• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mobilisasi

2.1.1. Defenisi Mobilisasi

Mobilisasi merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang diperlukan oleh individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang berupa pergerakan sendi, sikap, gaya berjalan, latihan maupun kemampuan aktivitas (Perry & Potter, 2010, hlm 485). Mobilisasi adalah kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya (Alimul, 2009, hlm 173). Kemampuan untuk tetap aktif dan bergerak secara fisik penting dalam memelihara kesehatan dan kesejahteraan (Smith – Temple, 2010, hlm 674).

Mobilisasi dini pasca laparotomi dan seksio sesarea ditujukan untuk mempercepat penyembuhan luka, memperbaiki sirkulasi, mencegah statis vena, menunjang fungsi pernafasan optimal, meningkatkan fungsi pencernaan, mengurangi komplikasi pasca bedah, mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi, mempertahankan konsep diri pasien dan mempersiapkan pasien pulang. Mobilisasi meningkatkan fungsi

paru-paru- semakin dalam napas yang dapat ditarik, semakin meningkat sirkulasi darah.

Hal tersebut dapat memperkecil resiko pembentukan gumpalan darah dan menolong saluran pencernaan agar mulai bekerja lagi (Gallacher, 2010, hlm 23; Jitowiyono, 2010, hlm 94, Oeswari, 2000, hlm 30; Smeltzer, 2002, hlm 436).

Mobilisasi dini juga digunakan untuk menunjukkan pertahanan tubuh, melakukan aktivitas sehari-hari dan berpartisipasi dalam aktivitas. Banyak fungsi tubuh yang bergantung pada mobilisasi. Oleh karena itu, sistem muskuloskeletal tubuh dan sistem syaraf harus berada dalam kondisi baik (Perry & Potter, 2010, hlm 486). Perubahan mobilisasi akan mempengaruhi fungsi metabolisme endokrin, resorpsi kalsium, dan fungsi gastrointestinal. Sistem endokrin, menghasilkan hormon, mempertahankan dan meregulasi fungsi vital seperti: berespon pada stress dan cedera, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, mempertahankan lingkungan internal, produksi dan penyimpanan energi. Saat stress terjadi, sistem endokrin memicu respon yang bertujuan untuk mempertahankan tekanan darah dan kehidupan. Sistem endokrin penting untuk mempertahankan homeostatis. Jaringan dan sel hidup pada lingkungan internal, dimana sistem endokrin membantu regulasinya dengan mempertahankan natrium, kalium, air, dan keseimbangan

asam basa. Sistem endokrin juga meregulasi metabolisme energi. Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basa dan energi untuk sel selama aksi gastrointestinal dan hormon pankreatik (Copstead-Kirkhorn dan Banasik, 2005).

Kalau mobilisasi dini tidak dilakukan pada pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea maka akan menyebabkan bahaya fisiologis dan psikologis. Bahaya fisiologis mempengaruhi fungsi metabolisme normal, seperti: menurunkan laju metabolisme; mengganggu metabolisme karbohidrat, lemak dan protein; menyebabkan ketidakseimbangan cairan elektrolit dan kalsium; dan menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti nafsu makan dan penurunan peristaltik dengan konstipasi dan impaksi fekal. Imobilisasi juga dapat menyebabkan pasien memiliki resiko tinggi komplikasi pernafasan, seperti: atelektasis (kolapsnya alveoli), pneumonia hipostatik (inflamasi pada paru akibat statis atau bertumpuknya sekret), dan embolisme paru; Imobilisasi dapat mengubah eliminasi urine. Pada posisi berbaring terlentang dan datar, ginjal dan ureter bergerak maju ke sisi yang lebih datar. Urine yang dibentuk oleh ginjal harus memasuki kandung kemih tidak dibantu oleh gaya gravitasi sehingga pelvis ginjal terisi sebelum urine memasuki ureter. Keadaan ini disebut statis urine dan meningkatkan resiko infeksi saluran kemih; mengakibatkan terjadinya kontraktur sendi dan atrofi otot. Selama pasien berbaring

di tempat tidur akan menyebabkan penurunan fungsi muskuloskeletal dan kekuatan otot (Mangunnegoro, 2001, hlm 44; Nicholss, 2001, hlm 117; Perry & Potter, 2010, hlm 476-482; Smith –Temple, 2010, hlm 674).

Imobilisasi atau tirah baring dapat menyebabkan penurunan fungsi sensorik, perubahan respon emosional dan perilaku, seperti: permusuhan, perasaan pusing,takut dan perasaan tidak berdaya sampai ansietas ringan bahkan sampai psikosis; depresi karena perubahan peran dan konsep diri, gangguan pola tidur karena perubahan rutinitas atau lingkungan, dan perubahan koping. Imobilisasi yang lama durasinya juga akan mengakibatkan bahaya psikologis yang semakin besar pada pasien pasca laparotomi (Smith –Temple, 2010, hlm 675).

Masalah yang sering terjadi dengan mobilisasi pasca laparotomi dan seksio sesarea adalah ketika pasien merasakan terlalu sakit atau nyeri maka pasien tidak mau melakukan mobilisasi dini dan memilih untuk istirahat di tempat tidur . Smeltzer (2002) menyatakan bahwa tingkat dan keparahan nyeri pasca operatif tergantung pada anggapan fisiologi dan psikologi individu, toleransi yang ditimbulkan untuk nyeri, letak insisi, sifat prosedur, kedalaman trauma bedah dan jenis agen anestesia. Selain itu, pasien yang tidak mengetahui manfaat mobilisasi dini dan tidak mendapatkan

informasi dari perawat cenderung tidak melakukan mobilisasi . Dengan demikian, kebanyakan dari pasien post laparotomi dan seksio sesarea mempunyai kekhawatiran kalau tubuh digerakkan pada posisi tertentu pasca pembedahan akan mempengaruhi luka operasi yang masih belum sembuh. Kekhawatiran (ansietas) ini dapat meningkatkan ketidakmampuan untuk melakukan mobilisasi (Kozier,1995, hlm 970; Oswari, 2000, hlm 30; Smeltzer,2002, hlm 469).

Pasien dianjurkan untuk segera melakukan mobilisasi dini setelah 24 – 48 jam pertama pasca bedah. Pergerakan pasca pembedahan akan mempercepat pencapaian level kondisi seperti pra pembedahan. Perawat mempunyai peran sebagai edukator dan motivator sehingga pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea mampu melakukan mobilisasi dini secara mandiri. Perawat hendaknya mampu berespon terhadap kebutuhan pasien dengan melakukan tindakan keperawatan : promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dalam hal ini, perawat harus mampu mengkaji secara teliti tingkat kebutuhan pasien akan mobilisasi, membuat perencanaan tindakan keperawatan mobilisasi dini sehingga didapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan komprehensif (Oswari, 2000, hlm 30; Perry & Potter, 2010, hlm 476-477).

2.1.2 Rentang Gerak Dalam mobilisasi

Menurut Carpenito (2000) dalam mobilisasi terdapat 3 rentang gerak:

2.1.2.1 Rentang gerak pasif berguna untuk menjaga kelenturan otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif. Misalnya: perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.

2.1.2.2 Rentang gerak aktif, untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif. Misalnya: berbaring, pasien menggerakkan kakinya.

2.1.2.3 Rentang gerak fungsional, untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktivitas yang diperlukan (Alimul A, 2009, hlm 173).

2.1.3 Jenis Mobilisasi

2.1.3.1 Mobilisasi penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.

2.1.3.2 Mobilitas sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan

saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya. Mobilitas sebagian dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

 Mobilitas sebagian temporer, merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversible pada sistem musculoskeletal, contohnya: dislokasi sendi dan tulang.

 Mobilitas sebagian permanen, merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf reversibel, contohnya terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegi karena cedera tulang belakang, poliomyelitis karena terganggunya sistem syaraf motorik dan sensorik (Alimul, 2009, hlm 174).

Menurut Kozier (1995), latihan mobilisasi dini mencakup latihan isotonik, latihan isometrik, dan latihan ambulasi. Latihan isotonik meliputi pergerakan yang dapat meningkatkan kontraksi otot pasien. Kontraksi otot dikategorikan berdasarkan tujuan fungsional, yaitu: bergerak, menahan atau menstabilkan bagian-bagian tubuh. Pada tekanan konsentrik, meningkatnya kontraksi otot menyebabkan tulang memendek, sehingga terjadi gerakan; misalnya saat pasien menggunakan otot trapezium atas untuk bangun dari tempat tidur. Tekanan esentrik membantu mengontrol kecepatan dan

arah gerakan. Pada contoh : otot trapezium atas, pasien duduk di tempat tidur dengan lambat. Penurunan ini, dikontrol saat otot antagonis memanjang. Reaksi otot konsentrik dan esentrik sangat penting untuk pergerakan aktif sehingga latihan ini disebut latihan isotonik atau dinamik (Kozier, et al. 1995, hlm 998 -1000).

Latihan isotonik yang harus dilakukan adalah pasien berada dalam posisi terlentang, pasien mengencangkan otot-otot abdomen, pasien menekuk dan mengontraksikan otot-otot paha dengan mengangkat satu lutut dengan perlahan ke arah dada, pasien mengulangi sekurang-kurangnya lima kali untuk setiap tungkai sesuai kemampuan pasien . Latihan isometrik mencakup : Abdominal setting yaitu pasien meletakkan satu tangan pada abdomen ketika pasien menegangkan otot abdomen, otot-otot abdomen akan berkontraksi dan ditahan selama 10 detik, lalu dilepaskan; Quadriseps setting: pasien mengontraksikan otot-otot panjang pada paha, selama 10 detik ditahan dan dilepaskan; Gluteal setting: pasien mengontraksikan otot-otot bokong bersama-sama, selama 10 detik ditahan dan dilepaskan. Pasien mengulangi latihan ini 5-10 kali sesuai kemampuan. Latihan ambulasi dini terdiri dari: pasien merubah posisi miring kanan dan miring kiri (Kozier, et al. 1995, hlm 998 -1000, Perry & Potter, 2010, hlm 472) .

Demonstrasi latihan pasca laparotomi dan seksio sesarea yaitu: pernafasan diafragma, spirometri insentif, batuk terkontrol ,

berpindah, dan olahraga kaki (Perry & Potter, 2010, hlm 711-715, Smeltzer, 2002, hlm 437-438) . Tabel berikut menguraikan langkah-langkah latihan yang membantu mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea.

TABEL 1. LATIHAN PASCA OPERASI

Langkah Rasional

1. Kaji resiko komplikasi pernafasan klien

pascaoperasi. Tinjau riwayat medis untuk

mengidentifikasi kondisi paru kronis (misalnya: emfisema, asma), setiap kondisi yang mempengaruhi gerakan dinding dada, riwayat merokok, dan kurangnya Hb

Selama anestesi umum, paru-paru belum sepenuhnya mengembang selama operasi dan refleks batuk tertekan sehingga mengumpulkan lendir di bagian dalam saluran udara. Setelah operasi, klien mungkin telah mengurangi volume paru-paru dan membutuhkan upaya yang lebih besar untuk batuk dan bernafas dalam; ekspansi paru-paru yang tidak memadai dapat menyebabkan atelektasis dan pneumonia. Kondisi paru-paru kronis sebelumnya meningkatkan resiko klien untuk mengembangkan kompilasi

pernafasan. Merokok merusak silia yang bertugas membersihkan saluran pernafasan dan meningkatkan sekresi lendir. Berkurangnya kadar

hemoglobin menyebabkan oksigen tidak memadai.

2. Kaji kemampuan untuk batuk dan bernafas dalam dengan menyuruh klien mengambil nafas dalam, amati

pergerakan, bahu dan dinding dada.Ukur ekskursi dada selama nafas dalam. Minta klien untuk batuk setelah mengambil nafas dalam.

Mengungkapkan potensi maksimum ekspansi dada dan kemampuan untuk batuk; digunakan sebagai dasar untuk melakukan mobilisasi setelah operasi.

3. Kaji resiko pembentukan trombus pascaoperasi (misalnya: klien lansia,

Statis vena, hiperkoagulabilitas dan trauma vena memunculkan

mereka yang memiliki kanker yang aktif dan klien yang imobilisasi). Perhatikan untuk kelembutan daerah sepanjang distribusi sistem vena,

bengkak betis/paha, pitting edema di kaki simptomatik, dan vena superfisial kolateral.

( Lewis et al. 2007). Setelah anastesi umum,sirkulasi melambat dan ketika tingkat aliran darah melambat, ada kecenderungan pembentukan gumpalan. Immobilisasi

mengakibatkan penurunan kontraksi otot di bawah kaki, yang menyebabkan statis vena.

4. Kaji kemampuan klien untuk bergerak secara mandiri ketika di tempat tidur

Menentukan adanya keterbatasan pergerakan

5. Jelaskan latihan pascaoperasi kepada klien termasuk pentingnya pemulihan dan manfaat fisiologis

Informasi memungkinkan klien utnuk memahami pentingnya latihan dan dapat memotivasi melakukan mobilisasi

6. Demonstrasikan latihan

a) Pernafasan diafragma

- Bantu klien berada dalam posisi duduk yang nyaman di sisi tempat tidur

- Berdiri atau duduk berhadapan dengan klien - Klien menempatkan

telapak tangan bersilangan satu sama lain, ke bawah dan di sepanjang batas bawah tulang rusuk

anterior. Klien meletakkan ujung jari ketiga dengan lembut

- Klien mengambil nafas lambat dan nafas dalam, menghirup melalui hidung dan klien mendorong perut melawan tangan

- Klien terus bernafas lambat dan panjang saat hitungan ketiga, klien membuang nafas perlahan melalui mulut seperti mulut seakan meniup sebuah lilin (bibir kerucut)

-Posisi tegak memungkinkan ekskursi diafragmatik

-Biarkan klien mengamati latihan pernafasan

-Posisi tangan memungkinkan klien merasa gerakan dada dan perut ketika diafragma turun dan paru-paru berkembang

-Mengambil nafas lambat dan dalam, mencegah klien terengah-engah atau hiperventilasi. Menghirup melalui hidung dapat menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara. -Memungkinkan untuk

mengeluarkan semua udara secara bertahap

- Klien mengulangi latihan pernafasan tiga sampai lima kali

- Klien mengambil 10 kali nafas lambat setiap jam

b)Spirometer Insentif (SI)

-Klien mengambil posisi semi fowler

-Klien menghirup perlahan dan mempertahankan aliran konstan melalui unit, berusaha untuk mencapai inspirasi maksimal, klien menahan nafas terus selama 3-5 detik, lalu membuang nafas

perlahan.Jumlahnya tidak melebihi 10-12 kali persesi. -Klien bernafas secara

normal untuk periode singkat diantara 10 nafas pada SI

-Klien mengulangi latihan sampai tujuan tercapai -Klien mengakhiri dengan

dua batuk setelah akhir nafas 10 SI.

c) Batuk terkontrol

- Klien mengambil posisi semi fowler

- Klien mengambil nafas lambat dan

dalam,menghirup melalui hidung dan membuang melalui mulut. Jumlahnya 2x berturut-turut.

- Selama latihan pernafasan, klien menekan lembut daerah insisi untuk membelat atau

mendukungnya dengan menggunakan bantal.

-Pengulangan latihan memperkuat proses belajar

-Nafas dalam secara teratur

mencegah komplikasi pasca operasi seperti atelektasis dan pneumonia. - Meningkatkan ekspansi paru

optimal selama latihan pernafasan - Menjaga inspirasi secara maksimal

dan mengurangi resiko keruntuhan progresif dari alveoli seseorang. Nafas lambat mencegah atau mengurangi nyeri akibat perubahan tekanan mendadak dalam dada.

- Mencegah hiperventilasi dan kelelahan

- Memastikan penggunaan spirometer dengan benar - Batuk akan membantu

memobilisasi sekresi paru.

- Posisi memfasilitasi ekskursi diafragma dan meningkatkan ekspansi dada.

- Nafas dalam mengembangkan paru-paru sepenuhnya sehingga udara bergerak ke belakang lendir dan memfasilitasi efek batuk

- Latihan pernafasan dalam dan batuk dapat menyebabkan stress tambahan pada garis jahitan dan meyebabkan ketidaknyamanan. Belat insisi dengan tangan memberikan dukungan kuat dan mengurangi tarikan insisional

- Klien menarik nafas dalam tiga kali dan menahan nafas saat hitungan ke tiga. Kemudian membatukkan secara penuh selama dua atau tiga kali berturut-turut

d)Berpindah

- Klien mengambil posisi telentang dan pindah ke sisi tempat tidur. Klien

bergerak menekuk lutut dan menekan tumit melawan kasur untuk mengangkat dan memindahkan

pantat.Pembatas di kedua ssi tempat tidur harus dalam keadaan berdiri. - Klien menempatkan tangan

kanan di atas daerah insisi untuk membelatnya. - Klien untuk menjaga kaki

kanan tetap lurus dan tekuk lutut kiri ke atas

- Klien memegang sisi kanan pegangan tempat tidur dengan tangan kiri, tarik ke kanan, dan klien berguling ke sisi kanan.

- Klien berpindah setiap 2 jam

e) Latihan kaki

- Klien terlentang ditempat tidur. Klien menunjukkan latihan kaki dengan melakukan latihan rentang gerak pasif

- Klien memutar tiap mata kaki dengan lingkaran penuh. Klien mengulangi sebanyak 5 kali

- Klien melakukan dorsofleksi dan

fleksiplantar pada kedua kaki. Klien mengulangi

- Posisi di mulai pada sisi tempat tidur sehingga berbalik ke sisi lain tidak akan menyebabkan klien meluncur arah tepi tempat tidur

- Mendukung dan meminimalkan tarikan garis jahitan selama berpindah.

- Kaki lurus menstabilkan posisi klien. Kaki kiri tertekuk mengubah titik berat untuk memudahkan berpindah.

- Menarik ke sisi tempat tidur mengurangi usaha yang diperlukan untuk berpindah.

- Mengurangi resiko komplikasi vaskular

- Memberikan posisi normal anatomi ekstremitas bawah - Latihan kaki mempertahankan

mobilitas sendi dan

mempromosikan vena kembali untuk mencegah trombus. - Meregangkan dan

mengontraksikan otot gastrocnemius

- Kontraksi otot kaki bagian atas, mempertahankan mobilitas lutut dan meningkatkan aliran vena balik/venous return

sebanyak 5 kali

- Klien melakukan latihan kuadrisep dengan

mengencangkan paha dan membawa lutut ke arah kasur , kemudian relaksasi. Klien mengulangi

sebanyak 5 kali

- Klien secara bergantian mengangkat masing-masing kakilurus ke atas dari permukaan tempat tidur , kaki tetap lurusdan kemudian klien

membengkokkan kaki pada pinggul dan lutut. Klien mengulangi sebanyak 5 kali

- Mempromosikan kontraksi dan relaksasi otot quadriceps

(Sumber: Perry & Potter, 2010, hlm 711-716)

2.1.4 Gangguan Mobilisasi Pasien di Tempat Tidur

Gangguan mobilisasi pasien di tempat tidur adalah pembatasan kemampuan gerak pasien dari satu posisi di tempat tidur ke posisi yang lain. Gangguan kemampuan gerak meliputi kemampuan untuk bergerak dari terlentang menjadi lama duduk, kemampuan bergerak dari terlentang menjadi rawan atau rentan terhadap terlentang bergerak dari terlentang menjadi duduk atau duduk untuk terlentang (Wilkinson, 2005, hlm.303).

Menurut Judith M. Wilkinson (2005) berdasarkan NIC (Nursing Interventions Classification) and NOC (Nursing Outcomes Classification) , perencanaan asuhan keperawatan pada pasien

dengan gangguan mobilisasi adalah memberikan rasa nyaman dan mencegah terjadinya komplikasi yang bisa menyebabkan pasien tidak dapat bergerak dari tempat tidur, memfasilitasi pasien untuk mampu bergerak dalam melakukan aktivitas sehari-hari sehingga mencegah terjadinya kelelahan dan cedera muskuloskletal; melatih kekuatan otot dan menganjurkan pasien latihan therapy serta mampu melakukan perawatan diri secara mandiri. Perawat hendaknya mampu menilai kemampuan pasien untuk melakukan mobilisasi secara mandiri, menilai tingkat penurunan kesadaran pasien, menilai kekuatan otot dan kemampuan rentang gerak (ROM), menilai kebutuhan pasien akan peralatan medis, menginstruksikan pasien untuk melakukan latihan gerakan aktif dan pasif ROM untuk meningkatkan kekuatan otot.

Kriteria dalam mengevaluasi asuhan keperawatan pasien dengan gangguan mobilisasi adalah melakukan mobilisasi di tempat tidur dengan pembuktian bahwa: pasien mampu mengubah posisi secara mandiri, mampu melakukan Range of Motion dengan benar dan dapat mengubah posisi sendiri di tempat tidur bergerak secara aktif, tingkat mobilisasi yang dilakukan memuaskan, kontraksi otot serta status neurologis berfungsi dengan baik (Wilkinson, 2005, hlm.303- 305).

2.1.5 Tingkat Mobilisasi

Tingkat Mobilisasi dini dikategorikan menjadi 5 tingkatan yaitu: a. Tingkat 4 : mampu melakukan mobilisasi secara mandiri b. Tingkat 3 : memerlukan bantuan alat

c. Tingkat 2 : memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain d. Tingkat 1 : memerlukan bantuan dan pengawasan dari orang lain

disertai dengan bantuan alat.

e. Tingkat 0 : tidak dapat melakukan mobilisasi dini secara aktif Kontraindikasi mobilisasi adalah janin mati, syok, anemia berat, kelainan kongenital berat, infeksi piogenik pada dinding abdomen, kifosis, lordosis, skoliosis, infark miokard akut, disritmia jantung, atau syok sepsis (Wilkinson, 2005, hlm.303)

2.1.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi

Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi dini pasien, menurut Kozier (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi dibedakan atas empat faktor yaitu gaya hidup, penyakit/cedera, tingkat energi dan usia. Sedangkan Marilyn Brinkman William (1992) menyatakan bahwa mobilisasi dini dipengaruhi oleh 6 faktor yaitu: usia, stress dan kelelahan, status kesehatan, konsep diri, nilai dan kepercayaan, gaya hidup. Potter & Perry (2010) juga membedakan faktor-faktor patologi yang mempengaruhi mobilisasi menjadi 4 faktor yaitu abnormalitas

postur, gangguan perkembangan otot, kerusakan pada sistem syaraf sentral dan trauma langsung pada sistem muskuloskeletal.

Pada umumnya, pendapat – pendapat ini mempunyai kesamaan tujuan. Berdasarkan hasil telaah, peneliti menyimpulkan bahwa ada faktor yang mempengaruh mobilisasi yaitu: gangguan sistem neuromuskuloskeletal, gaya hidup, nilai dan kepercayaan dan stress.

2.1.6.1 Gangguan Sistem Neuromuskuloskeletal

Gangguan sistem neuromuskuloskeletal terdiri dari: abnormalitas postur, gangguan perkembangan otot, kerusakan pada sistem syaraf sentral dan trauma langsung pada sistem muskuloskeletal.

Abnormalitas Postur adalah kelainan postur yang mempengaruhi efisiensi sistem muskuloskeletal, kesejajaran, keseimbangan, dan penampilan tubuh. Postur yang abnormal dapat menyebabkan nyeri , ketidaksejajaran, dan imobilisasi atau keduanya. Tabel berikut ini adalah postur abnormal yang dapat ditemui pada pasie

Tabel 2. Postur Yang Abnormal

Abnormalitas Deskripsi Penyebab Terapi yang dilakukan

Lordosis Memicu lengkung konveks anterior pada spina lumbar

Keadaan kongenital/keadaan kontemporer (misalnya kehamilan) Latihan meregangkan spina Kifosis Meningkatkan konveksitas pada lengkung thoraks Keadaan kongenital, osteoporosis Latihan meregangkan spina, tidur tanpa

bantal,

menggunakan bed board

Skoliosis Kolumna spinalis berbentuk S atau C dengan rotasi vertebra, tinggi pinggul yang tidak sama dengan tinggi bahu Keadaan kongenital, gangguan pada jaringan penghubung dan neuromuskular Hampir separuh dari anak-anak membutuhkan tindakan pembedahan, terapi non pembedahan adalah dengan braces dan latihan Clubfoot 95 %:deviasi

medial dan plantar fleksi pada kaki (ekuinavorus) 5% : deviasi lateraldan dorsifleksi (kalkanovalgus)

Keadaan kongenital Gips,

Footdrop Ketidakmampuan

melakukan dorsofleksi dan inversi kaki paada gangguan saraf peroneal

Keadaan kongenital, trauma, posisi klien imobilisasi yang tidak tepat

Tidak ada (tidak bisa dikoreksi)

(Sumber Perry & Potter, 2010, hlm 474 - 475).

Smeltzer (2002) menyatakan bahwa kifosis sering dijumpai pada usia lanjut dengan osteoporosis dan pada pasien dengan penyakit neuromuskular. Skoliosis bisa kongenital, idiopatik (tidak diketahui penyebabnya), atau akibat kerusakan otot paraspinal, seperti pada penderita poliomielitis. Skoliosis ditandai dengan kurvatura lateral abnormal tulang belakang, bahu tidak sama tinggi, garis pinggang yang tidak simetris dan skapula menonjol). Lordosis biasa dijumpai pada saat kehamilan karena penderita berusaha menyesuaikan postur tubuhnya akibat perubahan pusat gaya berat.

Postur yang abnormal membatasi rentang gerak (Smeltzer, 2002, hlm 2272-2273).

Pengetahuan tentang karakteristik, penyebab dan terapi postur yang abnormal dibutuhkan untuk mengangkat dan memosisikan klien. Perawat memberikan intervensi untuk mempertahankan rentang gerak maksimum pada sendi yang tidak sakit, kemudian merencanakanintervensi untuk memperkuat otot dan sendi yang sakit, meningkatkan postur klien dan secara adekuat menggunakan kelompok otot yang sakit dan tidak sakit. Rujukan atau kolaborasi dengan terapi fisik meningkatkan intervensi perawat pada klien dengan postur yang abnormal (Perry & Potter, 2010, hlm 473).

Gangguan Perkembangan Otot adalah sekelompok gangguan yang diturunkan sehingga menyebabkan degenerasi serat otot rangka. Misalnya distrofi yang sering dialami pada masa kanak-kanak. Klien dengan distrofi otot mengalami kelemahan yang progresif, kelemahan yang simetris dan menyia-nyiakan sekelompok otot rangka, dimana akan meningkatkan ketidakmampuan dan deformitas (McCance dan Huether, 2005). Sistem otot dikaji dengan memperhatikan kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi dan ukuran masing-masing otot. Kelemahan otot menunjukkan berbagai macam kondisi seperti polineuropati, gangguan elektrolit (khususnya kalsium dan kalium), miastenia gravis, poliomielitis dan ditrofi otot. Perubahan status kesehatan ini saling berhubungan dengan

Dokumen terkait