• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Pustaka

Dalam dokumen TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 7-35)

TINJAUAN PUSTAKA

a. Definisi

Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan hepatosplenomegali yang dapat berlangsung akut maupun kronik. Infeksi malaria dapat  berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai

malaria berat.

b. Epidemiologi

Malaria merupakan penyakit endemis atau hiperendemis di daerah tropis maupun subtropis dan menyerang negara dengan penduduk padat. Kini malaria terutama dijumpai di Meksiko, sebagian Karibia, Amerika Tengah dan Selatan, Afrika Sub-Sahara, Timur  Tengah, India, Asia Selatan, Indo Cina, dan pulau-pulai di Pasifik Selatan. Diperkirakan  prevalensi malaria di seluruh dunia berkisar antara 160-400 kasus.  Plasmodium vivax mempunyai distribusi geografis yang paling luas, mulai dari daerah yang beriklim dingin, subtropik sampai ke daerah tropis, kadang-kadang dijumpai di Pasifik Barat.  Plasmodium  falciparum terutama menyebabkan malaria di Afrika dan daerah-daerah tropis lainnya.

Di Indonesia malaria tersebar di seluruh pulau dengan derajat endemisitas yang berbeda- beda dan dapat berjangkit di daerah dengan ketinggian sampai 1800 meter di atas permukaan

laut. Angka  Annual Parasite Incidence (API) malaria di pulau Jawa dan Bali pada tahun 1997 adalah 0,120 per 1000 penduduk, sedangkan di luar pulau Jawa angka Parasite Rate (PR) tetap tinggi yaitu 4,78% pada tahun 1997, tidak banyak berbeda dengan angka PR tahun 1990 (4,84%). Spesies yang terbanyak dijumpai adalah  Plasmodium falciparum dan

 Plasmodium vivax.  Plasmodium malariae dijumpai di Indonesia bagian timur, Plasmodium ovale pernah ditemukan di Irian Jaya dan Nisa Tenggara Timur. Angka kesakitan malaria untuk Jawa Bali diukur dengan  API  dan untuk luar Jawa Bali diukur dengan  PR. Air  tergenang dan udara panas masing-masing diperlukan untuk pembiakan nyamuk menunjang endemisitas penyakit malaria. Pada dua puluh lima tahun terakhir ini dijumpai adanya resistensi  Plasmodium falciparum terhadap klorokuin telah menyebar ke berbagai negara endemis malaria termasuk Indonesia. Resistensi ini mungkin karena munculnya gen yang telah mengalami mutasi. Akhir-akhir ini juga dijumpai resistensi  Plasmodium falciparum terhadap pirimetamin-sulfadoksin meningkat di negara-negara Asia Tenggara, Amerika Selatan dan Afrika Sub-Sahara.

Gambar 1. Peta penyebaran infeksi malaria di Indonesia

c. Etiologi

Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium. Pada manusia Plasmodium terdiri dari 4 spesies, yaitu  Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae dan  Plasmodium ovale. Plasmodium falciparfum merupakan penyebab infeksi

 berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Keempat spesies Plasmodium yang terdapat di Indonesia yaitu  Plasmodium falciparfum yang menyebabkan malaria tropika, Plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana, Plasmodium malariae yang menyebabkan malaria kuartana dan Plasmodium ovale yang menyebabkan malaria ovale.

Seorang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis Plasmodium, dikenal sebagai infeksi campuran atau majemuk. Pada umumnya dua jenis Plasmodium yang paling banyak  dijumpai adalah campuran antara  Plasmodium falciparum dan  Plasmodium vivax atau  Plasmodium malariae. Kadang-kadang dijumpai tiga jenis Plasmodium sekaligus, meskipun hal ini jarang sekali terjadi. Infeksi campuran biasanya terdapat di daerah dengan angka  penularan tinggi. Akhir-akhir ini di beberapa daerah dilaporkan kasus malaria yang telah

resisten terhadap klorokuin, bahkan juga resisten terhadap pirimetamin-sulfadoksin.

Penyakit ini jarang ditemui pada bulan-bulan pertama kehidupan, tetapi pada anak-anak  yang berumur beberapa tahun dapat terjadi serangan malaria tropika yang berat, bahkan tertiana dan kuartana dan dapat menyebabkan kematian terutama pada anak dengan gangguan gizi.

d. Daur Hidup Plasmodium

Pada tahun 1898 Ronald Ross membuktikan keberadaan Plasmodium pada dinding perut tengah dan kelenjar liur nyamuk Culex. Atas penemuan ini ia memenangkan Hadiah Nobel Kedokteran pada tahun 1902, meskipun sebenarnya penghargaan itu perlu diberikan kepada  profesor Italia Giovanni Battista Grassi, yang membuktikan bahwa malaria manusia hanya  bisa disebarkan oleh nyamuk  Anopheles.

Siklus hidup  Plasmodium amat rumit. Sporozoit dari liur nyamuk betina yang mengigit disebarkan ke darah atau sistem limfa penerima. Penting disadari bahwa bagi sebagian spesies vektornya mungkin bukan nyamuk.

 Nyamuk dalam genus Culex,  Anopheles, Culiceta,  Mansonia dan  Aedes mungkin  bertindak sebagai vektor. Vektor yang diketahui kini bagi malaria manusia (>100 spesies)

semuanya tergolong dalam genus Anopheles. Malaria burung biasanya dibawa oleh spesies genus Culex. Siklus hidup  Plasmodium diketahui oleh Ross yang menyelidiki spesies dari genus Culex.

Dalam daur hidup Plasmodium mempunyai 2 hospes, yaitu vertebrata dan nyamuk. Siklus aseksual dalam proses hospes vertebrata dikenal sebagai skizogoni, sedangkan siklus seksual yang membentuk sporozoit di dalam nyamuk sebagai sporogoni. Sporozoit yang aktif dapat ditularkan ke dalam tubuh manusia melalui ludah nyamuk, kemudian menempati  jaringan parenkim hati dan tumbuh sebagai skizon (stadium eko-eritrositer atau stadium pra-eritrositer). Sebagian sporozoit tidak tumbuh dan tetap tidur (dormant ) yang disebut hipnozoit. Plasmodium falciparum hanya terjadi satu kali stadium pra-eritrositer sedangkan spesies lain mempunyai hipnozoit bertahun-tahun sehingga pada suatu saat dapat aktif dan terjadilah relaps. Sel hati yang berisi parasit akan pecah dan terjadilah merozoit. Merozoit akan masuk ke dalam eritrosit (stadium eritrositer), tampak sebagai kromatin kecil dikelilingi oleh sedikit sitoplasma yang mempunyai bentuk cincin, disebut tropozoit. Tropozoit membentuk skizon muda dan setelah matang, membelah menjadi merozoit. Setelah pembelahan eritrosit akan hancur; merozoit, pigmen dan sel sisa akan keluar dan  berada di dalam plasma. Parasit akan difagositosia oleh RES. Plasmodium yang dapat

menghindar akan masuk kembali ke dalam eritrosit lain untuk mengulangi stadium skizogoni. Beberapa merozoit tidak membentuk skizon tetapi memulai dengan bagian gametogoni yaitu membentuk mikro dan makro gametosit (stadium seksual). Siklus tersebut disebut masa tunas intrinsik.

Dalam tubuh nyamuk, parasit parasit berkembang secara seksual (sporogoni). Sporogoni memerlukan waktu 8-12 hari. Dalam lambung nyamuk, makro dan mikrogametosit  berkembang menjadi makro dan mikrogamet yang akan membentuk zigot yang disebut ookista, yang selanjutnya menembus dinding lambung nyamuk membentuk ookista yang membentuk banyak sporozoit. Kemudian sporozoit akan dilepaskan dan masuk kedalam kelenjar liur nyamuk. Siklus tersebut disebut masa tunas ekstrinsik. Secara umum, pada dasarnya semua orang dapat terkena malaria; walaupun terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu:

1. Ras atau suku bangsa. Di Afrika, apabila prevalensi hemoglobin S (HbS) cukup tinggi,  penduduknya lebih tahan terhadap infeski P. Falciparum. Penyelidikan terakhir 

menunjukkan bahwa HbS menghambat perkembangan P. Falciparum baik sewaktu invasi maupun sewaktu berkembang biak.

2. Kurangnya suatu enzim tertentu. Kurangnya enzim G6PD ( glucosa 6-phosphat  dehydrogenase) memberikan perlindungan terdapat infeksi P. falaciparum yang berat. Walaupun demikian, sulfonamid dan primakuin oleh karena dapat terjadi hemolisis darah. Definisi enzim G6PD ini merupakan penyakit genetik dengan manifestasi utama  pada perempuan.

Kekebalan pada malaria terjadi apabila tubuh mampu menghancurkan Plasmodium yang masuk atau menghalangi perkembangbiakannya

Gambar 2. Daur hidup plasmodium

e. Transmisi

Malaria dapat ditularkan melalui dua cara alamiah dan bukan alamiah.

1. Penularan secara alamiah (natural infection), melalui gigitan nyamuk Anopheles. 2. Penularan bukan alamiah, dapat dibagi menurut cara penularannya, yaitu:

a. Malaria bawaan (kongenital), disebabkan adanya kelainan pada sawar plasenta sehingga tidak ada penghalang infeksi dari ibu kepada bayi yang dikandungnya. Selain melalui plasenta penularan dari ibu kepada bayi melalui tali pusat.

 b. Penularan secara mekanik terjadi melalui transfusi darah atau jarum suntik. Penularan melalui jarum suntik banyak terjadi pada para pecandu obat bius yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril. Infeksi malaria melalui transfusi hanya menghasilkan siklus eritrositer karena tidak melalui sporozoit yang memerlukan siklus hati sehingga dapat diobati dengan mudah.

c. Penularan secara oral, pernah dibuktikan pada ayam ( Plasmodium gallinasium),  burung dara ( Plasmodium relection) dan monyet ( Plasmodium knowlesi).

Pada umumnya sumber infeksi malaria pada manusia adalah manusia lain yang sakit malaria,  baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis.

f. Patogenesis

Selama skizogoni sirkulasi perifer menerima pigmen malaria dan produk samping parasit, seperti membran dan isi sel-sel eritrosit. Pigmen malaria tidak toksik, tetapi menyebabkan tubuh mengeluarkan produk-produk asing dan respon fagosit yang intensif. Makrofag dalam sistem retikuloendotelial dan dalam sirkulasi menangkap pigmen dan menyebabkan warna agak kelabu pada sebagian besar jaringan dan organ tubuh. Pirogen dan racun lain yang masuk ke sirkulasi saat skizogoni, diduga bertanggung jawab mengaktifkan kinin vasoaktif  dan kaskade pembekuan darah.

Mengenai patogenesis malaria lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan  permeabilitas pembuluh darah daripada koagulasi intravaskular. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemia yang tidak  sebanding dengan parasitemia menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit, pada percobaan binatang dibuktikan adanya gangguan transportasi natrium sehingga keluar dari eritrosit yang mengandung parasit dan tanpa parasit malaria. Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah saat melalui limpa dan keluarlah parasit. Faktor lain yang menyebabkan

khusus anemia hemolitik pada malaria adalah black water fever , yaitu bentuk malaria berat yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum, ditandai oleh hemolosis intravaskular berat, hemoglobinuria, kegagalan ginjal akut akibat nekrosis tubulus, disertai angka kematian yang tinggi. Telah lama dicurigai bahwa kini dapat memprovokasi terjadinya black water fever . Sebagai tambahan, kasus meninggal yang disebabkan malaria selalu menunjukkan adanya  perubahan yang menonjol dari sistem retikuloendotelial dan mungkin juga melibatkan  berbagai sistem organ.

Pada infeksi malaria, limpa akan membesar, mengalami pembendungan dan pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagisitosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasi dari retikulum disertai peningkatan makrofag. Pada sindrom  pembesaran limpa di daerah tropis atau penyakit pembesaran limpa pada malaria kronis  biasanya dijumpai bersama dengan peningkatan kadar IgM. Peningkatan antibodi terhadap malaria ini mungkin menimbulkan respons imunologis yang tidak lazim pada malaria kronis.

Pada malaria juga terjadi pembesaran hepar, sel Kupffer  –  seperti sel dalam sistem retikuloendotelial  –  terlibat dalam respon fagositosis. Sebagai akibatnya hati menjadi  berwarna kecoklatan agak kelabu atau kehitaman. Pada malaria kronis terjadi infiltrasi difus

oleh sel mononukleus pada periportal yang meningkat sejalan dengan berulangnya serangan malaria. Hepatomegali dengan infiltrasi sel mononukleus merupakan bagian dari sindrom  pembesaran hati di daerah tropis. Nekrosis sentrilobulus terjadi pada syok.

Organ lain yang sering diserang oleh malaria adalah otak dan ginjal. Pada malaria serebral, otak berwarna kelabu akibat pigmen malaria, sering disertai edema dan hiperemis. Perdarahan berbentuk petekie tersebar pada substansi putih otak dan dapat menyebar sampai ke sumsum tulang belakang. Pada pemeriksaan mikroskopik, sebagian besar dari pembuluh darah kecil dan menengah dapat terisi eritrosit yang telah mengandung parasit dan dapat dijumpai bekuan fibrin, dan terdapat reaksi selular pada ruang perivaskular yang luas. Terserangnya pembuluh darah oleh malaria tidak saja terbatas pada otak tetapi juga dapat dijumpai pada jantung atau saluran cerna atau di tempat lain dari tubuh, yang berakibat pada  berbagai manifestasi klinik.

Pada ginjal selain terjadi pewarnaan oleh pigmen malaria juga dijumpai salah satu atau dua proses patologis yaitu nekrosis tubulus akut dan atau membranoproliverative

 glomerulonephritis. Nekrosis tubulus akut dapat terjadi bersama dengan hemolisis masif dan hemoglobinuria pada black water fever  tetapi dapat juga tanpa hemolisis, akibat  berkurangnya aliran darah karena hipovolemia dan hiperviskositas darah Plasmodium

falciparum menyebabkan nefritis sedangkan Plasmodium malariae menyebabkan glomerulonefritis kronik dan sindrom nefrotik.

g. Patofisiologi

Gejala malaria tumbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Gejala yang  paling mencolok adalah demam yang diduga disebabkan oleh pirogen endogen, yaitu TNF

dan interleukin-1. Akibat demam terjadi vasodilatasi perifer yang mungkin disebabkan oleh  bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. Pembesaran limpa disebabkan oleh terjadinya  peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktivasinya sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat hemolisis. Juga terjadi penurunan jumlah trombosit dan leukosit neurtofit. Terjadinya kongesti pada organ lain meningkatkan resiko terjadinya ruptur limpa.

Anemia terutama disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan difagositosis oleh sistem retikuloendotelial. Hebatnya hemolisis tergantung pada jenis Plasmodium dan status imunitas pejamu. Anemia juga disebabkan oleh hemolisis autoimun, sekuestrasi oleh limpa  pada eritrosit yang terinfeksi maupun yang normal, dan gangguan eritropoiesis. Pada

hemolisis berat dapat terjadi hemoglobinuria dan hemoglobinemia. Hiperkalemia dan hiperbilirubinemia juga sering ditemukan.

Kelainan patologik pembuluh darah kapiler pada malaria tropika, disebabkan karena sel darah merah yang terineksi menjadi kaku dan lengket, sehingga perjalanannya dalam kapiler  teganggu dan mudah melekat pada endotel kapiler karena adanya penonjolan membran eritrosit. Setelah terjadi penumpukan sel dan bahan pecahan sel, maka aliran kapiler  terhambat dan timbul hipoksia jaringan, terjadi gangguan pada integritas kapiler dan dapat terjadi perembesan cairan bahkan pendarahan ke jaringan sekitarnya. Rangkaian kelainan  patologis ini dapat menimbulkan manifestasi klinis sebagai malaria serebral, edema paru,

Pertahanan tubuh individu terhadap malaria dapat berupa faktor yang diturunkan maupun yang didapat. Pertahanan terhadap malaria yang diturunkan terutama penting untuk  melindungi anak kecil/bayi karena sifat khusus eritrosit yang relatif resisten terhadap masuk  dan berkembang-biaknya parasit malaria. Masuknya parasit tergantung pada interaksi antara organel spesifik pada merozoit dan struktur khusus pada permukaan eritrosit. Sebagai contoh eritrosit yang mengandung glikoprotein A penting untuk masuknya Plasmodium falciparum. Individu yang tidak mempunyai determinan golongan darah  Duffy (termasuk kebanyakan negro Afrika) mempunyai resistensi alamiah terhadap  Plasmodium vivax; spesies ini mungkin memerlukan protein pada permukaan sel yang spesifik untuk dapat masuk ke dalam eritrosit. Resistensi relatif yang diturunkan pada individu dengan HbS terhadap malaria telah lama diketahui dan pada kenyataannya terbatas pada daerah endemis malaria. Seleksi yang sama juga dijumpai pada hemoglobinopati tipe lain, kelainan genetik tertentu dari eritrosit, thalasemia, difisiensi enzim G6PD dan difisiensi pirufatkinase. Masing-masing kelainan ini menyebabkan resistensi membran eritrosit atau keadaan sitoplasma yang menghambat pertumbuhan parasit.

Imunitas humoral dan seluler terhadap malaria didapat sejalan dengan infeksi ulangan.  Namun imunitas ini tidak mutlak dapat mengurangi gambaran klinis infeksi ataupun dapat

menyebabkan asimptomatik dalam periode panjang. Pada individu dengan malaria dapat dijumpai hipergamaglobulinemia poloklonal, yang merupakan suatu antibodi spesifik yang diproduksi untuk melengkapi beberapa aktivitas opsonin terhadap eritrosit yang terinfeksi, tetapi proteksi ini tidak lengkap dan hanya bersifat sementara bilamana tanpa disertai infeksi ulangan. Tendensi malaria untuk menginduksi imunosupresi, dapat diterangkan sebagian oleh tidak adekuatnya respon ini. Antigen yang heterogen terhadap Plasmodium mungkin  juga merupakan salah satu faktor. Monosit/makrofag merupakan partisipan seluler yang

terpenting dalam fagositosis eritrosit yang terinfeksi.

h. Manifestasi Klinik 

Secara klinis, gejala malaria tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselingi oleh suatu periode (periode laten) bebas demam. Sebelum demam pasien biasanya merasa lemah, nyeri kepala, tidak ada

nafsu makan, mual atau muntah. Pada pasien dengan infeksi majemuk/ campuran (lebih dari satu jenis Plasmodium atau satu jenis Plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu  berbeda), maka serangan demam terus menerus (tanpa interval), sedangkan pada pejamu

yang imun gejala klinisnya minimal.

Periode paroksisme biasanya terdiri dari tiga stadium yang berurutan yakni stadium dingin (cold stage), stadium demam (hot stage) dan stadium berkeringat ( sweating stage). Paroksisme ini biasanya jelas terlihat pada orang dewasa namun jarang dijumpai pada usia muda. Pada anak di bawah umur lima tahun, stadium dingin sering kali bermanifestasi sebagai kejang. Serangan demam yang pertama didahului oleh masa inkubasi (intrinsik). Masa inkubasi bervariasi antara 9-30 hari tergantung pada spesies parasit, paling pendek   pada Plasmodium falciparum dan paling panjang pada Plasmodium malariae. Masa inkubasi

ini juga tergantung pada intensitas infeksi, pengobatan yang pernah didapat sebelumnya, dan derajat imunitas pejamu. Pada malaria akibat transfusi darah, masa inkubasi  Plasmodium  faliciparum adalah 10 hari, Plasmodium vivax 16 hari dan Plasmodium malariae 40 hari atau lebih setelah transfusi. Masa inkubasi pada penularan secara alamiah bagi masing-masing spesies parasit, untuk  Plasmodium falaciparum 12 hari, Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale 13-17 hari dan  Plasmodium malariae 28-30 hari. Setelah lewat masa inkubasi, pada anak besar dan orang dewasa timbul gejala demam yang terbagi dalam tiga stadium yaitu:

Stadium dingin

Stadium ini diawali dengan gejala menggigil atau perasaan yang sangat dingin. Gigi gemeretak dan pasien biasanya menutupi tubuhnya dengan segala macam pakaian dan selimut yang tersedia. Nadi cepat lemah, bibir dan jari-jari pucat atau sianosis, kulit kering dan pucat, pasien mungkin muntah dan pada anak-anak sering terjadi kejang. Stadium ini  berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.

Stadium demam

Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini pasien merasa kepanasan. Muka merah, kulit kering dan terasa sangat panas seperti terbakar, nyeri kepala, seringkali terjadi mual dan muntah, nadi menjadi kuat lagi. Biasanya pasien menjadi sangat haus dan suhu badan dapat meningkat sampai 41oC atau lebih. Stadium ini berlangsung antara 2-12 jam. Demam disebabkan oleh karena pecahnya skizon dalam sel darah merah yang telah matang dan masuknya merozoit darah ke dalam aliran darah. Pada Plasmodium vivax dan  Plasmodium

ovale, skizon dari tiap generasi menjadi setiap 48 jam sekali, sehingga timbul demam setiap hari ketiga terhitung dari serangan demam sebelumnya. Pada Plasmodium malariae, demam terjadi pada 72 jam (setiap hari keempat), sehingga disebut malaria kuartana. Pada  Plasmodium falciparum, setiap 24-48 jam.

Stadium berkeringat

Pada stadium ini pasien berkeringat banyak sekali, tempat tidurnya basah, kemudian suhu  badan menurun dengan cepat, kadang-kadang sam pai dibawah normal.

Gejala tersebut di atas tidak selalu sama pada setap pasien, tergantung pada spesies  parasit, berat infeksi dan usia pasien. Gejala klinis yang berat biasanya terjadi pada malaria tropika yang disebabkan oleh adanya kecenderungan parasit (bentuk tropozoit dan skizon) untuk berkumpul pada pembuluh darah organ-organ tubuh tersebut. Gejala mungkin berupa koma, kejang sampai gangguan fungsi ginjal. Kematian paling banyak disebabkan oleh malaria jenis ini.  Black water fever  yang merupakan komplikasi berat, adalah munculnya hemoglobin pada urin sehingga menyebabkan warna urin berwarna tua atau hitam. Gejala lain dari black water fever adalah ikterus dan muntah berwarna seperti empedu. Black water   fever  biasanya dijumpai pada mereka yang menderita infeksi  Plasmodium falciparum  berulang dengan infeksi yang cukup berat.

Di daerah yang tinggi tingkat endemisitas (hiper atau holoendemik), pada orang dewasa seringkali tidak dijumpai gejala klinis walaupun darahnya mengandung parasit malaria. Hal ini disebabkan imunitas yang telah timbul pada mereka karena infeksi berulang. Limpa  biasanya membesar pada serangan pertama yang berat atau setelah beberapa serangan dalam  periode yang cukup lama. Dengan pengobatan yang baik, limpa secara berangsur-angsur 

akan mengecil kembali.

Untuk memudahkan penatalaksanaan penanganan kasus malaria, manifestasi klinis dikelompokkan menjadi

1. Malaria tanpa Komplikasi

Pada daerah hiper atau holoendemik, kontrol malaria tidak efektif sehingga serangan malaria akut sering terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun, secara bertahap menginduksi imunitas secara aktif. Pada anak besar yang sudah mendapat imunitas, maka gejala klinisnya menjadi lebih ringan. Infeksi akut dapat terjadi pada anak besar yang mendapat kemoprofilaksis yang tidak sempurna atau lupa minum obat pada saat masuk ke

daerah endemis malaria. Pada daerah hipoendemik malaria, semua usia dapat terserang malaria. Hati biasanya lunak dan terus membesar sesuai dengan progresifitas penyakit, namun fungsinya jarang terganggu dibandingkan dengan orang dewasa. Ikterus dapat dijumpai pada beberapa anak, terutama berhubungan dengan hemolisis. Kadar transaminase darah sedikit meningkat untuk waktu singkat.

Limpa yang besar umumnya dapat diraba pada minggu kedua; pembesaran limpa  progresif sesuai dengan perjalanan penyakit. Pada anak yang telah mengalami serangan  berulang, limpa dapat sangat besar dengan konsistensi keras. Anemia merupakan akibat  penting malaria tropika pada anak. Pada infeksi akut, beratnya anemia berhubungan langsung

dengan derajat parasitemia.

Malaria ovale mempunyai gejala klinis lebih ringan daripada malaria tertiana. Pada hari terakhir masa inkubasi, anak menjadi gelisah, anoreksia sedangkan anak besar mengeluh nyeri kepala dan nausea. Demam periodik tiap 48 jam tetapi stadium dingin dan menggigil  jarang dijumpai pada bayi dan balita. Selama periode demam, anak selalu merasa dingin dan

menggigil dalam waktu singkat. Demam sering terjadi pada sore hari. Pada anak jarang terjadi parasitemia berat, terdapat pada kurang dari 2%. Malaria tertania dan ovale jarang disertai anemia berat. Hati pada umumnya membesar dan teraba pada akhir minggu pertama. Bilirubin total dapat meningkat tetapi jarang disertai ikterus, sedangkan kadar transaminase

Dalam dokumen TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 7-35)

Dokumen terkait