• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Perekonomian Indonesia

Para ekonom tradisional memberikan arti pada istilah pembangunan (development) sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional -yang kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama- untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan pendapatan nasional bruto atau GNI (Gross National Income). Indeks ekonomi lainnya yang juga

sering digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan adalah tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita (income per capita) atau GNI perkapita (Todaro, 2006). Pencapaian pertumbuhan GNI, baik secara keseluruhan maupun

perkapita, diyakini akan menetes dengan sendirinya sehingga menciptakan lapangan pekerjaan dan berbagai peluang ekonomi lainnya, yang pada akhirnya akan menumbuhkan berbagai kondisi yang diperlukan demi terciptanya distribusi hasil-hasil pertumbuhan ekonomi dan sosial secara lebih merata. Inilah yang secara luas dikenal sebagai prinsip ‘efek penetesan ke bawah’ (trickle down effect). Dengan demikian, tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan unsur yang paling diutamakan sedangkan masalah-masalah lain seperti soal kemiskinan, diskriminasi, pengangguran, dan ketimpangan distribusi pendapatan, seringkali dinomorduakan (Todaro, 2006).

Tambunan (1996) menuliskan bahwa pembangunan ekonomi di Indonesia sampai Pelita V memilih strategi pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan output sektor-sektor dominan, sehingga pendapatan nasional akan meningkat dan

memiliki laju pertumbuhan ekonomi nasional yang kuat (Suhartini, 2000). Tujuan jangka panjang dari pembangunan tersebut adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran. Dengan kepercayaan yang penuh akan ada efek “cucuran ke bawah” (trickle down effect) pada awalnya pemerintah memusatkan pembangunan hanya di sektor-sektor tertentu yang secara potensial dapat menyumbangkan nilai tambah yang besar dalam waktu yang tidak panjang (Tambunan, 2009).

Pada tingkat makro, perekonomian Indonesia mencapai pertumbuhan yang cukup mengagumkan. Selama periode 1969 – 1990 laju pertumbuhan PDB pada harga konstan rata-rata per tahun di atas 7% (lihat tabel 1). Akan tetapi pada tingkat mikro, hasil pembangunan di Indonesia tidak terlalu menggemberikan seperti pada tingkat makro. Walaupun jumlah penduduk miskin mengalami penurunan selama masa orde baru, tetapi kesenjangan ekonomi serta sosial cenderung melebar (Tambunan, 2009).

2.1.2 Peranan Pemerintah dalam Perekonomian

Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (2002) mendefinisikan pemerintah sebagai (1) sistem yang menjalankan wewenang dan mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu Negara atau bagian- bagiannya; (2) sekelompok orang yang secara bersama-sama memikul tanggung jawab terbatas untuk menggunakan kekuasaan; (3) penguasa suatu negara (bagian

Negara); (4) badan tertinggi yang memerintah suatu Negara (seperti kabinet merupakan suatu pemerintah); (5) Negara atau negeri (sebagai lawan partikelir atau swasta); (6) pengurus atau pengelola (Priyarsono, et. al, 2007). Berdasarkan definisi pemerintah yang pertama memperlihatkan bahwa pemerintah mempunyai peranan dalam menjalankan wewenang dan mengatur perekonomian nasional.

Menurut Tambunan (2009), pada prinsipnya pemerintah mempunyai tugas sebagai stabilisator, fasilitator, stimulator dan regulator, sedangkan pelaku ekonomi sepenuhnya diserahkan kepada swasta. Tugas ini direalisasikan melalui berbagai macam kebijakan, peraturan dan perundang-undangan dengan tujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi pada tingkat tertentu yang menciptakan kesempatan kerja penuh, yang berarti mengurangi/menghilangkan pengangguran dan kemiskinan.

Publikasi BPS tahun 1998 tentang ‘Neraca Pemerintahan Pusat Indonesia’ menjelaskan bahwa kegiatan pemerintah dalam arti luas adalah kegiatan penyelenggaraan Negara, penyediaan sarana dan prasarana umum, jasa pelayanan kebutuhan dasar, yang umumnya berorientasi pada kepentingan masyarakat. Dengan demikian kegiatan pemerintah tidak bisa disamakan dengan kegiatan bisnis yang umumnya bertujuan mencari keuntungan dengan cara meningkatkan efisiensi. Sedangkan Priyarsono, et.al dalam ‘Ekonomi Publik’

tahun 2007 membedakan kegiatan pemerintah ke dalam 4 kategori, yaitu produksi barang dan jasa, peraturan dan pemberian subsidi untuk produksi swasta, pembelian barang dan jasa dari pembelian keperluan militer sampai jasa pembersih jalan, redistribusi pendapatan. Kegiatan pemerintah dalam hal

pembelian barang dan jasa ini sebagian ditujukan untuk keperluan investasi, sebagai pengeluaran pembangunan infrastruktur yang di masa depan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas perekonomian. Sehingga dapat dikatakan bahwa investasi pemerintah mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

2.1.3 Investasi Pemerintah

BPS (1999) menuliskan bahwa dalam upaya menjaga kesinambungan dan kelanjutan pembangunan nasional di Indonesia yang telah dilakukan, pemerintah sebagai salah satu pelaku ekonomi mempunyai peran yang cukup besar dan menonjol disamping pelaku-pelaku ekonomi lainnya. Sehingga diperlukan dana investasi yang cukup besar untuk mempertahankan hasil-hasil pembangunan tersebut (Suhartini, 2000). Selaras dengan yang ditulis oleh Bapindo (1990), pencapaian pertumbuhan ekonomi yang pesat selama ini, tidak terlepas dari peranan pemerintah dalam hal investasinya (Suhartini, 2000).

Investasi atau PMTB pemerintah menurut System of National Accounts (SNA) adalah pengeluaran pemerintah untuk pengadaan, pembuatan dan pembelian barang modal (capital goods) baru di dalam negeri, dan pembelian barang modal bekas dari luar negeri, dikurangi dengan penjualan dari barang-barang modal bekas, yang semua kegiatannya dilakukan di dalam negeri (domestik) (BPS, 1999). Investasi pemerintah tersebut meliputi pengeluaran untuk sarana dan prasarana ekonomi, seperti bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal; jalan, jembatan dan konstruksi lainnya; mesin dan peralatan; kendaranaan; perbaikan besar pada modal; tanah dan ternak (BPS, 1997). Investasi tersebut di

atas bertujuan untuk mendukung perkembangan dunia usaha, terutama untuk menunjang produktifitasnya dan pertumbuhan output, serta untuk menunjang pemerataan dan pertumbuhan ekonomi. Artinya investasi ini merupakan fasilitas bagi tumbuhnya unit-unit usaha. Tentunya unit-unit usaha tersebut membutuhkan faktor produksi yang dimiliki rumah tangga untuk menjalankan usahanya. Rumah tangga akan menerima pembayaran sebagai balas jasa atas faktor produksi yang digunakan dalam usaha di atas, yang akhirnya menciptakan distribusi pendapatan bagi rumah tangga (Sukirno, 1994). Sehingga tujuan akhir pembangunan yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat dapat terwujud.

2.1.4 Ukuran Kesejahteraan Rakyat

Kesejahteraan penduduk yang ingin dicapai melalui pembangunan dapat dilihat dari distribusi pendapatan sekaligus pendapatan perkapita. Para ahli ekonomi membedakan dua ukuran distribusi pendapatan yaitu distribusi pendapatan perorangan sebagai perorangan atau rumah tangga, dan distribusi pendapatan fungsional sebagai pemilik factor produksi. Distribusi pendapatan

perorangan atau ukuran menggambarkan bagaimana pendapatan nasional yang diterima oleh perorangan atau rumah tangga, menurut golongan pendapatan yang mereka terima. Pada konsep ini tidak memperhitungkan cara memperoleh pendapatan, tempat dan sektor sumber penerimaannya. Sedangkan distribusi pendapatan fungsional yang disebut juga dengan distribusi faktor menerangkan distribusi pendapatan berdasarkan peranan masing-masing faktor produksi yang didistribusikan (distributive factor share). Misalnya pendapatan yang diterima sebagai tenaga kerja, sebagai pemilik modal dan kekayaan (Todaro, 2006). Kedua

ukuran distribusi pendapatan di atas telah terangkum dalam Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) yang didefinisikan sebagai distribusi pendapatan faktorial (distribusi pendapatan perorangan atau ukuran) dan distribusi pendapatan institusi (distribusi pendapatan fungsional atau fakor).

2.1.5 Distribusi Pendapatan Rumah Tangga dalam Sistem Neraca Sosial Ekonomi

Hubungan variabel sosial dan ekonomi masyarakat dijelaskan melalui kerangka dasar SNSE yang merupakan suatu sistem analisis yang dapat membedakan proses:

• struktur produksi

• distribusi pendapatan faktor produksi dalam kegiatan produksi

• pendapatan, konsumsi, investasi dan tabungan.

Hubungan dari ketiga proses tersebut, dapat dimulai dari pengeluaran rumah tangga berupa konsumsi, dan tabungan yang akhirnya menciptakan investasi. Selanjutnya konsumsi tersebut menciptakan permintaan akan output dan secara tidak langsung menciptakan permintaan akan faktor produksi. Balas jasa terhadap faktor produksi menciptakan distribusi pendapatan rumah tangga. Hubungan tersebut dapat dilihat di dalam diagram berikut.

Keinginan dan Kebutuhan Permintaan Akhir (1) Struktur Produksi (2) Distribusi Pendapatan Instisusi/Rumah Tangga (4) Distribusi Kekayaan (7) Distribusi Pendapatan Faktorial (3) Tabungan (5) Investasi (6) Sumber: Badan Pusat Statistik

Sebagai contoh permintaan mie instant untuk rumah tangga mengalami kenaikan (1). Untuk memenuhinya dibutuhkan supply mie instant yang lebih banyak, sehingga outputnya pun meningkat (2). Peningkatan output tersebut membutuhkan faktor produksi yang lebih besar, seperti tenaga kerja, modal dan lainnya. Balas jasa atas faktor produksi dalam proses produksinya menimbulkan distribusi pendapatan faktorial (3). Rumah tangga sebagai pemilik faktor produksi menerima pendapatan dari faktor yang dimilikinya (3 dan 7), yang menciptakan distribusi pendapatan rumah tangga (4). Pendapatan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhannya dan sisanya ditabung (5) yang akan menciptakan investasi (6).

Dokumen terkait