• Tidak ada hasil yang ditemukan

merupakan salah satu tanaman obat yang memiliki banyak kegunaan, antara lain sebagai antibakteri Streptococcus mutans,

Staphylococcus aureus, dan P. acnes (Hwang 2000; Husein et al. 2009; Batubara et al.

2008), penghambat aktivitas lipase P. acnes

(Batubara et al. 2008), dan sebagai antioksidan (Batubara 2008; Tilaar et al.

2008; Jitoe et al. 1992; Masuda et al. 1992). Senyawa aktif yang berperan sebagai antibakteri adalah xantorizol (Hwang 2000). Selain xantorizol, temulawak mengandung kurkumin yang memiliki aktivitas antioksidan tinggi tetapi aktivitas antibakterinya rendah dan tidak ada daya inhibisi terhadap aktivitas lipase P. acnes dan gama elemenon yang memiliki aktivitas tinggi dalam menghambat aktivitas lipase P. acnes (Batubara et al.

2008). Keberadaan komponen sebagai antibakteri P. acnes, penghambat aktivitas lipase P. acnes, dan antioksidan menunjukkan bahwa temulawak memiliki potensi sebagai antijerawat (Batubara 2008; Batubara 2009). Selain itu, menurut Tilaar et al. (2008) temulawak juga aman bagi kulit karena tidak menyebabkan iritasi.

Meniran (Phyllanthus niruri L.) juga salah satu tanaman obat yang berfungsi sebagai antibakteri E. coli (Balistika 2000; Gunawan 2008), S. typhi, dan S. aureus dengan nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) sebesar 50 µg/ml (Sumathi & Paravathi 2010) dan sebagai antioksidan (Harish & Shivanandappa 2006). Senyawa aktif yang berperan dalam antibakteri adalah senyawa filantin (Murugaiyah & Chan 2007) dan senyawa terpenoid (campuran senyawa phytadiena dan 1,2-seco cladiellan) (Gunawan 2008).

Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas campuran ekstrak temulawak (C. xantorrizha Roxb.) dan meniran (P. niruri L.) sebagai antijerawat dibandingkan masing- masing ekstrak, terutama dilihat dari aktivitasnya sebagai antibakteri terhadap S. epidermidis yang merupakan salah satu bakteri penyebab jerawat dan sebagai antioksidan.

TINJAUAN PUSTAKA

Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)

Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) adalah tanaman obat-obatan yang tergolong keluarga Zingiberaceae. Temulawak berupa tumbuhan rumpun berbatang semu dengan tinggi hingga lebih dari 1 meter. Aroma dan warna khas dari rimpang temulawak adalah berbau tajam dan daging buahnya berwarna kekuning-kuningan (Gambar 1) (Afifah 2003). Secara taksonomi, meniran diklasifikasikan dalam divisi Sphermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledone, bangsa

Zingiberales, marga Curcuma, dan jenis

xantorrizha.

Gambar 1 Tanaman temulawak (C. xanthorrizol Roxb.) (Koleksi pribadi 2011)

Temulawak (C. xanthorriza Roxb.) telah diketahui berpotensi sebagai antioksidan (Jitoe et al. 1992) dan antibakteri dengan xantorizol yang berperan sebagai senyawa aktifnya (Hwang 2000). Kandungan senyawa xantorizol dalam temulawak sebesar 21% (Darusman et al. 2006). Xantorizol merupakan antibakteri potensial yang memiliki spektrum luas terhadap aktivitas antibakteri, stabil terhadap panas, dan aman terhadap kulit (Hwang 2000). Menurut Batubara et al. (2009), ekstrak temulawak dalam etanol 50% memiliki potensi sebagai antijerawat dengan nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) untuk P. acnes sebesar 0,5 mg/ml, nilai konsentrasi bunuh minimum (KBM) sebesar 2,0 mg/ml, dan nilai IC50

untuk antioksidan sebesar 80,72 µg/ml.

Meniran (Phyllanthus niruri L.)

Meniran (P. niruri) merupakan tanaman yang batangnya berbentuk bulat dengan tinggi kurang dari 50 cm. Meniran memiliki daun yang bersirip genap dan setiap satu tangkai daun terdiri dari daun majemuk yang memiliki ukuran kecil dan berbentuk lonjong. Bunga meniran terdapat pada ketiak daun menghadap ke arah bawah (Gambar 1). Tumbuhan ini berasal dari daerah tropis yang tumbuh liar di hutan-hutan, ladang-ladang, kebun-kebun, maupun pekarangan rumah. Meniran tumbuh subur di tempat yang lembab pada dataran rendah sampai ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut.

Gambar 2 Tanaman meniran (P. niruri L.) (Koleksi pribadi 2011).

Secara taksonomi, meniran diklasifikasikan dalam divisi Sphermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dicotyledone, bangsa Geraniales, suku Euphobiaceae, marga

Phyllantus, dan jenis niruri. Senyawa aktif yang dikandung meniran antara lain filantin, hipofilantin, filtetralin, dan niranrin (Murugaiyah & Chan 2007), alkaloid (Petchnaree 1986), terpenoid (Gunawan 2008), tannin (Markom et al. 2007), dan glikosida flavanon (Gupta & Bahar 1984).

Meniran memiliki aktivitas sebagai antibakteri, terutama S. aureus, S. thypi, dan

E. coli (Balistika 2000; Gunawan 2008; Sumathi & Paravathi 2010) dan sebagai antioksidan (Harish & Shivanandappa 2006). Aktivitas antibakteri yang dimiliki meniran dapat diteliti lebih lanjut sebagai antijerawat sebab jerawat umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri P. acnes dan S. epidermidis, bakteri S. epidermidis merupakan bakteri yang tergolong dalam satu genus dengan S. aureus. Aktivitasnya sebagai antioksidan juga berfungsi mengurangi oksidasi pada jerawat (Katzman & Logan 2007).

Jerawat

Jerawat (Acne vulgaris) adalah penyakit kulit akibat peradangan menahun dari folikel polisebasea (Wasitaatmadja 2002). Penyakit ini biasanya terjadi pada remaja. Jerawat terutama timbul pada kulit yang berminyak berlebihan (Yuindarmanto 2009). Selain itu, jerawat juga disebabkan oleh infeksi dari jasad renik, antara lain Propionibacterium acne, Staphylococcus epidermidis atau

Pityrosporum ovale dan P. orbiculare. Kadang-kadang jerawat menyebabkan rasa gatal yang mengganggu atau rasa sakit kecuali bila terjadi pustula atau nodus yang besar (Wasitaatmadja 2002).

Sistem pertahanan tubuh dengan antioksidan yang lemah dapat menyebabkan timbulnya jerawat (Katzman & logan 2007). Senyawa antioksidan tersebut berfungsi mengatasi faktor stres oksidatif dari pasien jerawat (Katzman & Logan 2007). Stres oksidatif merupakan keadaan saat mekanisme antioksidan tidak cukup untuk memecah spesi oksigen reaktif (Halliwel et al. 1995). Jerawat terjadi ketika lubang kecil pada permukaan kulit yang disebut pori-pori tersumbat. Pori- pori merupakan lubang bagi saluran yang disebut folikel, yang mengandung rambut dan kelenjar minyak. Ketika kelenjar minyak memproduksi terlalu banyak minyak, pori- pori akan banyak menimbun kotoran dan juga

mengandung bakteri. Kondisi ini dapat menyebabkan inflamasi. Asam lemak dan minyak kulit tersumbat dan mengeras. Jika jerawat disentuh maka inflamasi akan meluas sehingga padatan asam lemak dan minyak kulit yang mengeras akan membesar (Brook et al. 2005).

Antijerawat merupakan salah satu komponen yang dapat mengatasi timbulnya jerwat. Jerawat dapat diatasi dengan menghambat pertumbuhan P. acnes, menghambat aktivitas lipase P. acnes, dan menghambat stres oksidatif (Katzman & Logan 2007). Artinya, suatu komponen yang bersifat antijerawat harus mampu mnghambat pertumbuhan P. acnes, menghambat aktivitas lipase P. acnes, dan menghambat stres oksidatif (Batubara et al. 2008; Batubara et al.

2009).

Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus epidermidis merupakan salah satu dari 30 jenis bakteri yang termasuk dalam genus Staphylococcus. Bakteri ini terdapat pada kulit dan dapat ditemukan dalam selaput lendir pada hewan. S. epidermidis tergolong bakteri gram positif, bersifat aerob fakultatif, tidak menghasilkan spora dan tidak motil, umumnya tumbuh membentuk kluster seperti anggur (Gambar 4), dengan diameter sekitar 1-2 mm, dan tumbuh dengan optimum pada suhu 37 oC (Otto 2009). Bakteri tersebut tumbuh cepat pada agar darah dan tidak menghasilkan enzim koagulase yang dapat menggumpalkan darah, sehingga sering disebut Staphylococcus

koagulase negatif (Kirchhoff & Sheagren 1985).

Gambar 3 Bakteri S. epidermidis (Otto 2009).

Infeksi yang disebabkan oleh S. epidermidis biasanya dikaitkan dengan perangkat medis, seperti kateter, dan sering terjadi pada orang dengan sistem kekebalan yang lemah (Goldmann 1993). Sedikit yang diketahui tentang bagaimana S. epidermidis

menyebabkan penyakit pada manusia. Karakteristik dari banyak strain mikroba ini adalah produksi dari kapsul atau lendir yang

dihasilkan dalam pembentukan biofilm (Fitzpatrick et al. 2005).

Dalam sebuah biofilm, S. epidermidis

dilindungi terhadap serangan dari sistem kekebalan tubuh dan melawan perlakuan antibiotik yang membuat infeksi S. epidermidis sulit dihentikan (Fitzpatrick et al.

2005). Kekebalannya terhadap beberapa antibiotik menyebabkan bakteri tersebut memerlukan pengobatan lain, seperti vankomisin, rifampisin, dan kuinolon (Kirchhoff & Sheagren 1985). Namun baru- baru ini S.epidermis menunjukkan keresistenannya terhadap vankomisin, sehingga muncul antibiotik lain seperti linezolid dan quinupristin (John et al. 2002).

Antibakteri

Antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme mikroba yang merugikan. (Madigan et al. 2008). Antibakteri termasuk ke dalam antimikroba yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Mekanisme kerja dari senyawa antibakteri diantaranya yaitu menghambat sintesis dinding sel, menghambat keutuhan permeabilitas dinding sel bakteri, menghambat kerja enzim, dan menghambat sintesis asam nukleat dan protein (Jawetz et al. 1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas senyawa antibakteri antara lain pH, suhu stabilitas bakteri tersebut, lamanya inkubasi, dan aktivitas metabolisme bakteri (Madigan et al. 2008).

Antioksidan

Antioksidan merupakan zat yang mampu memperlambat atau mencegah proses oksidasi. Zat ini secara nyata mampu memperlambat atau menghambat oksidasi zat yang mudah teroksidasi meskipun dalam konsentrasi rendah (Masuda et al. 1992). Kondisi oksidasi dapat menyebabkan kerusakan protein dan DNA, kanker, penuaan, dan penyakit lainnya (Jitoe et al. 1992). Komponen kimia yang berperan sebagai antioksidan adalah senyawa golongan fenolik dan polifenolik. Senyawa-senyawa golongan tersebut banyak terdapat di alam, terutama pada tumbuh-tumbuhan, dan memiliki kemampuan untuk menangkap radikal bebas. Radikal bebas adalah spesies yang tidak stabil karena memiliki elektron yang tidak berpasangan dan mencari pasangan elektron

dalam makromolekul biologi (Masuda et al.

1992).

Salah satu metode yang digunakan untuk pengujian aktivitas antioksidan adalah metode DPPH. Metode DPPH didasarkan pada kemampuan antioksidan untuk menghambat radikal bebas dengan mendonorkan atom hidrogen. Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan 1,1-difenil-2- pikrilhidrazil (DPPH) sebagai radikal bebas. Prinsipnya adalah reaksi penangkapan hidrogen oleh DPPH dari senyawa antioksidan yang mengubahnya menjadi 1,1-difenil-2- pikrilhidrazin. Metode ini menggunakan kontrol positif sebagai pembanding untuk mengetahui aktivitas antioksidan sampel. Kontrol positif ini dapat berupa tokoferol, BHT, dan vitamin C (Rahman et al. 2008).

Gambar 4 Mekanisme penangkapan radikal DPPH (Rahman et al. 2008).

Ekstraksi

Ekstraksi merupakan suatu metode yang melibatkan perpindahan suatu konstituen padat atau cair ke dalam cairan lain, yaitu pelarutnya. Prinsip dasar ekstraksi adalah kelarutan, pemisahan zat terlarut yang diinginkan atau menghilangkan komponen zat terlarut yang tidak diinginkan dari fase padat maka fase padat dikontakkan dengan fase cair. Terdapat berbagai cara ekstraksi, salah satunya adalah maserasi (Harborne 1987).

Maserasi adalah proses perendaman sampel menggunakan pelarut pada suhu ruang. Teknik maserasi sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada di dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut (Harborne 1987). Selain itu ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendamannya. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam pada pelarut tersebut (Rohman et al.2006).

Desain Campuran dengan Simplex Centroid

Desain campuran merupakan rancangan yang digunakan pada percobaan dengan campuran bahan. Faktor dari rancangan ini adalah komponen dari campuran sehingga taraf masing-masing faktor tidak saling bebas (Delaroza 2008). Salah satu contoh desain rancangan adalah simplex centroid. Simplex centroid memberikan ulasan percobaan dari respon permukaan di bagian tengah bidang. Salah satu cara untuk menggambarkan model adalah mempertimbangkan struktur dari percobaan tiga faktor. Desain tiga komponen dapat digambarkan dengan segitiga sama sisi dalam dua dimensi (Gambar 5) (Borges et al.

2007).

Gambar 5 Desain campuran dengan simplex centroid.

Analisis Penciri dengan Kromatografi

Analisis penciri adalah suatu analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi dan membandingkan suatu komponen dengan komponen lain berdasarkan informasi kimia yang dihasilkan (Liang et al. 2007). Analisis penciri kromatografi dapat dilakukan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis dan kromatografi cair kinerja tinggi.

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan jenis kromatografi partisi menggunakan sebuah lapis tipis silika atau alumina yang seragam pada sebuah lempeng gelas atau logam yang keras. Fase diam untuk KLT seringkali juga mengandung substansi yang dapat berpendar dalam sinar ultra violet. Fase gerak merupakan pelarut atau campuran pelarut yang sesuai (Harvey 2000). Pergerakan zat relatif terhadap garis depan pelarut dalam sistem kromatografi lapis tipis dapat didefinisikan sebagai nilai Rf, yaitu

perbandingan jarak tempuh zat dengan jarak tempuh garis depan pelarut. KLT memiliki banyak keuntungan dalam menganalisis tanaman herbal, antara lain mudah, cepat, preparasinya tidak rumit, dan dapat digunakan

5

untuk menganalisis berbagai macam sampel. Hampir lebih dari 30 noda dapat diamati secara simultan pada satu waktu di dalam satu pelat (Funk & Droeschel 1991).

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan salah satu alat pemisah komponen- komponen dalam suatu senyawa berdasarkan interaksi komponen dengan fase gerak (cairan) dan fase diam. Fase gerak yang melewati komponen dibantu dengan adanya tekanan. Hasil dari alat ini berupa kromatogram atau sidik jari kromatografi. Kromatogram menggambarkan puncak- puncak dengan waktu retensi tertentu sesuai komponen yang terpisahkan. Kadar dari komponen yang terpisahkan ditunjukkan dengan luas area dari masing-masing puncak (Harvey 2000).

Parameter yang diukur pada analisis penciri KCKT meliputi waktu retensi, resolusi, jumlah puncak, dan luas puncak. Parameter tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain metode ekstraksi dan instrumen kromatografi. Namun, parameter yang banyak dipakai adalah jumlah puncak yang dihitung dari banyaknya puncak yang muncul (Liang et al. 2004). KCKT dapat digunakan untuk menganalisis hampir seluruh komponen dalam obat herbal. Hal itu disebabkan hasil sidik jari kromatografinya dapat merepresentasikan senyawa aktif yang terdapat dalam obat herbal tersebut (Liang et al. 2004).

BAHAN DAN METODE

Dokumen terkait