• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman Pepaya

Pepaya (Carica papaya L.) termasuk dalam famili Caricaceae yang memiliki empat genus, yaitu Carica, Jarilla, Jacaranta dan Cylocomorpha. Ketiga genus pertama merupakan tanaman asli Amerika tropis, sedangkan genus keempat merupakan tanaman yang berasal dari Afrika. Salah satu spesies dari 24 spesies genus Carica adalah jenis pepaya yang banyak diusahakan petani karena buahnya dapat dimakan. Pepaya merupakan tanaman herba, batang berongga tidak bercabang dan tingginya dapat mencapai 10 meter (Kalie, 2010).

Tanaman pepaya memiliki tiga bentuk bunga dasar, yaitu bunga jantan, bunga betina dan bunga sempurna. Masing-masing bunga ini hanya tumbuh pada satu pohon yaitu pohon jantan, pohon betina, dan pohon sempurna. Pohon betina, dan pohon sempurna banyak dibudidayakan oleh petani karena dapat menghasilkan buah (Kalie, 2010). Tanaman pepaya dapat ditanam di dataran rendah hingga ketinggian 700 m dpl, pertumbuhan optimal pada ketinggian 200 - 500 m dpl pada berbagai tipe tanah dengan pH 6 - 7, suhu 22o - 26o C, curah hujan 1000 - 2000 mm/tahun dengan bulan kering (CH < 60 mm) 3 - 4 bulan (Sujiprihati & Suketi, 2010).

Buah pepaya memiliki tekstur yang sangat halus dan mudah dicerna sehingga bermanfaat bagi pencernaan (Rukmana, 2008). Menururut Kalie (2010) kandungan gizi buah pepaya cukup tinggi karena mengandung banyak vitamin A dan vitamin C, juga mineral kalsium. Setiap 100 gram buah pepaya yang matang mengandung 46 kalori, 0,5 g protein, 12,2 g karbohidrat, 23 mg kalsium, 12 mg fosfor, 1,7 mg zat besi, 365 SI vitamin A, 0,04 mg vitanin B1, 78 mg vitamin C, 86,7 g air, dan 75% bagian yang dapat dimakan (Rukmana, 2008). Selain diambil buahnya yang sudah masak, buah yang mentah dan daunnya dapat dimakan sebagai sayuran, getahnya yang mengandung papain merupakan enzim proteolitik yang dapat dimanfaatkan di bidang industri makanan sebagai pelunak daging dan sebagai bahan baku kosmetik (Sujiprihati & Suketi, 2010).

Tanaman pepaya dapat memberikan banyak manfaat, tidak hanya untuk kesehatan dan pemunuhan gizi masyarakat, tetapi juga dapat dimanfaatkan

sebagai komoditas bisnis untuk bahan baku industri sehingga menjadi komoditas yang cukup potensial. Di Indonesia, sentra produksi pepaya antara lain terdapat di Jawa Barat (Bogor, Sukabumi, Subang, Bandung), Jawa Tengah (Boyolali, Wonogiri, Magelang), Jawa Timur (Kediri, Malang, Banyuwangi), Bali, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur (Sujiprihati & Suketi, 2010).

Kecamatan Rancabungur merupakan salah satu daerah di Kabupaten Bogor yang petaninya banyak menanam pepaya sebagai komoditas utama dalam usaha pertaniannya. Tanaman pepaya yang umum ditanam hanya terdiri dari pepaya varietas California dan pepaya varietas Bangkok. Pepaya varietas California yang banyak dikenal oleh petani sebenarnya merupakan varietas Callina (Pepaya IPB 9) yang dikembangkan oleh Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) IPB. Pepaya IPB 9 memiliki daging buah yang lebih tebal, manis dan produksinya cukup tinggi dengan bobot buah 1,5 kg (Sujiprihati & Suketi, 2010). Pepaya varietas Bangkok/Thailand merupkan jenis pepaya introduksi dari negara Thailand dengan ciri buah yang lebih besar (bobot buah bisa mencapai 3,5 kg), daging buah lebih keras dengan warna merah jingga serta tahan dalam perjalanan/penyimpanan (Kalie, 2010).

Hama dan Penyakit Tanaman Pepaya

Faktor yang dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan dan produksi secara umum diantaranya adalah patogen tumbuhan, cuaca yang tidak menguntungkan, gulma dan serangan hama (Agrios, 1988). Menurut Pracaya (2008), banyak petani tidak begitu paham perbedaan antara pengertian hama dan penyakit yang mengakibatkan kekeliruan dalam upaya pengendaliannya sehingga hama dan penyakit tidak dapat terkendalikan secara efektif.

Hama adalah sekelompok hewan yang cara hidupnya bersinggungan dengan kepentingan manusia atau semua jenis hewan yang secara ekonomi berpotensi menimbulkan kerugian karena dapat menurunkan produksi atau dapat mematikan tanaman budidaya. Sedangkan definisi penyakit tumbuhan menurut Agrios (1988) adalah kondisi tumbuhan dimana terjadinya perubahan fungsi-fungsi sel dan jaringan inang sebagai akibat gangguan yang terus menerus oleh agen-agen patogen atau faktor lingkungan dan menyebabkan berkembangnya gejala. Penyakit tumbuhan dapat disebabkan oleh faktor biotik (umunya bersifat

6

parasitik) diantaranya virus, fitoplasma, bakteri, cendawan, dan nematoda, serta oleh faktor abiotik bersifat tidak parasitik (Sinaga, 2006). Intensitas serangan hama dan kejadian penyakit pada tanaman pepaya dapat berfluktuasi, hal ini sangat erat kaitannya dengan perubahan iklim di suatu daerah. Umumnya populasi hama dan atau kejadian penyakit sangat tinggi pada musim-musim tertentu sehingga diperlukan upaya tindakan pengendalian yang tepat.

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan suatu konsep pengendalian yang menganggap Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) termasuk hama dan patogen penyebab penyakit sebagai suatu komponen ekosistem lingkungan yang keberadaanya perlu dikendalikan. Prinsip dasar PHT dintaranya melakukan pemantauan terhadap populasi OPT, mengutamakan pengendalian non-kimiawi terlebih dahulu dan menggunakan pestisida secara bijak jika diperlukan untuk mempertahankan OPT pada keadaan yang tidak merugikan. Dengan demikian suatu pengetahuan, sikap, dan tindakan petani yang sesuai dengan konsep PHT sangat diperlukan dalam upaya pengendalian yang tepat terhadap OPT. Dengan tindakan PHT oleh petani, selain dapat memberikan keuntung produksi yang lebih baik juga akan menjamin keberlangsungan usaha suatu komoditas pertanian.

Hama Penting Tanaman Pepaya

Salah satu organisme pengganggu tanaman yang dapat menjadi faktor penentu hasil produksi buah pepaya yaitu dari golongan hama baik dari kelompok serangga, tungau, mollusca maupun hewan mamalia. Hama yang menyerang tanaman pepaya memang tidak banyak, diperkirakan ada sekitar ± 35 jenis yang terdiri dari tungau, kutu, lalat buah, kumbang dan ngengat (Kalie, 2010). Beberapa hama penting yang dapat menyerang tanaman pepaya yaitu:

1. Tungau

Menurut Pracaya (2008), tungau banyak menyerang bagian batang, daun dan buah yang dapat mengakibatkan perubahan warna dan bentuk. Gejala daun yang terserang tungau yaitu daun berbayang putih perak pada permukaan bawah sedangkan pada permukaan atas menjadi kuning, selanjutnya timbul bercak-bercak cokelat yang akhirnya menjadi hitam. Terdapat tiga jenis tungau yang dapat menjadi hama penting pada tanaman pepaya di Indonesia, antara lain Polyphagotarsonemous latus, Tetranychus telarius L, dan Brevipalpus phoenicis

Geysk (Kalie, 2010). Ukuran tubuh tungau sangat kecil, tidak lebih dari 0,5 mm. Oleh sebab itu, sulit untuk melihatnya dengan mata telanjang, sehingga pengendalian keberadaan tungau tidak terlalu intensif. Perkembangbiakan tungau dapat terjadi secara seksual, baik oviparous atau viviparous dengan daur hidup yang kurang lebih 7 - 14 hari (Pracaya, 2008).

2. Kutu Tanaman

Beberapa jenis kutu tanaman dapat menjadi hama penting pada tanaman pepaya seperti Myzus persicae Sulzer, Aphis gossypii Glover dan Paracoccus marginatus.

Myzus persicae Sulzer (Hemiptera: Aphididae). Kutu ini sering terlihat bergerombol di bawah permukaan daun, tubuhnya lunak berwarna kehijauan atau kemerahan dengan panjang 2 - 3 mm. Hama ini bersifat polifag, hidup dengan cara menghisap cairan sel daun sehingga daun yang terserang mengerut dan keriting. Menurut Hill (1987), Myzus persicae (Sulz.) merupakan hama penting pada berbagai komoditas tanaman, dan dapat menjadi vektor lebih dari 100 penyakit virus pada tiga puluh famili tanaman yang berbeda.

Aphis gossypii Glover (Hemiptera: Aphididae), merupakan hama yang berifat polifag, dapat menyerang beberapa famili tanaman yang berbeda (Hill, 1987). Nimfa berwarna cokelat kehitaman, sedangkan aphis dewasa berwarna hitam mengkilap dengan panjang tubuh 1 - 2 mm. Sebagian besar serangga betina yang bisa ditemukan bersayap atau tampa sayap (Hill, 1987). Hama ini tercatat dapat menjadi vektor dari sekitar 44 penyakit virus (Hill, 1987).

Paracoccus marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) termasuk hama baru di Indonesia pada tanaman pepaya, hama ini pertama kali muncul di daerah Bogor dan sekitarnya, kemudian merebak ke daerah sentra produksi pepaya disekitar Bogor seperti Cianjur, Sukabumi, Tangerang, Lebak dan Purwakarta. Kutu putih ini memiliki tanaman inang selain pepaya, antara lain tanaman singkong, alpukat, jeruk, mangga, tanaman kacang-kacangan, serta famili Solanaceae dan Cucurbitaceae. Rata-rata siklus hidup individu jantan dan betina kurang lebih selama 25 hari (Friamsa, 2009).

8

3. Lalat Buah Dacus dorsalis (Hend.) dan Dacus cucurbitae Coq.

Dacus dorsalis (Hend.) lebih dikenal sebagai Oriental Fruit Fly (famili Tephritidae) memiliki tanaman inang utama antara lain jambu biji, mangga, jeruk, pisang, alpukat dan pepaya (Hill, 1987). Sedangkan, Dacus cucurbitae Coq. memiliki tanaman inang labu-labuan seperti ketimun, waluh, semangka dan melon. Kedua jenis lalat ini menyerang buah pepaya yang sudah matang (Kalie, 2010). Lalat betina meletakkan telur sekitar 5 mm ke dalam permukaan buah, larva/belatung memakan daging buah yang juga berasosiasi dengan cendawan dan bakteri sehingga terjadi busuk.

4. Kepik Nezara viridula L

Nezara viridula L. merupakan kepik (Hemiptera: Pentatomidae) yang banyak ditemukan di daerah tropis, bersifat polifag dapat memakan berbagai organ tanaman. Di Indonesia kepik ini menyerang tanaman pepaya, padi, jagung, tembakau, cabai, kapas, dan berbagai tanaman kacang-kacangan (Kalie, 2010). Kepik ini sering menyerang buah yang masih berkembang dengan menimbulkan gejala nekrosis akibat tusukan dan perubahan bentuk, atau bahkan buah muda yang terserang gugur (Hill, 1987). Tubuh kepik berwarna hijau dengan panjang kira-kira 16 mm. Stadia telur sampai dewasa sekitar 4 - 8 minggu (Kalie, 2010). 5. Thrips tabaci Lind.

Menurut Kalie (2010), Thrips tabcai Lind. (Thysaopthera: Thripidae) yang memiliki panjang 1 mm ditemukan dapat menyerang tanaman pepaya, kentang, cabai, tomat, waluh, bayam dan bawang Bombay. Hama ini merusak daun sehingga daun menjadi berbintik-bintik halus berwarna keperakan, bila serangan berat daun menjadi kering dan akhirnya mati. Thrips tabaci merupakan hama yang sangat polifag pada berbagai tanaman. Hama ini merupakan vektor penyakit virus pada tanaman tembakau, tomat, nenas dan tanaman lainnya (Hill, 1987). Telur diletakkan dalam lapisan epidermis daun dan batang yang masih muda. Ukuran serangga dewasa sangat kecil, berwarna kuning kecokelatan, lama siklus hidup satu generasi sampai tiga minggu (Hill, 1987).

Penyakit Penting Tanaman Pepaya

Organ tanaman papaya seperti akar, batang, daun dan buah papaya sangat rentan terhadap penyakit. Patogen penyebab penyakit pada tanaman papaya

cukup beragam, dapat berupa bakteri, cendawan, virus (Kalie, 2010). Berdasarkan patogen penyebabnya terdapat beberapa penyakit penting pada tanaman papaya:

1. Busuk Akar dan Pangkal Batang

Busuk akar dan pangkal batang adalah penyakit yang cukup penting dan tersebar luas di Indonesia, khususnya di Jawa. Penyakit dapat timbul pada bermacam-macam umur. Selain pada akar dan batang, penyakit juga dapat timbul pada buah baik yang masih berada di kebun maupun dalam penyimpanan (Semangun, 2007). Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Phytophthora palmivora (Bult.) dan Pythium spp. Gejala pada daun bagian bawah terlihat layu, menguning, dan menggantung di sekitar batang sebelum rontok, selanjutnya daun muda menunjukkan gejala yang sama sehingga tanaman hanya mempunyai sedikit daun di puncaknya dan akhirnya tanaman mati (Semangun, 2007).

2. Antraknosa

Antraknosa, yang umumnya terdapat pada bermacam-macam buah, juga sering terdapat pada pepaya (Semangun, 2007). Penyakit ini terdapat di semua negara penanam papaya. Kerugian terutama terjadi pada buah, khususnya buah dalam pengangkutan dan penyimpanan (Semangun, 2007). Perkembangan terakhir, berdasarkan pengamatan penyakit antraknosa selain menyerang buah dapat menyerang batang, pucuk daun dan juga bibit di pembibitan (Wiyono & Manuwoto, 2008).

Gejala pada buah dan batang (bagian batang yang banyak terserang adalah bagian dekat pucuk) mirip, yaitu berupa jaringan mati yang terlihat sebagai bercak kebasahan, kemudian berkembang menjadi bercak konsentrik berwarna abu-abu atau kehitaman dengan titik-titik orange pada permukaannya, sedangkan gejala pada daun berupa bercak kecoklatan dan disekitarnya terdapat titik-titik orange, serangan yang berat dapat menimbulkan gejala mati pucuk (die back) (Wiyono & Manuwoto, 2008). Pada pembibitan, bila cuaca mendukung dapat menyebabkan rebah kecambah (damping-off), namun pada umumnya menimbulkan gejala laten (Wiyono & Manuwoto, 2008).

Penyakit antraknosa pada pepaya disebabkan oleh cendawan Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc. yang identik dengan C. papayae (P. Henn.) Syd dan

10

Gloeosporium papayae (P. Henn.). Colletotrichum gloeosporioides dapat hidup sebagai saprofit pada bagian-bagian tanaman yang sudah mati dan dapat menyerang bermacam-macam tanaman (Semangun, 2007). Colletotrichum gloeosporioides yang berasal dari tanaman mangga, kopi, kakao, jambu mete, terong, karet dan ubi kayu sudah terbukti mampu menginfeksi papaya dan begitu juga sebaliknya (Wiyono & Manuwoto, 2008).

3. Penyakit Bakteri

Penyakit bakteri yang disebabkan oleh Erwinia papayae (Rant) Magrou, pertama kali diketahui terdapat di Jawa Timur, juga terdapat di daerah lain pulau Jawa, Sulawesi dan Maluku. Patogen ini dapat menimbulkan kerugian besar pada musim hujan (Semangun, 2007). Gejala pada tanaman muda daun terlihat menguning dan membusuk, setelah beberapa lama bagian tanaman sebelah atas mati diikuti oleh matinya seluruh tanaman. Pada helaian daun tanaman yang lebih besar tejadi bercak-bercak kering yang bentuknya tidak teratur, gejala yang khas terdapat pada tangkai daun dan batang yang masih hijau yaitu bercak kebasahan yang dapat meluas hingga tanaman menjadi gundul (Semangun, 2007).

Erwinia papayae dapat ditularkan oleh serangga. Infeksi dapat terjadi pada sisi atas maupun sisi bawah daun, tetapi lebih mudah pada sisi bawah (Semangun, 2007).

4. Bercak Cincin

Penyakit bercak cincin (ringspot) yang disebabkan oleh virus bercak cincin papaya/Papaya Ringspot Virus (PRV) sering juga disebut sebagai penyakit mosaik, telah tersebar di Jawa khususnya di Jawa Barat. Di Indonesia penyakit ini lebih banyak ditemukan di pegunungan (Semngun, 2007). Gejala pada daun dapat berupa daun belang, bentuknya dapat berubah bahkan daun dapat menjadi sangat sempit. Sedangkan gejala pada batang dan tangkai daun terlihat garis-garis hijau tua, tangkai daun menjadi pendek, tanaman dapat terhambat pertumbuhannya (Semangun, 2007). Beberapa kutu daun dapat menularkan virus ini secara non-persisten, terutama Myzus persicae Sulz. (Semangun, 2007).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Survei dilaksanakan di Kecamatan Rancabungur dan sebagian kecil di Desa Bojong Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada tanggal 25 Februari sampai 20 Maret 2011.

Metode Penelitian Pengumpulan Data

Metode survei yang dilaksanakan merupakan pengumpulan data primer, yaitu dengan cara mewawancarai petani pepaya secara langsung menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. Petani pepaya responden yang diwawancarai sebanyak empat puluh orang, diantaranya sepuluh petani berasal dari Desa Bojong Kecamatan Kemang dan tiga puluh petani dari Kecamatan Rancabungur yang tersebar di beberapa desa, antara lain Desa Bantar Sari, Desa Bantar Jaya, Desa Pasir Gaok, Desa Rancabungur dan Desa Mekar Sari.

Analisis Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan (PST)

Analisis PST disajikan dalam bentuk tabulasi dengan penjelasan deskriptif untuk menjelaskan pengetahuan petani responden mengenai cara budidaya tanaman pepaya yang mereka lakukan. Sedangkan untuk melihat hubungan antara karakteristik petani responden dengan pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap OPT dilakukan uji Chi-square (uji kebebasan) dengan menggunakan program Microsoft Exel 2007.

Uji kebebasan dihitung berdasarkan frekuensi yang teramati dengan frekuensi harapan, dengan menggunakan rumus X2 (Walpole, 1993);

Ket.

o

i : Frekuensi teramati.

e

i : Frekuensi harapan.

frekuensi harapan dihitung dengan cara;

pengamatan total baris) total ( x ) kolom total ( harapan Frekuensi =

( )

i i i i e e o X 2 2 − ∑ =

12

dengan asumsi bila P-value yang diperoleh mempunyai nilai > 0,05 pada α = 5%, maka tidak berbeda nyata antara variabel-variabel yang dibandingkan, dan sebaliknya bila P-value yang diperoleh < 0,05 pada α = 5%, variabel-variabel yang dibandingkan berbeda nyata.

Variable pengetahuan, sikap dan tindakan yang dibandingkan, ditentukan berdasarkan proporsi jumlah jawaban atas pertanyaan yang dapat dijadikan indikator untuk menilai pengetahuan, sikap, dan tindakan dari masing-masing petani responden terhadap karakteristik petani yang teramati, sebagai berikut; 1. Pengetahuan petani terhadap pengendalian OPT (terdapat 6 pertanyaan yang

dapat diamati):

Pengetahuan lebih baik, jika jumlah jawaban ya > 3, Pengetahuan kurang, jika jumlah jawaban ya < 3, dan

Jika jumlah jawaban ya = tidak = 3, memiliki nilai masing-masing 1/2 dari dua nilai tersebut.

2. Sikap dan tindakan petani terhadap OPT (terdapat 6 pertanyaan yang dapat diamati):

Searah prinsip PHT, jika jumlah jawaban sesuai PHT > 3,

Tidak searah prinsip PHT, jika jumlah jawaban sesuai PHT < 3, dan

Jika jumlah jawaban sesuai = tidak = 3, memiliki nilai 1/2 dari dua kriteria tersebut.

Keadaan Umum Lokasi Survei

Kecamatan Rancabungur dan Kecamatan Kemang termasuk dalam Kabupaten Bogor, yang secara geografis terletak antara 6.19o - 6.47o Lintang Selatan dan 106.1o - 107.103o Bujur Timur. Jenis tanah di daerah ini termasuk dalam jenis tanah Latosol yang memiliki tekstur tanah liat dan struktur remah, pH tanah antara 4.5 - 6.5, daya menahan air cukup baik serta relatif tahan terhadap erosi. Berdasarkan data Stasiun Klimatologi dan Geofisika Darmaga Kabupaten Bogor, ketinggian daerah ini antara 100 - 500 m dpl, dengan suhu udara antara 20o - 30o C, curah hujan per tahun dapat mencapai ± 2.500 mm (Anonim, 2010).

Penduduk Kecamatan Rancabungur pada umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani, sedangkan masyarakat di Kecamatan Kemang (khususnya desa Bojong) selain sebagai petani, banyak juga yang bekerja sebagai buruh pabrik atau mata pencaharian lain. Jumlah penduduk tani menurut status Rumah Tangga Pertanian (RTP) dan Rumah Tangga Petani Gurem (RTPG) di Kecamatan Rancabungur, sekitar 6.025 orang dari jumlah penduduk 48.441 orang, dan di Kecamatan Kemang sekitar 8.067 orang dari jumlah penduduk 79.611 orang merupakan RTP/RTPG (Anonim, 2010). Berbagai komoditas tanaman yang diusahakan diantaranya umbi-umbian, jagung, padi, dan jenis tanaman hortikultur lain termasuk juga tanaman pepaya.

Pada kondisi geografi seperti di atas, budidaya tanaman pepaya sangat sesuai karena memiliki ketersediaan air yang cukup, dengan kisaran suhu dan curah hujan yang optimal bagi pertumbuhan tanaman pepaya. Masih banyak petani dari daerah tersebut yang membudidayakan pepaya sebagai tanaman utama atau sebagai tanaman selingan dari sekian banyak komoditas tanaman lainnya, karena dari hasil panen buah pepaya setiap periode panennya dapat memberikan tambahan pendapatan bagi petani.

14

Karakteristik Petani Responden

Seluruh petani responden yang diwawancarai merupakan laki-laki (100%), hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik petani pepaya responden

Karakteristik Jumlah Petani Persentase

(%) Kec. Kemang Kec. Rancabungur

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 10 - 30 - 100 - Kisaran Umur (tahun)

≤ 40 41-50 > 50 - 3 7 4 14 12 10 42,5 47,5 Pendidikan ≤ SD SMP SMA 9 - 1 24 5 1 82,5 12,5 5 Pengalaman bertani (tahun) ≤ 5 > 5 9 1 10 20 47,5 52,5 Pernah mengikuti penyuluhan pertanian Ya Tidak - 10 7 23 17,5 82,5

Petani pepaya yang menjadi responden di dua kecamatan sebagian besar berumur diatas 40 tahun, dengan tingkat pendidikan yang kebanyakan masih di bawah Sekolah Dasar (SD) yaitu sekitar 82.5% (Tabel 1). Hal ini sangat menentukan sistem budidaya yang diterapkan oleh mereka dengan lebih banyak mengandalkan pengetahuan dan pengalaman langsung cara budidaya yang mereka lakukan sendiri. Pengetahuan bertani pepaya umumnya diperoleh dari orang tua secara turun temurun dan dari petani pepaya lainnya.

Pada Tabel 1, sebagian besar petani di Desa Bojong, Kecamatan Kemang merupakan petani yang masih relatif baru mencoba budidaya tanaman pepaya dengan pengalaman di bawah 5 tahun, sedangkan sebagian besar petani yang berada di Kecamatan Rancabungur merupakan petani yang mempunyai pengalaman lebih dari 5 tahun. Masing-masing petani di Kecamatan Rancabungur memiliki cara yang mereka anggap merupakan cara budidaya paling baik untuk mendapatkan hasil yang optimal, bila dibandingkan petani dari Desa Bojong yang umumnya mempunyai cara budidaya pepaya yang sama antara petani satu dengan yang lainnya, karena diantara mereka pengetahuan dan pengalamannya sangat kurang, dan sebagian petaninya pun belajar dari pengalaman petani Kecamatan Racabungur.

Beberapa petani responden dari Kecamatan Rancabungur pernah mengikuti kegiatan penyuluhan tentang cara budidaya tanaman (Tabel 1).

Karakteristik Budidaya Pepaya

Sebagian besar petani responden menanam pepaya pada lahan milik sendiri atau milik orang tua, sehingga tidak ada biaya untuk sewa lahan. Selebihnya, sebagai petani penggarap pada lahan orang lain atau pada lahan kontrakan (Tabel 2). Menurut Untung (2007) kondisi petani Indonesia pada umumnya sangat marginal dan lemah dalam hal kepemilikan lahan (rata-rata di bawah 1 ha per keluarga), kepemilikan modal, akses pasar, kualitas pendidikan sumber daya manusia, penguasaan teknologi dan keterbatasan-keterbatasan lainnya. Hal ini berdampak pada pola atau cara tanam yang diterapkan oleh masing-masing petani yang cenderung sederhana, sehingga pencapaian perolehan margin keuntungan dari sebuah usaha pertaniannya tidak maksimal.

Luasan lahan petani responden yang ditanami pepaya paling luas hanya sekitar 2000 m2. Di Desa Bojong ada enam petani responden yang luas lahan pepayanya lebih dari 1000 m2, empat petani sisanya hanya menanam pepaya pada lahan yang kurang dari 1000 m2. Sedangkan petani responden yang berada di Kecamatan Rancabungur sebagian besar menanam pepaya pada lahan lebih dari 1000 m2, sepuluh petani lainnya menanam pepaya pada luas lahan yang kurang dari 1000 m2 (Tabel 2).

16

Tabel 2 Kepemilikan dan Pengusahaan Lahan Pepaya

Lahan Jumlah Petani Persentase

(%) Kec. Kemang Kec. Rancabungur

Status Kepemilikan Milik sendiri Mengontrak Menggarap 5 1 4 13 7 10 45 20 35 Luas Penguasahaan Lahan

≤ 1.000 m2 > 1.000 m2 4 6 10 20 35 65

Rata-rata biaya pengeluaran petani responden untuk setiap pohon pepaya sangat bervariasi, tergantung dari jenis atau varietas pepaya yang ditanam, pupuk yang digunakan, pemanfaatan tenaga kerja dan cara pengelolaan atau perawatan tanaman terhadap OPT. Kisaran biaya pengeluaran bagi petani responden di Desa Bojong antara Rp 30.000 - Rp 40.000 per pohon, dan biaya yang dikeluarakan oleh kebanyakan petani responden dari Kecamatan Rancabungur untuk setiap pohon pepaya hampir sama yaitu antara Rp 30.000 - Rp 50.000. Biaya tersebut mencakup pembelian bibit yang siap tanam, upah tenaga kerja pria/wanita, pembelian pupuk dan pembelian pestisida. Dengan demikian biaya produksi untuk luasan lahan 1000 m2 yang di tanami pepaya memerlukan biaya sekitar Rp 4.500.000 - Rp 8.000.000.

Tidak berbeda dengan biaya pengeluaran, pendapatan dari setiap kilo gram buah pepaya hasil panennya pun bervariasi, tergantung pada varietas buah dan kualitas buah yang dihasilkan. Harga yang diterima oleh petani dari Desa Bojong maupun oleh petani responden dari Kecamatan Rancabungur sama yaitu berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan (biasanya ditetapkan oleh tengkulak). Kriteria Super (grade A) antara Rp 2.000 - Rp 4.000 per kg, Global (sama rata) antara Rp 1.000 - Rp 1.500, dan kriteria BS kurang dari Rp 1.000 per kg. Harga buah pepaya varietas Califonnia harganya relatif lebih mahal (sekitar Rp 800 - Rp 2.000 per kg) dibandingkan pepaya varietas Bangkok/Thailand (Gambar 1).

Dokumen terkait