sebagai galur sangat virulen berdasarkan keunikan perubahan genetiknya, sedangkan Suwarno dan Rahardjo (2005) telah mengisolasi virus IBD di Lamongan dan Kediri, Jawa Timur. Diketahui bahwa berat molekul VP2 virus IBD dari daerah Jawa Timur adalah 44 kDa serta bersifat imunogenik yang dapat memicu produksi antibodi spesifik.

Mahardika dan Parede (2008), membandingkan sekuen virus IBD galur BalKar97 dan Neg98 dengan sekuen virus IBD di Indonesia (Rudd et al. 2002) serta sekuen virus IBD berbagai negara pada GenBank menggunakan piranti lunak CLUSTALW (MEGA3.1). Pada Gambar 3 dapat dilihat pohon filogenetik hasil analisis yang membagi dua kelompok virus IBD yaitu kelompok Amerika-Eropa dan Australia. Sebagian besar virus IBD Indonesia masuk dalam kelompok virus sangat virulen (vv-IBD), satu galur Indo 13 masuk dalam kelompok klasik dan sangat dekat dengan virus klasik Amerika, STC. Dikatakan bahwa keragaman virus IBD di Indonesia ini diduga terjadi karena adanya introduksi berulang ke Indonesia.

Gambar 3 Pohon filogenetik virus IBD (Mahardika dan Parede, 2008).

Imunosupresi

Imunosupresi adalah suatu kondisi terjadinya penurunan reaksi pembentukan zat kebal tubuh atau antibodi akibat kerusakan organ limfoid. Penurunan jumlah antibodi dalam tubuh, keadaan ini menyebabkan berbagai agen penyebab penyakit akan lebih leluasa masuk dalam tubuh ayam dan terjadilah infeksi. Hal tersebut akan menyebabkan adanya gangguan pertumbuhan dan produksi.

Tanda-tanda terjadinya kasus imunosupresi adalah performa produksi yang jelek dari suatu flok peternakan, akibat terjadinya kematian dalam jumlah banyak, pencapaian berat badan rendah, konversi pakan rendah dan keseragaman pertumbuhan berat badan ayam rendah, serta banyaknya ayam yang kerdil. Selain itu,

meningkatnya gangguan pernafasan pada unggas setelah vaksinasi dan terjadinya wabah penyakit pada suatu peternakan. Hal tersebut dapat disebabkan adanya reaksi suboptimal terhadap vaksinasi. Gambaran perubahan patologi anatomi pada kasus imunosupresi adalah terjadinya atrofi pada bursa fabricius dan rasio perbandingan ukuran antara bursa fabrisius dengan limpa. ukuran bursa fabrisius yang sama atau lebih kecil dari limpa, pada lima minggu pertama umur ayam, dapat mengindikasikan bahwa telah terjadi kasus imunosupresi (Sharma et al. 2000).

Efek imunosupresi virus IBD bergantung pada galur virus yang menginfeksinya. Ayam terinfeksi virus IBD pada umur muda dapat mengalami kematian karena infeksi lain seperti hepatitis, reovirus, coccidiosis, Marek, hemorrhagic-aplastic anemia dan dermatitis, infectious laryngotracheitis, infectious bronchitis, chicken anemia agent, salmonellosis, Escherichia coli, colibacillosis, Mycoplasma synoviae dan Eimeria tenella (Ming et al. 2000).

Deteksi Virus IBD Serologi

Uji secara serologi yang umum digunakan untuk mendeteksi virus IBD adalah

Enzymed Linked Immunosorbent Assay (ELISA), Virus Neutralization (VN) dan

Agarose Gel Precipitation (AGP). ELISA adalah uji yang paling umum digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap virus IBD. Uji ini ekonomis, sederhana, cepat dan dapat menguji sampel dalam jumlah banyak pada waktu yang bersamaan dan dapat diautomasikan pada perangkat lunak komputer (Alkhalaf 2009). ELISA juga dapat mengkuantifikasi antibodi terhadap virus IBD sehingga dapat digunakan untuk mengamati status kekebalan suatu populasi ayam untuk mengamati respon vaksinasi serta ekspos alami di lapang dan titer ntibodi asal induk (Wang et al. 2008). ELISA tidak dapat membedakan antibodi spesifik dua serotipe virus, umumnya virus dengan serotipe 2 yang tersebar pada ayam komersial dan dapat menimbulkan kesan tingginya tingkat antibodi populasi ayam tersebut (Ashraf et al. 2006).

Uji VN dapat membedakan serotipe 1 dan 2 virus IBD serta dapat membedakan antibodi yang berasal dari virus IBD subtipe berbeda. Terdapat 6 subtipe antigen pada

serotipe 1 yang telah diidentifikasi dengan uji VN. Titer VN yang akurat mencerminkan daya proteksi relatif ayam terhadap virus IBD. Penelitian proteksi silang secara in vivo dapat digunakan untuk mendeteksi perbedaan antigenik antar galur virus dan mendeterminasi imunogenisitas virus dan mengamati respon inang secara lengkap (Jackwood et al. 2001).

Metode lain yang digunakan untuk mendeteksi virus IBD adalah dengan uji Agarose Gel Presipitasi (AGP), Uji ini merupakan uji kuantitatif yang cepat, tetapi tidak sensitif. AGP tidak dapat mendeteksi perbedaan serotipe dan mengukur permulaan antigen soluble kelompok-spesifik (Lukert dan Saif 2003).

Molekuler

Penelitian secara in vivo untuk membedakan galur virus IBD membutuhkan waktu lama dan mahal. Oleh karena itu karakterisasi galur virus IBD dilakukan secara molekuler karena lebih efisien, cepat dan akurat (Jackwood dan Sommer-wagner 2010; Mardassi et al. 2004 dan Rudd et al. 2002). Penelitian terhadap galur virus yang virulen di Indonesia secara molekuler telah dilakukan oleh Parede et al. (2003) dan Rudd et al. (2002). Keduanya menyatakan bahwa virus IBD di Indonesia adalah virus galur virulen yang memiliki mutasi substitusi asam amino serin pada posisi 222. Analisa RT-PCR dan RFLP telah secara ekstensif digunakan untuk mendeteksi dan mendiagnosa galur virus IBD oleh Ozbey et al. (2003).

Jackwood dan Sommer-wagner (2002) membagi kelompok virus IBD berdasarkan pada situs ensim restriksi, yang berasal dari mutasi nukleotida yang tidak selalu merubah asam amino. Berdasarkan profil RFLP dan sekuen nukleotida dapat digunakan untuk memprediksi perbedaan antara galur IBD, namun pengujian in vivo

penting untuk mendeteksi perbedaan antigenik yang aktual. Banda dan Villegas (2004) menggunakan metode molekuler untuk membedakan antara galur klasik, varian dan sangat virulen, selain itu juga dapat mendeteksi perbedaan subtipe antigen secara genetik. Metode Multiplex Polymerase Chain Reaction (MPCR) juga telah digunakan oleh Caterina et al. (2004) untuk membedakan virus avian adenovirus group I, avian reovirus, infectious bursal disease dan anemia ayam dari sampel feses.

Teknik ini lebih sensitif, spesifik, lebih murah serta dapat digunakan untuk diagnosis, penapisan dan pengamatan pada populasi ayam (Caterina et al. 2004).

Vaksin dan Vaksinasi IBD

Prinsip utama vaksinasi terhadap penyakit adalah vaksin tersebut harus dapat menstimulasi pembentukan antibodi secara cepat dan tinggi. Tindakan pencegahan penyakit lainnya dilakukan dengan tindakan biosekuriti yang ketat untuk mencegah jumlah virus lapang lebih besar dari jumlah antibodi yang terbentuk dalam tubuh ayam. Jumlah virus lapang yang tidak dapat diperkecil oleh tindak biosekuriti akan menyebabkan titer antibodi yang dihasilkan oleh vaksin akan tidak mampu untuk mencegah terjadinya penyakit.

Butcher dan Miles (2009), telah membagi vaksin IBD menjadi tiga kategori berdasarkan patogenisitas virus, yaitu mild, intermediate dan virulent. Tipe virus IBD

intermediate adalah yang paling umum digunakan sebagai seed vaksin. Vaksin ini dapat menstimulir ayam pedaging untuk menghasilkan antibodi lebih cepat daripada vaksin tipe-mild, tanpa kerusakan yang signifikan pada bursa dibandingkan dengan penggunaan vaksin tipe virulent.

Pada umumnya vaksinasi IBD dilakukan pada umur muda, mulai telur/embrio sampai ayam berumur 5 minggu. Vaksinasi dilakukan dengan tujuan mencegah atau menurunkan masalah infeksi virus dari lapangan. Tujuan yang kedua adalah untuk menaikkan status kebal dari ayam. Umumnya anak ayam mendapatkan perlindungan antibodi asal induk sampai umur 2-5 minggu. Perkembangan sistem kekebalan menjadi lebih matang dengan meningkatnya umur dan titer antibodi asal induk akan turun hingga 0 secara alamiah. Kondisi inilah yang dinamakan dengan penurunan antibodi asal induk (Saif 2002).

Tindakan pencegahan infeksi IBD lainnya adalah menggunakan vaksin virus rekombinan. Vaksin ini dirancang untuk menghindari interferensi antibodi asal induk. Vaksin rekombinan ini biasanya berdasarkan insersi gen yang mengkodekan protein virus IBD yang imunogenik pada vector viral apathogenik. Rong et al. (2005) menggunakan segmen A (VP2, VP4 danVP3) sebagai insersi gen yang diekspresikan

kedalam vector pET21a dan ditranformasikan ke dalam sel Eschericia coli. Vaksinasi dengan vaksin rekombinan ini digunakan secara intramuscular. Zhou et al. (2010) melakukan penelitian menggunakan vaksin protein rekombinan IBDV-VP2 pada ayam pedaging dan ayam white leghorn (SPF) di Beijing. Dinyatakan bahwa ayam SPF dan ayam pedaging yang divaksinasi oleh protein rekombinan memiliki daya proteksi yang lebih stabil dan aman dibandingkan dengan ayam yang divaksin oleh vaksin live yang dilemahkan.

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan masyarakat veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan dan Kandang terpadu Kampus IPB Dramaga, Bogor. Penelitian dilakukan mulai dari Bulan September – November 2011

Bahan dan Alat Penelitian

Ayam pedaging umur sehari (DOC) beserta pakan, vaksin IBD Blend M galur intermediate komersial, Virus IBD isolat lapang (Balitvet), ELISA kit IBD (Biocheck), RNEasy Protect Mini Kit QIAGEN, Access quick RT-PCR System

(PROMEGA), Plat ELISA dan ELISA Reader Metode Penelitian Hewan coba.

Seratus enam puluh ekor DOC digunakan pada penelitian ini. Sebanyak dua puluh ekor DOC ditimbang dan diambil sampel darahnya. Ayam dimatikan dan diambil organ BFnya ditimbang dan diamati kondisinya. Selanjutnya sisa ayam sebanyak 140 ekor dibagi menjadi empat kelompok dengan 35 ekor setiap kelompoknya. Pembagian kelompok ayam percobaan dilakukan secara random (Tabel 1).

Kelompok Percobaan dan Vaksinasi.

Kelompok K1, K2, dan K3 diberikan vaksin IBD aktif galur intermediate

dengan dosis vaksinasi 102 EID50 (untuk dosis penuh), 50 EID50 (dosis ½) dan 25 EID50 (dosis ¼), kelompok K4 divaksinasi dengan ND tetes tetapi tidak divaksin dengan IBD. Dosis perlakuan pada setiap kelompok ayam dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perlakuan vaksinasi IBD dan ND pada masing-masing kelompok ayam

Perlakuan Kelompok ayam perlakuan

K1 (IBD penuh) K2 (IBD ½) K3 (IBD ¼) K4 (IBD 0)

Vaksinasi ND dan IBD    -

Challenge dengan virus IBD  (10 ekor)  (10 ekor)  (10 ekor)  (10 ekor)

Koleksi darah    

Timbang BB    

Koleksi BF    

Uji Tantang dengan Virus IBD.

Isolat virus IBD lapang lokal diperoleh dari Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET), Cimanggu, Bogor. Virus IBD diinfeksikan pada ayam umur 28 hari sebanyak 0.2ml/oral/ekor. Ayam yang ditantang ditempatkan dalam kandang terpisah.

Peubah yang diamati.

Parameter yang digunakan untuk mengamati efek vaksinasi dan uji tantang dengan virus IBD adalah dengan mengambil sampel darah, penimbangan bobot badan, sampling bursa fabricius, limpa. pengamatan gejala klinis dan kematian. Uji serologi dengan uji HI untuk deteksi antibodi terhadap ND dan ELISA untuk deteksi antibodi anti IBD serta konfirmasi keberadaan virus IBD secara molekuler.

Peubah yang diamati meliputi :

1. Bobot Badan dan Bursa Fabricius.

Penimbangan bobot badan (g) dan bursa (g) dilakukan pada setiap individu kelompok percobaan seminggu sekali. Rasio bobot badan dan bursa dihitung dalam satuan persen. Hasil perhitungan pada setiap kelompok percobaan dibuat grafik. Rumus perhitungan ratio Bursa Fabricius menurut European Pharmacopoeia 5.0 (2005) dengan bobot badan sebagai berikut:

Ratio Bursa Fabricius dengan bobot badan = Bursa Fabricius (g) x 100%

2. Titer antibodi terhadap IBD

Pengambilan sampel darah dimulai pada hari ke-0 untuk mengetahui tingkat antibodi asal induk (maternal antibody=MA). Masing-masing kelompok ayam percobaan pada hari ke-7 dan 28 (sebelum diuji tantang) dan pada hari ke-42 (setelah uji tantang, akhir dari penelitian), diambil sepuluh ekor dan diambil darahnya untuk dikoleksi serumnya. Darah yang dikoleksi disimpan dalam lemari pendingin selama semalam supaya sel darah merah dan serum ayam terpisah. Serum ayam disimpan dalam tabung mikro 1.5 ml steril pada suhu -20OC sampai akan dianalisa selanjutnya.

3. Perubahan patologis

Gambaran patologis ayam percobaan diamati pada hari ke 7, 28 dan 42 setelah vaksinasi dan penantangan. Perubahan patologi dicatat dan diskoring.

Uji Serologis

Uji Haemagglutinasi – Inhibisi (HI).

Seluruh sumur microplate V bottom 1-12 diisi dengan PBS steril masing-masing 25 l. Serum yang akan diuji dan masukkan kedalam sumur pertama sebanyak 25 l kemudian lakukan pencampuran serum dengan PBS pada sumur pertama dengan cara mengambil dan mengeluarkan cairan tersebut dengan pipet mikro sebanyak lima kali sebanyak 25 l dari sumur pertama kemudian pindahkan ke sumur kedua dan lakukan pencampuran seperti di atas, selanjutnya pindahkan 25 l ke sumur ke- 3, begitu seterusnya sampai sumur ke 12. Larutan pada sumur ke- 12 diambil 25 l dan dibuang. Seluruh sumur selanjutnya ditambahkan suspensi virus standar (4 HAU) masing-masing 25 l Microplate digoyang- goyang kemudian diinkubasikan pada suhu 4oC selama 60 menit. Selanjutnya ditambahkan 25 l suspensi sel darah merah 1% ke dalam seluruh sumur.

Microplate kembali dikocok dengan menggoyang-goyangkannya, kemudian diinkubasikan pada suhu 4oC selama 60 menit. Selanjutnya dilakukan pembacaan

hasil saat kontrol positif sudah membentuk drop eye. Hasil pembacaan uji HI dihitung titernya dan dibuat nilai rata-rata Geometric Titre Mean (GMT).

Uji ELISA-IBD.

ELISA dilakukan mengikuti prosedur kit ELISA IBD dari Biocheck(Babiker, 2008b). Serum sampel diencerkan dengan perbandingan 1:500 dengan bufer pengencer. Kontrol negatif dimasukkan pada lubang A1 dan A2 pada plate yang sudah ditempeli dengan antigen, kontrol positif pada A3 dan A4. Reference

Kontrol berada pada lubang A5. Serum yang telah diencerkan dimasukkan pada lubang A6, A7, A8 dan seterusnya. Plate tersebut diinkubasi pada suhu 22-270C selama 30 menit. Selanjutnya dicuci selama 3-5 kali dan ditambahkan konjugat pada semua lubangnya. Inkubasi juga dilakukan selama 30 menit pada suhu yang sama. Setelah itu plate dicuci 3-5 kali, dan diteruskan dengan penambahan substrat dan diinkubasi selama 15 menit. Pada saat inkubasi tepat 15 menit, ditambahkan

stop solution untuk menghentikan reaksi pada plate. Selanjutnya plate dibaca absorbansinya, yang kemudian dikonversikan ke dalam titer. Pembacaan hasil ELISA dilakukan dengan melewatkan plat ELISA pada mesin ELISA pada panjang gelombang 405nm. Hasil absorbansi yang muncul dibandingkan dengan standar yang sudah ditetapkan menurut petunjuk yang ada pada kit tersebut dan dibuat rata-rata nilai Geometric Titre Mean (GMT).

Uji Molekuler

Pengujian secara molekuler dilakukan untuk mengkonfirmasi virus yang menginfeksi ayam adalah virus IBD. Primer yang digunakan untuk pengujian ini adalah spesifik untuk virus IBD.

Isolasi RNA. Total RNA diperoleh dari organ BF menggunakan kit RNEasy

Protect Mini Kit, QIAGEN mengikuti prosedur yang disarankan. Sebanyak 30 mg organ Bursa fabricius digerus bersama dengan nitrogen cair menggunakan mortar

500µl bufer lisis kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12.000rpm selama 1 menit. Supernatan yang terbentuk di pindahkan ke tabung mikro baru dan steril secara hati-hati dengan pipet mikro. Ke dalam tabung ditambahkan 500µl bufer RLT dan pipetted supaya homogen. Sebanyak 750 µl campuran ini dimasukkan kedalam kolom QIAGEN dan diinkubasi pada suhu ruang selama 1 menit selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 1 menit, selanjutnya kedalam kolom ditambahkan 750 µl bufer pencuci RW dan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 12.000rpm selama 3 menit. Pencucian kolom dilakukan sebanyak dua kali. Ke dalam kolom ditambahkan bufer elusi sebanyak 50µl dan disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 1 menit. Hasil elusi (total RNA) digunakan untuk proses RT-PCR.

Reverse transcription-PCR (RT-PCR). Uji RT-PCR dilakukan menggunakan pasangan primer yang mengamplifikasi daerah 672pb vVP2 (Li et al. 2009).

Primer forward yang digunakan yaitu 5’-GCCGATGATTACCAATTCTCATC-3’

dan primer reverse 5’-CCGGATTATGTCTTTGAAGC-3’. Pereaksi RT-PCR

Dokumen terkait