TINJAUAN PUSTAKA
Singkong
Singkong termasuk tumbuhan berbatang pohon lunak atau getas (mudah patah). Ubi kayu berbatang bulat dan bergerigi yang terjadi dari bekas pangkal tangkai daun dan bagian tengahnya bergabus. Ubi kayu bisa
mencapai ketinggian 1–4 meter.
Pemeliharaannya mudah dan produktif. Daun ubi kayu memiliki tangkai panjang dan helaian daunnya menyerupai telapak tangan, dan tiap tangkai mempunyai daun sekitar 3-8 lembar. Tangkai daun tersebut
berwarna kuning, hijau, atau merah.
Singkong merupakan makanan pokok di beberapa negara Afrika. Singkong dapat tumbuh subur di daerah yang berketinggian 1200 meter di atas permukaan air laut dan merupakan tumbuhan yang produktif (Alves 2000). Di samping sebagai bahan makanan, singkong juga dapat digunakan sebagai pakan ternak dan bahan baku industri pembuatan tepung tapioka (Gambar 1).
PENDAHULUAN
Singkong disebut juga ubi kayu atau ketela pohon. Singkong memiliki kandungan pati yang tinggi sebagai sumber karbohidrat dan terutama diolah menjadi tepung tapioka
banyak diekspor. Produk samping
pembuatan tepung tapioka berupa onggok (ampas) dalam jumlah besar. Onggok biasanya digunakan untuk bahan baku industri saus, campuran kerupuk, obat
nyamuk bakar, dan pakan ternak.
Kandungan terbesar dalam onggok ialah selulosa dan pati (Djarir 1982). Kandungan karbohidrat dan air yang tinggi dari onggok mempermudah aktivitas mikrobe pengurai menghasilkan senyawa amonia (NH3 dan H2S) yang menimbulkan bau tidak sedap (Pudjiastuti et al. 1999). Oleh karena itu, pemanfaatan onggok untuk produk-produk yang memiliki nilai jual perlu dikembangkan lebih banyak lagi (Enie 1989).
Polimer alam berupa serat, termasuk di dalamnya selulosa telah banyak dimodifikasi
melalui modifikasi kimia seperti
karboksimetilasi, sulfatilasi, ataupun fosforilasi. Modifikasi selulosa dapat meningkatkan kapasitas absorpsi. Hasil modifikasi tersebut biasanya dimanfaatkan
dalam banyak bidang, di antaranya
pembungkus makanan, teknik konstruksi, industri kimia, pengolahan limbah, dan bahan pembuat sensor (Jian 2008).
Bahan utama absorben umumnya adalah
poliakrilamida. Namun poliakrilamida
mempunyai kekurangan dalam hal kekuatan fisik dan kestabilan pada suhu. Pembuatan komposit polimer absorben dengan mineral alam seperti bentonit, zeolit, sepiolit merupakan jenis komposit yang termasuk baru dikembangkan. Pembuatan komposit polimer absorben dapat dilakukan dengan proses sambung polimer dengan mineral alam dan proses penggabungan monomer
dengan mineral alam lalu diikuti
polimerisasi. Komposit polimer absorben dengan mineral alam seperti bentonit, zeolit, sepiolit merupakan jenis komposit yang
termasuk baru dikembangkan
(Kiatkamjorwong 2002).
Ramakant (1996) telah melakukan
modifikasi pulp kertas secara sulfonasi.
Awalnya modifikasi ini bertujuan
meningkatkan kekuatan tarik dalam kondisi basah (wet strength) dari pulp kertas, tetapi modifikasi ini juga dapat meningkatkan kapasitas absorpsi pulp kertas hingga 16 kali bobot awalnya. Selain itu nitrasi selulosa
onggok singkong juga dapat meningkatkan
daya serap pada senyawa-senyawa
kurkuminoid temulawak sehingga dapat memperbesar jumlah eluat hasil elusi kolom. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis
spektroskopi UV-Vis. Filtrat hasil
pengocokan onggok bekas elusi kolom
dengan etanol membuktikan adanya
senyawa-senyawa yang tertahan pada fase diam onggok (Maretta 2006).
Penelitian ini melaporkan keberhasilan
pembuatan superabsorben dari materi
berbahan dasar onggok. Terdapat 27 ragam
perlakuan dari 3 parameter untuk
mengetahui faktor yang paling
mempengaruhi kapasitas absorpsi dalam penelitian ini (Lampiran 1 ).
TINJAUAN PUSTAKA
Singkong
Singkong termasuk tumbuhan berbatang pohon lunak atau getas (mudah patah). Ubi kayu berbatang bulat dan bergerigi yang terjadi dari bekas pangkal tangkai daun dan bagian tengahnya bergabus. Ubi kayu bisa
mencapai ketinggian 1–4 meter.
Pemeliharaannya mudah dan produktif. Daun ubi kayu memiliki tangkai panjang dan helaian daunnya menyerupai telapak tangan, dan tiap tangkai mempunyai daun sekitar 3-8 lembar. Tangkai daun tersebut
berwarna kuning, hijau, atau merah.
Singkong merupakan makanan pokok di beberapa negara Afrika. Singkong dapat tumbuh subur di daerah yang berketinggian 1200 meter di atas permukaan air laut dan merupakan tumbuhan yang produktif (Alves 2000). Di samping sebagai bahan makanan, singkong juga dapat digunakan sebagai pakan ternak dan bahan baku industri pembuatan tepung tapioka (Gambar 1).
Onggok
Onggok adalah hasil samping
pengolahan singkong menjadi tapioka yang berupa limbah padat utama setelah proses pengepresan (Gambar 2). Pada industri tapioka yang sudah maju, limbah padat kebanyakan hanya mengandung serat kasar, sedangkan sisa pati yang terikat sangat kecil. Lain halnya dengan limbah padatan yang dihasilkan oleh pengrajin tapioka (industri kecil) pada umumnya onggok masih
mengandung pati yang lebih tinggi
(Darmadjati 1985).
Gambar 2 Onggok awal.
Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia
onggok. Komposisi kimia onggok
dipengaruhi oleh varietas singkong,
kandungan mineral serta kadar air media tanam dan cara ekstraksi pati singkong. Kadar air onggok yang tinggi menyebabkan onggok perlu segera diolah lebih lanjut sebelum mengalami pembusukan (Golief 2002).
Tabel 1 Komposisi kimia onggok singkong
Komposisi Kadar (%) Air 12.7 Abu 9.1 Serat Kasar 8.1 Protein 2.5 Lemak 1.0 Karbohidrat 65.9 Sumber: Rinaldy 1987
Onggok segar mengandung air yang cukup tinggi (10-20%) sehingga perlu
dikeringkan terlebih dahulu sebelum
dimodifikasi (BPOM 2004). Di sisi lain kadar protein dan lemak onggok yang rendah memungkinkan onggok dimodifikasi tanpa menghilangkan lemak dan proteinnya terlebih dahulu.
Polisakarida
Polisakarida merupakan polimer
molekul-molekul berantai lurus atau
bercabang yang dapat dihidrolisis dengan enzim-enzim yang spesifik kerjanya.Derajat polimerisasi (DP) selulosa sebesar 7000– 15000. Hasil hidrolisis sebagian polisakrida akan menghasilkan oligosakarida dan dapat dipakai untuk menentukan struktur molekul polisakarida (Winarno 1984). Polisakarida
berbeda dalam kandungan unit
monosakaridanya, panjang rantainya, dan dalam tingkat percabangannya. Terdapat dua jenis polisakarida yaitu homopolisakarida (mengandung hanya satu jenis monomer) dan heteropolisakarida (mengandung dua atau lebih jenis unit monosakarida yang berbeda). Contoh homopolisakarida adalah pati dan selulosa.
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, bergantung pada panjang rantai C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri atas 2 fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa (Gambar 3) dan fraksi tidak terlarut disebut
amilopektin (Gambar 4). Amilosa
memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket (Winarno 1984).
Gambar 3 Struktur amilosa
Gambar 4 Struktur amilopektin
Selulosa merupakan senyawa organik yang terdapat pada dinding sel bersama lignin yang berperan dalam mengokohkan
struktur jaringan tumbuhan. Selulosa
merupakan homopolisakarida yang tersusun atas unit-unit β-d-glukopiranosa yang terikat
satu sama lain dengan ikatan-ikatan glikosida (1,4). Molekul selulosa (Gambar 5) seluruhnya berbentuk linear dan memiliki kecenderungan kuat membentuk ikatan hidrogen baik inter- maupun intramolekuler.
Gambar 5 Struktur selulosa
Selulosa mempunyai potensi yang cukup besar untuk dijadikan sebagai penyerap karena gugus –OH yang terikat dapat berinteraksi dengan komponen absorbat. Keberadaan gugus –OH. pada selulosa dan hemiselulosa menyumbang polaritas pada polimer tersebut. Dengan demikian selulosa dan hemiselulosa akan menyerap senyawa yang bersifat polar daripada yang kurang polar.
Perlakuan Pendahuluan
Perlakuan pendahuluan dapat dilakukan
dengan memberikan perlakuan kimia,
seperti direaksikan dengan asam dan basa
atau dengan perlakuan fisik seperti
pencucian (Marshall 1996). Perlakuan
pendahuluan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan asam nitrat. Tujuan perlakuan pendahuluan ini adalah untuk membersihkan onggok dari
pengotor, lemak, dan protein yang
terkandung didalamnya (aktivasi
permukaan).
Sulfonasi
Salah satu metode untuk memodifikasi
sifat fungsional polisakarida adalah
sulfonasi. Sulfonasi pada dasarnya
merupakan reaksi antara polisakarida dan suatu bisulfit. Perlakuan ini bertujuan mengadisikan gugus sulfonat pada karbonil dari unit dialdehid glukosa polisakarida.
Awalnya sulfonasi digunakan dalam industri untuk meningkatkan kekuatan bahan dalam keadaan basah (wet strength) yang
memberikan hasil yang cukup baik
(Ramakan 1996). Reaksi sulfonasi selulosa dilakukan dengan mengoksidasi polisakarida terlebih dahulu menggunakan oksidator periodat, Dialdehida oksiselulosa yang dihasilkan kemudian direaksikan dengan
NaHSO3 atau campuran NaOH-SO2. Reaksi sulfonasi polisakarida dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Reaksi sulfonasi polisakarida (Ramakant 1997)
Superabsorben
Superabsorben adalah suatu polimer yang dapat mengabsorpsi sejumlah besar air, larutan garam, dan cairan denganya serap mulai 10 hingga 1000 kali dari bobot awalnya. Superabsorben dapat menyimpan
cairan lebih dari berat bahan yang
diserapnya dan tidak melepas cairan tersebut
(Kiatkamjornwong 2002). Penggunaan
polimer absorben sangat banyak, di
antaranya digunakan sebagai bahan
pengolahan limbah, media tumbuh tanaman, bahan untuk mengurangi gesekan dalam pipa, bahan pelapis antibocor, pelindung
jaringan kabel bawah tanah, bahan
pembuatan kemasan barang, dan bahan pemadam kebakaran.
Gambar 7 menunjukkan ikatan utama suatu polimer absorben yang mengandung gugus hidrofilik karena terdiri atas gugus bisulfit (SO3-) yang bersifat hidrofilik. Ketika polimer absorben dimasukkan dalam air atau pelarut akan terjadi interaksi antara polimer dan molekul air. Interaksi yang terjadi adalah hidrasi. Mekanisme hidrasi terjadi karena ion dari zat terlarut dalam polimer seperti SO3- dan Na+ berikatan dengan molekul polar air melalui ikatan hidrogen. (Chang 1999).
Gambar 7 Mekanisme hidrasi polimer superabsorben
Berdasarkan morfologinya, absorben diklasifikasikan menjadi absorben serbuk, partikel, bola, serat, membran, dan emulsi. Ditinjau dari jenis bahan penyusunnya terdiri atas polimer absorben makromolekul alam, semipolimer sintetis dan polimer sintetis sedangkan dilihat dari proses
SO3
) % 100 ( 100 air kadar
-pembuatannya dapat dibedakan atas polimer cangkokan dan ikatan silang (Dayo 2003).
BAHAN DAN LINGKUP
KERJA
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah onggok kering dari daerah Tanah Baru Bogor, NaIO4, dan NaHSO3.
Alat-alat yang dipakai adalah
spektroskopi inframerah transformasi fourier (FTIR) Bruker jenis Tentor 37.
Lingkup Kerja
Uji Proksimat
Penentuan Kadar Air (AOAC 1999)
Sebanyak 0.1 g onggok yang telah dihaluskan ditempatkan dalam cawan petri yang telah dikeringkan dalam oven dan telah diketahui bobot kosongnya. Cawan petri berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C selama 3 jam dan didinginkan. Setelah dingin, cawan petri berisi sampel tersebut disimpan dalam desikator, lalu ditimbang. Pengeringan dilakukan beberapa kali selama 1 jam sampai diperoleh bobot yang tetap. % 100 ´ = awal sampel bobot air bobot air Kadar
Kadar abu (AOAC 1999)
Sampel ditimbang sebanyak 1-5 gram, lalu dimasukkan ke dalam cawan poselen yang sudah diketahui bobot tetapnya. Sampel dipanaskan diatas bunsen dengan nyala api kecil hingga berasap, selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 500°C sampai menjadi abu bewarna putih. Cawan yang berisi abu didinginkan dalam desikator dan dilakukan penimbangan hingga diperoleh bobot tetap. Kadar abu dapat dihitung dengan rumus:
% 100 ) ( ) ( (%) = ´ g Sampel Berat g Abu Berat Abu Kadar
Kadar Protein (AOAC 1999)
Sampel ditimbang sebanyak 0.5-3 gram lalu dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl dan didestruksi dengan menggunakan 20 ml asam sulfat pekat dengan pemanasan sampai terbentuk larutan berwarna jernih. Larutan hasil destruksi diencerkan dan didistilasikan
dengan penambahan 10 ml NaOH 10%. Destilat ditampung dalam 25 ml larutan H3BO3 3%. Larutan H3BO3 dititrasi dengan HCl standar menggunakan merah metil sebagai indikator. Dari hasil titrasi, total nitrogen dapat diketahui dengan rumus
% 100 14 (%)= ´ ´ ´ ´ Sampel Bobot fk HCL N titran ml Nitrogen Total
Fk = faktor koreksi kadar air = Kadar Lemak (AOAC 1999)
Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi Soxhlet dikeringkan dalam oven. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga bobot tetap. Sebanyak 5 g sampel dibungkus dengan kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas wool yang bebas lemak. Kertas saring yang berisi sampel tersebut dimasukkan dalam alat ekstraksi soklet.
Pelarut dietil eter dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya. Sampel kemudian direfluks selama kurang lebih 5 jam atau hingga pelarut yang turun kembali ke labu lemak tidak berwarna. Pelarut yang ada dalam labu didistilasi dan ditampung. Labu lemak yang berisi hasil ekstraksi kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C.
Labu selanjutnya didinginkan dalam
desikator dan dilakukan penimbangan
hingga bobot tetap.
% 100 ) ( ) ( ´ = g Sampel Bobot g Lemak Bobot Lemak Kadar
Perlakuan Pendahuluan sampel onggok dengan asam (Marshall et al 1999)
Ampas onggok dibersihkan dengan air keran untuk menghilangkan bau dan kotoran yang tersisa dari pengolahan singkong.
Onggok kemudian dicuci kembali
menggunakan air hangat (50–60 ºC) dengan perbandingan onggok:air 1:3 sambil diaduk selama 30 menit. Pencucian dilakukan 3 kali. Sampel onggok sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam gelas piala dan ditambah 33 mL asam. Asam yang digunakan adalah HNO3 0.6 M. Campuran dikocok selama 30 menit dan disaring. Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 50 °C selama 24 jam, lalu direndam dalam air panas untuk menghilangkan kelebihan asam dan dikeringkan pada suhu 50 ºC selama 24 jam, kemudian dihancurkan hingga berukuran 100–200 mesh.
) % 100 ( 100 air kadar
-pembuatannya dapat dibedakan atas polimer cangkokan dan ikatan silang (Dayo 2003).
BAHAN DAN LINGKUP
KERJA
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah onggok kering dari daerah Tanah Baru Bogor, NaIO4, dan NaHSO3.
Alat-alat yang dipakai adalah
spektroskopi inframerah transformasi fourier (FTIR) Bruker jenis Tentor 37.
Lingkup Kerja
Uji Proksimat
Penentuan Kadar Air (AOAC 1999)
Sebanyak 0.1 g onggok yang telah dihaluskan ditempatkan dalam cawan petri yang telah dikeringkan dalam oven dan telah diketahui bobot kosongnya. Cawan petri berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C selama 3 jam dan didinginkan. Setelah dingin, cawan petri berisi sampel tersebut disimpan dalam desikator, lalu ditimbang. Pengeringan dilakukan beberapa kali selama 1 jam sampai diperoleh bobot yang tetap. % 100 ´ = awal sampel bobot air bobot air Kadar
Kadar abu (AOAC 1999)
Sampel ditimbang sebanyak 1-5 gram, lalu dimasukkan ke dalam cawan poselen yang sudah diketahui bobot tetapnya. Sampel dipanaskan diatas bunsen dengan nyala api kecil hingga berasap, selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 500°C sampai menjadi abu bewarna putih. Cawan yang berisi abu didinginkan dalam desikator dan dilakukan penimbangan hingga diperoleh bobot tetap. Kadar abu dapat dihitung dengan rumus:
% 100 ) ( ) ( (%) = ´ g Sampel Berat g Abu Berat Abu Kadar
Kadar Protein (AOAC 1999)
Sampel ditimbang sebanyak 0.5-3 gram lalu dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl dan didestruksi dengan menggunakan 20 ml asam sulfat pekat dengan pemanasan sampai terbentuk larutan berwarna jernih. Larutan hasil destruksi diencerkan dan didistilasikan
dengan penambahan 10 ml NaOH 10%. Destilat ditampung dalam 25 ml larutan H3BO3 3%. Larutan H3BO3 dititrasi dengan HCl standar menggunakan merah metil sebagai indikator. Dari hasil titrasi, total nitrogen dapat diketahui dengan rumus
% 100 14 (%)= ´ ´ ´ ´ Sampel Bobot fk HCL N titran ml Nitrogen Total
Fk = faktor koreksi kadar air = Kadar Lemak (AOAC 1999)
Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi Soxhlet dikeringkan dalam oven. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga bobot tetap. Sebanyak 5 g sampel dibungkus dengan kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas wool yang bebas lemak. Kertas saring yang berisi sampel tersebut dimasukkan dalam alat ekstraksi soklet.
Pelarut dietil eter dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya. Sampel kemudian direfluks selama kurang lebih 5 jam atau hingga pelarut yang turun kembali ke labu lemak tidak berwarna. Pelarut yang ada dalam labu didistilasi dan ditampung. Labu lemak yang berisi hasil ekstraksi kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C.
Labu selanjutnya didinginkan dalam
desikator dan dilakukan penimbangan
hingga bobot tetap.
% 100 ) ( ) ( ´ = g Sampel Bobot g Lemak Bobot Lemak Kadar
Perlakuan Pendahuluan sampel onggok dengan asam (Marshall et al 1999)
Ampas onggok dibersihkan dengan air keran untuk menghilangkan bau dan kotoran yang tersisa dari pengolahan singkong.
Onggok kemudian dicuci kembali
menggunakan air hangat (50–60 ºC) dengan perbandingan onggok:air 1:3 sambil diaduk selama 30 menit. Pencucian dilakukan 3 kali. Sampel onggok sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam gelas piala dan ditambah 33 mL asam. Asam yang digunakan adalah HNO3 0.6 M. Campuran dikocok selama 30 menit dan disaring. Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 50 °C selama 24 jam, lalu direndam dalam air panas untuk menghilangkan kelebihan asam dan dikeringkan pada suhu 50 ºC selama 24 jam, kemudian dihancurkan hingga berukuran 100–200 mesh.
Onggok Tersulfonasi (Ramakant, 1996)
Oksidasi onggok diawali dengan
dilarutkannya 30 g KIO4 dalam 425 ml air distilat dengan ragam waktu masing-masing 210, 270, dan 330 menit. Larutan dijaga pada pH 4 dengan penambahan asam sulfat. Suhu reaksi ditingkatkan antara 35–40 ºC. Setelah reaksi oksidasi selesai, pulp onggok dicuci dengan merendam pulp dalam 100 ml air distilat selama 5 menit (pH air 6). Sampel
kemudian diagitasi selama 15 menit
kemudian disaring. Tahap pencucian ini diulang hingga 3 kali.
Pulp teroksidasi kemudian direaksikan dengan 100 ml larutan yang mengandung NaHSO3 dengan ragam bobot 15, 20, dan 35 g pada suhu 22 ºC dan ragam waktu 60, 120, dan 180 menit.
Onggok tersulfonasi kemudian dicuci dengan 100 ml etanol p.a selama 5 menit kemudian disaring dan didispersikan dalam 50 ml aseton p.a. selama 5 menit lalu dikeringudarakan pada suhu 22 ºC.
Pengukuran Kapasitas Penyerapan (Kiatkamjorwong 2002)
Material superabsorben ditimbang
sebanyak 0.1 gram kemudian dilarutkan dalam air destilat selama kurang lebih 4 jam pada suhu ruang hingga mencapai bobot
pembengkakan equilibrium. Sisa air
dipisahkan menggunakan kertas saring yang kemudian digantung selama 15 menit. Potongan kertas saring kering ditempatkan pada sampel untuk memastikan tidak adanya air bebas Kapasitas penyerapan QHO
2 dari
sampel absorben dihitung menggunakan persamaan Kering Sampel Bobot Kering Sampel Bobot Mengembang Sampel Bobot QHO -= 2
Analisis Spektroskopi FTIR
Sebanyak 2 mg sampel yang halus dicampurkan ke dalam 198 mg KBr. Campuran ini digerus dan dibentuk menjadi pelet untuk dianalisis dengan FTIR.
Analisis Sulfur Total (Pusat Penelitian Balai Tanah 2005)
Timbang 0.05 g onggok ke dalam tabung digestion blok. Kemudian tambahkan 5 ml HNO3 p.a. dan 0.5 ml HClO4 p.a. lalu dibiarkan 1 malam. Besoknya sampel dipanaskan dalam digestion blok dengan suhu 100 °C selama 1 jam, lalu suhu ditingkatkan menjadi 150 °C. Setelah uap
kuning habis suhu digestion blok
ditingkatkan menjadi 200 °C. Destruksi selesai setelah keluar asap putih dan sisa ekstrak kurang lebih 0.5 ml. Tabung diangkat dan dibiarkan dingin. Ekstrak diencerkan dengan air bebas ion hingga volume tepat 50 ml dan kocok dengan pengocok tabung hingga homogen.
Sebanyak 1 ml ekstrak dan deret standar S dipipet ke dalam tabung reaksi. Ditambahkan masing-masing 7 ml asam campur (campuran dari 50 ml CH3COOH glasial p.a., 20 ml HCl pekat p.a., dan 20 ml H3PO4 pekat p.a., dan 2.5 ml larutan BaCl2
kemudian kocok dengan pengocok tabung hingga homogen. Biarkan 30 menit dan tkemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 432 nm.
Kadar S =
100
1000 ´
´
ml
ekstrak
ml
kurva
ppm
Desain Faktorial Tiga Tingkat (3k)
Rancangan faktorial (factorial design) merupakan salah satu cara yang digunakan dalam melakukan suatu percobaan untuk melihat efek dari dua faktor atau lebih terhadap hasil yang diperoleh. Dengan
menggunakan rancangan faktorial,
didefinisikan bahwa setiap percobaan yang dilakukan adalah kombinasi percobaan yang mungkin untuk setiap ragam dalam faktor
yang dicoba. Rancangan faktorial
merupakan solusi paling efisien, karena semua kemungkinan kombinasi tiap ragam dari faktor-faktor dapat diselidiki secara lengkap. Kelebihan desain faktorial adalah (i) lebih efisien dibandingkan dengan metode one-factor-at-a-time, (ii) mampu menunjukkan efek interaksi antar faktor, (iii) dapat memberikan perkiraan efek dari suatu faktor pada kondisi ragam yang berbeda-beda dari suatu faktor lain. Salah satu jenis
perancangan percobaan dengan
menggunakan faktorial desain adalah 3k faktorial desain. Dalam desain menggunakan 3kfaktorial desain ini, dilakukan penyusunan faktorial untuk k faktor pada 3 ragam (Mattjik 2002).
Rancangan dasar adalah pembagian jenis rancangan percobaan berdasarkan kondisi lingkungan percobaan tersebut. Rancangan percobaan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial 3 faktor dengan tiga kali ulangan. Rancangan acak lengkap faktorial diterapkan pada percobaan yang dilakukan pada lingkungan. Lingkungan adalah
faktor-faktor lain diluar faktor-faktor yang sedang diteliti, dan dalam percobaan ini setiap unit percobaan diacak secara sempurna, tanpa dibatasi oleh blok.
Tabel 2 Rancangan percobaan screening
Sulfonasi onggok. Bobot Bisulfit tOksidasi tSulfonasi W1 W2 W3 O1 S1 O1S1W1 O1S1W2 O1S1W3 S2 O1S2W1 O1S2W2 O1S2W3 S3 O1S3W1 O1 S3W2 O1S3W3 O2 S1 O2S1W1 O2S1W2 O2S1W3 S2 O2S2W1 O2S2W2 O2S2W3 S3 O2S3W1 O2 S3W2 O2 S3W3 O3 S1 O3S1W1 O3S1W2 O3S1W3 S2 O3S2W1 O3S2W2 O3S2W3 S3 O3S3W1 O3S3W2 O3S3W3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Onggok sebagai bahan baku pembuatan superabsorben dihaluskan hingga berukuran 100–200 mesh untuk meningkatkan luas permukaan sehingga reaksi lebih sempurna. Ion periodat digunakan sebagai agen pengoksidasi karena dapat bereaksi dengan
selulosa tanpa memutuskan rangkaian
polimernya, tetapi bekerja spesifik
memutuskan rantai 1,2 diol (Fessenden 1982). pH reaksi diatur antara 3 dan 4.5 dengan asam sulfat pekat. Pengaturan pH
dilakukan selain untuk meningkatkan
kelarutan KIO4, juga untuk menstabilkan reaksi oksidasi dan mempercepat reaksi sulfonasi. Setelah reaksi sulfonasi selesai, sampel kemudian didispersikan dalam etanol p.a. dengan tujuan untuk mengeluarkan air yang terserap dalam sampel. Setelah itu, sampel didispersikan kembali dalam aseton p.a. untuk menjerap sisa etanol yang tertinggal dalam sampel. Aseton merupakan senyawa bipolar yang dapat menyerap pelarut yang bersifat polar dan nonpolar karena memiliki gugus yang bersifat hidrofobik sekaligus hidrofilik.
Polimer superabsorben yang telah
dihasilkan ditentukan kapasitas absorpsinya. Uji kapasitas absorpsi dilakukan dengan cara memasukan polimer absorben ke dalam
pelarut air. Polimer absorben akan
mengalami penggembungan seperti pada Gambar 8.
Gambar 8 Proses pembengkakan polimer superabsorben.
Air akan terdifusi dalam polimer
superabsorben karena adanya gugus
hidrofilik. Setelah mencapai tahap
kesetimbangan, atom hidrogen dar air akan membentuk ikatan hidrogen dengan ion SO32- yang terikat pada karbon selulosa. Pada akhirnya air yang terserap akan tetap
tertahan pada polimer superabsorben
sehingga polimer mengalami
pembengkakan. Gambar 9 menunjukkan pembengkakan sampel onggok tersulfonasi. Saat terjadi pembengkakan, air terikat
melalui ikatan hidrogen sehingga
membentuk gel atau hidrokoloid. Penelitian ini menunjukkan bahwa reaksi sulfonasi dapat meningkatkan kapasitas absorbsi dari onggok yang awalnya sebesar 2.22 g/g meningkat hingga menjadi 44.06 g/g.
Gambar 9 Proses pembengkakan
superabsorben onggok.
Perlakuan Pendahuluan Asam
Nilai kapasitas penyerapan (
Q
HO2 ) yang tidak berbeda antara onggok yang diberi dan
tanpa perlakuan pendahuluan asam
ditunjukkan oleh gambar 10. Oleh karena itu, perlakuan pendahuluan asam tidak dilanjutkan. Kadar protein dan lemak yang