• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman karet merupakan salah satu tanaman perkebunan primadona yang banyak dibudidayakan karena hasil tanamannya dapat dijadikan sebagai bahan baku dalam bidang industri contohnya lateks. Kedudukan tanaman karet (Hevea brassiliensis Muell Arg.) dalam taksonomi adalah yaitu: Kingdom : Plantae, Divisio : Spermatophyta, Subdivisio : Angiospermae, Kelas : Dicotyledonae, Ordo : Euphorbiales, Famili : Euphorbiaceae, Genus : Hevea, Spesies : Hevea brassiliensis Muell Arg. (Stenis, 1978).

Sifat - sifat tanah yang cocok untuk tanaman karet pada umumnya antara lain: solum tanah sampai 100 cm, tidak terdapat batu-batuan dan lapisan cadas. Aerase dan drainase cukup. Tekstur tanah remah, porous dan dapat menahan air.

Struktur terdiri dari 35% liat dan 30% pasir. Tanah bergambut tidak lebih dari 20 cm. Kandungan hara NPK cukup dan tidak kekurangan unsur hara mikro. Reaksi tanah dengan pH 4,5 - pH 6,5. Kemiringan tanah < 16% dan permukaan air tanah < 100 cm (Anwar, 2006).

Tanaman ini tumbuh optimal di dataran rendah antara 0-200 meter diatas permukaan laut. Semakin tinggi letak tempat, pertumbuhannya semakin lambat dan hasil lateksnya rendah. Ketinggian lebih dari 600 m dpl kurang cocok untuk pertumbuhan tanaman karet. Curah hujan tahunan yang cocok untuk pertumbuhan tanaman karet tidak kurang dari 2000 mm. Optimal antara 2000 – 4000 mm/tahun, yakni pada ketinggian sampai 200 m diatas permukaan laut. Untuk pertumbuhan karet yang baik memerlukan suhu antara 250 - 3500C, dengan suhu optimal rata-rata 2800C (Setyamidjaja, 1993).

Tanaman karet termasuk tanaman perkebunan yang mempunyai toleransi cukup tinggi terhadap kesuburan tanah. Tanaman ini tidak menuntut kesuburan tanah yang terlalu tinggi. Tanaman ini masih bisa tumbuh dengan baik pada kisaran pH 3,5 – 7,5 dan kemiringan lereng < 16 %. Meskipun demikian, tanaman karet akan berproduksi maksimal pada tanah yang subur dengan pH antara 5 – 6 (Setiawan dan Andoko, 2000).

Pada tanaman karet umur 25 tahun masih terdapat lateks karena tanaman karet memiliki daur hidup sekitar 30 tahun, kemudian akan mengalami penurunan produksi seiring berjalannya waktu. Boerhendhy dan Agustina (2006) menyatakan siklus tanaman karet adalah sekitar 30 tahun, terbagi atas fase TBM 5 tahun dan TM 25 tahun. Setelah masa tersebut, tanaman karet tidak produktif lagi sehingga perlu diremajakan.

Karet merupakan salah satu komoditas hasil perkebunan yang memiliki peran cukup penting dalam perekonomian nasional. Sampai saat ini, permintaan akan hasil karet masih tinggi dikarenakan semakin meluasnya penggunaan karet sehingga permintaan terhadap bahan baku pun meningkat. Namun, perkebunan karet rakyat tidak dikelola dengan baik dan tanaman karet tua jarang diremajakan dengan tanaman baru. Hal tersebut menyebabkan produktivitas perkebunan karet rakyat sangat rendah (Silangit, dkk., 2014).

Tanaman Penghasil Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.)

Jenis A. malaccensis di wilayah potensial dapat mencapai tinggi pohon sekitar 40 m dan diameter 80 cm, beberapa nama daerah seperti : ahir, karas, gaharu, garu, halim, kereh, mengkaras dan seringak. Tumbuh pada ketinggian hingga 750 m dpl pada hutan dataran rendah dan pegunungan, pada daerah yang

beriklim panas dengan suhu rata-rata 32 0C dan kelembaban sekitar 70 %, dengan curah hujan kurang dari 2000 mm/tahun. Gaharu dapat dijumpai pada ekosistem hutan rawa, gambut, hutan dataran rendah atau hutan pegunungan, bahkan dijumpai pada lahan berpasir berbatu yang ekstrim. Tumbuhan penghasil gaharu sesuai peta sebaran tumbuh tidak memerlukan syarat yang spesifik terhadap lahan serta iklim. Berdasarkan aspek tersebut tumbuhan penghasil gaharu dapat dikembangkan pada berbagai jenis tanah serta iklim (Sumarna, 2012).

Pada dasarnya dengan memperhatikan peta sebaran tumbuh pohon penghasil gaharu yang realtif luas dan dapat dijumpai pada berbagai kondisi ekologis lahan tumbuh, baik pada lahan dengan kesuburan tinggi, sedang serta pada lahan-lahan marginal, maka secara teknis tumbuhan penghasil gaharu dapat tumbuh dan dibudidayakan di berbagai kondisi jenis serta tipe lahan apa saja (Thusteven, 2014).

Gaharu merupakan salah satu tanaman hutan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, karena kayunya mengandung resin yang harum. Resin beraroma ini berasal dari tanaman jenis Aquilaria, Gyrinops, dan Gonystylus. Pada saat ini keberadaan gaharu semakin langka, karena perburuan gaharu di alam terus meningkat dan para pemburu gaharu alam tidak hanya memungut dari pohon yang mati melainkan juga menebang pohon hidup, sehingga semakin mengancam populasi dan kelestarian produksi gaharu. Di sisi lain, harga gaharu terus meningkat, sehingga mendorong upaya budidaya gaharu terutama di wilayah Asia Tenggara. Di Indonesia gaharu sangat prospektif untuk dikembangkan, karena memiliki potensi biologis berupa beragamnya spesies tumbuhan penghasil gaharu,

masih luasnya lahan-lahan hutan yang sesuai untuk pengembangan gaharu, dan teknologi induksi telah tersedia (Suharti, 2010).

Tanaman Meranti (Shorea sp.)

Meranti dapat ditanam di kebun karet dengan sistem wanatani yang ditanam di antara pohon karet dengan memperhatikan aspek budidaya meranti dan karet. Persaingan dalam penyerapan hara dan cahaya matahari antara tanaman pokok karet dengan meranti dapat diatasi dengan mengetahui informasi teknis budidaya kedua jenis. Pohon meranti memiliki model tajuk seperti mahkota (crown canopy), sehingga tajuknya tidak akan menaungi pohon karet. Jika dibandingkan dengan pohon mahoni yang memiliki model tajuk seperti payung, jenis mahoni dan karet akan bersaing dalam mencari cahaya matahari. Persaingan penyerapan hara antara meranti dengan karet dapat diatasi dengan mengatur jarak tanam yang sesuai. Dalam budidaya meranti, jarak tanam awal yang umum diterapkan dengan jarak 3 x 3 m atau 2 x 3 m, yang bertujuan untuk membentuk batang pohon yang lurus. Selanjutnya pada tahun kelima, dilakukan penjarangan pohon untuk mengurangi persaingan penyerapan hara, sehingga pohon meranti terpacu untuk meningkatkan pertumbuhan diameter batang. Pada kebun karet campur dengan meranti, jarak tanam meranti dapat diatur sejak awal penanaman meranti, sehingga penjarangan pada tahun kelima tidak perlu dilakukan. Dengan laju pertumbuhan diameter meranti sebesar 1,8-2 cm/tahun, diharapkan kayu meranti dapat dipanen pada umur 20-25 tahun (Tata, dkk., 2008).

Potensi tiap pertumbuhan meranti pada sistem jalur di areal TPTJ untuk riap diameter sekitar 1,72 cm/tahun dan riap tinggi sekitar 1,75 cm/tahun, lebih

0,5 cm/tahun. Sifat fisik tanah meliputi bulk density berkisar antara 0.81 gr/cm3 – 1.18 gr/cm3, porositas tanah 53,61% - 69,35% dan kadar air tersedia 6.56% - 12.79%. Sifat kimia tanah meliputi pH tanah berkisar antara 4.6 – 5.5, Karbon (C) organik 1.51 – 2.31%, Nitrogen (N) 0.1 – 0.19 %, Pospor (P) di areal TPTJ PT. SJM berkisar antara 9.3 – 16.2 ppm, Kalium (K) tanah berkisar 90 – 98 % (Hardiansyah, 2012).

Tanaman Damar (Agathis dammara sp.)

Pohon damar merupakan salah satu pohon asli Indonesia dan penghasil utama getah damar. Getah damar ini yang kemudian diolah menjadi ‘kopal’ dan dijadikan bahan baku berbagai industri. Pohon damar (Agathis dammara) merupakan tanaman asli Maluku, Sulawesi, dan kepulauan Filipina. Namun kini telah dibudidayakan di berbagai tempat lain termasuk di pulau Jawa (Tarigan, 2004).

Pohon damar (Agathis dammara) berukuran besar dan tingginya bisa mencapai 65 meter. Batangnya silindris dan lurus dengan diameter mencapai 1,5 meter. Kulit batang berwarna abu-abu muda hingga coklat kemerahan. Kulit mengelupas dalam keping-keping yang tidak beraturan dan biasanya bopeng karena resinDaun berbentuk jorong (bulat memanjang) dengan panjang 6 – 8 cm dan lebar 2 – 3 cm. Bagian pangkal daun membaji sedangkan ujungnya runcing. Tulang daun sejajar dan banyak. Bunga jantan dan betina berada pada tandan yang berbeda, pada pohon yang sama (berumah satu) (Lathifah dan Yunianto, 2013).

Pohon damar tumbuh baik pada keadaan dengan persyaratan yaitu: (a) daerah dengan tinggi tempat 300 m sampai ± 1500 m di atas permukaan laut kecuali Agathis bornensis dapat tumbuh mulai dari ketinggian tempat 0-50 m di

atas permukaan laut, Agathis becarii pada ketinggian tempat 50 m dpl, Agathis hamii pada ketinggian tempat 0-900 m dpl dan Agathis alba pada ketinggian tempat mulai dari 200 m dpl (b) tanah relatif subur dan bersolum dalam kecuali Agathis bornensis pada tanah berpasir (hutan kerangas) (c) tipe iklim A dan B menurut Klasifikasi Schmidt-Ferguson dengan curah hujan 3000-4000 mm/tahun, tidak terdapat musim kemarau yang panjang, dengan paling sedikit 30 hari hujan selama 4 bulan (Departemen Kehutanan, 1990).

Sifat Kimia Tanah C – organik Tanah

Kandungan organik tanah biasanya diukur berdasarkan kandungan C-organik kandungan karbon (C) bahan C-organik bervariasi antara 45%-60% dan konversi C - organik menjadi bahan = % C-organik x 1,724. Kandungan bahan organik dipengaruhi oleh arus akumulasi bahan asli dan arus dekomposisi dan humifikasi yang sangat tergantung kondisi lingkungan (vegetasi, iklim, batuan, timbunan, dan praktik pertanian). Arus dekomposisi jauh lebih penting dari pada jumlah bahan organik yang ditambahkan. Pengukuran kandung bahan organik tanah dengan metode walkey and black ditentukan berdasarkan kandungan C-organik (Foth,1994).

Bahan organik tersebut dapat berasal dari tubuh manusia, hewan dan juga tumbuhan. Dalam hal ini, seperti yang telah diketahui bahwa bahan organik ini dapat tersusun dari bahan humus dan non humus. Dimana bahan non humus ini merupakan suatu organisme yang telah mati sedang melalui proses dekomposisi di sebagian tubuhnya untuk kemudian dapat digunakan sebagai unsur hara bagi mikroorganisme dan tanaman. Sedangkan bahan humus yaitu suatu organisme

mati yang telah sepenuhnya terdekomposisi sehingga menjadi salah satu lapisan tanah yang sangat subur. Faktor yang mempengaruhi dekomposisi bahan organik yaitu iklim yang dapat memperlambat bahkan mempercepat terjadinya proses dekomposisi, tipe penggunaan lahan dimana lahan tersebut berfungsi sebagai sumber bahan organik yang baik bagi lahan tersebut, bentuk lahan yang membantu dekomposisi pada proses pengumpulan bahan-bahan organik tersebut, dan adanya kegiatan manusia ini pun akan sangat berpengaruh pada terjadinya proses dekomposisi (Atmojo, 2003).

Ada tiga pokok utama pemasok C ke dalam tanah yaitu (a) tajuk tumbuhan/tanaman berupa seresah/sisa panen; (b) akar tumbuhan melalui akar – akar yang mati, ujung – ujung akar, eksudasi akar, respirasi akar; (c) biota tanah. Bahan organik (seresah dan akar yang mati) yang masuk kedalam tanah akan digunakan oleh herbivora, karnivora, dan mikrobia tanah heterotroph sebagai sumber energi mereka. Karbon (C) dapat hilang dari dalam tanah melalui beberapa cara antara lain; (a) evavotranspirasi, (b) terangkut panen, (c) dipergunakan oleh biota tanah, dan (d) erosi (Horwarth, 2007).

Kandungan karbon organik tanah akan terus menurun dengan semakin bertambahnya umur tanaman, baik yang ditanam dengan monokultur maupun yang ditanam dengan sistem agroforestri. Bahkan, kandungan dan total bahan organik tanah dapat menurun hingga 50% pada lahan hutan yang dialihkan menjadi lahan perkebunan kakao. Hal ini terjadi karena adanya pengelolaan oleh petani sehingga kandungan bahan organik tanah semakin menurun, dimana aliran permukaan dan erosi yang terus terjadi dalam lahan pertanian dan laju dekomposisi yang tinggi akibat berubahnya mikro iklim (Monde, 2009).

Secara umum terlihat bahwa penggunaan lahan non hutan menunjukan kadar C - organik yang relative rendah dibandingkan dengan penggunaan lahan

hutan, namun kerapatan vegetasi juga mempengaruhi terhadap kandungan C - organik. Rendahnya kandungan C - organik disebabkan pada lahan tegalan

memiliki jumlah tegakan pohon yang lebih sedikit dibandingkan dengan unit satuan lahan yang lain, sehingga kerapatan vegetasi penutup tanahnya pun kurang mampu untuk menahan energi air hujan yang jatuh ke tanah. Energi tersebut akan

menghancurkan struktur tanah dan menggerusnya sehingga kandungan C - organik yang banyak pada permukaan tanah terbawa aliran permukaan, selain

itu terbukanya kondisi tanah karena kurang rapatnya vegetasi meningkatkan suhu tanah yang berdampak pada laju dekomposisi bahan organik yang berlangsung cepat. Kandungan C-organik terkecil terdapat pada kemiringan 26-40%. Hal ini dikarenakan dengan kemiringan lereng yang curam menyebabkan energi kinetik aliran permukaan menjadi besar, sehingga energi untuk melepaskan dan mengangkut lapisan atas tanah juga menjadi besar energi tersebut merupakan salah satu syarat terjadinya erosi di suatu tempat. Setelah terjadi pengangkutan lapisan atas tersebut, kandungan C - organiknya menjadi rendah, karena lapisan atas tanah yang kaya akan bahan organik ikut hanyut oleh aliran permukaan menuju ke daerah yang lebih landai.

(Reza dan Suriadikusuma, 2015). Nitrogen Total Tanah

Sejumlah besar nitrogen dalam tanah berada dalam bentuk organik. Dengan demikian dekomposisi nitrogen merupakan sumber utama nitrogen tanah, disamping juga dapat berasal dari air hujan dan irigasi. Dekomposisi merupakan proses kimia yang menghasilkan N dalam bentuk ammonium dan dioksidasi lagi menjadi nitrat. Proses dekomposisi ini dilakukan oleh jasad renik yang peka

lingkungan. Jika bahan organik yang secara relatif mengandung lebih banyak C dari N ditambahkan ke tanah maka proses tersebut akan terbalik. Karena ada sumber energi yang banyak, jasad renik akan menggunakan N yang ada untuk pertumbuhan. Dengan demikian, N diikat pada tubuh jasad renik dan N akan kurang tersedia di tanah (Hakim, dkk., 1986).

Menurut Handayanto, dkk., (1999) pelepasan N dari bahan organik tergantung pada sifat fisik, kimia bahan organik, kondisi lingkungan, dan komunitas organisme perombak. Terhambatnya pelepasan N mungkin disebabkan oleh tingginya rasio C/N bahan organik dan immobilisasi N mikrobia yang terikat. Saat immobilisasi, N tersedia yang ada sebelumnya di dalam tanah diambil mikroorganisme untuk mencukupi kebutuhannya, karena tidak tercukupi dari bahan organik yang dirombak sehingga keberadaan N tersedia tanah menjadi sangat sedikit bagi tanaman yang akan menyebabkan tanaman kekurangan N.

Tinggi rendahnya kandungan nitrogen total tanah ini dipengaruhi oleh jenis dan sifat bahan organik yang diberikan terutama tingkat dekomposisinya. Dengan semakin lanjut dekomposisi suatu bahan organik maka semakin banyak pula nitrogen organik yang mengalami mineralisai sehingga akumulasi nitrogen di dalam tanah semakin besar jumlahnya (Yulnafatmawita, 2007).

Nitrogen dalam tanah berasal dari bahan organik tanah bahan organik halus dan bahan organik kasar, pengikatan oleh mikroorganisme dari N udara, pupuk, dan air hujan. Sumber N berasal dari atmosfer sebagai sumber primer, dan lainnya berasal dari aktifitas didalam tanah sebagai sumber sekunder. Fiksasi N secara simbiotik khususnya terdapat pada tanaman jenis leguminoseae sebagai bakteri tertentu. Bahan organik juga membebaskan N dan senyawa lainnya setelah

mengalami proses dekomposisi oleh aktifitas jasad renik tanah (Hardjowigeno 2003).

pH (Potensial Hidrogen) Tanah

Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah. Semakin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah, maka semakin masamlah tanah tersebut. Di dalam tanah selain ion H+ dan ion-ion lain ditemukan pula ion OH- yang jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya H+. Untuk tanah-tanah di Indonesia umumnya tanah-tanahnya bereaksi masam dengan pH 4,0 – 5,5 sehingga tanah dengan pH 6,0 – 6,5 sering telah dikatakan netral meskipun sebenarnya masih agak masam (Hardjowigeno, 2003).

Tanah-tanah di daerah beriklim basah berkembang pada kondisi iklim dengan curah hujan tinggi sepanjang tahun. Keadaan ini mendorong terjaadinya penurunan kadar kation-kation basa tanah (seperti Ca, Mg dan K) dan meningkatkan kemasaman tanah. Secara alami, alam telah memberikan suatu petunjuk yang mudah diketahui untuk mengenal tanah yang bereaksi masam. Keberadaan jenis gulma seperti jenis Melastoma, Dicranopteris dan alang-alang merupakan tanaman indikator pada tanah masam (Damanik, dkk., 2011).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengukuran pH tanah adalah 1) tekanan parsial CO2, dimana semakin besar CO2 maka pH tanah semakin rendah, 2) konsentrasi garam dalam suspense, 3) perbandingan tanah-pelarut dan 4) jenis garam pelarut yaitu penggunaan NaF, CaCl2, dan KCl (Mukhlis, 2007).

P - tersedia Tanah

Fosfor merupakan hara esensial bagi pertumbuhan tanaman.persoalan yang umum dihadapi oleh fosfor tanah adalah tidak semua fosfor tanah dapat

segera tersedia untuk tanaman,dalam hal ini sangat tergantung pada sifat dan ciri tanah serta pegelolaan tanah itu sendiri oleh manusia .disamping itu pertambahan fosfor ke dalam tanah tidak terjadi dengan pengikatan biokimia seperti halnya nitrogen,tetapi hanya bersumber dari deposit atau batuan dari mineral fosfor di dalam tanah. Ketersediaan P dipengaruhi sangat nyata oleh pH, bentuk ion P dalam tanah juga bergantung pada pH larutan .pada pH agak tinggi (basa) ion HPO42- adalah dominan,bila pH tanah turun ion H2PO4- danHPO42- akan dijumpai secara bersamaan.pada pH rendah bersenyawa dengan Al, Fe atau Mn, membentuk senyawa yang tidak larut ,sedangkan pada pH tinggi ion P yang larut dan diikat oleh Ca membentuk senyawa yang tidak larut (Hakim, dkk.,1986).

Pengaruh pupuk P terhadap peningkatan pH tanah karena adanya pelepasan sejumlah OH- ke dalam larutan akibat adsorpsi sebagian anion fosfat (H2PO4-) oleh oksida-hidrat Al dan Fe sehingga pH tanah meningkat. Selain itu ion Ca2+ dalam pupuk tersebut akan menggantikan ion H+ dan Al3+ pada kompleks adsorpsi, maka konsentrasi ion H+ dalam larutan berkurang dan konsentrasi ion OH- meningkat (Kaya, 2012). Pergerakan P di dalam tanah sangat lambat karena reaktivitas P yang tinggi dengan kation-kation dalam tanah dan P yang cepat dikonversi dalam bentuk P-organik oleh aktivitas mikroba (Hebbar et al., 2004). Konsentrasi hara P berdasarkan sifat umum secara empiris yaitu nilai sangat rendah 1 ppm, rendah 2 ppm, sedang 3 ppm, tinggi 9 ppm, dan sangat tinggi 13 ppm (Sulaeman, dkk., 2005).

Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), Fosfor dalam tanaman tetap berada dalam bentuk oksida, P yang telah diserap dalam bentuk H2PO4. Setelah diserap oleh akar, P mula-mula diangkut ke daun muda, kemudian dipindahkan ke

daun yang lebih tua. Ketersediaan fosfor dalam tanah jarang yang melebihi 0,01% dari P total karena fosfor dalam bentuk P-terikat oleh Fe, Al dan Ca di dalam tanah sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Ketersediaan P di dalam tanah tergantung reaksi keseimbangan antara berbagai bentuk P tanah, yakni P larut (soluble P), P terjerap (P labile), P mineral sekunder dan primer (P non labile), serta P organik (Ginting, dkk., 2006).

Ketersediaan dan bentuk-bentuk P di dalam tanah sangat erat hubungannnya dengan kemasaman (pH) tanah. Kemasaman dan kebasaan tanah dipengaruhi oleh jenis kation yang terjerap pada permukaan koloid tanah. Kation-kation utama yang terjerap ialah Al, H, Na, K, Ca, dan Mg. Apabila lebih banyak ion Al dan H yang terjerap, maka pH tanah menurun. Apabila ion basa lebih banyak terjerap (Na, K, Ca, Mg), pH tanah meningkat (Amran, dkk., 2015).

Pada kebanyakan tanah ketersediaan P maksimum dijumpai pada kisaran pH antara 5,5–7. Ketersediaan P akan menurun bila pH tanah lebih rendah dari 5,5 atau lebih tinggi dari 7. Adsorpsi P dalam larutan tanah oleh Fe dan Al oksida dapat menurun apabila pH meningkat. Apabila kemasaman makin rendah (pH makin tinggi) ketersediaan P juga akan berkurang oleh fiksasi Ca dan Mg yang banyak pada tanah-tanah alkalin. P sangat rentan untuk diikat baik pada kondisi masam maupun alkalin. Semakin lama antara P dan tanah bersentuhan, semakin banyak P terfiksasi. Dengan waktu Al akan diganti oleh Fe, sehingga kemungkinan akan terjadi bentuk Fe-P yang lebih sukar larut jika dibandingkan dengan Al–P. Faktor yang mempengaruhi ketersediaan P dalam tanah adalah waktu reaksi, temperatur dan bahan organik tanah. Tanah yang berada pada iklim panas umumnya lebih banyak mengikat P jika dibandingkan dengan tanah pada

iklim sedang. Iklim panas akan menyebabkan kadar oksida hidrous Al dan Fe dalam tanah cukup tinggi. Bahan organik tanah telah dapat mempengaruhi ketersediaan fosfat melalui hasil dekomposisinya yang menghasilkan asam-asam organik dan CO2 (Pane, 2010).

Basa-basa Tukar Tanah

Pada dasarnya, kalium dalam tanah berada dalam mineral yang melapuk dan melepaskan ion-ion kalium. Ion-ion tersebut diserap pada pertukaran kation dan siap tersedia untuk diambil oleh tanaman. Kalium yang tersedia menumpuk dalam tanah dengan rejim ustik atau berkelembaban lebih kering tanpa adanya pencucian. Pada umumnya tanah-tanah seperti itu netral atau basa, tidak membutuhkan kapur dan memerlukan pupuk kalium bahkan untuk hasil panen yang tinggi. Pencucian di kawasan basah menghilangkan kalium tersedia dan menciptakan keperluan akan pupuk kalium bila dikehendaki hasil-hasil panen yang sedang atau tinggi. Tanah organik terkenal miskin kalium karena tanah tersebut mengandung sedikit mineral yang mengandung kalium (Foth, 1994).

Dalam Hakim, dkk., (1986) juga dikatakan bahwa kalium yang tersedia hanya meliputi 1-2 % dari seluruh kalium yang terdapat pada kebanyakan tanah mineral. Ia dijumpai dalam tanah sebagai kalium dalam larutan tanah dan kalium yang dapat dipertukarkan dan diadsorbsi oleh permukaan koloid tanah. Sebagian besar dari kalium tersedia ini berupa kalium dapat dipertukarkan (900%). Kalium larutan tanah lebih mudah diserap oleh tanaman dan juga peka terhadap pencucian. Pada keadaan tertentu, misalnya pada pertanaman intensif atau pada tanah muda yang banyak mengandung mineral kalium dengan curah hujan tinggi, kalium tidak dapat dipertukarkan dapat juga diserap oleh tanaman. Kalsium

merupakan kation yang sering dihubungkan dengan kemasaman tanah, disebabkan ia dapat mengurangi efek kemasaman. Disamping itu ia juga memberikan efek yang menguntungkan terhadap sifat dari tanah. Pada tanah daerah basah, kalsium bersama-sama dengan ion hidrogen merupakan kation yang dominan pada kompleks adsorbsi.

Natrium merupakan unsur penyusun litosfer ke-6 setelah Ca, yaitu 2,75%, yang berperan penting dalam menentukan karakteristik tanah dan pertumbuhan tanaman terutama di daerah arid dan semi arid (kering dan agak kering) yang berdekatan dengan pantai, karena tingginya Na air laut. Suatu tanah disebut tanah alkali atau tanah salin jika KTK atau muatan negatif koloid-koloidnya dijenuhi oleh > 15% Na, yang mencerminkan unsur ini merupakan komponen-komponen dominan dari garam-garam larut yang ada. Pada tanah-tanah ini, mineral sumber utamanya adalah halit (NaCl) (Hanafiah, 2005).

Kapasitas Tukar Kation Tanah

Kapasitas tukar kation tanah sangat beragam pada setiap jenis tanah. Besarnya KTK tanah dipengaruhi oleh sifat dan ciri tanah itu sendiri antara lain (a) reaksi tanah (pH), (b) tekstur tanah atau jumlah liat, (c) jenis mineral liat, (d) bahan organik, dan (e) pengapuran dan pemupukan (Hakim, dkk., 1986).

Besarnya KTK tanah tergantung kepada (1) tekstur tanah, (2) tipe mineral liat, dan (3) kandungan bahan organik. Semakin tinggi kadar liat atau tekstur semakin halus maka KTK tanah akan semakin besar. Demikian juga pada kandungan bahan organik tanah, semakin tinggi bahan organik maka KTK tanah

Dokumen terkait