• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. Tableau des consonnes

2.4 Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan yaitu Halim (1969), membahas tentang intonasi dalam bahasa Indonesia. Kajian ini adalah kajian yang pertama dengan cara yang akurat dengan menggunakan alat ukur Mingograph milik laboratorium fonetik University of Michigan. Alat itu bisa melakukan pengukuran

yang akurat baik dalam intensitas, durasi dan frekuensi. Halim mengkaji intonasi bahasa Indonesia yang dikaitkan dengan sintaksis. Kajiannya pertama, memerikan intonasi bahasa Indonesia ke dalam ciri-ciri akustik seperti kontur, tingkat tinggi nada, jeda, kelompok jeda, dan penempatan tekana atau aksen. Kedua memerikan penjelasan tentang letak intonasi dalam modus yang meliputi pola-pola intonasi, satuan-satuan fonologis yang menandai ciri-ciri intonasi, fungsi intonasi, dan hubungan antara intonasi dengan tata modus. Ia memfokuskan pada intonasi bahasa Indonesia lisan informal dan menjadikan dirinya dan isterinya sebagai informan utama dan beberapa orang dewasa lainnya sebagai informan tambahan. Kajian yang dilakukan terkait dengan hubungan struktural antara modus dengan wacana melalui pola intonasi. Pola-pola intonasi yang diperolehnya dipaparkan dengan menggunakan notasi angka Arab 1,2,3 dan 4 yang berfungsi sebagai pelambang ketinggian nada.

T. Syarfina (2008) membicarakan tentang ciri akuistik yang menandakan tingkatan sosial pada masyarakat Melayu Deli. Dalam kajiannya memaparkan bahwa tuturan kelompok sosial Bahasa Melayu Deli disesuaikan dengan golongannya begitu juga dalam berinteraksi satu sama lain dibedakan atas cara mereka memberi perintah, bertanya dan memberi tahu. Dari penilitiannya tersebut ditemukan bagaimana nada suara golongan kelompok sosial bawah bertutur dengan kelompok sosial atas, begitu juga sebaliknya bagaimana nada, tempo, dan intensitas golongan kelompok sosial asas bertutur dengan kelompok sosial menengah atau kelompok sosial bawah. Syarfina (2008) menemukan juga ada tiga variasi kelas sosial (kelas sosial atas, tengah dan bawah), yaitu pada intensitas dasar, intensitas final, dan tidak pada julat intensitas tertinggi. Intensitas suara

hanya berbeda pada intensitas dasar kelas sosial. Makin tinggi kelas sosial seseorang makin rendah kenyaringan suara ketika bertutur.

Sugiyono (2003), membicarakan tentang prosodik kontras deklaratif dan interogatif dalam bahasa Melayu Kutai dan mencari toleransi modifikasi setiap ciri akustik yang signifikan dalam kedua modus tersebut. Kajiannya mampu dijadikan bahan acuan bagi peneliti-peneliti prosodi yang mengkaji bahasa-bahasa daerah maupun bahasa asing yang digunakan di Indonesia. Usaha Sugiyono untuk mencari ambang atas dan ambang bawah serta ambang kontras setiap parameter yang menjadi pemarkah kontur deklaratif dan kontur interogatif yang membedakan penelitiannya berbeda dengan peneliti yang lain. Dia juga membuktikan adanya eksperimen produksi dan eksperimen persepsi dalam kajiannya merupakan keunggulan tersendiri. Eksperimen produksi mengkaji bagaimana struktur melodik dan struktur temporal tuturan deklaratif dan tuturan interogatif bahasa Melayu Kutai. Kemampuannya mendeskripsikan pengukuran puncak komponen-komponen melodik seperti tinggi nada awal, nada final, puncak nada dan julat nada. Serta ditemukannya juga nilai terendah dan nilai tertinggi pada setiap melodik. Adanya pengukuran lain seperti nilai rata-rata dan ambang atas dan ambang bawah Fo pada setiap komponen. Sugiyono juga menemukan pola-pola frekwensi fundamental dan pola durasi sebagai hasil analisis akustis, temuannya menunjukkan bahasa baik tuturan deklaratif maupun tuturan interogatif rentang julat nada tuturan bahasa Melayu Kutai adalah 50,21 Hz sampai 366,73 Hz dengan rerata 133,39 Hz. Julat nada yang besar yang ditemukan pada bahasa Melayu Kutai terdapat pada tuturan deklaratif-kontras yang memfokuskan pada konstituen predikat, dan julat nada ini dapat menjadi

signifikan. Dari tuturan tersebut ditemukan adanya perbedaan yang sangat signifikan antara penutur laki-laki dan penutur perempuan yaitu dengan nada dasar tuturan perempuan p<0,0001. sedangkan pada tuturan laki-laki yang terdapat pada modus deklaratif maupun interogatif lebih rendah dibandingkan dengan nada dasar tuturan perempuan yakni 181,86 Hz berbanding 283,01 Hz. Dengan kata lain, nada dasar tuturan laki-laki berkisar 5,25 st di atas nada C atau sama dengan nada F, sedangkan nada dasar tuturan perempuan bisa mencapai 13,11 st di atas nada C atau sama dengan nada #C dalam piano. Julat nada di buktikan oleh Sugiyono dengan ukuran parameter akustik tuturan pada nada satu oktaf, dengan rata-rata 10,28 st. Selain itu ditemukannya rerata nada final deklaratif berekskursi negatif, sedangkan nada final interogatif berekskursi positif, maka nada final menjadi pembeda yang sangat signifikan. Ekskursi puncak nada deklaratif juga lebih kecil dibandingkan dengan ekskursi puncak nada interogatif. Puncak nada menjadi pemarkah signifikan jika yang diukur ekskursinya. Terkait dengan durasi, ditemukan juga durasi deklaratif berkisar 2,16 detik dan durasi interogatif berkisar 1,19 detik.

Ebing (1997), membicarakan bahasa Indonesia. Kajian ini mengkonstruksi model intonasi bahasa Indonesia yang diverifikasi secara eksperimental, yaitu membandingkan model ujaran dan kontur yang telah disederhanakan oleh komputer. Ebing mengkaji intonasi bahasa Indonesia secara eksperimental dan menggunakan fasilitas komputer sehingga akurasi yang dicapai lebih tinggi. Ia memfokuskan penelitiannya hanya pada ciri pokok intonasi bahasa Indonesia dengan merekonstruksi model intonasi bahasa Indonesia. Cita-citanya menjawab pertanyaan bagaimana konfigurasi alir nada yang secara perseptual membentuk

model melodis intonasi dalam bahasa Indonesia dan elemen apakah yang diperlukan untuk membentuk model tersebut. Ebing menganut konsep bahwa prosodi dipelajari bukan semata-mata sebagai fenomena fisik (frekwensi dasar, durasi, intensitas) melainkan berada pada ranah linguistik. Ebing berpendapat bahwa intonasi merupakan bagian dasar dari melodi ujaran yang ditentukan oleh sistem linguistik di atas tingkat leksikal. Sehingga dapat dipahami bahwa intinasi membentuk melodi ujaran. Pengolahan data dilakukan dengan pendekatan IPO dan menganalisisnya dengan program PRAAT. Dengan program tersebut dia dapat menjadikan penelitiannya memiliki temuan yang lebih akurat dari peneliti-peneliti sebelumnya. Program tersenut juga mampu memanipulasi dan memodifikasi parameter intonasi.

Stoel (2000) mengkaji tentang intonasi bahasa Melayu Menado. Dia membedakan dua pola intonasi dasar dan pola intonasi khusus. Pada pola intonasi dasar, ia menganalisis dua jenis nada yaitu aksen (accent) yang menandai fokus modus dan nada akhir (edhe tones) yang menandai ikatan prosodik (prosodic boundaries). Semua informan yang ia gunakan adalah penutur asli bahasa Melayu Menado yang berdomisili di Menado. Stoel berpendapat intonasi bahasa tidak dapat dijelaskan tanpa menggunakan suatu mode strutur melodik. Pada bahasa Melayu Menado memiliki dua konstituen prosodik yang paling penting yaitu frasa intonasi (intonational phrase) dan frasa fonologi (phonological phrase). Frasa intonasi merupakan konstituen prosodik tingkat tinggi yang bisa diikuti oleh jeda. Setiap frasa intonasi (IP) berisikan sekurang-kurangnya satu frasa fonologi. Sedangkan, frasa fonologi (PhP) tidak bisa diikuti oleh jeda bila akhir frasa fonologi tidak sejalan dengan akhir frasa intonasi. Pada tingkat sintaksis, frasa

intonasi secara khusus berkaitan dengan klausa, dan frasa fonologis berkaitan dengan frasa nomina atau frasa verba. Pada prosodi bahasa Melayu Menado, Stoel menemukan karakteristik yang berbeda dengan frasa intonasi dan frasa fonologi. Frasa intonasi (IP) berisikan satu atau lebih frasa fonologi, tetapi hanya satu dari frasa-frasa fonologi tersebut yng bisa memiliki aksen penanda fokus (focus-marking accent). Frasa fonologi memiliki nada ujung pada awal dan akhir yang juga bisa memiliki aksen. Temuan Stoel menunjukkan pada pernyataan, pola intonasi aksen-aksen yang dihasilkan frasa fonologi adalah suatu nada-ujung yang rendah pada permulaan, diikuti oleh aksen nada-tinggi, dan nada ujung yang rendah pada akhir. Nada-nada ujung diasosiasikan dengan ujung-ujung frasa fonologi, dan aksen diasosiasikan dengan suku kata yang bertekanan pada akhir kata. Pada intonasi modus ekslamasi, Stoel menemukan adanya dua pola intonasi dalam bahasa Melayu Menado. Pola pertama yaitu identik dengan intonasi modus pernyataan yang dicirikan oleh aksen nada-tinggi pada suku kata yang bertekanan yang diikuti oleh nada ujung yang rendah. Pola intonasi kedua berisikan nada naik pada suku kata pertama, dimana titi nada (pitch) tetap tinggi hingga akhir ujaran. Secara keseluruhan Stoel menemukan intonasi bahasa Melayu Menado dibedakan oleh dua jenis nada yaitu aksen yang diasosiasikan dengan suku kata yang bertekanan pada suatu kata, dan nada ujung yang diasosisikan dengan ujung suatu dominan prosodik yang disebut frasa fonologi (PhP). Ia juga menemukan bahwa terdapat beberapa persamaan intonasi bahasa Melayu Manado dan bahasa Indonesia.

Matthew Gordon dan Alya Applebaum dalam makalahnya yang berjudul hubungan –hubungan penekanan akustik dalam bahasa kabardian Turki (Jurnal

Internasional Phonetic Association, Volume 40 No.1 April 2010, halaman 35). Makalah ini melaporkan hasil studi penekanan akustik dalam dialek bahasa Turki dari bahasa barat laut kaukasia, Kabardian. Suku kata yang mengalami penekanan ditemukan secara konsisten memiliki frekuensi dasar yang lebih tinggi dan durasi khas dan intensitas yang lebih besar daripada suku kata yang tidak mengalami penekanan. Tidak ada bukti yang ditemukan untuk penekanan sekunder. Schwa dan, pada tingkat lebih rendah, / / yang ditampilkan mengalami sedikit peningkatan karena durasi dalam suku kata tanpa tekanan menurun. Peningkatan gradien ini mungkin dikarenakan koartikulatoris yang tumpang tindih dengan konsonan yang berdekatan bukan pergeseran kategoris dalam kualitas vokal. Pertimbangan upaya artikulatoris bukan dispersi persepsi memprediksi pergantian kategoris antara /a:/ dengan penekanan dan tanpa tekanan / / dalam bahasa Kabardian dan peningkatan schwa tanpa kategori dan / / pada suku kata yang tidak mengalami penekanan.

Yuliarti Muntarsih dalam makalahnya yang berjudul pengembangan model artikulatoris untuk meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Prancis siswa SMA dan SMK di Kota dan Kabupaten Bandung (Jurnal Penelitian Vol.9 No.1 Tahun 2009, halaman: 1) Memaparkan bahwa dalam sistem bunyi bahasa Perancis dengan jelas dibedakan secara fonemik antara [v] - [f], [z] - [s], [u] - [y], [o] - [ ], [s] - [ z], [oe] -[ø], dan lain-lain. Misalnya, untuk melafalkan kata-kata base [baz], basse [bas], bache, terdapat tiga fonem konsonan berbeda yaitu /z/, /s/, /_ / , kemudian kata rue [Ry] dan roue [Ru] , but [byt] dan bout [bu] memiliki dua fonem yang berbeda yaitu /y/ dan /u/. Sedangkan dalam bahasa Indonesia sistem bunyi tidak terlalu banyak variasinya. Misalnya, untuk mengucapkan kata baju,

saku, buku, dan surat, hanya ada satu fonem yaitu /u/. Berdasarkan kenyataan yang ada perlu suatu model pelafalan bahasa Perancis agar dapat memudahkan siswa berbicara bahasa Perancis dengan benar. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan model pengajaran pelafalan bahasa Perancis dalam rangka meningkatkan kemampuan berbicara siswa SMA dan SMK di Kota dan Kabupaten Bandung. Secara khusus penelitian ini memiliki tujuan :1) melakukan analisis teoritis tentang pelafalan bahasa Perancis yang benar; 2) mengidentifikasi permasalahan pelafalan bahasa Perancis yang dihadapi siswa SMK dan SMK di Kota dan Kabupaten Bandung. Data yang diperlukan dalam penelitian ini akan dikumpulkan melalui studi dokumentasi dan observasi pembelajaran. Analisis data dilakukan sesuai dengan kebutuhan penelitian ini yaitu melalui analisis kualitatif maupun analisis kuantitaif. Hasil temuan dari penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi guru terutama siswa untuk meningkatkan kemampuan berbicara dalam bahasa Perancis.

Chad Vicenik dalam makalahnya yang berjudul kajian akustik pada konsonan letusan bahasa Georgia (Jurnal Internasional Phonetic Association, Volume 40 No.1 April 2010, halaman 59) Studi ini mengkaji sifat-sifat ejektif, letusan-letusan bersuara dan tanpa suara dalam bahasa Georgia. suatu bahasa Kaukasia. dan mencari jawaban atas dua pertanyaan: (i) Ciri akustik mana yang membedakan ketiga tipe letusan? dan (ii) Apakah letusan dalam bahasa Georgia mengalami penguatan awal, dan jika begitu, apakah penguatan tersebut secara sintakmatik atau paradikmatik? Lima pembicara perempuan dicatat membaca kata-kata yang melekat pada frase pembawa dan cerita. Pengukuran akustik meliputi durasi penutupan, penyuaraan selama penutupan, penyuaraan yang

tertinggal, intensitas ledakan relatif, saat-saat spektral dari letusan, fonasi (H1-H2) dan F0. dari hal-hal ini, penyuaraan selama penutupan, penyuaraan yang tertinggal, frekuensi pertengahan letusan, H1-H2 dan F0 dapat digunakan untuk membedakan tipe-tipe letusan, tapi tipe-tipe letusan ini tidak dapat dibedakan pada durasi penutupan atau intensitas ledakan relatif. Letusan-letusan dalam bahasa Georgia menunjukkan penguatan awal dan menunjukkan durasi penutupan, peninggalan suara yang lebih panjang, dan nilai H1-H2 yang lebih tinggi pada posisi prosodik yang lebih tinggi.

Scott Myers dalam makalahnya yang berjudul asimilasi penyuaraan regresif: kajian produksi dan persepsi (Jurnal Internasional Phonetic Association, Volume 40 No.2 April 2010, halaman 163)Banyak bahasa memiliki pola fonologi pada asimilasi penyuaraan regresif, dimana hambatan dibutuhkan untuk mencocokkan hambatan berikut dalam penyuaraan (contoh: bahasa Rusia dan Sansekerta). Pembatasan pada distribusi kategori memiliki kesejajaran dalam fakta fonetik bahwa hambatan memiliki interval gelombang glotal yang lebih panjang ketika muncul sebelum bunyi yang disuarakan (voiced sound) daripada saat muncul sebelum bunyi yang tidak bersuara (voiceless sound). Hal ini menunjukkan bahwa pola fonologi muncul secara diakronis melalui reanalisis dari pola fonetik, dimulai dengan kecendrungan pendengar untuk mengidentifikasi suatu hambatan sebelum hambatan lain sebagai pencocokan hambatan yang sebelumnya dalam penyuaraaan. Makalah ini melaporkan dua percobaan yang dibuat untuk menguji premis pada laporan ini. Kajian produksi menjelaskan bagaimana penyuaraan hambatan dalam bahasa Inggris dipengaruhi oleh penyuaraan pada segmen berikut. Kajian persepsi menjelaskan bagaimana

pengidentifikasian kategori penyuaraan dipengaruhi oleh efek-efek akustik pada konteks segmen berikut. Ditemukan bahwa pendengar cenderung mengidentifikasi sebuah frikatif sebagai bunyi yang tidak disuarakan jika tergambardari posisi sebelum hambatan tanpa suara, tapi segmen bunyi yang disuarakan seperti yang disebutkan tidak memiliki efek signifikan pada identifikasi kelas suara. Pengimplikasian laporan diakronis asimilasi penyuaraan regresif telah dibahas.

Marisa Lousada dan Andreia Hall dalam makalah mereka yang berjudul korelasi akustik temporal Voicing Contrast dalam letusan bahasa Portugis Eropa.(Jurnal Internasional Phonetic Association, Volume 40 No.3 April 2010, halaman 261) Kajian ini berpusat pada analisa temporal dari letusan-letusan /p b t d k g/ dan analisa penyuaraan dari letusan-letusan yang bersuara /b d g/ yang diproduksi pada posisi kata yang berbeda pada enam pembicara asli Portugis Eropa. Kajian ini menjelaskan peralatan akustik yang berhubungan dengan penyuaraan (voicing). Peralatan akustik tersebut mengukur: Voice Onset Time (VOT), durasi letusan, durasi penutupan, durasi pelepasan, durasi penyuaraan hingga penutupan, durasi vokal sebelumnya dan durasi vokal lanjutan. Hasilnya menunjukkan bahwa ketika [b d g] disuarakan, alat-alat akustik – durasi letusan, durasi penutupan, durasi pelepasan, durasi penyuaraan hingga penutupan, durasi vokal sebelumnya dan durasi vokal lanjutan – relevan untuk perbedaan penyuaraan. Implikasi untuk penelitian dan latihan dalam ujaran dan terapi bahasa telah dibahas. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mencari tahu bagaimana produksi dianalisa dalam kajian masa sekarang dapat diterima oleh pendengar, terutama produksi letusan-letusan yang tidak disuarakan (devoiced).

Yi-Fen Liu dalam makalahnya yang berjudul pola linguistik terdeteksi melalui segmentasi prosodik dalam ujaran spontan Mandarin Taiwan (Jurnal Linguistic Patterns in Spontaneous Speech, Tahun 2009, halaman 147) Makalah ini menyatakan bahwa ujaran spontan, terbagi dalam unsur prosodik yang secara persepsi mudah dimengerti, dapat menyediakan banyak informasi linguistik dan dapat diamati dalam pola yang jelas. Kami memberikan kajian perintis dengan bukti empiris dan kuantitatif, mendukung gagasan bahwa unit prosodik dapat berguna untuk memperoses ujaran spontan secara otomatis. Konsistensi antar-pelabel yang tinggi membuktikan penerapan segmentasi prosodik manusia. Serangkaian hasil kajian tentang ujaran spontan bahasa Mandarin Taiwan menunjukkan bahwa pola linguistik yang ditemukan dalam berbagai aspek linguistik , dalam teori dapat digunakan untuk pemrosesan dan pemahaman ujaran spontan. Dalam percobaan penandaian POS otomatis, ditunjukkan bahwa transkrip yang dibubuhi keterangan dengan batasan prosodik menerima hasil yang sedikit lebih baik daripada transkrip original yang hanya dibubuhi dengan penggiliran pembicara. Dengan mempergunakan batasan prosodik, kita dapat menangani masalah ketidaklancaran secara langsung. Kami juga menemukan bahwa isyarat frase leksikal dan wacana sering diproduksi secara teratur pada batasan prosodik.

Chao-Yang Lee dalam makalahnya yang berjudul identifikasi pengubahan tekanan suara Mandarin secara skustik oleh pendengar non-pribumi (Jurnal Language and Speech, Volume 53, Part 2, 2010, halaman 217). Kajian ini meneliti pengidentifikasian penggalan tekanan suara bahasa Mandarin oleh pendengar non-pribumi. Kata-kata dalam bahasa Mandarin yang bersuku kata

tunggal diproses secara digital untuk menghasilkan suku kata yang utuh, berpusat pada diam (silent-center), hanya berpusat ditengah (center-only), dan hanya dipermulaan (onset-only). Suku-suka kata tersebut direkam dengan dua frasa pembawa sehingga mengimbangi tekanan suara pembawa dan permulaan dari tekanan suara target yang secara terus menerus atau terhenti pada frekuensi dasar (F0). Suku-suku kata tersebut disajikan dengan frasa pembawa original, dipotong dari frasa pembawa atau dipotong dan disilangkan dengan frasa pembawa yang lain. Keakuratan respon dan waktu reaksi diukur, dan pola paduan tekanan suara telah dianalisa. Secara keseluruhan, identifikasi tekanan suara bervariasi sebagai kegunaan modifikasi dan tekanan suara. Suku kata yang utuh dan berpusat ditengah teridentifikasi dengan lebih akurat daripada suku kata yang hanya berpusat ditengah (center-only), dan hanya dipermulaan (onset-only). Tekanan suara 2 secara konsisten lebih menantang untuk diidentifikasi. Walaupun level hasil dari siswa kelas tiga mendekati hasil pendengar pribumi seperti yang dilaporkan oleh Lee, Tao, dan Bond (2008), pendengar non-pribumi tidak menunjukkan bukti penggunaan informasi co-artikukatoris. Meskipun demikian, keberlanjutan atau pemberhentian pada F0 antara pembawa dan tekanan target telah mempengaruhi identifikasi tekanan suara, menunjukkan pengaruh konteks dalam pengidentifikasian tekanan suara non-pribumi.

Dokumen terkait