• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggal Lulus:

TINJAUAN PUSTAKA

Bijih Besi dan Besi Laterit

Mineral merupakan bahan-bahan anorganik alam yang ditemukan dalam kerak bumi sedangkan mineral yang digunakan sebagai sumber untuk produksi bahan-bahan secara komersial disebut bijih besi (Keenan et al. 1992). Bijih besi dapat berupa karang keras sekali, butiran kecil, dan tanah yang gembur dengan warna yang beragam dari hitam hingga merah bata. Besi adalah suatu logam yang sangat kuat dan keras. Namun, kekerasannya tidak melebihi nikel dan kobalt sehingga perlu diberi zat aditif atau dibentuk paduan logam dengan nikel, kobalt, atau logam lain (Meyer 1980).

Besi laterit merupakan jenis cebakan endapan residu yang dihasilkan dari proses pelapukan batuan dengan melibatkan dekomposisi, pengendapan kembali, dan pengumpulan secara kimiawi. Bijih besi tipe laterit umumnya terdapat di daerah puncak perbukitan dengan kemiringan <10%. Kemiringan tersebut menjadi salah satu faktor utama proses pelapukan secara kimiawi yang perannya lebih besar daripada proses mekanik. Sementara struktur dan karakteristik tanah dipengaruhi oleh daya larut mineral dan kondisi aliran air tanah (Sani 2008).

Sutisna (2007) menyatakan bahwa sifat-sifat dari cebakan laterit adalah tekstur dapat terlihat jelas, lapisan yang kompak, komposisi mineral besi beragam, kadar Fe berkisar antara 40.00 dan 60.00%, mengandung kadar Ni dan Cr yang lebih rendah daripada jenis laterit, yaitu rata-rata 0.41% Ni dan 2.10% Cr203, khususnya yang berasal dari bijih besi laterit, dapat mengandung bijih besi bog iron, dengan kandungan belerang dan mangan yang tinggi, sedangkan yang berasal sumber air

2

PENDAHULUAN

Bijih besi merupakan komoditi tambang yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku baja. Bijih besi banyak ditemukan di Indonesia, namun bahan baku baja masih didatangkan dari luar negeri. Berdasarkan BEI News (2005), Cina menggunakan bahan baku baja tertinggi di dunia, yaitu 16.7% pada tahun 2000. Bahan baku baja yang digunakan sebanyak 141.2 juta ton akan tetapi dua tahun kemudian langsung melonjak menjadi 211.2 juta ton. Produksi baja di Cina meningkat setiap tahunnya. Tahun 2003 sampai 2005, produksi baja di Cina berturut-tutut adalah 220, 300, dan 350 juta ton. Konsumsi baja di Indonesia menurut harian umum pelita (2009), tahun 1997 sampai 2000 adalah 36, 13, 14 , dan 26 kilogram per kapita yang mengalami penurunan pada tahun 1998 akibat krisis ekonomi. Negara lain seperti Filipina, Thailand, Malaysia, Jepang, AS, dan Korea Selatan berturut-turut adalah 44, 111, 274, 635, 472, dan 846 kilogram per kapita pada tahun 2000. Berdasarkan analisis internal yang dikeluarkan PT Krakatau Steel (KS), konsumsi baja canai panas pada tahun 2007 mencapai sekitar 2,91 juta ton dengan asumsi peningkatan 10%, pada tahun 2008 konsumsi baja domestik akan menyentuh 3.25 juta ton.

Kenaikan harga bahan baku baja di pasar internasional, memicu pemerintah dan para kuasa pertambangan (KP) untuk mulai memanfaatkan bahan baku lokal. Menurut Sutisna (2007), ada empat jenis cebakan bijih besi di Indonesia, yaitu skarn, placer, laterit, dan sedimen. Cebakan laterit jumlahnya paling melimpah, yaitu mencapai 1 miliar ton, sedangkan cebakan bijih besi skarn, placer, dan sedimen berturut-turut hanya mencapai 15, 159, dan 1 juta ton. Cebakan ini juga mengandung karbonat, silikat, besi, hematit, dan magnetit sehingga kadar besinya rendah, yaitu hanya 40-60%. Bahan baku lokal berupa bijih besi laterit dapat dijadikan pelet yang akan direduksi menjadi besi spons. Pemanfaatan bijih besi lokal ini dapat mengurangi biaya produksi sehingga harga jual bajanya dapat bersaing.

Kenaikan harga tersebut diakibatkan naiknya harga iron ore pellet dan minyak mentah yang terus meningkat membuat harga bahan baku dan biaya produksi baja menjadi tinggi. Salah satu penyebab kenaikan biaya produksi baja adalah tingginya harga impor bahan baku pelet. Selain itu teknologi berbasis gas yang digunakan saat ini seperti Hojalata Y Lamina (HYL) I dan HYL III (dengan

kapasitas kurang lebih 2 juta ton besi spons per tahun) semakin tidak kompetitif untuk dioperasikan. Permasalahan energi yang dihadapi industri baja nasional dapat diatasi dengan menggunakan reduktor batu bara. Menurut Raharjo (2006), Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki cadangan batu bara sekitar 38.8 miliar ton dengan 70% batu bara muda dan 30% batu bara kualitas tinggi.

Penelitian ini bertujuan melakukan pengkayaan kandungan bijih besi laterit dalam batuan besi dengan benefisiasi, memperoleh suhu optimum dalam reduksi bijih besi laterit, dan membandingkan hasil reduksi antara penambahan kapur dan penambahan bentonit.

TINJAUAN PUSTAKA

Bijih Besi dan Besi Laterit

Mineral merupakan bahan-bahan anorganik alam yang ditemukan dalam kerak bumi sedangkan mineral yang digunakan sebagai sumber untuk produksi bahan-bahan secara komersial disebut bijih besi (Keenan et al. 1992). Bijih besi dapat berupa karang keras sekali, butiran kecil, dan tanah yang gembur dengan warna yang beragam dari hitam hingga merah bata. Besi adalah suatu logam yang sangat kuat dan keras. Namun, kekerasannya tidak melebihi nikel dan kobalt sehingga perlu diberi zat aditif atau dibentuk paduan logam dengan nikel, kobalt, atau logam lain (Meyer 1980).

Besi laterit merupakan jenis cebakan endapan residu yang dihasilkan dari proses pelapukan batuan dengan melibatkan dekomposisi, pengendapan kembali, dan pengumpulan secara kimiawi. Bijih besi tipe laterit umumnya terdapat di daerah puncak perbukitan dengan kemiringan <10%. Kemiringan tersebut menjadi salah satu faktor utama proses pelapukan secara kimiawi yang perannya lebih besar daripada proses mekanik. Sementara struktur dan karakteristik tanah dipengaruhi oleh daya larut mineral dan kondisi aliran air tanah (Sani 2008).

Sutisna (2007) menyatakan bahwa sifat-sifat dari cebakan laterit adalah tekstur dapat terlihat jelas, lapisan yang kompak, komposisi mineral besi beragam, kadar Fe berkisar antara 40.00 dan 60.00%, mengandung kadar Ni dan Cr yang lebih rendah daripada jenis laterit, yaitu rata-rata 0.41% Ni dan 2.10% Cr203, khususnya yang berasal dari bijih besi laterit, dapat mengandung bijih besi bog iron, dengan kandungan belerang dan mangan yang tinggi, sedangkan yang berasal sumber air

panas dapat mengandung belerang yang relatif lebih tinggi, dan kadar Al lebih rendah dari tipe lateritik, yaitu sekitar 7.00%.

Benefisiasi dan Pembuatan Pelet

Bahan baku utama baja berupa bijih besi yang diolah dalam tanur pada suhu tinggi. Bijih besi yang masih tercampur dengan kotoran dapat dimurnikan dengan dicuci terlebih dahulu.

Menurut Novyanto (2007), proses pembuangan kotoran, gas, tanah liat, dan pasir adalah pencucian, pemecahan: batuan yang mengandung bijih besi dipecah dengan menggunakan mesin sehingga dihasilkan bijih besi dengan ukuran yang sama, sortir merupakan proses bijih besi melewati roda magnet yang mempunyai sifat kemagnetan kuat sehingga bijih besi terpisah antara kandungan Fe rendah dan kandungan Fe tinggi, dan pemanasan untuk menghilangkan kandungan air dan udara (gas) yang masih menempel di bijih besi.

Menurut Meyer (1980 ), pelet merupakan bulatan seperti kelereng yang dihasilkan dari bijih besi alam dengan ciri sebagai berikut: kandungan besi lebih dari 63%, daya serap air berkisar antara 25 dan 30%, ukuran distribusi antara diameter 9-15 mm, daya tahan pada tekan yang tinggi, kecenderungan untuk abrasi rendah, partikel tidak hilang saat pembakaran (tidak terjadi pengecilan dan komposisi mineralnya masih sama), mempunyai tekanan mekanik yang rata-rata pada tekanan panas selama reduksi di udara.

Secara garis besar proses pembuatan pelet melalui tiga tahap, yaitu 1) proses penyiapan bahan baku sebelum pembuatan pelet, 2) mencampur bahan campuran dalam tahapan ke-1 dengan air dan membentuknya menjadi bulatan-bulatan kecil dengan diameter 10-20 mm, 3) pembakaran, yaitu membakar pelet hasil tahapan ke-2 setelah dikeringkan untuk meningkatkan kekuatan.

Reduksi Bijih Besi

Proses penghilangan oksigen dan pengotor bijih besi disebut reduksi. Proses reduksi secara umum terbagi atas dua metode, yaitu reduksi langsung dan reduksi tidak langsung. Proses reduksi bijih besi secara tidak langsung dilakukan dalam tanur tinggi dengan reduktor berupa kokas batu bara dan suhu di atas titik lebur besi. Produk berupa lelehan logam Fe yang selanjutnya diumpankan ke dalam BOF (Basic Oxygen Furnace) dan sebagian kecil akan dicetak menjadi pig iron. Sementara Proses reduksi

langsung merupakan proses pemisahan Fe dari oksigen dengan reduktor berupa padatan seperti batu bara atau gas seperti metana (CH4). Proses reduksi ini dilakukan di bawah titik lebur sehingga produk yang dihasilkan dalam bentuk padatan (Sun 1997).

Nomura et al. (2007) menyatakan kebanyakan besi oksida direduksi menjadi logam besi oleh CO yang dihasilkan selama oksidasi karbon. Pada suhu 1200 oC, komponen berupa SiO2 dan FeO di dalam serbuk bijih besi dapat bereaksi menghasilkan suatu campuran FeO dan SiO2, yaitu fayalite (2FeO.SiO2) yang dapat mengisi pori-pori batu bara.

Reduksi Langsung dengan Reduktor Padatan dan Gas

Proses ini menggunakan reduktor padatan berupa batu bara atau batu arang untuk mereduksi bijih besi. Keseluruhan reaksi yang terjadi dapat dituliskan sebagai berikut (Pelton & Christopher 2000)

3Fe2O3+ C → 2Fe3O4 + CO, Fe3O4+ C → 3FeO + CO, FeO + C → Fe + CO,

Reaksi ini berjalan secara endotermik atau memerlukan panas. Panas yang diperlukan berasal dari udara dan pembakar. Bijih besi yang digunakan dalam proses reduksi langsung dengan reduktor karbon relatif berkadar Fe rendah (53%≤ Fe) serta tidak memerlukan energi panas untuk mereformasi gas alam sehingga penggunaan energi lebih efisien.

Persamaan reaksi reduksi bijih besi oleh gas CO dan H2 ditunjukkan oleh persamaan reaksi (Rosenqvist 1983), 3Fe2O3+ CO → 2Fe3O4 + CO2, Fe3O4+ CO → 3FeO + CO2, FeO + CO → Fe + CO2, atau 3Fe2O3 + H2→ 2Fe3O4 + H2O, Fe3O4 + H2 → 3FeO + H2O, FeO + H2→ Fe + H2O,

Reduksi langsung dengan reduktor gas memerlukan bahan baku bijih besi dengan kadar Fe yang relatif tinggi (60-67%) dan pengotor serendah mungkin (P ≤ 0.017%, S ≤ 0.011%) baik dalam bentuk pelet ataupun batuan bisa.

Batu bara

World Coal Institute (2004) menyatakan bahwa batu bara adalah sisa tumbuhan dari jaman prasejarah yang berubah bentuk, awalnya berakumulasi di rawa dan lahan gambut. Batu bara merupakan batuan organik

3

yang terdiri atas karbon, hidrogen, dan oksigen. Karakteristik batu bara tipe bituminus (A, B, C, dan D) dapat dilihat pada Tabel 1,

Tabel 1 Karakteristik batu bara (Grigore et al. 2007) Batu bara A B C D Analisis Proksimat (%) Kadar air 2.4 2.5 1.4 1.1 Kadar abu 5.6 7.7 7 9.8 Zat terbang 28.9 26.2 21.3 20.2 Karbon tetap 65.5 66.1 71.7 70 Analisis Abu (%) SiO2 61.4 53.6 56.9 48.3 Al2O3 28.3 28.4 18.3 37.9 Fe2O3 4.3 7.6 12.8 5.3 CaO 1.3 3 3.7 2.5 MgO 0.34 0.95 1.6 0.58 TiO2 1.5 1.4 1.1 1.4 Na2O 0.3 0.57 0.45 0.65 K2O 0.48 1 0.92 0.54 P2O5 0.79 1.7 1.3 1.9 Mn3O4 <0.02 0.05 0.06 0.03 SO3 0.26 0.76 2 0.32 Cr2O3 <0.02 <0.02 <0.02 <0.02 CuO <0.02 <0.02 <0.02 <0.02 V2O5 0.05 0.05 0.04 0.02 ZnO <0.02 <0.02 <0.02 <0.02 NiO <0.02 <0.02 <0.02 <0.02 BaO 0.03 0.15 0.09 0.22 SrO 0.04 0.08 0.05 0.13 Total 99.19 99.39 99.39 99.87

Menurut Raharjo (2008), berdasarkan proses pembentukannya di alam yang dikontrol oleh tekanan, panas, dan waktu umumnya dibagi dalam 5 kelas, yaitu 1) Antrasit: kelas batu bara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan metalik, mengandung 86.00-98.00% karbon dengan kadar air kurang dari 8.00%. 2) Bituminus mengandung 68.00-86.00% karbon dan berkadar air 8.00-10.00% dari bobotnya. Kelas batu bara ini paling banyak ditambang di Australia dan Amerika Serikat. Bituminus umumnya digunakan untuk pembangkit tenaga listrik. 3) Sub-bituminus: batu bara yang memiliki sifat di antara lignit dan bituminus. Permukaannya tidak mengkilap, warnanya cokelat gelap sampai kehitam-hitaman, serta bersifat lunak dan rapuh pada rentang menengah ke bawah. Akan tetapi, pada rentang menengah ke atas batu bara sub-bituminus mengkilap, sangat

hitam, keras, dan relatif kuat. Batu bara sub-bituminus memiliki sedikit karbon 37.70% dan banyak air (20.00-30.00% dari bobotnya), dan oleh karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus. 4) Lignit: jenis batu bara muda terdapat pada lapisan geologi atas. Batu bara lignit sangat lunak dan mengandung air 35.00-75.00% sedangkan kadar karbonnya rendah, kurang lebih 25.00-35.00%. 5) Gambut: berpori dan memiliki kadar air di atas 75.00% serta nilai kalori yang paling rendah.

Batu Kapur dan Bentonit

Batu kapur dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu secara organik, mekanik, atau kimia. Sebagian besar batu kapur yang terdapat di alam terjadi secara organik, yaitu berasal dari pengendapan cangkang kerang dan siput, atau ganggang. Batu kapur dapat berwarna putih susu, abu-abu, cokelat, bahkan hitam, bergantung pada keberadaan mineral pengotornya (Tekmira 2005). El-Geassy et al. (2007) menjelaskan bahwa bahan tambahan seperti CaO, MgO, dan SiO2 berperan penting dalam mengurangi indeks pemekaran maksimum disekitar suhu 1250 oC karena pemutusan CaO dari FeO pada lokasi-lokasi pengintian. Liu (2003) menjelaskan bahwa selain devolatilisasi batu bara dengan gas CO2

juga dihasilkan proses dekomposisi oleh batu kapur, reaksi dekomposisi batu kapur terjadi pada suhu ± 900 oC.

Mineral bentonit berdiameter kurang dari 2 µm dan terdiri atas berbagai macam mineral seperti silika, aluminium oksida, dan hidroksida yang dapat mengikat air. Bentonit diklasifikasikan dalam 2 kelompok, yaitu natrium dan kalsium bentonit. Natrium bentonit mengandung lebih banyak Na+ dibandingkan dengan Ca2+ dan Mg2+. Bentonit ini dapat mengembang hingga 8-15 kali apabila dicelupkan ke dalam air dan tetap terdispersi beberapa waktu di dalam air. Sementara kalsium bentonit memiliki lebih banyak Ca2+ dan Mg2+ daripada Na+. Kalsium bentonit kurang menyerap air, tetapi diaktifkan dengan asam agar kemampuan menyerap airnya baik dan tetap terdispersi dalam air (Syuhada et al. 2009). Saidi et al. (2004) menyatakan bahwa penggunaan bentonit dalam reduksi bijih besi dapat meningkatkan besi total dalam bentuk oksida. Selain itu, bentonit memiliki permukaan ion sehingga bermanfaat dalam pembuatan suatu salutan yang lengket pada butir-butir bijih besi. Kelengketan dari bentonit dapat

menghasilkan kekerasan sehingga melindungi pelet daritekanan tinggi.

Tinjauan Kinetika Reduksi

Kinetika reaksi reduksi bijih besi adalah kecepatan besi oksida untuk bertransformasi menjadi logam besi dengan melepaskan oksigen. Kecepatan reaksi reduksi bijih besi ditentukan oleh tinggi rendahnya kemampuan bijih besi tersebut untuk direduksi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu ukuran partikel, bentuk dan distribusi ukuran partikel, bobot jenis, porosity, struktur kristal, serta komposisi kimia (Ross 1980). Kinetika reduksi langsung menggunakan reduktor batu bara dipengaruhi oleh kombinasi beberapa mekanisme, yaitu perpindahan panas, perpindahan massa oleh konveksi, difusi fase gas, serta reaksi kimia dengan gasifikasi karbon. El-Geassy et al. (2007) menjelaskan bahwa ada banyak faktor yang memengaruhi reduksi besi oksida seperti komposisi bahan baku, basisitas, komposisi gas, dan suhu reduksi. Pengaruh komposisi gas terjadi pada perubahan volume dari besi oksida pada suhu 800-1100 oC.

Reaksi batu bara dan bijih besi merupakan suatu sistem yang kompleks. Perubahan dalam reaksi sangat dipengaruhi oleh parameter perpindahan panas yang meliputi ukuran, bentuk, bobot jenis partikel dan kecepatan aliran panas. Perpindahan panas yang terjadi dalam proses reduksi adalah perpindahan panas secara konduksi. Proses konduksi adalah perpindahan panas melalui zat padat. Dalam sistem reduksi langsung dengan karbon, mekanisme perpindahan panas yang paling berpengaruh adalah adalah konduksi dan konveksi (Sun 1998). Proses konduksi sangat bergantung pada suhu proses, sifat padatan dan fase gas yang terjadi sehingga nilai konduktifitas panas padatan merupakan salah satu hal penting dalam proses reduksi Konduktivitas panas yang tinggi akan meningkatkan kecepatan laju reaksi (Milandia 2005).

Perpindahan massa terjadi karena adanya gas CO dari batu bara yang bereaksi dengan bijih besi membentuk logam besi (Fe), sehingga oksigen dilepaskan dari bijih besi tersebut dan karbon (C) akan bereaksi dengan karbon dioksida (CO2) untuk membentuk CO. Aliran gas CO yang menyebabkan proses konveksi dan difusi dipengaruhi oleh perbedaan tekanan dan konsentrasi gas dalam sistem sehingga perpindahan massa dapat berjalan baik (Milandia 2005).

Seki dan Nagata (2006) menjelaskan bahwa besi oksida yang berisi karbon dapat

direduksi pada suhu lebih rendah. Penurunan suhu ketika reduksi bijih besi dengan karbon terjadi saat peningkatan efisiensi energi dan karbon sebagai CO2. Reaksi kimia yang terjadi pada proses reduksi langsung bijih besi dengan reduktor batu bara meliputi devolatilisasi batu bara, reduksi bijih besi dengan gas, dan gasifikasi arang batu bara (char). Devolatilisasi batu bara mulai terjadi lebih awal pada suhu rendah dengan laju reaksi lebih cepat dari reaksi reduksi bijih besi maupun gasifikasi arang batu bara. Kesetimbangan reaksi dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1 Diagram kesetimbangan gas CO dan CO2 untuk reduksi bijih besi (Ross 1980).

X-Ray Fluorescence Spectrofotometer

dan Carbon/Sulfur Determinator Fluoresensi dan absorpsi sinar-X telah digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif penentuan unsur-unsur. Sumber sinar-X untuk keperluan analisis dapat berasal dari tabung sinar-X, radioisotop, dan sinar-X sekunder. Serapan sinar-X menimbulkan ion tereksitasi tingkat elektronik, saat kembali ke keadaan dasar akan melibatkan transisi tingkat energi yang lebih tinggi. Setelah beberapa saat, ion kembali ke keadaan dasar melalui serangkaian transisi elektronik yang khas dengan memancarkan radiasi pada panjang gelombang yang sama dengan sinar yang menyebabkan eksitasi. Komponen alatnya adalah sumber sinar, pemilih panjang gelombang (filter), sel (tempat sampel), detektor atau tranduser, dan pemprosesan sinar dan luaran (Skoog et al. 1998).

5

Carbon/sulfur determinator merupakan alat untuk analisis bahan-bahan seperti batu bara, semen, dan bijih-bijih mineral. Carbon determinator menggunakan suatu carbon infrared cell untuk menentukan persen karbon pada setiap sampel. Elemental Determinators itu dapat diatur dengan pilihan berikut: karbon, belerang rendah, belerang tinggi, belerang dan karbon rendah, belerang dan karbon tinggi, belerang rendah dan belerang tinggi, dan cakupan rangkap (karbon dan belerang rendah dan belerang tinggi) (Labfit 2008). Carbon/sulfur determinator menggunakan cawan khusus untuk analisisnya sehingga dipanaskan dahulu di dalam tungku perapian pada suhu yang tinggi antara 1250°C dan 1350°C (Eltra 2005).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bijih besi dari Bayah, H2O2 30%, HF 38-40%, K2S2O7,SnCl2 10%,

HgCl2 10%, larutan standar EDTA 0.1 M, indikator Fe (difenilamina sulfonat) 0.1%, larutan standar K2Cr2O7 0.1 N, indikator murexide, kapur, bentonit, Br2, TEA (trietanolamin), FeCl3 15%, dan batu bara. Gambar bahan baku dapat dilihat pada Lampiran 1.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas, magnet, hot plate, mesin penggiling (labotary disk mill), mesin pengepresan briket (briquetting press machine), spektrofotometer sinar-X fluoresensi, tanur (furnace), cawan platina, kertas saring Whatman no. 41, cawan porselen, ayakan 150 mesh, neraca analitik, neraca kasar, sudip, bulp, oven, geockel glass, dan carbon/sulfur determinator. Gambar peralatan dapat dilihat pada Lampiran 2.

Lingkup Penelitian

Penelitian ini meliputi beberapa tahap, yaitu preparasi sampel, analisis bijih besi (meliputi silikat, Fe total, dan Fe2+), pembuatan besi spons (reduksi bijih besi), analisis besi spons (meliputi Fe total dan Fe metal), analisis komposisi kimia dari kapur dan bentonit (meliputi CaO, MgO, silikat), dan analisis batu bara (meliputi kadar air, volatile matter (VM), kadar fixed carbon (FC), dan kadar abu). Metode analisis mengacu pada American Society for Testing and Materials (ASTM) tahun 2003 sedangkan diagram alir penelitian dapat dilihat pada Lampiran 3.

Preparasi Sampel

Batuan besi yang mengandung bijih besi laterit dikeringkan dalam oven, didinginkan, digiling halus, dan diayak dengan ayakan ukuran 150 mesh. Bijih besi hasil pengayakan dikocok agar homogen. Selanjutnya dilakukan analisis komposisi kimia menggunakan x-ray fluoresence (XRF) spektrofotometer dan metode basah sehingga didapatkan data komposisi kimia yang terkandung dalam sampel sebelum dilakukan benefiasi. Benefiasi dilakukan pada sampel melalui pencucian berulang menggunakan air dan deterjen dengan bantuan magnet, lalu dilakukan analisis komposisi kimia kembali menggunakan XRF spektrofotometer dan metode basah. Diagram alir proses benefisiasi dapat dilihat pada Lampiran 4.

Reduksi Bijih Besi

Bijih besi yang telah digiling lalu diayak ukuran yang lolos 150 mesh. Campuran hasil gilingan (yang lolos dari ayakan 150 mesh) dengan batu bara dan kapur yang halus lalu diaduk hingga homogen. Campuran tersebut ditambahkan air sehingga dapat dilakukan pembuatan pelet secara manual lalu dikeringkan. Masukkan pelet yang sudah kering dalam tanurpada suhu 800, 900, 1000, 1100 dan 1200 oC selama 60 menit. Besi spons didinginkan pada suhu kamar, digiling sampai 150 mesh, lalu dilakukan uji Fe metal dan Fe total.

Standardisasi Kalium Dikromat

Sebanyak 0.3 gram Fe standar (61.09%) ditambah HCl pekat hingga larut sempurna kemudian ditambahkan akuades 200 ml lalu dipanaskan hingga mendidih ldan reduksi dengan SnCl2 10% hingga jernih. Sebanyak 15 ml HgCl2 10% dan 10 ml H3PO4 85% ditambahkan pada larutan kemudian ditambahkan indikator Fe 0.1%, lalu titrasi dengan larutan standar K2Cr2O7 hingga berwarna ungu. Catat volume K2Cr2O7 yang digunakan. Rumus perhitungan pada Lampiran 5.

Analisis Fe Total

Sebanyak 0.3 sampel ditimbang dengan neraca analitik lalu dimasukkan dalam erlenmeyer. Sampel dilarutkan dengan 25 ml larutan HCl pekat. Setelah sampel larut, kemudian encerkan dengan akuades sebanyak 200 ml dan dididihkan hingga menimbulkan gelembung. Reduksi dengan beberapa tetes SnCl2 10% hingga tidak berwarna lalu didinginkan pada suhu kamar. Sebanyak 15

5

Carbon/sulfur determinator merupakan alat untuk analisis bahan-bahan seperti batu bara, semen, dan bijih-bijih mineral. Carbon determinator menggunakan suatu carbon infrared cell untuk menentukan persen karbon pada setiap sampel. Elemental Determinators itu dapat diatur dengan pilihan berikut: karbon, belerang rendah, belerang tinggi, belerang dan karbon rendah, belerang dan karbon tinggi, belerang rendah dan belerang tinggi, dan cakupan rangkap (karbon dan belerang rendah dan belerang tinggi) (Labfit 2008). Carbon/sulfur determinator menggunakan cawan khusus untuk analisisnya sehingga dipanaskan dahulu di dalam tungku perapian pada suhu yang tinggi antara 1250°C dan 1350°C (Eltra 2005).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam

Dokumen terkait