• Tidak ada hasil yang ditemukan

Parasitoid Eriborus argenteopilosus (Cameron)

Eriborus argenteopilosus (Cameron) (Hymenoptera: Ichneumonidae) adalah sejenis tabuhan yang memarasit larva C. pavonana (Sathe 1987). Inang lain dari parasitoid ini adalah larva Helicoverpa armigera (Bilapate et al 1988; La Daha 1997) dan Spodoptera litura (Sathe 1987). Telur parasitoid E. argenteopilosus berwarna putih dan bentuknya menyerupai biji kacang buncis (Othman 1982). Panjang telur berkisar antara 0.31-0.42 mm dan lebar 0.07-0.11 mm (Sahari 1999). Masa inkubasi telur berkisar antara 32-36 jam (Hadi 1985).

Larva E. argenteopilosus berwarna putih kekuning-kuningan (Hadi 1985). Larva terdiri atas lima instar (Sathe 1990). Bentuk larva parasitoid instar I dan II termasuk tipe caudate dicirikan tubuh memanjang tidak bertungkai, ruas tubuh jelas dan ruas abdomen terakhir berbentuk mengerucut menyerupai ekor. Larva instar lanjut termasuk tipe hymenopteriform (Clausen 1940). Larva tidak bertungkai, mandibel jelas dan ujung abdomen membulat. Lama stadium larva parasitoid bergantung pada jenis atau umur larva inang (Othman 1982). Stadium larva berkisar antara 9-10 hari pada inang C. pavonana (Hadi 1985) atau 9 hari pada inang Spodoptera litura (Sathe 1990). Stadium larva yang berkembang pada inang C. pavonana berumur 2, 3, 4, dan 5 hari berturut-turut 10-12 hari, 9-13 hari, 8-13 hari, dan 7-9 hari (Othman 1982). Sebelum menyelesaikan instar akhir, larva parasitoid E. argenteopilosus keluar dari tubuh inang, kemudian menyelimuti tubuhnya dengan kokon. Di dalam kokon, larva memasuki fase pra pupa yang berlangsung sekitar 1-2 hari dan dilanjutkan dengan pembentukan pupa. Pupa berwarna coklat tua dengan panjang berkisar antara 7-9 mm dan lebar 2-3 mm (Othman 1982). Stadium pupa pada inang C. pavonana berkisar antara 7-9 hari (Hadi 1985) sedangkan pada inang S. litura stadium pupa ± 6 hari (Sathe 1990).

Imago parasitoid E. argenteopilosus memiliki toraks hitam dan abdomen berwarna coklat kemerahan. Parasitoid betina dicirikan dengan keberadaan ovipositor yang relatif panjang. Ukuran tubuh parasitoid betina umumnya lebih besar dibandingkan dengan jantan. Panjang tubuh dan rentang sayap imago betina masing-masing 7.0-8.0 mm dan 11.0-13.0 mm, sedangkan imago jantan 5.5-8.5

mm dan 9.0-12.0 mm (Othman 1982). Nisbah kelamin jantan: betina adalah 1.16: 1 hasil perkembangan pada C. pavonana (Hadi 1985) dan 1:1.07 pada S. litura (Sathe 1990). Imago jantan biasanya muncul 1-3 hari lebih awal dari imago betina. Kopulasi terjadi segera setelah betina muncul dari pupa, dan periode pra- oviposisi memerlukan waktu kurang dari 24 jam (Sathe 1990). Parasitoid betina umumnya meletakkan telur pada inang C. pavonana instar I, II, dan III. Rata-rata lama hidup imago betina 13.3 hari dan jantan 6.7 hari (Hadi 1985). Imago parasitoid yang diberi pakan madu 10% di laboratorium dapat hidup selama 15.1 hari, sedangkan imago yang tidak diberi pakan hanya bertahan hingga 2 hari (Sathe 1990). Keperidian imago betina mencapai 317-453 butir telur (Hadi 1985).  

Crocidolomia pavonana (Fabricius)

Ulat krop kubis Crocidolomia pavonana (Fabricius) (Lepidoptera: Crambidae) merupakan salah satu hama penting pada tanaman sayuran brassicaceae seperti kubis, brokoli, kubis bunga, sawi, dan lobak (Kalshoven 1981). Hama C. pavonana tersebar di daerah Afrika, India, dan Asia Tenggara termasuk Indonesia yang meliputi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara (Soeroto et al. 1994).

Telur C. pavonana diletakkan secara berkelompok dan berderet saling tumpang tindih di permukaan bawah daun. Saat diletakkan, telur berwarna hijau kemudian setelah dua hari berubah menjadi kuning kehijauan, coklat kemerahan, dan sebelum menetas berwarna hitam kelabu (Korinus 1995). Periode inkubasi telur rata-rata 4 hari pada suhu 26-33.2 °C dengan persentase penetasan 92.4% (Othman 1982).

Larva C. pavonana berkembang melalui empat instar (Prijono dan Hassan 1992). Setiap instar memerlukan waktu perkembangan berturut-turut 2, 2, 1.5, dan 3.2 hari, sehingga stadium perkembangan larva rata-rata 8.7 hari pada suhu 25-28 °C dan kelembaban nisbi 60-70%. Larva instar empat dicirikan dengan corak tubuh berwarna hijau dan garis memanjang berwarna keputihan pada setiap sisi lateral. Pada setiap ruas terdapat tiga bintik hitam dan seta pada setiap sisinya. Sebagian daerah dorsal larva instar empat berubah warna dari hijau menjadi coklat

pada saat akan menjadi pupa (Othman 1982). Larva berkepompong di dalam tanah. Pupa berwarna coklat kekuningan kemudian berubah menjadi coklat tua. Lama stadium pupa berlangsung 10 hari pada suhu 26-32.2 °C dan kelembaban nisbi 54.1-87.8% (Othman 1982).

Imago C. pavonana dibedakan antara jantan dan betina dengan tanda dua bercak putih pada sayap depan (Othman 1982). Selain itu, imago jantan mudah dikenali dengan adanya rambut-rambut coklat tua pada tepi anterior sayap depan. Tubuh imago jantan umumnya lebih panjang (11.4 mm) dibandingkan imago betina (9.6 mm) (Prijono dan Hassan 1992). Di laboratorium, imago betina yang diberi pakan tambahan madu lebah 10% dapat meletakkan 60-598 butir telur yang tersusun dalam 2-21 kelompok telur. Lama inkubasi telur berlangsung 3-10 hari pada suhu 16-22.5 °C dan kelembaban nisbi 60-80% (Othman 1982).

Hubungan Parasitoid - Inang

Pengendalian hayati merupakan sistem pengendalian yang memanfaatkan keberadaan musuh alami di lapang dan menjadi inti dari program PHT. Salah satu musuh alami yang digunakan sebagai agen biologis dalam mengendalikan hama di lapangan adalah parasitoid (Rehman dan Powell 2010). Kehidupan parasitoid di lapangan dipengaruhi oleh beberapa faktor biotik dan abiotik. Keberadaan inang merupakan faktor biotik yang diperlukan parasitoid untuk berkembang dan melangsungkan siklus hidupnya (Nelly dan Yaherwandi 2006). Keberhasilan parasitoid untuk mendapatkan inang dilalui dengan empat tahapan pencarian

inang, yaitu: 1) penemuan habitat inang, 2) penemuan individu inang, 3) penerimaan inang oleh parasitoid, dan 4) kesesuaian hidup parasitoid di dalam

tubuh inang (Doutt 1959). Van Alpen dan Vet (1986) mengemukakan bahwa dalam posisi penemuan inang, parasitoid menggunakan tiga mekanisme yaitu: 1) menandai adanya vibrotaksis (gerakan inang), 2) dengan perabaan oleh ovipositor dan 3) perabaan oleh antena. Berbagai interaksi seperti genetik, faktor pembelajaran dan pengkondisian memiliki peranan penting pada perilaku pemilihan inang yang dilakukan oleh parasitoid (Rehman dan Powell 2010). Sementara menurut Strand dan Pech (1995) kesesuaian parasitoid-inang dapat dijelaskan dengan keseimbangan antara: 1) kemampuan parasitoid untuk

menyerang inang, kecukupan akan kebutuhan untuk perkembangan parasitoid dan menghindari penyisihan oleh sistem kekebalan inang, 2) kemampuan inang untuk bereaksi melawan penyerangan parasitoid.

Enkapsulasi : Reaksi Pertahanan Inang terhadap Parasitoid

Keberhasilan parasitisme berkaitan erat dengan kesesuaian sistem pertahanan tubuh internal inang terhadap serangan parasitoid (Strand dan Pech 1995). Enkapsulasi merupakan suatu respon pertahanan yang umum dilakukan oleh serangga inang terhadap endoparasitoid dan organisme asing lainnya (Strand dan Pech 1995; Blumberg 1997). Menurut Gupta (1991) dan Chapman (1998) proses enkapsulasi dimulai dengan terjadinya kontak antara benda asing yang cukup besar seperti telur atau larva parasitoid dengan sel-sel darah granulosit atau koagulosit yang mengakibatkan sel-sel darah tersebut pecah dan melepaskan faktor-faktor pengenal (recognition factor) yang terdiri dari zat yang mirip mukopolisakarida, senyawa fenol, dan fenoloksidase (juga terdapat dalam cairan darah) serta enzim-enzim (diproduksi oleh sel-sel oenositoid). Faktor pengenal tersebut merangsang sel-sel plasmatosit menempel dan memipih pada permukaan telur atau larva parasitoid membentuk kapsul. Kapsul yang terbentuk mempunyai tiga lapisan: 1) lapisan bagian dalam yang terdiri dari sel-sel plasmatosit (ketebalan 10 sel) yang mengalami nekrosis setelah memproduksi melanin, 2) lapisan tengah yang terdiri dari sel-sel plasmatosit yang memipih (ketebalan 20 sel) sel-sel ini dihubungkan oleh desmosom, dan 3) lapisan bagian luar yang terdiri atas sel-sel plasmatosit yang tidak termodifikasi (ketebalan 5 sel).

Dalam enkapsulasi seluler, sel-sel darah inang (hemosit) mengelilingi dan menempel pada permukaan benda yang menginvasi, membentuk kapsul multiseluler seperti amplop yang mengelilinginya (Blumberg 1997). Gotz (1986) mengemukakan bahwa pada rangkaian enkapsulasi seluler proses enkapsulasi dibagi menjadi 10 tahap yang berurutan dimana hampir tiap-tiap tahap dilengkapi dalam 15 menit. Keseluruhan proses berakhir antara 1 dan 3 hari. Kapsul yang berkembang secara penuh disusun oleh beberapa tipe hemosit, di antaranya adalah prohemosit, plasmatosit, oenositoid, thrombositoid dan granular hemosit. Sel-sel ini berbeda dalam ukuran dan fungsi serta didalam frekuensinya di antara populasi

hemosit total dari spesies serangga yang diberikan (Gotz dan Boman 1985; Vinson 1990). Dalam proses enkapsulasi sel-sel bagian dalam yang berperan membentuk kapsul yang membungkus parasitoid akan mengalami melanisasi, sehingga pada akhirnya melanin akan terakumulasi pada permukaan benda yang dienkapsulasi (Gotz dan Boman 1985).

Pada serangga Lepidoptera, sel granulosit dan plasmatosit berperan di dalam formasi kapsul, sedangkan oenositoid dan granulosit dilaporkan mempunyai aktivitas enzim fenoloksidase yang berperan di dalam melanisasi kapsul. Melanin ini pada dasarnya dibentuk selama oksidase dan polimerase fenol, yaitu tirosin dan dopa oleh enzim yang disebut fenoloksidase (Nappi 1975). Menurut Van den Bosch (1964) parasitoid yang mengalami enkapsulasi ada kemungkinan mati karena kekurangan nafas, kelaparan atau penghambatan secara fisik. Parasitoid yang dienkapsulasi secara parsial dapat bertahan hidup dan mungkin melanjutkan untuk berkembang secara normal. Dalam laporan lain disebutkan bahwa beberapa larva parasitoid dari kelompok Hymenoptera mampu menghindari proses enkapsulasi karena gerakan larva yang aktif. Pada Tachinidae (Diptera) terdapat sistem saluran pernafasan yang berhubungan dengan sistem trakhea inangnya sehingga kebutuhan oksigen dapat terpenuhi. Selain itu benda asing dapat terhindar dari proses enkapsulasi karena mempunyai sifat-sifat permukaan yang menyerupai jaringan ikat dari inangnya sehingga tidak menimbulkan respon dari sel-sel darah (Woodring 1985; Chapman 1998).

Beberapa spesies Ichneumonidae dan Braconidae (Hymenoptera) mengandung polydnavirus pada bagian kaliks dari ovarinya yang dapat menghambat terjadinya proses enkapsulasi (Strand dan Noda 1991; Lavine dan Beckage 1995; Strand dan Pech 1995). Selain itu kapsul yang terbentuk saat enkapsulasi dapat dirusak oleh senyawa racun yang dikeluarkan oleh imago parasitoid pada saat meletakkan telur. Racun tersebut dapat merusak susunan kapsul sehingga telur parasitoid dapat terbebas dan melanjutkan perberkembangannya (Rizki dan Rizki 1984).

Implikasi Enkapsulasi dalam Pengendalian Hayati

Parasitoid E. argenteopilosus merupakan agens hayati yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai agens pengendali C. pavonana karena hampir selalu ditemui di pertanaman sayuran, namun tingginya tingkat enkapsulasi menyebabkan E. argenteopilosus kurang efektif dijadikan sebagai cara pengendalian hama C. pavonana di lapangan (Hadi 1985; Nelly dan Yaherwandi 2006). Chapman (1998) mengemukakan bahwa proses fagositosis dan enkapsulasi terhadap telur dan larva parasitoid merupakan contoh reaksi pertahanan diri inang. Kegagalan parasitoid dalam menekan populasi inang sering disebabkan oleh proses fagositosis maupun proses enkapsulasi tersebut.

Tingginya kecepatan enkapsulasi sangat menentukan terjadinya peledakan serangga hama di lapangan, yang secara tidak langsung menunjukkan ketidakefektifan parasitoid. Kemampuan serangga inang di dalam menghambat

perkembangan parasitoid melalui enkapsulasi telah banyak dipelajari di laboratorium. Hal ini sangat berguna dalam meramalkan potensi parasitisasi

di lapangan dan juga dapat menjelaskan penyebab kegagalan inundasi atau introduksi parasitoid. Tingginya enkapsulasi merupakan kendala yang sangat mengganggu di dalam perbanyakan parasitoid di laboratorium (Blumberg 1997). Van den Bosch (1974 dalam Hadi 1985) menyebutkan bahwa salah satu penyebab turunnya efektivitas parasitoid Bathyplectes curculionis (Hymenoptera: Ichneumonidae) dalam mengendalikan hama Hypera bruneipennis (Coleoptera: Curculionidae) adalah terjadinya enkapsulasi pada telur parasitoid.

Pengaruh Pakan terhadap Kebugaran dan Kemampuan Enkapsulasi Inang

Komposisi nutrisi dan senyawa pada tanaman pakan berpengaruh besar terhadap bentuk morfologi dan kebugaran inang (Price et al. 1980). Serangga yang memakan tanaman berkualitas rendah atau kekurangan nutrisi akan mengalami hambatan pada perkembangannya, dimana ukuran tubuhnya lebih kecil dan masa perkembangannya lebih lama dibandingkan serangga pada tanaman dengan nutrisi yang lengkap (Stadler dan Mackauer 1996). Keseimbangan komposisi nutrisi yang dibutuhkan oleh setiap serangga berbeda- beda dan komposisi nutrisi yang tepat akan mendukung pertumbuhan serangga,

terutama kuantitas protein dan asam amino yang sangat mendukung dalam proses reproduksi, serta pertumbuhan dan perkembangan serangga secara optimal (Chapman 1998).

Selain itu pakan juga mempengaruhi sistem pertahanan yang dimiliki oleh inang. Sistem pertahanan merupakan hal penting yang dibutuhkan inang ketika terjadi penyerangan oleh parasitoid. Inang membutuhkan pakan yang berkualitas untuk mendapatkan sistem pertahanan yang efektif dalam melakukan perlawanan terhadap serangan parasitoid. Kandungan nutrisi yang berbeda-beda pada pakan seperti protein, gula, asam lemak, kadar air, dan komponen lain seperti senyawa tanin dan fenolik lainnya merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pertahanan yang dimiliki oleh inang (Haukioja 2003, 2005). Klemola (2009) menjelaskan bahwa kualitas pakan inang merupakan salah satu faktor yang menentukan sistem pertahanan yang dimiliki oleh inang. Pakan yang berkualitas tinggi memiliki kecenderungan bahwa sistem pertahanan yang dimiliki inang tersebut juga baik.

                     

Dokumen terkait