• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Jagung

KUALITAS SILASE TANAMAN JAGUNG PADA BERBAGAI UMUR PEMANENAN

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Jagung

Tanaman jagung atau Zea mays termasuk ke dalam famili graminiae atau rerumputan, kelas monokotiledon, genus Zea dan termasuk golongan spesies Zea mays. Tanaman ini adalah tanaman C4 yang lebih produktif dibandingkan dengan tanaman C3. Tanaman C4 dapat memanfaatkan energi matahari dengan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan C3 sehingga dapat mensintesis karbohidrat lebih baik. Tanaman jagung merupakan tumbuhan tropis namun dapat beradaptasi pada iklim tropis maupun subtropis. Fase pertumbuhan tanaman jagung dibagi menjadi 3 tahap yaitu fase vegetatif (V), reproduksi (R) dan matang fisiologis (Lee, 2012).

Tanaman jagung akan optimal pertumbuhannya pada temperatur lingkungan berkisar antara 23-27 ˚C dengan besaran kelembaban rata-rata 80%. Curah hujan yang normal untuk menunjang pertumbuhan tanaman jagung adalah berkisar antara 80-200 mm. Pertumbuhan tanaman jagung dan perkembangan biji jagung juga dipengaruhi oleh kedapatan akan sinar matahari yang optimal (Departemen pertanian, 2011).

Di Indonesia produksi jagung tahun 2011 sebanyak 17.230.172 ton, dengan sentra terbesar berada di propinsi Jawa Timur yaitu sebanyak 5.010.626 ton atau berkisar 29,08% (Badan Pusat Statistik, 2011). Data produksi jagung di Indonesia dari tahun 2007 sampai 2011 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Data statistik Produksi dan Luas panen Tanaman Jagung di Indonesia.

Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton)

2007 3.630.324 13.287.527

2008 4.001.724 16.317.252

2009 4.160.659 17.629.748

2010 4.131.676 18.327.636

2011 3.869.855 17.230.172

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011

Tanaman jagung merupakan tanaman yang banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia dan ternak. Tanaman jagung merupakan tumbuhan pangan kedua setelah padi (Umiyasih dan Wina, 2008). Biji jagung sampai saat ini masih dijadikan

4 bahan penyusun utama pakan ternak terutama dalam pemenuhan karbohidrat pada ternak unggas. Umumnya penggunaan biji jagung pada ruminansia tanpa batasan, tetapi jagung mengandung kadar protein yang rendah sehingga perlu disuplementasi oleh bahan pakan berprotein tinggi dalam ransum (McDonald et al., 2002).

Hasil samping tanaman jagung yaitu daun, tongkol, batang dan klobot juga dapat dimanfaatkan untuk pengganti hijauan pakan ruminansia (Parakkasi, 1995; Umiyasih dan Wina, 2008). Daun jagung yang masih muda sudah banyak dimanfaatkan peternak sebagai hijauan pakan ternak dan berpotensi sebagai pengganti sumber serat hijauan khususnya pada saat ketersediaan rumput lapang berkurang (Putra, 2011). Klobot dan tongkol jagung adalah sumber serat yang lebih disukai ternak dibanding biji jagung (Parakkasi, 1995). Komposisi zat makanan hasil samping tanaman jagung dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Hasil Samping Tanaman Jagung Komposisi Kimia

(%BK)

Bagian

Dauna Batangb Klobotc Tongkolb Bijib

BK 81,43 80,00 91,41 90,00 88,00 TDN 48,51 59,00 54,29 48,00 88,00 PK 9,00 5,00 7,84 3,00 9,00 SK 29,44 35,00 32,25 36,00 2,00 Abu 17,00 7,00 3,23 2,00 2,00 Ca - 0,35 0,21 0,12 0,02 P - 0,19 0,44 0,04 0,30

Sumber: Anggraeny et al (2006)a; Preston (2006)b; Furqaanida (2004)c.

Hasil samping tanaman jagung bukan merupakan pakan yang berkualitas tinggi dan tidak dapat mengoptimalkan pertumbuhan, produksi dan performa ternak terkecuali ditunjang dengan ketersediaan bahan pakan sumber nutrisi lainnya. Proporsi botani hasil samping tanaman jagung berdasarkan berat kering terdiri dari 50% batang, 20% daun, 20% tongkol dan 10% klobot (McCutcheon dan Samples, 2002). Batang jagung merupakan bagian yang paling sukar dicerna. McCutcheon dan Samples (2002) melaporkan bahwa batang jagung memiliki kecernaan bahan kering

5 in vitro yaitu sebesar 51% dibandingkan dengan klobot, tongkol dan daun masing- masing 68%, 60% dan 58%.

Silase

Silase adalah salah satu teknik pengawetan pakan atau hijauan pada kadar air tertentu melalui proses fermentasi mikrobial oleh bakteri asam laktat yang disebut ensilasi dan berlangsung di dalam tempat yang disebut silo (McDonald et al., 2002). Silase biasa digunakan untuk pakan sapi perah namun pemanfaatannya kini dapat diterapkan pada sapi penggemukan (Parakkasi, 1995). Silase sudah diterapkan di banyak negara khususnya negara beriklim subtropis, di mana musim menjadi kendala utama ketersediaan hijauan dan penerapan pengawetan dengan metode pengeringan sulit dilakukan (Saun dan Heinrichs, 2008). Pemanfaatan silase sebagai pakan telah berkembang di negara-negara Eropa dan menyebar ke negara lain sejak 50-60 tahun yang lalu (Church, 1991).

Berbagai tanaman atau hijauan yang berkadar air tinggi atau hasil samping tanaman sering dijadikan bahan utama pembuatan silase. Tujuan utama pembuatan silase adalah mengawetkan pakan dengan meminimalisir kehilangan nutrisi. Prinsip kerja atau proses ensilasi merupakan proses fermentasi yang berlangsung secara anaerob. Karbohidrat terlarut difermentasi oleh bakteri asam laktat untuk memproduksi asam dan menurunkan pH sehingga kondisi anaerob dapat cepat tercapai dan kehilangan komposisi kimia nutrisi dapat ditekan.

Silase tidak bersifat statis namun dinamis. Perubahan dapat lebih buruk meskipun pada kondisi yang baik sekalipun (Saun dan Heinrichs, 2008). Silase pada prinsipnya tidak akan meningkatkan nilai nutrisi dari pakan karena akan banyak mengalami kehilangan selama ensilasi. Silase kurang ekonomis dan sulit untuk dibawa dengan jarak yang jauh, namun fermentasi yang dilakukan dapat menurunkan kadar antinutrisi, kandungan nitrat dan racun.

Silase dapat dibuat pada berbagai bentuk silo yaitu bunker silo, drum silo ataupun plastik silo. Mekanisme pembuatan silase pada prinsipnya sama untuk ke semua jenis silo selama pengeluaran atau pembatasan suplai oksigen optimal. Tiga hal yang berperan penting dalam proses ensilasi di dalam silo meliputi produk bakteri asam laktat dan produk fermentasinya, pencapaian kondisi anaerob yang maksimal dan penurunan pH yang cepat (Muck, 2011).

6 Proses ensilasi secara garis besar terbagi atas 4 fase yaitu (1) fase aerob, (2) fase fermentasi, (3) fase stabil dan (4) fase pemberian pada ternak (Moran, 2005). Proses aerob terjadi pada saat pemasukan bahan ke dalam silo di mana bakteri dari permukaan hijauan akan mengkonsumsi oksigen sampai oksigen habis. Proses ini sangat diinginkan pada proses pembuatan silase, di mana dengan penghabisan oksigen secara optimal kondisi anaerob dapat segera tercapai. Saat waktu yang bersamaan pula bakteri-bakteri tersebut akan memanfaatkan karbohidrat terlarut yang seharusnya digunakan bakteri asam laktat (BAL) untuk membentuk asam laktat menjadi CO2, H2O dan panas. Proses ini menyebabkan kehilangan energi dan bahan kering (Muck, 2011).

Saat fase aerob ini pula terjadi perubahan kimiawi yang meliputi perombakan protein menjadi ammonia. Lamanya fase aerob ini bergantung pada seberapa cepat silase mendapatkan suasana yang kedap udara secara optimal. Fase kedua merupakan fase di mana oksigen telah habis dan aktivitas bakteri asam asetat dan bakteri asam laktat meningkat, kemudian pH menurun hingga akhirnya aktivitas bakteri asam asetat terhenti.

Berhentinya aktivitas bakteri asam asetat akan meningkatkan aktivitas bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat menyebabkan konsentrasi asam laktat meningkat dan pH semakin menurun. Besaran pH akan semakin menurun hingga akhirnya mencapai besaran optimal. Kondisi ini mengakibatkan aktivitas berbagai macam bakteri terhenti dan akhirnya bahan sudah mulai terawetkan dan tidak ada lagi proses penguraian. Proses ini menandakan fase fermentasi telah berhenti dan memasuki fase stabil.

Fase stabil akan berjalan optimal selama tidak adanya suplai oksigen. Fase terakhir adalah fase pembukaan silase atau disebut dengan fase aerob. Fase ini sangat rentan terhadap kontaminasi jamur yang nantinya akan mempengaruhi stabilitas aerob silase yang dapat menyebabkan kehilangan energi dan bahan kering (Nussio, 2005).

Bakteri Asam Laktat (BAL)

Bakteri asam laktat merupakan bakteri anaerob fakultatif. Bakteri ini dapat hidup di kondisi terpapar oksigen maupun tanpa oksigen (McDonald et al., 2002). Bakteri ini dibagi menjadi 2 kategori yaitu homofermentatif (Lactobacillus

7 plantarum, Pediococcus pentosaceus, dan Enterococcus faecalis) dan heterofermentatif (Lactobacillus brevis dan Leuconostoc mesenteroides).

Bakteri asam laktat akan memfermentasikan karbohidrat terlarut menjadi beberapa produk fermentasi tergantung tipe bakterinya (Muck, 2011). Produk fermentasi bakteri asam laktat seperti asam laktat dan asam asetat dapat berfungsi sebagai penghambat beberapa mikroorganisme seperti asam asetat dan listeria.

Bakteri asam laktat pada tanaman berfungsi untuk melindungi tanaman dari serangan mikroorganisme patogen dengan memproduksi antagonistik komponen seperti asam, bakteriosin dan agen anti fungal. Bakteri asam laktat memiliki toleransi yang baik pada pH, suhu dan udara. BAL dapat bertahan hidup pada pH hingga 3,5 (Muck, 2011). Kisaran suhu hidup BAL sangat luas dan beragam pada kisaran 5-50

˚C Minimal populasi optimum BAL adalah 105 cfu/g bahan.

Silase Tanaman Jagung

Tanaman jagung dapat dimanfaatkan sebagai bahan utama dalam pembuatan silase. Tanaman jagung menghasilkan hasil samping yang dapat dimanfaatkan sebagai hijauan dan bijinya merupakan sumber energi utama dalam penyusunan bahan pakan ternak. Tanaman jagung apabila dimanfaatkan seluruh bagian dari daun hingga biji sebagai silase maka akan menyumbang kandungan karbohidrat terlarut yang mencukupi untuk pertumbuhan bakteri pada proses ensilasi.

Pemanfaatan jerami jagung dan daun jagung harus ditambahkan sumber karbohidrat terlarut seperti molases (Umiyasih dan Wina, 2008) atau menggunakan berbagai bakteri inokulan (Nussio, 2005). Silase tanaman jagung mengandung energi tinggi dengan kandungan bahan kering yang relatif sama dengan hijauan potongan (Bal et al., 2000).

Silase tanaman jagung merupakan silase yang banyak digunakan di banyak negara. Silase tanaman jagung lebih banyak dipilih dibandingkan silase tebu dan silase singkong karena silase jagung lebih optimal dalam menghasilkan nutrisi yang mudah dicerna (Church, 1991). Silase tanaman jagung dapat meningkatkan performa dari ruminansia baik sapi penggemukan (Keady, 2005) maupun sapi perah. Pada sapi perah laktasi pemberian silase tanaman jagung meningkatkan produksi susu (Ouellet et al., 2003).

8

Kualitas Berdasarkan Umur Tanaman Jagung

Kualitas silase ditentukan oleh beberapa faktor yaitu jenis dan skala silo, bahan pakan yang digunakan, umur tumbuhan, pengolahan mekanik dan penambahan zat aditif atau inokulan. Umur dan tingkat kematangan tanaman akan memberikan efek yang lebih besar terhadap kualitas fermentatif silase dibandingkan pengolahan mekanis dan penambahan zat aditif maupun inokulan (Johnson et al., 2003).

Kualitas tanaman dapat dipengaruhi oleh varietas benih, kelembaban tanah, iklim, pengolahan dan pemupukan. Faktor-faktor ini juga nantinya akan dapat mempengaruhi kualitas silase. Bal et al. (2000) melaporkan bahwa terjadi peningkatan kandungan bahan kering pada silase tanaman jagung seiring dengan bertambahnya umur panen, hal tersebut juga diperkuat oleh pernyataan Darby dan Lauer (2002). Kadar air tanaman jagung pada fase belum masak akan menghasilkan kandungan air sebesar 80%-85%.

Peningkatan umur panen juga mempengaruhi kandungan pati pada jagung di mana pati terakumulasi optimal pada biji umur tua (Bal et al., 2000; Marco et al., 2002). Menurut Johnson dan McClure (1968), Chase (2011) dan Weiss (2012) kandungan BK tanaman jagung fase Silking (R1) dan blister (R2) kurang dari 20%. Besarnya kandungan bahan kering juga dipengaruhi oleh cuaca, cekaman hara dan air, varietas bahan, pemupukan dan interval dan waktu pemotongan.

Kandungan protein kasar tanaman jagung masa vegetatif akan lebih tinggi akibat masih terjadinya perkembangan bagian-bagian vegetatif seperti daun dan batang sebagai hasil proses fotosintesis dan belum tumbuhnya biji. Tanaman akan berkurang kandungan protein, mineral dan karbohidratnya dengan meningkatnya umur tanaman namun kandungan serat kasar dan ligninnya bertambah.

Tingginya serat umumnya didominasi oleh komponen lignoselulosa yang sulit dicerna sehingga menurunkan kecernaan. Kandungan protein yang rendah pada umur panen tua juga disebabkan karena menurunnya fraksi daun. Daun pada tanaman muda memiliki kandungan protein kasar lebih tinggi dibandingkan daun umur tanaman tua (Tarigan et al., 2010).

9

Kualitas Silase Kualitas Berdasarkan Karakteristik Fisik

Salah satu pengujian kualitas silase adalah dengan pengamatan fisik silase. Beberapa faktor menjadi faktor utama dalam penentuan kualitas fisik silase yaitu bau, warna, tekstur dan kontaminasi jamur. Silase yang berkualitas baik adalah silase yang akan menghasilkan aroma asam di mana aroma asam tersebut menandakan bahwa proses fermentasi di dalam silo berjalan dengan baik (Elfrink et al., 2000). Silase yang beraroma seperti cuka diakibatkan oleh pertumbuhan bakteri asam asetat (Bacili) di mana produksi asam asetat tinggi. Produksi etanol oleh yeast atau kapang dapat mengakibatkan silase beraroma seperti alkohol. Aroma tembakau dapat terjadi pada silase yang memiliki suhu yang tinggi dan mengalami pemanasan yang cukup ekstrim (Saun dan Heinrichs, 2008).

Silase berkualitas baik akan menghasilkan warna yang hampir menyamai warna tanaman atau pakan sebelum diensilasi. Saun dan Heinrichs (2008) menambahkan bahwa warna silase dapat menggambarkan hasil dari fermentasi. Dominasi asam asetat akan menghasilkan warna kekuningan sedangkan warna hijau berlendir dipicu oleh tingginya aktivitas bakteri Clostridia yang menghasilkan asam butirat dalam jumlah yang cukup tinggi.

Warna kecoklatan bahkan hitam dapat terjadi pada silase yang mengalami pemanasan cukup tinggi atau terlampau ekstrim. Warna gelap pada silase mengindikasikan silase berkualitas rendah (Despal et al., 2011). Warna coklat muda diakibatkan karena hijau daun dari klorofil akan hancur selama proses ensilasi (Umiyasih dan Wina, 2008) sedangkan warna putih mengindikasikan pertumbuhan jamur yang tinggi.

Jamur yang sering ditemukan pada tanaman jagung yaitu Aspergilus dan Fusarium. Mikotoksin yang sering ditemukan adalah Aflatoksin oleh jamur Aspergilus flavus dan Fumonisin oleh jamur Fusarium. (Trung et al., 2008; Tangendjaja et al., 2008). Nilai optimum bagian terkontaminasi jamur pada silase menurut Davies (2007) sebesar 10%. Pertumbuhan jamur pada silase disebabkan oleh belum maksimalnya kondisi kedap udara. Jamur-jamur akan aktif pada kondisi aerob dan tumbuh dipermukaan silase (McDonald et al., 2002). Pembatasan suplai oksigen yang kurang optimal berkaitan dengan ukuran partikel dari bahan.

10 Ukuran partikel yang lebih kecil akan menyediakan karbohidrat terlarut yang lebih banyak sehingga bakteri asam laktat dapat lebih aktif dalam memproduksi asam laktat sehingga konsentrasi asam laktat ikut meningkat (McDonald et al., 1991). Akhirnya penurunan pH optimal dan pengawetan pakan lebih cepat tercapai. Pencacahan dilakukan untuk mengurangi partikel bahan. Partikel yang lebih kecil dapat mengubah pola fermentasi dengan mengubah laju kerusakan jaringan tanaman dan memperbaiki proses fermentasi, melalui pengepakan yang lebih mudah dan teratur sehingga lebih mudah dipadatkan. Kondisi ini akan meningkatkan area kontak substrat dan mikroorganisme (Church, 1991).

Kualitas Berdasarkan Karakteristik Fermentatif

Nilai pH optimum silase yang berkualitas baik adalah <4,2, dan silase berkualitas sedang berada pada kisaran 4,5-5,2 sedangkan silase kualitas buruk memiliki nilai pH >5,2 (Haustein, 2003). Saun dan Heinrichs (2008) menyatakan bahwa silase tanaman jagung berkualitas baik akan menghasilkan pH pada kisaran 3,8-4,2. Tingginya kandungan karbohidrat terlarut dan rendahnya protein dapat memicu penurunan pH. Kandungan protein tanaman yang rendah menyebabkan kapasitas penyangga rendah sehingga pengasaman lebih mudah terjadi (Despal et al., 2011). Cherney et al. (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antar karbohidrat larut air dan pH. Karbohidrat larut air dibutuhkan oleh bakteri asam laktat hingga menyebabkan penurunan pH sampai 3,5 (Muck, 2011).

Nilai pH yang rendah akan menghambat pertumbuhan bakteri merugikan seperti Clostridia dan juga menghentikan aktivitas enzim proteolitik tanaman yang menyebabkan perombakan protein. Saat kondisi asam, asam laktat dan asam asetat lebih mampu membatasi pertumbuhan mikroorganisme pembusuk (Muck, 2011). Tingginya pH dapat dipicu oleh terpaparnya silase terhadap oksigen yang terlalu lama, menyebabkan fermentasi aerob kembali terjadi. Saat kondisi aerob bakteri asam laktat dan kapang (yeast) lebih banyak memfermentasi karbohidrat terlarut menjadi CO2, H2O dan panas dibandingkan produksi asam sehingga menyebabkan terjadinya pemanasan sekunder dan peningkatan suhu (Tabbaco et al., 2011).

Pertumbuhan Clostridia akan memfermentasikan karbohidrat terlarut menjadi asam butirat yang akan menaikan derajat keasaman atau pH. Nilai pH yang tinggi pada bahan berkadar air tinggi akan mengakibatkan perombakan protein yang cukup

11 tinggi akibat aktivitas proteolisis yang tinggi (Saun dan Heinrichs, 2008). Perombakan protein yang tinggi menyebabkan menyebabkan pembusukan (Muck, 2011). Penurunan pH maksimal tidak hanya ditunjang oleh ketersediaan karbohidrat terlarut namun juga oleh kandungan bahan kering bahan yang optimal (Johnson et al., 2003).

Kandungan bahan kering yang mengindikasikan silase berkualitas baik adalah silase yang terbuat dari bahan dengan kisaran BK 35%-40%. Kandungan bahan kering <35% akan mengakibatkan silase terlalu asam dan berair (Ohmomo et al., 2002). Semakin berair bahan pakan yang digunakan dalam pembuatan silase, maka akan semakin banyak panas yang dihasilkan sehingga menyebabkan kehilangan bahan kering menjadi tinggi.

Silase berkadar air tinggi akan lebih berpotensi mengalami kehilangan bahan kering yang tinggi dalam bentuk gas. Peristiwa ini menyebabkan penurunan kualitas karena meningkatnya aktivitas fermentasi yang tidak diinginkan seperti Clostridia dan bakteri heterolaktat yang memproduksi CO2, etanol dan panas (Nussio, 2005) yang pada akhirnya menyebabkan tingginya kehilangan energi (McDonald et al., 1991).

Besarnya kandungan bahan kering silase dipengaruhi oleh besarnya kandungan bahan kering sebelum ensilasi dan besarnya kehilangan bahan kering (Despal et al., 2011). Kehilangan bahan kering dapat terjadi pada saat panen, pemasukan bahan ke dalam silo, fermentasi di dalam silo juga pada saat pembongkaran silo (Nussio, 2005).

Hood et al. (1971) menyatakan bahwa pengeringan bahan fermentasi seperti silase yang menggunakan oven-drying akan menyebabkan banyak kehilangan senyawa volatile. Pengukuran kadar bahan kering bahan fermentasi sebaiknya menggunakan faktor koreksi untuk mendekati keakurasian (Weissbach et al., 2008). Fox dan Fenderson (1978) menggunakan faktor koreksi sebesar 1,056 untuk silase jagung dan 1,063 untuk silase berbahan dasar rumput. Silase berkualitas baik adalah silase yang menghasilkan kehilangan bahan kering <6% (Despal et al., 2011). Penelitian menggunakan silase jagung telah dilakukan oleh Kim dan Adesogan (2009) yang mengalami kehilangan bahan kering hingga 13%.

12 Asam lemak terbang (VFA) merupakan hasil akhir dari fermentasi bahan organik oleh mikroorganisme pada proses ensilasi. Silase yang berkualitas baik adalah silase yang didominasi dengan asam laktat sebesar >60% dari total VFA silase. Proporsi VFA juga dapat menggambarkan perkembangan mikroba selama proses ensilasi. Tingginya asam butirat dan propionat menandakan kualitas buruk pada silase akibat buruknya proses fermentasi. Proporsi asetat yang tinggi menunjukkan dominasi bakteri asam asetat sedangkan butirat yang tinggi menunjukkan dominasi bakteri Clostridia tyrobuturicum dalam silase (Elfrink et al., 2000).

Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya konsentrasi asam lemak terbang silase meliputi jenis tanaman, kandungan bahan kering, populasi bakteri, kehilangan selama proses ensilasi juga kandungan karbohidrat pada tanaman (Saun dan Heinrichs, 2008)

Kehilangan tidak hanya terjadi pada kandungan bahan kering, namun juga pada kandungan nutrisi lainnya seperti protein. Hijauan umur muda akan digunakan menjadi bahan utama pembuatan silase untuk mendapatkan kandungan protein yang optimal. Hijauan dengan tinggi kandungan protein adalah hijauan pada saat fase pertumbuhan (Saun dan Heinrichs, 2008). Kandungan protein kasar (N x 6,25) silase dipengaruhi oleh kandungan protein kasar bahan, besarnya perombakan protein kasar dan juga perombakan bahan kering.

Kehilangan atau perombakan protein akan menghasilkan ammonia nitrogen (N-NH3). Silase yang berkualitas baik adalah silase yang menghasilkan konsentrasi ammonia nitrogen sedikit. Ammonia nitrogen <8% total Protein kasar (PK) pada silase jagung menunjukkan keberhasilan dalam proses fermentasi silase (Saun dan Heinrichs, 2008). Silase yang berkualitas baik adalah silase yang dapat menghasilkan konsentrasi ammonia nitrogen <50 g/kg total N atau setara dengan perombakan PK <4,1% (Zamudio et al., 2009; Despal et al., 2011).

Water Soluble Carbohydrate (WSC)

Karbohidrat larut air (WSC) merupakan substrat penting bagi bakteri asam laktat selama proses ensilasi, untuk meningkatkan proses pengawetan dengan menurunkan pH dengan cepat dan meminimalisasi perombakan protein (Davies et al., 2005). Tanaman atau hijauan yang baik untuk dijadikan silase adalah tanaman

13 yang memiliki kandungan karbohidrat terlarut pada kisaran 3%-5% BK (McDonald et al., 1991).

Kandungan karbohidrat terlarut berhubungan positif dengan nilai pH silase (Cherney et al., 2004). Karbohidrat larut air (WSC) akan dimanfaatkan oleh bakteri asam laktat untuk memproduksi asam dan menurunkan pH (Chen dan Wienberg, 2008). Karbohidrat terlarut air (WSC) pada kondisi anaerob akan dimanfaatkan bakteri asam laktat dalam menghasilkan produk fermentasi berupa asam laktat yang pada gilirannya akan menurunkan pH hingga 3,5 (Muck, 2011).

Tingginya kandungan karbohidrat terlarut dalam silase dapat menghasilkan kecernaan in vitro yang tinggi (Marco, 2000). Tanaman dari lingkungan dengan iklim yang temperate umumnya mengandung WSC yang cukup tinggi dalam bentuk fruktan yang sangat mudah difermentasi oleh bakteri asam laktat. Kondisi tersebut berbeda dengan tanaman pada iklim tropik yang sebagian besar komponen utama WSC-nya dalam bentuk pati yang secara alami BAL tidak memiliki kemampuan memfermentasikannya secara langsung (McDonald et al., 1991).

Amonia (NH3) Rumen

Protein pakan di dalam rumen dipecah oleh mikroba menjadi peptida dan asam amino. Beberapa asam amino dipecah lebih lanjut menjadi ammonia. Ammonia diproduksi bersama dengan peptida dan asam amino yang akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba (McDonald et al., 2002). Protein mikroba nantinya akan menentukan status nutrisi pada ternak (Uhi et al., 2006). Tingginya konsentrasi ammonia rumen menggambarkan banyaknya nitrogen yang didegradasi di dalam rumen (Puastuti et al., 2004). Produksi NH3 berasal dari protein yang didegradasi oleh enzim proteolitik. Kadar ammonia dalam rumen merupakan petunjuk antara proses degradasi dan proses sintesis protein oleh mikroba rumen. Pakan yang defisien akan protein atau proteinnya tahan degradasi maka konsentrasi ammonia dalam rumen akan rendah dan pertumbuhan mikroba rumen akan lambat yang menyebabkan turunnya kecernaan pakan (McDonald et al., 2002).

Faktor utama yang mempengaruhi penggunaan NH3 adalah ketersediaan karbohidrat dalam ransum yang berfungsi sebagai sumber energi untuk pembentukan protein mikroba. Peningkatan jumlah karbohidrat yang mudah difermentasi oleh

14 mikroba akan mengurangi konsentrasi amonia rumen karena terjadi kenaikan penggunaan ammonia untuk sintesis protein mikroba.

Ammonia rumen ketersediaannya harus mencukupi, apabila berlebih maka bakteri tidak dapat memanfaatkan ammonia. Ammonia yang berlebih tersebut diserap ke tubuh ternak dan dikeluarkan sebagai urea melalui urin sedangkan bila jumlahnya terlalu sedikit maka fermentasi asam organik akan terganggu.

Ammonia merupakan sumber nitrogen utama untuk sintesis protein mikroba. Konsentrasinya dalam rumen merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan. Menurut McDonald (2002), kisaran konsentrasi NH3 yang optimal untuk sintesis protein mikroba rumen adalah 6-21 mM sedangkan Sutardi (1977) melaporkan bahwa kisaran NH3 optimum adalah pada kisaran 4-12 mM. Tinggi rendahnya konsentrasi ammonia rumen ditentukan oleh kandungan protein pakan (Despal et al., 2011), besarnya perombakan protein, lamanya pakan difermentasi di rumen dan pH rumen (Uhi et al., 2006).

Konsentrasi VFA (Volatile Fatty Acid) Rumen

VFA merupakan produk fermentasi bahan organik yang digunakan mikroba sebagai sumber energi (Orskov dan Ryle, 1990). Karbohidrat pakan dalam rumen

Dokumen terkait