• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laterit Iron Ore Reduction from Bayah, Banten Province with Coal Reductor.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Laterit Iron Ore Reduction from Bayah, Banten Province with Coal Reductor."

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

REDUKSI BIJIH BESI LATERIT DARI BAYAH PROVINSI

BANTEN DENGAN REDUKTOR BATU BARA

DADANG HIDAYAT

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

Dadang Hidayat. Reduksi Bijih Besi Laterit dari Bayah Provinsi Banten dengan Reduktor

Batubara. Dibimbing oleh Dondin Sajuthi dan Idrus Bambang Iryanto.

Bijih besi banyak ditemukan di Indonesia. Permasalahan energi yang dihadapi industri

baja nasional dapat diatasi dengan menggunakan reduktor batubara. Indonesia merupakan

salah satu negara yang memiliki cadangan batubara, yaitu sekitar 38,8 milyar ton.

Penelitian ini bertujuan melakukan pengkayaan kandungan bijih besi laterit dalam batuan

besi dengan benefisiasi, memperoleh suhu optimum dalam reduksi bijih besi laterit, dan

membandingkan hasil reduksi antara penambahan kapur dan penambahan bentonit.

Penelitian ini meliputi beberapa tahap, yaitu preparasi sampel, analisis bijih besi (meliputi

silikat, Fe total, dan Fe

2+

), pembuatan besi spons (reduksi bijih besi), analisis besi spons

(meliputi Fe total dan Fe metal), analisis komposisi kimia dari kapur dan bentonit

(meliputi CaO, MgO, silikat), dan analisis batubara (meliputi kadar air,

volatile matter

(vm), kadar

fixed carbon

(fc), dan kadar abu). Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan maka diperoleh bahwa kadar silikat menurun setelah dilakukan benefisiasi,

yaitu 5.90% menjadi 2.69% sehingga kadar Fe total dapat meningkat, yaitu 56.70%

menjadi 64.51%. Batubara yang digunakan termasuk jenis sub-bituminus dengan kadar

fixed carbon

47.19% karenanya cukup efektif untuk proses reduksi. Penambahan bentonit

berfungsi sebagai perekat sehingga pelet yang diperoleh lebih baik (cukup keras) dan

kadar metalisasi lebih tinggi dibandingkan penambahan kapur dengan persen metalisasi

berturut-turut, yaitu 82.11% dan 80.63%. Suhu optimum yang diperoleh untuk mereduksi

bijih besi laterit dari bayah berkisar antara 1000

o

C dan 1100

o

C. Bijih besi laterit dari

bayah cukup dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku alternatif untuk produksi baja.

ABSTRACT

Dadang Hidayat. Laterit Iron Ore Reduction from Bayah, Banten Province with Coal

Reductor. Supervised by Dondin Sajuthi and Idrus Bambang Iryanto.

(3)

REDUKSI BIJIH BESI LATERIT DARI BAYAH PROVINSI

BANTEN DENGAN REDUKTOR BATU BARA

DADANG HIDAYAT

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul

:

Reduksi Bijih Besi Laterit dari Bayah Provinsi Banten dengan Reduktor

Batu bara

Nama

:

Dadang Hidayat

NIM

:

G44052926

Menyetujui:

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D

Idrus Bambang Iryanto, ST

NIP 19541027 19767603 1 001

NIK 6495

Mengetahui:

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Dr. drh. Hasim, DEA

NIP 19610328 198601 1 002

(5)

PRAKATA

Bismillahirrahmanirrahim…

Alhamdulillah

,

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah atas segala rahmat

dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah

yang berjudul “

Reduksi Bijih Besi Laterit dari

Bayah Provinsi Banten dengan Reduktor Batu bara

” dapat diselesaikan.

Kegiatan

penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2009 di

Laboratorium Kimia Pengendalian Kualitas Besi Spons Bahan Baku dan Bahan

Pembantu (PKBS BB dan BP) Divisi Pengendalian Kualitas PT Krakatau Steel Cilegon,

Banten.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST,

Ph.D dan Bapak Idrus Bambang Iryanto, ST selaku pembimbing yang telah memberikan

saran dan masukannya kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada ibu

dan bapak tercinta (Hj. Desy Rohayati dan H. Dulmukin), kakak dan adik tersayang

(Tedy Hidayat, ST dan Ainurrohmah), dan teman dekat Agustiarani Asih serta seluruh

keluarga yang telah memberikan semangat dan dukungannya.

Ucapan terima kasih juga, penulis sampaikan kepada Bapak Didik Eko Trimulyanto

selaku training koordinator, Bapak Runtut Bagus Pambudi selaku

superintendent

laboratorium kimia, Bapak M. Irfan selaku manager pengendalian kualitas, Bapak M.

Najib selaku manager keamanan, Ibu Dewi Handayani selaku manager PEAD, dan Bapak

Nurjaya selaku koordinator PKL&Riset yang telah memberi kesempatan dan izin untuk

penelitian di PT Krakatau Steel.

Selain itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Hj. Yani, Bapak Dede

Sukandar, Bapak Kusman, dan Bapak Misto yang telah memberikan arahan dalam

melakukan analisis di laboratorium. Fahmi, Agis, dan Desman dari Teknik Metalurgi

Untirta, temen-teman di tempat riset (Icha, Ayu, Ria, Anggi, dan Wida), teman-teman

kimia 42 IPB (Herman, Hengki, Redo, Bowo, Ecep, Reni, Iki, Mega, dan Janti lain-lain)

dan teman-teman Asrama Sylvasari IPB yang telah membantu dan tukar pengetahuan.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Juni 2009

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 23 Januari 1987 dari pasangan H. Dulmukin

dan Hj. Desy Rohayati sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menjalankan

pendidikan formal mulai dari taman kanak-kanak (TK) sampai perguruan tinggi (PT).

Tahun 2002 sampai 2005 di SMA Negeri 2 Krakatau Steel Cilegon. Tahun 2005,

penulis melanjutkan studi di Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Penulis melakukan praktik lapangan pada tahun 2008 di PT Krakatau Steel, Cilegon

dengan judul laporan adalah proses percobaan pembuatan besi spons dari

scale wire rod

mill

. Selama perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi kampus antara lain Dewan

Keluarga Mushala As-Shaf Asrama Putra Tingkat Persiapan Bersama IPB tahun

2005/2006, Organisasi Mahasiswa Daerah Keluarga Mahasiswa Banten tahun 2005/2006,

Forum for Scientific Studies

tahun 2005/2007, Lembaga Dakwah Kampus Al-Hurriyyah

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

PENDAHULUAN

……...

... 1

TINJAUAN PUSTAKA

Bijih Besi dan Besi Laterit... 1

Benefisiasi dan Pembuatan Pelet... 2

Reduksi Bijih Besi

………..………

2

Reduksi Langsung dengan Reduktor Padatan dan Gas... 2

Batu bara... 2

Batu Kapur dan Bentonit... 3

Tinjauan Kinetika Reduksi... 4

X-Ray Fluorescence Spectrofotometer dan Carbon/Sulfur Determinator

... 4

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat... 5

Lingkup Penelitian... 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengkayaan Kandungan Bijih Besi Laterit dengan Benefisiasi... 7

Pengaruh Suhu Pada Persen Reduksi Bijih Besi Laterit... 8

Pengaruh Suhu Pada Persen Metalisasi Bijih Besi Laterit... 9

Perbandingan Penambahan Kapur dan Bentonit... 10

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ... 11

Saran... 11

DAFTAR PUSTAKA... 11

(8)

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram kesetimbangan gas CO dan CO

2

untuk reduksi bijih besi

………

.. 4

2 Pengaruh suhu pada persen reduksi bijih besi laterit dari Bayah... 8

3 Pengaruh suhu pada persen karbon setelah proses reduksi

bijih besi laterit dari Bayah... 9

4 Pengaruh suhu pada persen metalisasi bijih besi laterit dari Bayah... 10

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Bahan baku dan hasil percobaan... 14

2 Alat yang digunakan dalam percobaan

……….

15

3 Diagram alir

reduksi bijih besi ………..

16

4 Diagram alir benefisiasi... 17

5 Rumus-rumus perhitungan pada metode analisis

………..

18

6 Data hasil pengujian

…………

...

...……...

19

(9)

PENDAHULUAN

Bijih besi merupakan komoditi tambang yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku baja. Bijih besi banyak ditemukan di Indonesia, namun bahan baku baja masih didatangkan dari luar negeri. Berdasarkan BEI News (2005), Cina menggunakan bahan baku baja tertinggi di dunia, yaitu 16.7% pada tahun 2000. Bahan baku baja yang digunakan sebanyak 141.2 juta ton akan tetapi dua tahun kemudian langsung melonjak menjadi 211.2 juta ton. Produksi baja di Cina meningkat setiap tahunnya. Tahun 2003 sampai 2005, produksi baja di Cina berturut-tutut adalah 220, 300, dan 350 juta ton. Konsumsi baja di Indonesia menurut harian umum pelita (2009), tahun 1997 sampai 2000 adalah 36, 13, 14 , dan 26 kilogram per kapita yang mengalami penurunan pada tahun 1998 akibat krisis ekonomi. Negara lain seperti Filipina, Thailand, Malaysia, Jepang, AS, dan Korea Selatan berturut-turut adalah 44, 111, 274, 635, 472, dan 846 kilogram per kapita pada tahun 2000. Berdasarkan analisis internal yang dikeluarkan PT Krakatau Steel (KS), konsumsi baja canai panas pada tahun 2007 mencapai sekitar 2,91 juta ton dengan asumsi peningkatan 10%, pada tahun 2008 konsumsi baja domestik akan menyentuh 3.25 juta ton.

Kenaikan harga bahan baku baja di pasar internasional, memicu pemerintah dan para kuasa pertambangan (KP) untuk mulai memanfaatkan bahan baku lokal. Menurut Sutisna (2007), ada empat jenis cebakan bijih besi di Indonesia, yaitu skarn, placer, laterit, dan sedimen. Cebakan laterit jumlahnya paling melimpah, yaitu mencapai 1 miliar ton, sedangkan cebakan bijih besi skarn, placer, dan sedimen berturut-turut hanya mencapai 15, 159, dan 1 juta ton. Cebakan ini juga mengandung karbonat, silikat, besi, hematit, dan magnetit sehingga kadar besinya rendah, yaitu hanya 40-60%. Bahan baku lokal berupa bijih besi laterit dapat dijadikan pelet yang akan direduksi menjadi besi spons. Pemanfaatan bijih besi lokal ini dapat mengurangi biaya produksi sehingga harga jual bajanya dapat bersaing.

Kenaikan harga tersebut diakibatkan naiknya harga iron ore pellet dan minyak mentah yang terus meningkat membuat harga bahan baku dan biaya produksi baja menjadi tinggi. Salah satu penyebab kenaikan biaya produksi baja adalah tingginya harga impor bahan baku pelet. Selain itu teknologi berbasis gas yang digunakan saat ini seperti Hojalata Y Lamina (HYL) I dan HYL III (dengan

kapasitas kurang lebih 2 juta ton besi spons per tahun) semakin tidak kompetitif untuk dioperasikan. Permasalahan energi yang dihadapi industri baja nasional dapat diatasi dengan menggunakan reduktor batu bara. Menurut Raharjo (2006), Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki cadangan batu bara sekitar 38.8 miliar ton dengan 70% batu bara muda dan 30% batu bara kualitas tinggi.

Penelitian ini bertujuan melakukan pengkayaan kandungan bijih besi laterit dalam batuan besi dengan benefisiasi, memperoleh suhu optimum dalam reduksi bijih besi laterit, dan membandingkan hasil reduksi antara penambahan kapur dan penambahan bentonit.

TINJAUAN PUSTAKA

Bijih Besi dan Besi Laterit

Mineral merupakan bahan-bahan anorganik alam yang ditemukan dalam kerak bumi sedangkan mineral yang digunakan sebagai sumber untuk produksi bahan-bahan secara komersial disebut bijih besi (Keenan et al. 1992). Bijih besi dapat berupa karang keras sekali, butiran kecil, dan tanah yang gembur dengan warna yang beragam dari hitam hingga merah bata. Besi adalah suatu logam yang sangat kuat dan keras. Namun, kekerasannya tidak melebihi nikel dan kobalt sehingga perlu diberi zat aditif atau dibentuk paduan logam dengan nikel, kobalt, atau logam lain (Meyer 1980).

Besi laterit merupakan jenis cebakan endapan residu yang dihasilkan dari proses pelapukan batuan dengan melibatkan dekomposisi, pengendapan kembali, dan pengumpulan secara kimiawi. Bijih besi tipe laterit umumnya terdapat di daerah puncak perbukitan dengan kemiringan <10%. Kemiringan tersebut menjadi salah satu faktor utama proses pelapukan secara kimiawi yang perannya lebih besar daripada proses mekanik. Sementara struktur dan karakteristik tanah dipengaruhi oleh daya larut mineral dan kondisi aliran air tanah (Sani 2008).

Sutisna (2007) menyatakan bahwa sifat-sifat dari cebakan laterit adalah tekstur dapat terlihat jelas, lapisan yang kompak, komposisi mineral besi beragam, kadar Fe berkisar antara 40.00 dan 60.00%, mengandung kadar Ni dan Cr yang lebih rendah daripada jenis laterit, yaitu rata-rata 0.41% Ni dan 2.10% Cr203, khususnya yang berasal dari bijih besi

(10)

2

panas dapat mengandung belerang yang relatif lebih tinggi, dan kadar Al lebih rendah dari tipe lateritik, yaitu sekitar 7.00%.

Benefisiasi dan Pembuatan Pelet

Bahan baku utama baja berupa bijih besi yang diolah dalam tanur pada suhu tinggi. Bijih besi yang masih tercampur dengan kotoran dapat dimurnikan dengan dicuci terlebih dahulu.

Menurut Novyanto (2007), proses pembuangan kotoran, gas, tanah liat, dan pasir adalah pencucian, pemecahan: batuan yang mengandung bijih besi dipecah dengan menggunakan mesin sehingga dihasilkan bijih besi dengan ukuran yang sama, sortir merupakan proses bijih besi melewati roda magnet yang mempunyai sifat kemagnetan kuat sehingga bijih besi terpisah antara kandungan Fe rendah dan kandungan Fe tinggi, dan pemanasan untuk menghilangkan kandungan air dan udara (gas) yang masih menempel di bijih besi.

Menurut Meyer (1980 ), pelet merupakan bulatan seperti kelereng yang dihasilkan dari bijih besi alam dengan ciri sebagai berikut: kandungan besi lebih dari 63%, daya serap air berkisar antara 25 dan 30%, ukuran distribusi antara diameter 9-15 mm, daya tahan pada tekan yang tinggi, kecenderungan untuk abrasi rendah, partikel tidak hilang saat pembakaran (tidak terjadi pengecilan dan komposisi mineralnya masih sama), mempunyai tekanan mekanik yang rata-rata pada tekanan panas selama reduksi di udara.

Secara garis besar proses pembuatan pelet melalui tiga tahap, yaitu 1) proses penyiapan bahan baku sebelum pembuatan pelet, 2) mencampur bahan campuran dalam tahapan ke-1 dengan air dan membentuknya menjadi bulatan-bulatan kecil dengan diameter 10-20 mm, 3) pembakaran, yaitu membakar pelet hasil tahapan ke-2 setelah dikeringkan untuk meningkatkan kekuatan.

Reduksi Bijih Besi

Proses penghilangan oksigen dan pengotor bijih besi disebut reduksi. Proses reduksi secara umum terbagi atas dua metode, yaitu reduksi langsung dan reduksi tidak langsung. Proses reduksi bijih besi secara tidak langsung dilakukan dalam tanur tinggi dengan reduktor berupa kokas batu bara dan suhu di atas titik lebur besi. Produk berupa lelehan logam Fe yang selanjutnya diumpankan ke dalam BOF (Basic Oxygen Furnace) dan sebagian kecil akan dicetak menjadi pig iron. Sementara Proses reduksi

langsung merupakan proses pemisahan Fe dari oksigen dengan reduktor berupa padatan seperti batu bara atau gas seperti metana (CH4). Proses reduksi ini dilakukan di bawah

titik lebur sehingga produk yang dihasilkan dalam bentuk padatan (Sun 1997).

Nomura et al. (2007) menyatakan kebanyakan besi oksida direduksi menjadi logam besi oleh CO yang dihasilkan selama oksidasi karbon. Pada suhu 1200 oC, komponen berupa SiO2 dan FeO di dalam

serbuk bijih besi dapat bereaksi menghasilkan suatu campuran FeO dan SiO2, yaitu fayalite

(2FeO.SiO2) yang dapat mengisi pori-pori

batu bara.

Reduksi Langsung dengan Reduktor Padatan dan Gas

Proses ini menggunakan reduktor padatan berupa batu bara atau batu arang untuk mereduksi bijih besi. Keseluruhan reaksi yang terjadi dapat dituliskan sebagai berikut (Pelton & Christopher 2000)

3Fe2O3+ C → 2Fe3O4 + CO,

Fe3O4+ C → 3FeO + CO, FeO + C → Fe + CO,

Reaksi ini berjalan secara endotermik atau memerlukan panas. Panas yang diperlukan berasal dari udara dan pembakar. Bijih besi yang digunakan dalam proses reduksi langsung dengan reduktor karbon relatif berkadar Fe rendah (53%≤ Fe) serta tidak memerlukan energi panas untuk mereformasi gas alam sehingga penggunaan energi lebih efisien.

Persamaan reaksi reduksi bijih besi oleh gas CO dan H2 ditunjukkan oleh persamaan

reaksi (Rosenqvist 1983),

3Fe2O3+ CO → 2Fe3O4 + CO2,

Fe3O4+ CO → 3FeO + CO2, FeO + CO → Fe + CO2,

atau

3Fe2O3 + H2→ 2Fe3O4 + H2O,

Fe3O4 + H2 → 3FeO + H2O,

FeO + H2→ Fe + H2O,

Reduksi langsung dengan reduktor gas memerlukan bahan baku bijih besi dengan kadar Fe yang relatif tinggi (60-67%) dan pengotor serendah mungkin (P ≤ 0.017%, S ≤ 0.011%) baik dalam bentuk pelet ataupun batuan bisa.

Batu bara

(11)

REDUKSI BIJIH BESI LATERIT DARI BAYAH PROVINSI

BANTEN DENGAN REDUKTOR BATU BARA

DADANG HIDAYAT

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

ABSTRAK

Dadang Hidayat. Reduksi Bijih Besi Laterit dari Bayah Provinsi Banten dengan Reduktor

Batubara. Dibimbing oleh Dondin Sajuthi dan Idrus Bambang Iryanto.

Bijih besi banyak ditemukan di Indonesia. Permasalahan energi yang dihadapi industri

baja nasional dapat diatasi dengan menggunakan reduktor batubara. Indonesia merupakan

salah satu negara yang memiliki cadangan batubara, yaitu sekitar 38,8 milyar ton.

Penelitian ini bertujuan melakukan pengkayaan kandungan bijih besi laterit dalam batuan

besi dengan benefisiasi, memperoleh suhu optimum dalam reduksi bijih besi laterit, dan

membandingkan hasil reduksi antara penambahan kapur dan penambahan bentonit.

Penelitian ini meliputi beberapa tahap, yaitu preparasi sampel, analisis bijih besi (meliputi

silikat, Fe total, dan Fe

2+

), pembuatan besi spons (reduksi bijih besi), analisis besi spons

(meliputi Fe total dan Fe metal), analisis komposisi kimia dari kapur dan bentonit

(meliputi CaO, MgO, silikat), dan analisis batubara (meliputi kadar air,

volatile matter

(vm), kadar

fixed carbon

(fc), dan kadar abu). Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan maka diperoleh bahwa kadar silikat menurun setelah dilakukan benefisiasi,

yaitu 5.90% menjadi 2.69% sehingga kadar Fe total dapat meningkat, yaitu 56.70%

menjadi 64.51%. Batubara yang digunakan termasuk jenis sub-bituminus dengan kadar

fixed carbon

47.19% karenanya cukup efektif untuk proses reduksi. Penambahan bentonit

berfungsi sebagai perekat sehingga pelet yang diperoleh lebih baik (cukup keras) dan

kadar metalisasi lebih tinggi dibandingkan penambahan kapur dengan persen metalisasi

berturut-turut, yaitu 82.11% dan 80.63%. Suhu optimum yang diperoleh untuk mereduksi

bijih besi laterit dari bayah berkisar antara 1000

o

C dan 1100

o

C. Bijih besi laterit dari

bayah cukup dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku alternatif untuk produksi baja.

ABSTRACT

Dadang Hidayat. Laterit Iron Ore Reduction from Bayah, Banten Province with Coal

Reductor. Supervised by Dondin Sajuthi and Idrus Bambang Iryanto.

(13)

REDUKSI BIJIH BESI LATERIT DARI BAYAH PROVINSI

BANTEN DENGAN REDUKTOR BATU BARA

DADANG HIDAYAT

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)

Judul

:

Reduksi Bijih Besi Laterit dari Bayah Provinsi Banten dengan Reduktor

Batu bara

Nama

:

Dadang Hidayat

NIM

:

G44052926

Menyetujui:

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D

Idrus Bambang Iryanto, ST

NIP 19541027 19767603 1 001

NIK 6495

Mengetahui:

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Dr. drh. Hasim, DEA

NIP 19610328 198601 1 002

(15)

PRAKATA

Bismillahirrahmanirrahim…

Alhamdulillah

,

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah atas segala rahmat

dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah

yang berjudul “

Reduksi Bijih Besi Laterit dari

Bayah Provinsi Banten dengan Reduktor Batu bara

” dapat diselesaikan.

Kegiatan

penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2009 di

Laboratorium Kimia Pengendalian Kualitas Besi Spons Bahan Baku dan Bahan

Pembantu (PKBS BB dan BP) Divisi Pengendalian Kualitas PT Krakatau Steel Cilegon,

Banten.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST,

Ph.D dan Bapak Idrus Bambang Iryanto, ST selaku pembimbing yang telah memberikan

saran dan masukannya kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada ibu

dan bapak tercinta (Hj. Desy Rohayati dan H. Dulmukin), kakak dan adik tersayang

(Tedy Hidayat, ST dan Ainurrohmah), dan teman dekat Agustiarani Asih serta seluruh

keluarga yang telah memberikan semangat dan dukungannya.

Ucapan terima kasih juga, penulis sampaikan kepada Bapak Didik Eko Trimulyanto

selaku training koordinator, Bapak Runtut Bagus Pambudi selaku

superintendent

laboratorium kimia, Bapak M. Irfan selaku manager pengendalian kualitas, Bapak M.

Najib selaku manager keamanan, Ibu Dewi Handayani selaku manager PEAD, dan Bapak

Nurjaya selaku koordinator PKL&Riset yang telah memberi kesempatan dan izin untuk

penelitian di PT Krakatau Steel.

Selain itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Hj. Yani, Bapak Dede

Sukandar, Bapak Kusman, dan Bapak Misto yang telah memberikan arahan dalam

melakukan analisis di laboratorium. Fahmi, Agis, dan Desman dari Teknik Metalurgi

Untirta, temen-teman di tempat riset (Icha, Ayu, Ria, Anggi, dan Wida), teman-teman

kimia 42 IPB (Herman, Hengki, Redo, Bowo, Ecep, Reni, Iki, Mega, dan Janti lain-lain)

dan teman-teman Asrama Sylvasari IPB yang telah membantu dan tukar pengetahuan.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Juni 2009

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 23 Januari 1987 dari pasangan H. Dulmukin

dan Hj. Desy Rohayati sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menjalankan

pendidikan formal mulai dari taman kanak-kanak (TK) sampai perguruan tinggi (PT).

Tahun 2002 sampai 2005 di SMA Negeri 2 Krakatau Steel Cilegon. Tahun 2005,

penulis melanjutkan studi di Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Penulis melakukan praktik lapangan pada tahun 2008 di PT Krakatau Steel, Cilegon

dengan judul laporan adalah proses percobaan pembuatan besi spons dari

scale wire rod

mill

. Selama perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi kampus antara lain Dewan

Keluarga Mushala As-Shaf Asrama Putra Tingkat Persiapan Bersama IPB tahun

2005/2006, Organisasi Mahasiswa Daerah Keluarga Mahasiswa Banten tahun 2005/2006,

Forum for Scientific Studies

tahun 2005/2007, Lembaga Dakwah Kampus Al-Hurriyyah

(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

PENDAHULUAN

……...

... 1

TINJAUAN PUSTAKA

Bijih Besi dan Besi Laterit... 1

Benefisiasi dan Pembuatan Pelet... 2

Reduksi Bijih Besi

………..………

2

Reduksi Langsung dengan Reduktor Padatan dan Gas... 2

Batu bara... 2

Batu Kapur dan Bentonit... 3

Tinjauan Kinetika Reduksi... 4

X-Ray Fluorescence Spectrofotometer dan Carbon/Sulfur Determinator

... 4

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat... 5

Lingkup Penelitian... 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengkayaan Kandungan Bijih Besi Laterit dengan Benefisiasi... 7

Pengaruh Suhu Pada Persen Reduksi Bijih Besi Laterit... 8

Pengaruh Suhu Pada Persen Metalisasi Bijih Besi Laterit... 9

Perbandingan Penambahan Kapur dan Bentonit... 10

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ... 11

Saran... 11

DAFTAR PUSTAKA... 11

(18)

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram kesetimbangan gas CO dan CO

2

untuk reduksi bijih besi

………

.. 4

2 Pengaruh suhu pada persen reduksi bijih besi laterit dari Bayah... 8

3 Pengaruh suhu pada persen karbon setelah proses reduksi

bijih besi laterit dari Bayah... 9

4 Pengaruh suhu pada persen metalisasi bijih besi laterit dari Bayah... 10

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Bahan baku dan hasil percobaan... 14

2 Alat yang digunakan dalam percobaan

……….

15

3 Diagram alir

reduksi bijih besi ………..

16

4 Diagram alir benefisiasi... 17

5 Rumus-rumus perhitungan pada metode analisis

………..

18

6 Data hasil pengujian

…………

...

...……...

19

(19)

PENDAHULUAN

Bijih besi merupakan komoditi tambang yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku baja. Bijih besi banyak ditemukan di Indonesia, namun bahan baku baja masih didatangkan dari luar negeri. Berdasarkan BEI News (2005), Cina menggunakan bahan baku baja tertinggi di dunia, yaitu 16.7% pada tahun 2000. Bahan baku baja yang digunakan sebanyak 141.2 juta ton akan tetapi dua tahun kemudian langsung melonjak menjadi 211.2 juta ton. Produksi baja di Cina meningkat setiap tahunnya. Tahun 2003 sampai 2005, produksi baja di Cina berturut-tutut adalah 220, 300, dan 350 juta ton. Konsumsi baja di Indonesia menurut harian umum pelita (2009), tahun 1997 sampai 2000 adalah 36, 13, 14 , dan 26 kilogram per kapita yang mengalami penurunan pada tahun 1998 akibat krisis ekonomi. Negara lain seperti Filipina, Thailand, Malaysia, Jepang, AS, dan Korea Selatan berturut-turut adalah 44, 111, 274, 635, 472, dan 846 kilogram per kapita pada tahun 2000. Berdasarkan analisis internal yang dikeluarkan PT Krakatau Steel (KS), konsumsi baja canai panas pada tahun 2007 mencapai sekitar 2,91 juta ton dengan asumsi peningkatan 10%, pada tahun 2008 konsumsi baja domestik akan menyentuh 3.25 juta ton.

Kenaikan harga bahan baku baja di pasar internasional, memicu pemerintah dan para kuasa pertambangan (KP) untuk mulai memanfaatkan bahan baku lokal. Menurut Sutisna (2007), ada empat jenis cebakan bijih besi di Indonesia, yaitu skarn, placer, laterit, dan sedimen. Cebakan laterit jumlahnya paling melimpah, yaitu mencapai 1 miliar ton, sedangkan cebakan bijih besi skarn, placer, dan sedimen berturut-turut hanya mencapai 15, 159, dan 1 juta ton. Cebakan ini juga mengandung karbonat, silikat, besi, hematit, dan magnetit sehingga kadar besinya rendah, yaitu hanya 40-60%. Bahan baku lokal berupa bijih besi laterit dapat dijadikan pelet yang akan direduksi menjadi besi spons. Pemanfaatan bijih besi lokal ini dapat mengurangi biaya produksi sehingga harga jual bajanya dapat bersaing.

Kenaikan harga tersebut diakibatkan naiknya harga iron ore pellet dan minyak mentah yang terus meningkat membuat harga bahan baku dan biaya produksi baja menjadi tinggi. Salah satu penyebab kenaikan biaya produksi baja adalah tingginya harga impor bahan baku pelet. Selain itu teknologi berbasis gas yang digunakan saat ini seperti Hojalata Y Lamina (HYL) I dan HYL III (dengan

kapasitas kurang lebih 2 juta ton besi spons per tahun) semakin tidak kompetitif untuk dioperasikan. Permasalahan energi yang dihadapi industri baja nasional dapat diatasi dengan menggunakan reduktor batu bara. Menurut Raharjo (2006), Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki cadangan batu bara sekitar 38.8 miliar ton dengan 70% batu bara muda dan 30% batu bara kualitas tinggi.

Penelitian ini bertujuan melakukan pengkayaan kandungan bijih besi laterit dalam batuan besi dengan benefisiasi, memperoleh suhu optimum dalam reduksi bijih besi laterit, dan membandingkan hasil reduksi antara penambahan kapur dan penambahan bentonit.

TINJAUAN PUSTAKA

Bijih Besi dan Besi Laterit

Mineral merupakan bahan-bahan anorganik alam yang ditemukan dalam kerak bumi sedangkan mineral yang digunakan sebagai sumber untuk produksi bahan-bahan secara komersial disebut bijih besi (Keenan et al. 1992). Bijih besi dapat berupa karang keras sekali, butiran kecil, dan tanah yang gembur dengan warna yang beragam dari hitam hingga merah bata. Besi adalah suatu logam yang sangat kuat dan keras. Namun, kekerasannya tidak melebihi nikel dan kobalt sehingga perlu diberi zat aditif atau dibentuk paduan logam dengan nikel, kobalt, atau logam lain (Meyer 1980).

Besi laterit merupakan jenis cebakan endapan residu yang dihasilkan dari proses pelapukan batuan dengan melibatkan dekomposisi, pengendapan kembali, dan pengumpulan secara kimiawi. Bijih besi tipe laterit umumnya terdapat di daerah puncak perbukitan dengan kemiringan <10%. Kemiringan tersebut menjadi salah satu faktor utama proses pelapukan secara kimiawi yang perannya lebih besar daripada proses mekanik. Sementara struktur dan karakteristik tanah dipengaruhi oleh daya larut mineral dan kondisi aliran air tanah (Sani 2008).

Sutisna (2007) menyatakan bahwa sifat-sifat dari cebakan laterit adalah tekstur dapat terlihat jelas, lapisan yang kompak, komposisi mineral besi beragam, kadar Fe berkisar antara 40.00 dan 60.00%, mengandung kadar Ni dan Cr yang lebih rendah daripada jenis laterit, yaitu rata-rata 0.41% Ni dan 2.10% Cr203, khususnya yang berasal dari bijih besi

(20)

2

panas dapat mengandung belerang yang relatif lebih tinggi, dan kadar Al lebih rendah dari tipe lateritik, yaitu sekitar 7.00%.

Benefisiasi dan Pembuatan Pelet

Bahan baku utama baja berupa bijih besi yang diolah dalam tanur pada suhu tinggi. Bijih besi yang masih tercampur dengan kotoran dapat dimurnikan dengan dicuci terlebih dahulu.

Menurut Novyanto (2007), proses pembuangan kotoran, gas, tanah liat, dan pasir adalah pencucian, pemecahan: batuan yang mengandung bijih besi dipecah dengan menggunakan mesin sehingga dihasilkan bijih besi dengan ukuran yang sama, sortir merupakan proses bijih besi melewati roda magnet yang mempunyai sifat kemagnetan kuat sehingga bijih besi terpisah antara kandungan Fe rendah dan kandungan Fe tinggi, dan pemanasan untuk menghilangkan kandungan air dan udara (gas) yang masih menempel di bijih besi.

Menurut Meyer (1980 ), pelet merupakan bulatan seperti kelereng yang dihasilkan dari bijih besi alam dengan ciri sebagai berikut: kandungan besi lebih dari 63%, daya serap air berkisar antara 25 dan 30%, ukuran distribusi antara diameter 9-15 mm, daya tahan pada tekan yang tinggi, kecenderungan untuk abrasi rendah, partikel tidak hilang saat pembakaran (tidak terjadi pengecilan dan komposisi mineralnya masih sama), mempunyai tekanan mekanik yang rata-rata pada tekanan panas selama reduksi di udara.

Secara garis besar proses pembuatan pelet melalui tiga tahap, yaitu 1) proses penyiapan bahan baku sebelum pembuatan pelet, 2) mencampur bahan campuran dalam tahapan ke-1 dengan air dan membentuknya menjadi bulatan-bulatan kecil dengan diameter 10-20 mm, 3) pembakaran, yaitu membakar pelet hasil tahapan ke-2 setelah dikeringkan untuk meningkatkan kekuatan.

Reduksi Bijih Besi

Proses penghilangan oksigen dan pengotor bijih besi disebut reduksi. Proses reduksi secara umum terbagi atas dua metode, yaitu reduksi langsung dan reduksi tidak langsung. Proses reduksi bijih besi secara tidak langsung dilakukan dalam tanur tinggi dengan reduktor berupa kokas batu bara dan suhu di atas titik lebur besi. Produk berupa lelehan logam Fe yang selanjutnya diumpankan ke dalam BOF (Basic Oxygen Furnace) dan sebagian kecil akan dicetak menjadi pig iron. Sementara Proses reduksi

langsung merupakan proses pemisahan Fe dari oksigen dengan reduktor berupa padatan seperti batu bara atau gas seperti metana (CH4). Proses reduksi ini dilakukan di bawah

titik lebur sehingga produk yang dihasilkan dalam bentuk padatan (Sun 1997).

Nomura et al. (2007) menyatakan kebanyakan besi oksida direduksi menjadi logam besi oleh CO yang dihasilkan selama oksidasi karbon. Pada suhu 1200 oC, komponen berupa SiO2 dan FeO di dalam

serbuk bijih besi dapat bereaksi menghasilkan suatu campuran FeO dan SiO2, yaitu fayalite

(2FeO.SiO2) yang dapat mengisi pori-pori

batu bara.

Reduksi Langsung dengan Reduktor Padatan dan Gas

Proses ini menggunakan reduktor padatan berupa batu bara atau batu arang untuk mereduksi bijih besi. Keseluruhan reaksi yang terjadi dapat dituliskan sebagai berikut (Pelton & Christopher 2000)

3Fe2O3+ C → 2Fe3O4 + CO,

Fe3O4+ C → 3FeO + CO, FeO + C → Fe + CO,

Reaksi ini berjalan secara endotermik atau memerlukan panas. Panas yang diperlukan berasal dari udara dan pembakar. Bijih besi yang digunakan dalam proses reduksi langsung dengan reduktor karbon relatif berkadar Fe rendah (53%≤ Fe) serta tidak memerlukan energi panas untuk mereformasi gas alam sehingga penggunaan energi lebih efisien.

Persamaan reaksi reduksi bijih besi oleh gas CO dan H2 ditunjukkan oleh persamaan

reaksi (Rosenqvist 1983),

3Fe2O3+ CO → 2Fe3O4 + CO2,

Fe3O4+ CO → 3FeO + CO2, FeO + CO → Fe + CO2,

atau

3Fe2O3 + H2→ 2Fe3O4 + H2O,

Fe3O4 + H2 → 3FeO + H2O,

FeO + H2→ Fe + H2O,

Reduksi langsung dengan reduktor gas memerlukan bahan baku bijih besi dengan kadar Fe yang relatif tinggi (60-67%) dan pengotor serendah mungkin (P ≤ 0.017%, S ≤ 0.011%) baik dalam bentuk pelet ataupun batuan bisa.

Batu bara

(21)

yang terdiri atas karbon, hidrogen, dan oksigen. Karakteristik batu bara tipe bituminus (A, B, C, dan D) dapat dilihat pada Tabel 1,

Tabel 1 Karakteristik batu bara (Grigore et al. 2007)

Batu bara A B C D

Analisis Proksimat (%)

Kadar air 2.4 2.5 1.4 1.1

Kadar abu 5.6 7.7 7 9.8

Zat terbang 28.9 26.2 21.3 20.2

Karbon tetap 65.5 66.1 71.7 70

Analisis Abu (%)

SiO2 61.4 53.6 56.9 48.3 Al2O3 28.3 28.4 18.3 37.9 Fe2O3 4.3 7.6 12.8 5.3

CaO 1.3 3 3.7 2.5

MgO 0.34 0.95 1.6 0.58

TiO2 1.5 1.4 1.1 1.4 Na2O 0.3 0.57 0.45 0.65 K2O 0.48 1 0.92 0.54 P2O5 0.79 1.7 1.3 1.9 Mn3O4 <0.02 0.05 0.06 0.03 SO3 0.26 0.76 2 0.32 Cr2O3 <0.02 <0.02 <0.02 <0.02 CuO <0.02 <0.02 <0.02 <0.02

V2O5 0.05 0.05 0.04 0.02 ZnO <0.02 <0.02 <0.02 <0.02

NiO <0.02 <0.02 <0.02 <0.02

BaO 0.03 0.15 0.09 0.22

SrO 0.04 0.08 0.05 0.13

Total 99.19 99.39 99.39 99.87

Menurut Raharjo (2008), berdasarkan proses pembentukannya di alam yang dikontrol oleh tekanan, panas, dan waktu umumnya dibagi dalam 5 kelas, yaitu 1) Antrasit: kelas batu bara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan metalik, mengandung 86.00-98.00% karbon dengan kadar air kurang dari 8.00%. 2) Bituminus mengandung 68.00-86.00% karbon dan berkadar air 8.00-10.00% dari bobotnya. Kelas batu bara ini paling banyak ditambang di Australia dan Amerika Serikat. Bituminus umumnya digunakan untuk pembangkit tenaga listrik. 3) Sub-bituminus: batu bara yang memiliki sifat di antara lignit dan bituminus. Permukaannya tidak mengkilap, warnanya cokelat gelap sampai kehitam-hitaman, serta bersifat lunak dan rapuh pada rentang menengah ke bawah. Akan tetapi, pada rentang menengah ke atas batu bara sub-bituminus mengkilap, sangat

hitam, keras, dan relatif kuat. Batu bara sub-bituminus memiliki sedikit karbon 37.70% dan banyak air (20.00-30.00% dari bobotnya), dan oleh karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus. 4) Lignit: jenis batu bara muda terdapat pada lapisan geologi atas. Batu bara lignit sangat lunak dan mengandung air 35.00-75.00% sedangkan kadar karbonnya rendah, kurang lebih 25.00-35.00%. 5) Gambut: berpori dan memiliki kadar air di atas 75.00% serta nilai kalori yang paling rendah.

Batu Kapur dan Bentonit

Batu kapur dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu secara organik, mekanik, atau kimia. Sebagian besar batu kapur yang terdapat di alam terjadi secara organik, yaitu berasal dari pengendapan cangkang kerang dan siput, atau ganggang. Batu kapur dapat berwarna putih susu, abu-abu, cokelat, bahkan hitam, bergantung pada keberadaan mineral pengotornya (Tekmira 2005). El-Geassy et al. (2007) menjelaskan bahwa bahan tambahan seperti CaO, MgO, dan SiO2 berperan penting

dalam mengurangi indeks pemekaran maksimum disekitar suhu 1250 oC karena pemutusan CaO dari FeO pada lokasi-lokasi pengintian. Liu (2003) menjelaskan bahwa selain devolatilisasi batu bara dengan gas CO2

juga dihasilkan proses dekomposisi oleh batu kapur, reaksi dekomposisi batu kapur terjadi pada suhu ± 900 oC.

(22)

4

menghasilkan kekerasan sehingga melindungi pelet daritekanan tinggi.

Tinjauan Kinetika Reduksi

Kinetika reaksi reduksi bijih besi adalah kecepatan besi oksida untuk bertransformasi menjadi logam besi dengan melepaskan oksigen. Kecepatan reaksi reduksi bijih besi ditentukan oleh tinggi rendahnya kemampuan bijih besi tersebut untuk direduksi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu ukuran partikel, bentuk dan distribusi ukuran partikel, bobot jenis, porosity, struktur kristal, serta komposisi kimia (Ross 1980). Kinetika reduksi langsung menggunakan reduktor batu bara dipengaruhi oleh kombinasi beberapa mekanisme, yaitu perpindahan panas, perpindahan massa oleh konveksi, difusi fase gas, serta reaksi kimia dengan gasifikasi karbon. El-Geassy et al. (2007) menjelaskan bahwa ada banyak faktor yang memengaruhi reduksi besi oksida seperti komposisi bahan baku, basisitas, komposisi gas, dan suhu reduksi. Pengaruh komposisi gas terjadi pada perubahan volume dari besi oksida pada suhu 800-1100 oC.

Reaksi batu bara dan bijih besi merupakan suatu sistem yang kompleks. Perubahan dalam reaksi sangat dipengaruhi oleh parameter perpindahan panas yang meliputi ukuran, bentuk, bobot jenis partikel dan kecepatan aliran panas. Perpindahan panas yang terjadi dalam proses reduksi adalah perpindahan panas secara konduksi. Proses konduksi adalah perpindahan panas melalui zat padat. Dalam sistem reduksi langsung dengan karbon, mekanisme perpindahan panas yang paling berpengaruh adalah adalah konduksi dan konveksi (Sun 1998). Proses konduksi sangat bergantung pada suhu proses, sifat padatan dan fase gas yang terjadi sehingga nilai konduktifitas panas padatan merupakan salah satu hal penting dalam proses reduksi Konduktivitas panas yang tinggi akan meningkatkan kecepatan laju reaksi (Milandia 2005).

Perpindahan massa terjadi karena adanya gas CO dari batu bara yang bereaksi dengan bijih besi membentuk logam besi (Fe), sehingga oksigen dilepaskan dari bijih besi tersebut dan karbon (C) akan bereaksi dengan karbon dioksida (CO2) untuk membentuk CO.

Aliran gas CO yang menyebabkan proses konveksi dan difusi dipengaruhi oleh perbedaan tekanan dan konsentrasi gas dalam sistem sehingga perpindahan massa dapat berjalan baik (Milandia 2005).

Seki dan Nagata (2006) menjelaskan bahwa besi oksida yang berisi karbon dapat

direduksi pada suhu lebih rendah. Penurunan suhu ketika reduksi bijih besi dengan karbon terjadi saat peningkatan efisiensi energi dan karbon sebagai CO2. Reaksi kimia yang

terjadi pada proses reduksi langsung bijih besi dengan reduktor batu bara meliputi devolatilisasi batu bara, reduksi bijih besi dengan gas, dan gasifikasi arang batu bara (char). Devolatilisasi batu bara mulai terjadi lebih awal pada suhu rendah dengan laju reaksi lebih cepat dari reaksi reduksi bijih besi maupun gasifikasi arang batu bara. Kesetimbangan reaksi dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1 Diagram kesetimbangan gas CO dan CO2 untuk reduksi bijih besi

(Ross 1980).

X-Ray Fluorescence Spectrofotometer

(23)

5

Carbon/sulfur determinator merupakan alat untuk analisis bahan-bahan seperti batu bara, semen, dan bijih-bijih mineral. Carbon determinator menggunakan suatu carbon infrared cell untuk menentukan persen karbon pada setiap sampel. Elemental Determinators itu dapat diatur dengan pilihan berikut: karbon, belerang rendah, belerang tinggi, belerang dan karbon rendah, belerang dan karbon tinggi, belerang rendah dan belerang tinggi, dan cakupan rangkap (karbon dan belerang rendah dan belerang tinggi) (Labfit 2008). Carbon/sulfur determinator menggunakan cawan khusus untuk analisisnya sehingga dipanaskan dahulu di dalam tungku perapian pada suhu yang tinggi antara 1250°C dan 1350°C (Eltra 2005).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bijih besi dari Bayah, H2O2 30%, HF 38-40%, K2S2O7,SnCl2 10%,

HgCl2 10%, larutan standar EDTA 0.1 M,

indikator Fe (difenilamina sulfonat) 0.1%, larutan standar K2Cr2O7 0.1 N, indikator murexide, kapur, bentonit, Br2, TEA

(trietanolamin), FeCl3 15%, dan batu bara.

Gambar bahan baku dapat dilihat pada Lampiran 1.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas, magnet, hot plate, mesin penggiling (labotary disk mill), mesin pengepresan briket (briquetting press machine), spektrofotometer sinar-X fluoresensi, tanur (furnace), cawan platina, kertas saring Whatman no. 41, cawan porselen, ayakan 150 mesh, neraca analitik, neraca kasar, sudip, bulp, oven, geockel glass, dan carbon/sulfur determinator. Gambar peralatan dapat dilihat pada Lampiran 2.

Lingkup Penelitian

Penelitian ini meliputi beberapa tahap, yaitu preparasi sampel, analisis bijih besi (meliputi silikat, Fe total, dan Fe2+), pembuatan besi spons (reduksi bijih besi), analisis besi spons (meliputi Fe total dan Fe metal), analisis komposisi kimia dari kapur dan bentonit (meliputi CaO, MgO, silikat), dan analisis batu bara (meliputi kadar air, volatile matter (VM), kadar fixed carbon (FC), dan kadar abu). Metode analisis mengacu pada American Society for Testing and Materials (ASTM) tahun 2003 sedangkan diagram alir penelitian dapat dilihat pada Lampiran 3.

Preparasi Sampel

Batuan besi yang mengandung bijih besi laterit dikeringkan dalam oven, didinginkan, digiling halus, dan diayak dengan ayakan ukuran 150 mesh. Bijih besi hasil pengayakan dikocok agar homogen. Selanjutnya dilakukan analisis komposisi kimia menggunakan x-ray fluoresence (XRF) spektrofotometer dan metode basah sehingga didapatkan data komposisi kimia yang terkandung dalam sampel sebelum dilakukan benefiasi. Benefiasi dilakukan pada sampel melalui pencucian berulang menggunakan air dan deterjen dengan bantuan magnet, lalu dilakukan analisis komposisi kimia kembali menggunakan XRF spektrofotometer dan metode basah. Diagram alir proses benefisiasi dapat dilihat pada Lampiran 4.

Reduksi Bijih Besi

Bijih besi yang telah digiling lalu diayak ukuran yang lolos 150 mesh. Campuran hasil gilingan (yang lolos dari ayakan 150 mesh) dengan batu bara dan kapur yang halus lalu diaduk hingga homogen. Campuran tersebut ditambahkan air sehingga dapat dilakukan pembuatan pelet secara manual lalu dikeringkan. Masukkan pelet yang sudah kering dalam tanurpada suhu 800, 900, 1000, 1100 dan 1200 oC selama 60 menit. Besi spons didinginkan pada suhu kamar, digiling sampai 150 mesh, lalu dilakukan uji Fe metal dan Fe total.

Standardisasi Kalium Dikromat

Sebanyak 0.3 gram Fe standar (61.09%) ditambah HCl pekat hingga larut sempurna kemudian ditambahkan akuades 200 ml lalu dipanaskan hingga mendidih ldan reduksi dengan SnCl2 10% hingga jernih. Sebanyak

15 ml HgCl2 10% dan 10 ml H3PO4 85%

ditambahkan pada larutan kemudian ditambahkan indikator Fe 0.1%, lalu titrasi dengan larutan standar K2Cr2O7 hingga

berwarna ungu. Catat volume K2Cr2O7 yang

digunakan. Rumus perhitungan pada Lampiran 5.

Analisis Fe Total

Sebanyak 0.3 sampel ditimbang dengan neraca analitik lalu dimasukkan dalam erlenmeyer. Sampel dilarutkan dengan 25 ml larutan HCl pekat. Setelah sampel larut, kemudian encerkan dengan akuades sebanyak 200 ml dan dididihkan hingga menimbulkan gelembung. Reduksi dengan beberapa tetes SnCl2 10% hingga tidak berwarna lalu

(24)

6

ml HgCl2 10% dan 10 ml H3PO4 85%

ditambahkan pada sampel, indikator Fe ditambahkan lalu dititrasi dengan larutan standar K2Cr2O7 hingga berwarna ungu.

Volume K2Cr2O7 yang digunakan dicatat.

Rumus perhitungan pada Lampiran 5.

Analisis Fe2+

Ditimbang dengan teliti 0.5 sampel lalu dimasukkan dalam erlenmeyer 250 ml, 10 ml NaHCO3 10%, dan 25 ml HCl pekat

ditambahkan. Erlenmeyer ditutup dengan geockel glass yang berisi NaHCO3 10%,

kemudian sampel dipanaskan sampai larut sempurna, lalu didinginkan perlahan dan geockel glass dibiarkan berada pada tempatnya hingga dingin. Geockel glass dibuka, ditambahkan 10 ml H3PO4, dan 5 tetes

indikator Fe 0.1%. Titrasi dilakukan dengan larutan standar K2Cr2O7 0.1 N sampai terjadi

perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Rumus perhitungan pada Lampiran 5.

Analisis Fe metal

Sebanyak 0.2 sampel ditimbang dengan neraca analitik, sampel dimasukkan dalam labu takar 200 ml. Larutan FeCl3 sebanyak 50

ml ditambahkan dan gas argon dialirkan dalam labu takar. Labu takar langsung ditutup lalu diaduk dengan pengaduk magnetik selama 55 menit. Setelah itu, ditambahkan larutan NH4Cl sedikit melewati tanda tera,

kocok hingga homogen. Larutan diambil 100 ml dan dimasukkan kedalam erlenmeyer 250 ml. Sebanyak 20 ml campuran asam fosfat:sulfat dan indikator Fe ditambahkan pada larutan. Titrasi dilakukan dengan larutan standar K2Cr2O7 sampai terjadi perubahan

warna dari tak berwarna menjadi ungu. Rumus perhitungan pada Lampiran 5.

Analisis Silikat

Sebanyak 1.0 sampel (G) ditimbang lalu dimasukkan dalam gelas piala 400 ml, sampel dilarutkan dengan HCl pekat dan ditutup dengan kaca arloji. Sampel dipanaskan hingga larut kemudian ditambahkan beberapa tetes H2O2 lalu dipanaskan sampai kering, dan

didinginkan. Sebanyak 50 ml larutan HCl ditambahkan dan dipanaskan sampai larut lalu diencerkan dengan akuades kemudian larutan dididihkan. Endapan disaring dengan kertas Whatman no. 41 dalam 500 ml labu takar, endapan dicuci dengan akuades lalu dimasukkan endapan dan kertas saring dalam cawan platina. kertas saring dipijarkan dalam tanur pada suhu 1000 oC kemudian ditimbang (A). Endapan diberi sedikit akuades lalu

ditambahkan HF dua kali dan dipijarkan pada suhu 1000 oC, didinginkan, dan ditimbang (B). Sisa residu dalam cawan platina dilarutkan dengan HCl pekat dan ditambahkan sedikit akuades, dipanaskan hingga larut, lalu dimasukkan dalam labu takar. Larutan diencerkan dengan akuades hingga tanda tera, residu pada labu takar digunakan untuk analisis Fe total, CaO, dan MgO. Rumus perhitungan pada Lampiran 5.

Analisis CaO

Filtrat yang diperoleh pada penentuan SiO2 diencerkan dengan akuades sampai tanda

tera dan dikocok sampai homogen, kemudian diambil sebanyak 100 ml menggunakan pipet volumetrik, lalu dimasukkan kedalam gelas piala. Filtrat ditambahkan 5 ml TEA (trietanolamin), dan 1 ml KCN. KOH ditambahkan hingga pH 13, kemudian ditambahkan indikator murexide, dititrasi dengan EDTA 0.1 M hingga berwarna violet. Rumus perhitungan pada Lampiran 5.

Analisis MgO

Larutan yang sama (filtrat CaO di atas), ditambahkan HCl pekat hingga jernih, ditambahkan amonia pekat hingga pH 10, ditambahkan indikator EBT (eriochrome black-T) dan dititrasi dengan EDTA 0.1 M terjadi perubahan warna dari merah menjadi biru. Rumus perhitungan pada Lampiran 5.

Analisis kadar Air

Wadah yang konstan ditimbang (A), kemudian wadah dan sampel ditimbang (B), lalu dipanaskan dalam oven pada suhu 100 ºC sampai bobot konstan. Sampel didinginkan, kemudian ditimbang (C). Rumus perhitungan pada Lampiran 5.

Analisis Hilang Pijar

Cawan kosong yang telah konstan ditimbang (A), kemudian cawan kosong dan sampel (1-4) ditimbang (B), lalu dipijarkan dalam tanur pada suhu 1000 ºC selama ± 24 jam (semalam) atau sampai bobot konstan. Sampel didinginkan dalam eksikator, kemudian ditimbang (C). Rumus perhitungan pada Lampiran 5.

Analisis Volatile Matter

(25)

7

Penentuan Fixed Carbon

Penentuan fixed carbon dari batu bara berdasarkan selisih antara hasil perhitungan hilang pijar dan volatile matter.

Penentuan Kadar Abu

Penentuan kadar abu dari batu bara berdasarkan selisih antara total persentase (100%) dan hasil perhitungan hilang pijar.

Analisis dengan Alat X-RayFlouresence Spectrofotometer

Sampel dalam wadah pipa paralon dipress dengan mesin pengepresan briket pada tekanan 35 ton. Sampel ditempatkan pada wadah analisis lalu ditutup rapat. Nama dan kode sampel dimasukkan, tombol F1 ditekan sehingga diperoleh hasil analisis tentang komposisi kimia dalam bentuk persen pada layar.

Analisis dengan Alat Carbon/Sulfur Determinator

cawan yang kosong pada ditimbang dengan timbangan dalam alat, kemudian sampel dimasukkan sebanyak 0.3, lalu ditambahkan katalisator secukupnya. Cawan dan sampel dimasukkan dalam tempat pembakaran sehingga data mengenai kadar karbon dan sulfur terlihat pada layar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengkayaan Kandungan Bijih Besi Laterit dengan Benefisiasi

Bijih besi yang berbentuk batuan harus dihilangkan jumlah air dari sampel supaya bobot yang diperoleh konstan. Kadar air yang diperoleh kecil, yaitu 1.03% karena air hanya terdapat pada bagian lapisan luar batuan besi. Menurut Harjadi (1986), air yang terikat secara fisik untuk menghilangkannya diperlukan panas rendah sekadar untuk menguapkannya, umumnya suhu 100-105 ºC. Hasil analisis awal terdapat pada Lampiran 6 baik dengan analisis metode XRF maupun analisis metode konvensional. Mulyaningsih (2005) menyatakan bahwa metode XRF lebih cepat dibandingkan metode konvensional, metode konvensional memerlukan beberapa tahapan analisis, sedangkan metode XRF hanya satu tahap analisis dan langsung dihasilkan analisisnya. Selain itu, metode konvensional memiliki tingkat keakuratan hasilnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode XRF. Hal ini disebabkan metode XRF mempunyai kendala dalam karakteristik matrik sampel dan matrik

standar. Standar yang digunakan dalam metode XRF maupun metode basah adalah iron ore yang sudah diketahui kadar Fe total maupun Fe metal dengan pasti (kode material standarnya euro MRC 685-1).

Pada metode fluoresensi sinar-X, sampel logam atau spesimen batuan disinari oleh berkas sinar-X gelombang pendek. Berkas ini dapat mementalkan sebuah elektron dari kulit elektron terdalam dari sebuah atom, dan untuk menggantikan elektron yang hilang ini, sebuah elektron lain dapat melompat dari salah satu kulit luar dan dengan demikian terbebas energi dalam bentuk sinar-X. Radiasi sinar-X „sekunder‟ atau „pendaran‟ (fluorescence) yang dihasilkan ini akan dipancarkan dengan panjang gelombang yang karakteristik dari atom yang bersangkutan, dan intensitas radiasi itu dapat digunakan untuk memperkirakan banyaknya unsur di dalam sampel yang menimbulkan radiasi itu. Ini merupakan suatu contoh dari sejumlah metode uji yang disebut non-destruktif (tak merusak) (Basset et al. 1994).

Adanya unsur-unsur lain dalam jumlah yang cukup besar setelah dilakukan analisis metode XRF menandakan bahwa dalam bijih besi laterit tersebut masih terdapat banyak pengotor sehingga kadar Fe total kecil. Apabila kadar Fe total dari bijih besi kurang dari 63% maka perlu dilakukan proses benefisiasi. Proses ini digunakan untuk memisahkan antara mineral berharga dari pengotornya berdasarkan perbedaan sifat kemagnetan yang dimilki oleh mineral-mineral pada bijih besi. Dengan mengurangi pengotor-pengotor tersebut, maka diharapkan akan didapatkan kadar Fe yang lebih tinggi. Fraksi ukuran yang digunakan adalah 150 mesh karena mineral-mineral berharga yang terdapat pada bijih besi terjebak antara mineral-mineral pengotor yang lain.

Hasil dari proses benefisiasi dapat dikelompokkan sebagai berikut: hasil benefisiasi yang banyak mengandung mineral berharga, hasil benefisiasi bijih besi yang banyak mengandung unsur pengotor dan hasil benefisiasi bijih besi yang masih cukup banyak mengandung mineral berharga sehingga perlu dilakukan proses benefisiasi ulang. Ketika proses benefisiasi berlangsung, terdapat gaya yang bekerja antara lain: gaya magnet atau medan magnet yang ditimbulkan oleh pemisah magnet, gaya gravitasi, gaya sentrifugal, gaya gesek, gaya tarik atau tolak antar partikel.

(26)

8

menggunakaan air dan deterjen serta pemisahan dengan magnet. Pencucian terutama digunakan untuk mengurangi jumlah unsur-unsur pengganggu yang terdapat pada bijih besi seperti silika. Setelah dilakukan proses benefisiasi, diperoleh kadar silika menurun dari 5.90 menjadi 2.69%. Alasan digunakannya deterjen adalah sebagai zat yang mampu memperkecil tegangan permukaan dimana unsur-unsur pengganggu akan terikat pada deterjen dan menjaga tetap teremulsinya kotoran suatu pelarut. Proses benefiasi ini dilakukan berulang-ulang agar kotoran-kotoran pengganggu berkurang sehingga kadar Fe total dapat meningkat, yaitu 56.70 menjadi 64.51%. Perhitungan kadar Fe total dapat dilihat pada Lampiran 7.

Penentuan Fe total dengan metode basah menggunakan HCl pekat untuk melarutkan besi oksida yang terkandung dalam bijih besi laterit. Ketika besi oksida larut sempurna terjadi perubahan warna dari kuning menjadi coklat kemerahan. Air akuades untuk mengencerkan larutan besi oksida. Pada saat larutan mendidih, Fe3+ akan direduksi menjadi Fe2+ oleh larutan SnCl2 sehingga warna

berubah menjadi tak berwarna. Penambahan larutan HgCl2 setelah larutan dingin untuk

menangkap kelebihan Sn2+ yang berubah menjadi Sn4+ berdasarkan reaksi berikut, (Arthur 1979)

2Fe3+ + Sn2+ → 2Fe2+ + Sn4+

Penambahan H3PO4 berfungsi

mengaktifkan indikator Fe (difenilamina sulfonat) karena asam fosfat akan membentuk kompleks Fe3+ sehingga berada dalam trayek perubahan indikator. Selanjutnya dititrasi menggunakan larutan kalium dikromat yang sudah distandardisasi. Pada titrasi tersebut akan terjadi proses oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+. Perubahan warna yang terjadi dari putih menjadi kehijauan kemudian ungu.

Penentuan Fe2+ didasarkan pada pelarutan dengan HCl pada kondisi ruang yang ditutup geockel glass untuk mencegah masuknya oksigen sehingga tidak terjadi oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+. Penambahan H3PO4 berfungsi

mengaktifkan indikator Fe karena asam fosfat akan membentuk kompleks Fe3+. Selanjutnya pada titrasi dengan larutan kalium dikromat akan terjadi proses oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+.

Pengaruh Suhu Pada Persen Reduksi Bijih Besi Laterit

Persen reduksi besi spons adalah banyaknya oksigen yang diambil atau hilang dari besi oksida oleh reduktor pada saat proses reduksi. Persen reduksi besi spons

menunjukkan seberapa besar keberhasilan dari proses reduksi bijih besi melalui proses reduksi langsung. Selain persen reduksi, untuk melihat kualitas besi spons digunakan juga persen metalisasi.

Berdasarkan ilmu termodinamika, kenaikan suhu menyebabkan reaksi reduksi bijih besi akan cenderung berjalan ke arah kanan (membentuk produk [logam Fe]) atau berjalan lebih spontan. Sehingga reaksi reduksi bijih besi akan berjalan semakin baik pada setiap kenaikan suhu namun persen reduksi akan menurun yang ditunjukkan gambar 2 akibat perubahan gas langsung menjadi CO2.

Gambar 2 Pengaruh suhu pada persen reduksi bijih besi laterit dari Bayah

Perpindahan massa yang terjadi dalam sistem reduksi langsung terdiri atas proses difusi dan konveksi. Proses konveksi yang disebabkan oleh aliran gas dalam sistem merupakan mekanisme perpindahan massa yang paling dominan dalam reduksi langsung (Sun 1999). Sebagian besar reaksi kimia yang terjadi selama reduksi bijih besi adalah reaksi endotermik. Suhu proses yang digunakan menentukan keberhasilan proses reduksi bijih besi karena akan memengaruhi tingkat metalisasi dan persen reduksi dari besi spons yang dihasilkan (Sun 1999).

(27)

aktifasi yang tinggi karena reaksinya berjalan endotermik. Pelepasan oksigen dari besi oksida dilakukan oleh gas CO yang dihasilkan dari reaksi gasifikasi karbon dengan gas CO2

yang berjalan secara endotermik dengan persamaan (Perry 1984),

C + O2→CO2

C + CO2 → 2CO

Laju gasifikasi karbon juga dipengaruhi oleh laju perpindahan massa gas oksida (CO2

dan O2) untuk mengoksidasi karbon. Semakin

tinggi suhu maka laju difusi dan konveksi gas oksida makin tinggi sehingga laju gasifikasi karbon juga meningkat. Peningkatan laju gasifikasi karbon akan meningkatkan konsentrasi gas reduktor yang menyebabkan konsumsi karbon sehingga jumlah karbon (%) akan berkurang yang ditunjukkan pada Gambar 3. Naiknya suhu maka padatan karbón memiliki kecenderungan yang kuat untuk menjadi CO, sehingga volume gas CO semakin besar dengan bertambahnya suhu. Pada suhu 800 oC dan 900 oC diperlukan persen gas CO yang lebih tinggi untuk mereduksi magnetit (Fe3O4) menjadi wustit

(FeO) jika dibandingkan dengan suhu 1000

o

C, hal ini disebabkan reaksi reduksi magnetit menjadi wustit berjalan secara endotermik.

Gambar 3 Pengaruh suhu pada persen karbon setelah proses reduksi bijih besi laterit dari Bayah

Peningkatan konstanta laju gasifikasi karbon akan meningkatkan konsumsi karbon sehingga laju proses reduksi dan pembentukan CO2 dan H2O untuk gasifikasi karbon

meningkat. Sehingga laju proses reaksi reduksi secara keseluruhan akan meningkat (Milandia 2005).

Komposisi kimia batu bara dapat memengaruhi proses pembakaran dalam

mereduksi bijih besi. Kandungan volatile matter (VM) memengaruhi kesempurnaan pembakaran dan intensitas api. Penilaian tersebut didasarkan pada rasio atau perbandingan antara kandungan karbon (fixed carbon) dengan zat terbang, yang disebut dengan nisbah bahan bakar (fuel ratio). Semakin tinggi nilai fuel ratio maka jumlah karbon di dalam batu bara yang tidak terbakar juga semakin tinggi. Jika perbandingan fuel ratio nilainya lebih dari 1.2 pengapian akan kurang baik karena kecepatan pembakaran menurun. Kadar abu tinggi berarti memengaruhi tingkat pengotoran tinggi. Kadar abu dalam percobaan ini 7.93% yang berarti pengotornya cukup tinggi. Kadar karbon yang diperoleh 47.19% karenanya dapat digolongkan ke dalam batu bara jenis sub-bituminus.

Pada suhu 1000 oC tersedia panas yang lebih tinggi untuk mereduksi magnetit menjadi wustit jika dibandingkan pada suhu 900 oC, sehingga kebutuhan persen gas CO lebih kecil. Pada suhu rendah (T<1000 oC) dengan jumlah persen gas CO yang tidak mencukupi maka hematit (Fe2O3) tidak dapat

tereduksi secara sempurna menjadi logam Fe melainkan hanya sampai FeO. Diperlukan suhu yang lebih tinggi agar konsentrasi gas CO dapat mereduksi hematit dengan sempurna. Reaksi maksimum terjadi pada suhu 950-1100 oC. Hal ini disebabkan karena karbon sangat mudah teroksidasi pada suhu ± 950 oC.

Dalam reaksi reduksi bijih besi, peningkatan laju tidak terlalu memengaruhi reaksi keseluruhan sedangkan peningkatan laju reaksi pada reaksi gasifikasi karbon sangat memengaruhi reaksi keseluruhan. Oleh karena itu, reaksi gasifikasi karbon merupakan faktor pengendali laju reaksi kimia dalam sistem. Reaksi reduksi bijih besi melibatkan suatu mekanisme yang siklus, di mana CO2

mengalami reduksi untuk menghasilkan CO yang akan mereduksi besi oksida kemudian menghasilkan CO2 kembali melalui reduksi

oksida. Reaksi-reaksi reduksi dan gasifikasi seperti itu perlu digabungkan untuk memperoleh persen reduksi yang tinggi. Reaksi gasifikasi karbon sangat endotermik dengan jumlah lebih besar dari energi diperlukan. (Camci et al. 2002).

Pengaruh Suhu Pada Persen Metalisasi Bijih Besi Laterit

(28)

10

metalisasi akan naik namun turun pada suhu 1000oC akibat jumlah CO berkurang setelah proses reduksi.

Reaksi lambat ini terjadi karena gas reduktor (CO) yang dibutuhkan untuk reaksi reduksi bijih besi dan gasifikasi batu bara tidak cukup karena batu bara telah terdevolatilisasi lebih awal sehingga gas CO yang tersisa tidak mencukupi untuk reaksi lainnya. Secara umum, perubahan dari hematit menjadi magnetit, magnetit menjadi wustit dan wustit menjadi logam besi dengan reduksi langsung merupakan reduksi orde ke-1 (Donskoi et al. 2002).

Ishizaki, Nagata, dan Hayashi (2007) menjelaskan bahwa penggabungan batu bara dengan bijih besi terjadi saat kondisi butiran dipanaskan mencapai suhu 800°C. Di atas suhu ini, terjadi reduksi Fe3O4 menjadi FeO

pada rentang suhu 800-1000 °C kemudian FeO menjadi Fe pada suhu 1000 °C-1250 °C. Perubahan hematit menjadi logam besi (Fe) terjadi dalam tiga tahap, yaitu hematit menjadi magnetit, magnetit menjadi wustit dan wustit menjadi Fe. Hematit mulai tereduksi pada suhu 580 oC dan mulai berakhir pada 670 oC menggunakan gas CO dan H2 hasil

devolatilisasi batu bara. Magnetit tereduksi pada suhu 670-870 oC membentuk FeO menggunakan gas CO dan H2 hasil

devolatilisasi dan CO yang berasal dari reaksi gasifikasi batu bara. FeO tereduksi pada suhu 870-1200 oC dengan gas CO hasil gasifikasi batu bara. Reaksi maksimum terjadi pada suhu 950-1100 oC. Hal ini disebabkan karena karbon sangat mudah teroksidasi pada suhu ± 800 oC (Liu 2003).

Penambahan kapur suhu 800 oC dan 900

o

C tingkat metalisasi bijih besi Bayah (19.45% dan 44.50%) dan penambahan bentonit (17.97% dan 43.78%) lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat metalisasi pada suhu 1000 oC, yaitu 80.63% untuk penambahan kapur dan 82.11% untuk penambahan bentonit. Hal ini disebabkan oleh laju gasifikasi karbon pada suhu 800 oC dan 900 oC berjalan lebih lambat karena masih terdapat jelaga jika dibandingkan pada suhu 1000 oC. Nilai persen metalisasi dapat dilihat pada gambar 4. Selain itu, belerang yang terkandung dalam bijih besi dan batu bara diikat oleh kapur bakar hasil kalsinasi batu kapur. Reaksi yang terjadi ditunjukkan oleh persamaan berikut:

CaO + S + C  CaS + CO 2S + 2CaO + Si  2CaS + SiO2

S + 2CaO + 2Si  2CaSi + SO2,

Nomura et al. (2007) menyatakan bahwa ketika suhu 1200 oC, komponen utama dari batu bara, SiO2, dan FeO di dalam serbuk

bijih besi dapat bereaksi menghasilkan suatu campuran FeO dan SiO2, yaitu fayalite

(2FeO.SiO2). Akibat terbentuknya fayalite,

hasil reduksi yang diperoleh lebih rendah dari 1000 oC walaupun sisa karbonnya sedikit.

Gambar 4 Pengaruh suhu pada persen metalisasi bijih besi laterit dari Bayah

Perbandingan Penambahan Kapur dan Bentonit

Proses pembentukan pelet untuk besi spons dipengaruhi oleh penambahan air, bahan perekat, dan ukuran butiran. Penambahan air yang terlalu banyak akan membuat pelet menjadi lebih lunak sehingga sulit dibentuk bulatan. Penambahan air yang terlalu sedikit akan membuat kekuatan bola pelet berkurang. Pembentukan pelet dengan penambahan kapur lebih rapuh dibandingkan penambahan bentonit akibat kadar Al2O3 pada

bentonit yang lebih banyak sehingga lebih mudah untuk merekatkan partikel bijih besi. Penambahan binder atau perekat akan membuat pelet semakin kuat setelah dilakukan proses reduksi. Bentonit berperan sebagai perekat karena Kandungan utama bentonit adalah 80% mineral monmorilonit seperti kristal aluminium, hidrosilikat dengan struktur lapisan membentuk tanah liat. Struktur monmorilonit terdiri atas 3 layer, yaitu lapisan alumina (Al2O3) berbentuk oktahedral yang

diapit oleh 2 lapisan silika (SiO4) berbentuk

tetrahedral. Bentonit mengandung SiO2 lebih

tinggi dibandingkan CaO sehingga hasil besi spons dapat dikatakan bersifat asam sedangkan kapur mengandung kadar CaO lebih banyak dibandingkan SiO2 sehingga besi

(29)

11

Adanya penambahan kapur menunjukkan persen reduksi cukup stabil pada suhu 1000-1100 oC namun penambahan bentonit menunjukkan persen reduksi tidak stabil suhu 1100 oC dan naik kembali pada suhu 1200 oC. Hal tersebut akibat adanya SiO2 cukup banyak

sehingga terbentuk fayalite.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh bahwa kadar silika menurun setelah dilakukan benefisiasi, yaitu 5.90% menjadi 2.69% sehingga kadar Fe total dapat meningkat dari 56.70 menjadi 64.51%. Batu bara yang digunakan termasuk jenis sub-bituminus dengan kadar fixed carbon 47.19% karenanya cukup efektif untuk proses reduksi. Penambahan bentonit berfungsi sebagai perekat sehingga pelet yang diperoleh lebih baik (cukup keras) dan kadar metalisasi lebih tinggi dibandingkan penambahan kapur dengan persen metalisasi berturut-turut 82.11 dan 80.63%. Suhu optimum yang diperoleh untuk mereduksi bijih besi laterit dari Bayah berkisar antara 1000 dan 1100 oC.

Saran

Saat melakukan proses pembuatan pelet, pencampuran harus dilakukan sedikit demi sedikit agar homogen. Proses reduksi perlu dilakukan pada rentang suhu antara 900 oC dan 1100 oC dengan selisih selang 20 oC. Batu bara yang digunakan memiliki kadar sulfur rendah. Adanya pencampuran kapur dan bentonit dengan perbandingan tertentu untuk kesetimbangan basisitas. Hasil besi spons yang keras perlu dilakukan uji fisik seperti kekuatan besi spons.

DAFTAR PUSTAKA

[ASTM] American Society for Testing and Materials International Standard Word Wide. 2003. Annual Book Of ASTM Standards Section Five Petroleum Product, Lubricant, and Fossil Fuel. American: ASTM;(Volume 05.06 Gaseous Fuels, Coal, and Coke. Revision Issued Annually).

[ASTM] American Society for Testing and Materials International Standard Word Wide. 2000. Metals Test Metods and Analytical Procedures. American: ASTM;(Volume 03.05 section three. Revision Issued Annually).

Basset J et al. 1994. Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Hadyana, A dan Setiono, L, Penerjemah; Jakarta : EGC. Terjemahan dari: Vogel’s Textbook Of Quantitative Inorganik Analysis Including Elementary Instrumental Analysis.

BEI News. 2005. Kebutuhan Bahan Baku Baja Masih Terus Meningkat. [terhubung berkala] http://www. bexi.co.id (19 Maret 2009).

Camci L , Aydin S, dan Arslan C. 2002. Reduction of Iron Oxides in Solid Wastes Generated by Steelworks. Turkish J. Eng. Env. Sci. 26:37-44.

Donskoi E, McElwain DLS, dan Wibberley LJ. 2003. Sensitivity Analysis of A Model for Direct Reduction In Swelling Coal Char- Hematite Composite Pellets. ANZIAM J. 44:C140–C159.

El-Geassy AHA et al. 2007. Reduction Kinetics and Catastrophic Swelling of MnO2-doped Fe2O3 Compacts with CO at 1073–1373 K. ISIJ International 47(3):377–385.

Eltra Gmbh. 2005. CS-800 Carbon / Sulfur Determinator [terhubung berkala] http://www.eltragmbh.com. (9 April 2009).

Gr

Gambar

Tabel 1 Karakteristik batu bara (Grigore                        et al. 2007)
reduksi langsung menggunakan reduktor batu bara dipengaruhi oleh kombinasi beberapa gambar 1
gambar 2 akibat perubahan gas langsung
Gambar 3 Pengaruh suhu pada persen  karbon setelah  proses reduksi bijih besi laterit dari Bayah
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian ini, ditemukan empat jenis tindak advisoris guru dalam pembelajaran bimbingan konseling, yaitu: (1) tindak advisoris menasihatkan,

Hal ini dise- babkan petani lebih fokus mengembangkan sek- tor jasa (wisata ziarah di Danau Panjalu). Sedang- kan pola tanam di Desa Kalijaya dan Desa Ker- taharja lebih variatif

PERTAMA : Mengangkat dan menugaskan dosen mengajar matakuliah pada program studi S-1 Teknik Sipil Jurusan Pendidikan Teknik Bangunan Fakultas Teknik Universitas Negeri Medan,

Seperti halnya prasarana olahraga, sarana yang dipakai dalam kegiatan olahraga pada masing-masing cabang olahraga memiliki ukuran standard, tetapi apabila sarana dan

E&lt;ALUASI KINERJA %utput Diba&amp;ah arget Sesuai arget Lebih dari arget ''NPU ()*+ Surat pengharga an Surat Pengharga an ,-)*+ Surat peringatan Surat pengharga an /,-+

Penurunan kadar kalsium oksalat yang paling baik diperoleh pada proses pemanasan dengan suhu 60°C yang dilanjutkan dengan penambahan NaHCO3 6%w sebesar 98,52% dari kadar awalnya

Company Capability Factor yang mewakili variabel Convenience, Information, Intangibility of Online Product, Merchandise Quality, Service Quality, dan Enjoyment ; dan Consumer

Kesanggupan suatu sistem skoring prognosis memprediksi secara akurat kemungkinan kematian terhadap pasien-pasien yang masuk ke ICU adalah berdasarkan kondisi-kondisi berikut