TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Pustaka
Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang
kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menenpati bumi. Konkritnya,
lahan difungsikan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan
eksistensi. Aktivitas yang pertama kali dilakukan adalah pemanfaatan lahan untuk
bercocok tanam (pertanian). Seiring pertumbuhan populasi dan perkembangan
peradaban manusia, penguasaan dan pengunaan lahan mulai terusik. Lahan yang
semula berfungsi sebagai media bercocok tanam (pertanian), berangsur-angsur
berubah menjadi multifungsi pemanfaatan. Perubahan fungsi lahan ke komoditi
lain maupun keareal non pertanian yang kemudian dikenal dengan istilah alih
fungsi lahan, semakin lama semakin meningkat. Implikasinya, ahli fungsi lahan
perrtanian yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan
(Iqbal dan Sumaryanto, 2007).
Secara empiris, lahan pertanian yang paling rentan terhadap ahli fungsi
lahan adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh: (1) kepadatan penduduk di
pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh
lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan
penduduk atas lahan juga lebih tinggi; (2) daerah pesawahan banyak yang
lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan; (3) akibat pola pembangunan di
masa sebelumnya, infrastruktur wilayah persawahan pada umumnya lebih baik
daripada wilayah lahan kering dan (4) pembangunan prasarana dan sarana
wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu
( terutama di Pulau Jawa), ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan
(Winoto, 2005).
Meurut Nasoetion dan Winoto (1996), proses penurunan luas lahan sawah
secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh 2 faktor, yaitu (i) sistem
kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah, dan (ii) sistem
non kelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat. Sistem
kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah antara lain
dipresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa peraturan mengenai konversi
lahan.
Proses penurunan luas lahan sawah pada dasarnya dapat dipandang sebagai
suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi serta
perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang.
Perkembangan ini tercermin dari adanya:
1. Pertumbuhan aktifitas pemanfaatan sumber daya alam akibat meningkatnya
permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak
peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan per kapita.
2. Adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor primer
khususnya dari sektor pertanian dan pengolahan sumber daya alam ke
aktifitas sektor-sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa),
(Rustiadi dan Wafda, 2008).
Ilham dkk (2003), menyatakan bahwa harga lahan, aktivitas ekonomi suatu
wilayah, pengembangan pemukiman, dan daya saing produk pertanian merupakan
pada saat krisis ekonomi menyebabkan banyak petani menjual asetnya berupa
sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dampaknya secara umum
meningkatkan konversi lahan sawah dan makin meningkatkan penguasaan lahan
pada pihak-pihak pemilik modal.
Penelitian Syafa’at dkk (2001) pada sentra produksi padi utama di Jawa dan
Luar Jawa, menunjukan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor
ekonomi yang menentukan penurunan luas lahan sawah ke pertanian dan non
pertanian adalah : (1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; (2)
respon petani terhadap dinamika pasar,lingkungan, dan daya saing usahatani
meningkat.
Menurut Nainggolan (2008), faktor penting yang sangat mempengaruhi
petani untuk melakukan konversi lahan adalah dikarenakan oleh fator stabilitas
harga gabah yang masih relatif rendah dan belum memberikan pengaruh yang
besar bagi peningkatan kesejahteraan petani itu sendiri. Selain itu perbedaan
tingkat upah di sektor pertanian dan industri, jumlah pemilikan asset lahan serta
luas pemilikan lahan sawah yang semakin kecil cenderung menjadi faktor
pendorong proses konversi lahan sawah.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi meningkatkan komposisi pemanfaatan
lahan yang dapat mengancam keberadaan lahan pertanian yang subur.
Peningkatan jumlah penduduk akan mempersempit lahan untuk usaha pertanian.
Selain hal tersebut di atas, hal yang menyebabkan terjadinya konversi lahan
adalah permintaan atas produk perkebunan seperti sawit, karet dan kopi yang terus
meningkat dan harganya semakin komersial. Lahan pertanian pangan cenderung
penurunan lahan pangan ialah karena defisitnya neraca pertambahan luas dan
konversi lahan pertanian pangan.
Ketersediaan pangan yang berkelanjutan (sustainable) dibutuhkan untuk stabilisasi harga pangan. Ketidakstabilan harga pangan dapat mengurangi minat
investasi pada sektor pangan.pada tingkat usahatani, ketidakstabilan harga tidak
merangsang petani untuk menggunakan teknologi baru, meningkatkan
keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge). Pada tingkat hilir, ketidakstabilan menyebabkan rendahnya investasi di bidang pemasaran dan
processing. Selain itu sektor industri pangan berkepentingan atas stabilitas harga pangan karena terkait dengan upah tenaga kerja. Harga yang stabil memudahkan
perencanaan usaha dan merencanakan tingkat keuntungan.
Dampak penurunan luas lahan sawah dapat dipandang dari dua sisi. Pertama,
dari fungsinya yaitu manfaat dan penggunaan lahan sawah yang diperuntukan
untuk memproduksi padi. Dengan demikian adanya konversi lahan sawah ke
fungsi lain akan menurunkan produksi padi nasional. Kedua, dari bentuknya
perubahan lahan sawah ke pemukiman, perkantoran, prasarana jalan dan lainnya
berimplikasi besarnya kerugian akibat sudah diinvestasikannya dana untuk
mencetak sawah, membangun waduk dan sistem irigasi
(Irawan dan Friyanto, 2002).
Upaya pencegahan penurunan luas lahan sawah sulit dilakukan, karena
lahan sawah merupakan private good yang legal untuk ditransaksikan. Oleh karena itu upaya yang dapat dilakukan hanya bersifat pengendaliaan.
Pengendaliaan yang dilakukan sebaiknya bertitik tolak dari faktor-faktor
dan perangkat hukum. Secara ekonomi, penurunan luas lahan sawah yang
dilakukan petani baik melalui transaksi penjualan ke pihak lain ataupun
mengganti pada usaha non padi merupakan keputusaan yang rasional. Sebab
dengan keputusan tersebut petani berekspektasi pendapatan totalnya, baik dalam
jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat. Sedangkan faktor
sosial yang mempengaruhi penurunan luas lahan, yaitu : perubahan perilaku,
hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan
apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dua faktor terakhir
berhubungan dengan sistem pemerintahan. Dengan asumsi pemerintah sebagai
pengayom dan abdi masyarakat, seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali
terjadinya penurunan luas lahan sawah. Namun hal tersebut hendaknya didukung
oleh keakuratan pemetaan dan pendataan penggunaan lahan yang dilengkapi
dengan teknologi yang memadai. Artinya, jika tersedia data yang akurat pada
tahun tertentu maka penyimpangan data pada tahun-tahun sebelumnya dapat
dikoreksi dengan faktor koreksi tertentu (Suwarno, 1996).