• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hati

Anatomi dan Histologi Hati

Salah satu organ yang sering menderita karena adanya zat-zat toksik adalah hati. Hati merupakan organ tubuh yang besar, kompleks dan terdapat di dalam rongga perut kanan atas, tepat di bawah diafragma kanan dan dilindungi tulang iga kanan bawah serta diselubungi oleh peritoneum. Organ ini berwarna coklat tua dan berbobot antara 1.200-1.600 gram atau 2.5% dari bobot total orang dewasa. Hati terbagi menjadi dua bagian dan bagian kanan besarnya enam kali bagian kirinya (Ganong 2003).

Hati terdiri dari beberapa lobus, tergantung pada spesiesnya. Pada mencit terdapat empat lobus (lobus medial, lobus lateral kiri, lobus lateral kanan dan lobus kaudal (Harada et al. 1999). Di dalamnya mengalir darah yang melewati sel-sel hati melalui sinusoid dari cabang vena porta hepatika ke dalam vena sentralis tiap lobulus (Ganong 2003). Setiap lobulus hati terdiri dari berbagai komponen, yaitu sel-sel parenkim hati (hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel Kupffer dan kanalikuli biliaris (Handoko 2003). Vena porta, arteri hepatika dan saluran empedu akan bergabung dalam satu daerah vena porta (segitiga Kiernaan). Empedu akan disalurkan dari hati ke duodenum melalui saluran empedu intrahepatik dan ekstrahepatik (Guyton 1997). Di dalam hati juga ditemukan banyak sel-sel RES (Reticulo Endothelial System), yakni sel-sel Kupffer yang terdapat dalam dinding-dinding kapiler dan sinusoid-sinusoid hati, berfungsi untuk membersihkan benda-benda asing dari darah (fagositik) (Ganong 2003).

Sel hati (hepatosit) berbentuk polyhedral, berdiameter 20-25 mikron pada hewan dewasa, sedangkan pada hewan muda sekitar 2-7 mikron. Inti bulat ditengah-tengah dan kadang-kadang tampak lebih dari satu inti akibat pembelahan sitoplasma yang tidak sempurna (Hartono 1992). Hepatosit tersusun radial di sekeliling vena sentralis. Di antara sederetan hepatosit terdapat suatu saluran sinusoid yang menuju vena sentralis. Saluran ini merupakan sistem sinusoidal, yang membawa darah dari pembuluh portal menuju vena sentralis dan pembuluh

4

empedu. Lobus hati secara histologis dibungkus oleh kapsula. Kapsula lobus hati terdiri dari kapsula fibrosa dan kapsula serosa. Asinus hepatik dibagi lagi menjadi tiga zona: periportal, midzonal dan sentrolobular. Hepatosit pada zona periportal menerima darah kaya oksigen dan nutrisi karena berdekatan dengan pembuluh afferent sedangkan sel di sekitar zona sentrolobular terletak di distal, dekat mikrosirkulasi penerima darah yang mengandung gas dan metabolit. Hal ini yang menyebabkan zona sentrolobular tingkat sensitifitasnya lebih tinggi. Midzonal merupakan zona transisi dari kedua zona lain (Harada et al. 1999).

Fisiologi Hati

Fungsi hati adalah mendetoksifikasi produk buangan metabolisme, merusak sel darah merah tua, sintesis dan sekresi lipoprotein plasma serta mempunyai fungsi metabolisme (sintesis glikogen, glukoneogenesis, menyimpan glikogen, beberapa vitamin dan lipid) (Burkitt et al. 1995). Fungsi detoksifikasi sangat berhubungan erat dengan fungsi ekskresi, karena hati mempunyai kemampuan untuk mengekskresikan berbagai macam substansia sederhana, seperti logam berat yang tidak diubah lewat empedu (Kelly 1993). Hati juga mempunyai fungsi dalam mengatur kadar glukosa dalam darah. Makanan berupa glukosa akan diabsorbsi di usus, kemudian diteruskan ke hati melalui vena portal. Sebagian dari glikogen yang disimpan akan dipecah dalam hati menjadi glukosa. Dalam keadaan normal kadar glikogen dalam hati cukup untuk mempertahankan kadar glukosa darah. Jika terjadi gangguan hati, dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemia atau hipoglikemia (Ganiswara 1995).

Aliran darah masuk ke hati melalui dua sumber. Bagian terbesar darah masuk melalui vena porta sedangkan aliran darah yang lain melalui arteri hepatika Darah balik seluruhnya dialirkan keluar hati melalui vena hepatika yang masuk ke dalam vena cava caudalis. Keistimewaan hati ialah karena sirkulasinya berlainan dari alat tubuh lain. Darah yang mengalir didalamnya terdiri dari 2/3 darah balik dan 1/3 darah nadi (Ressang 1984). Vena porta dan arteri hepatika merupakan pembuluh darah dari usus yang membawa nutrisi dan zat-zat lain yang diserap oleh usus. Nutrisi yang sampai di hati melalui aliran darah portal diolah dan keluar sebagai bahan baru dalam aliran darah (Hartono 1992). Selain nutrisi, turut

5

masuk berbagai bakteri, darah merah yang sudah tua dan toksin yang harus diolah, dihancurkan atau mungkin juga disimpan. Sebanyak 75-80% darah pada organ hati berasal dari vena porta sedangkan dari arteri hepatika mengalir sekitar 20-25% darah yang kaya oksigen (Lu 1995).

Toksikopatologi Hati

Hati merupakan organ sekresi terbesar dan mungkin merupakan kelenjar pertahanan yang terpenting dalam tubuh. Sel hati dapat rusak hingga lebih dari 80% tanpa menyebabkan gejala klinis yang berat dan dapat sembuh kembali secara sempurna.

Kerusakan pada hati dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu onset pemaparan yang terlalu lama atau terlalu singkat, durasi pemaparan, dosis dan sel inang yang rentan (Jubb 1993). Kerusakan yang terjadi pada sel hati dapat bersifat sementara dan tetap. Sel akan mengalami perubahan untuk beradaptasi mempertahankan hidup pada kerusakan yang bersifat sementara. Perubahan ini biasa disebut degenerasi. Degenerasi terjadi karena adanya gangguan biokimiawi yang disebabkan oleh iskemia, anemia, metabolisme abnormal dan zat kimia yang bersifat toksik. Hal ini menyebabkan membran sel normal akan mengalami kerusakan sehingga keseimbangan pengeluaran K+ dan pemasukan ion Na+, Ca+ dan air akan terganggu. Kerusakan membran sel menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah air ke dalam sel, sehingga menyebabkan sitoplasma menjadi bengkak dan dipenuhi butiran-butiran air. Apabila kerusakan membran sel terus berlangsung, maka sitoplasma sel akan berisi cairan yang membentuk vakuola-vakuola, sehingga sitoplasma terlihat lebih pucat, keadaan ini dinamakan degenerasi hidropis (Cheville 1999).

Pada degenerasi lemak terjadi penumpukan lemak di lobuli hati yang sering terlihat pada akhir masa kebuntingan karena kekurangan oksigen dan adanya bahan toksik dan lain-lain. Hal ini terjadi karena adanya gangguan keseimbangan antara trigliserida misel dan lemak globular. Ketidakseimbangan lemak terjadi karena pengangkutan lemak ke hati meningkat, sintesis lemak di hati meningkat dan penggunaan lemak dalam sel hati yang berkurang sehingga jumlah lemak dalam sel hati meningkat (Donatus 2001). Lemak yang terserap usus halus

6

diangkut melalui plasma ke dalam hati dalam bentuk chylomicron (butir lemak yang sangat halus) yang sebagian besar terdiri dari trigliserida, tetapi mengandung juga sedikit protein dan fosfolipid. Di dalam hati, trigliserida di hidrolisa menjadi asam lemak dan gliserol. Protein yang dibentuk oleh retikulum endoplasma mengadakan ikatan dengan trigliserida untuk membentuk lipoprotein yang dikeluarkan ke dalam plasma. Adanya zat toksik dapat mengganggu produksi protein sehingga lipoprotein tidak terbentuk. Hal inilah yang menyebabkan lemak tidak bisa disekresikan sehingga menjadi terakumulasi dalam sel hati. Pada hati secara histopatologis degenerasi lemak tampak seperti bulatan di dalam sitoplasma yang mirip vakuol, berbentuk bundar dan kosong. Selain degenerasi lemak, sel juga sering mengalami akumulasi terutama akumulasi protein di dalam sitoplasmanya (Carlton dan McGavin 1995).

Kerusakan sel secara terus-menerus akan mencapai suatu titik sehingga terjadi kematian sel. Mekanisme kematian sel terjadi melalui dua proses: yaitu apoptosis dan nekrosa. Pada apoptosis terjadi kematian sel yang terprogram yang dipicu oleh fragmentasi DNA dan biasanya terjadi pada satu atau sekelompok sel saja. Lain halnya dengan nekrosa, kematian sel bersifat menyeluruh. Pada nekrosa biasanya ditemukan sel radang dan sitoplasma sel akan terlihat asidofilik. Nekrosa ini ada yang bersifat lokal dan ada yang bersifat difus (Lu 1995).

Hati dapat mengalami nekrosa yang disebabkan oleh dua hal yaitu 1). Toksopatik, disebabkan oleh pengaruh langsung agen yang bersifat toksik, 2). Trofopatik, akibat kekurangan oksigen, zat-zat makanan dan sebagainya (Ressang 1984). Degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosa merupakan stadium permulaan dari proses kelainan dalam hati yang kemudian menjurus kearah suatu proses peradangan (Harold 1971). Peradangan di dalam hati dapat terjadi secara infeksius maupun non infeksius. Peradangan secara non infeksius secara umum disebabkan oleh toksin. Hepatitis non infeksius atau toksik dapat terjadi secara akut maupun kronis. Secara mikroskopis sifat nekrosis disini adalah koagulatif yang ditandai dengan piknosis dan sitoplasma yang asidofilik yang dilanjutkan dengan penguraian dan menghilangnya komponen-komponen sel. Menurut lokasi dari perubahan-perubahannya nekrosa dalam hati bisa berbentuk (Nabib 1987) :

7

1. Nekrosa yang difus, dimana perubahan-perubahan meliputi bagian yang luas tanpa batas-batas lobuler yang jelas.

2. Sarang-sarang nekrosis (fokal), dimana terdapat sarang-sarang nekrosis kecil dalam ukuran sublobular di sana-sini dalam lobuli. Hal ini khas pada infeksi yang tersebar dan sering terlihat pada hewan-hewan percobaan.

3. Nekrosa perifer, dalam hal ini terdapat nekrosis pada daerah tepi dari lobuli. Hal ini tidak begitu sering terjadi, hanya bila toksin-toksin keras tiba dalam lobuli melalui aliran darah tanpa menimbulkan gangguan sirkulasi dan pemberian oksigen pada sel-sel. Sel-sel dibagian perifer inilah yang terkena pengaruh racun dan menderita kerusakan terlebih dahulu.

4. Nekrosis bagian pertengahan lobuli (midzone), nekrosis terjadi di daerah pertengahan antara bagian perifer lobuli dengan vena sentralis. Bentuk ini jarang terjadi pada hewan.

5. Nekrosa sentrolobular, dalam hal ini kerusakan terutama terjadi di sekitar vena sentralis karena pengaruh toksin dalam aliran darah dan stagnasi dari aliran darah dengan gejala-gejala anoxianya. Bentuk ini yang biasanya terlihat pada hepatitis toksik akut.

Gambaran mikroskopis umum dari hepatitis toksik akut ialah suatu nekrosa sentrolobular dengan lenyapnya sebagian besar sel-sel yang terletak di sekitar vena sentralis dan tempatnya diambil alih oleh darah. Sel-sel yang terletak lebih perifer mengalami degenerasi lemak dan lebih perifer lagi degenerasi hidropis. Bila keadaan berjalan beberapa hari, terdapat infiltrasi sel-sel limfosit ke dalam tenunan ikat periportal (Harold 1971).

Makroskopis hati yang menderita hepatitis toksik akut memperlihatkan gambaran seperti umumnya pada perubahan degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosis. Umumnya hati bengkak, pucat, belang sedangkan gambaran lobular terlihat jelas. Ukuran besar dari hati cenderung untuk mengecil karena sejumlah sel-sel parenkhimnya menghilang akibat nekrosis, tetapi pembendungan oleh darah dan penimbunan lemak cenderung memperbesar volumenya, sehingga secara positif tidak bisa memberikan gambaran mengenai besarnya hati yang menderita hepatitis toksik akut, meskipun pada kasus-kasus yang parah, hati umumnya lebih kecil dari normal (Ressang 1984).

8

Penyebab hepatitis toksik akut adalah berbagai macam toksin, sebagian besar diantaranya masih belum diketahui. Bahan toksik tersebut dapat dibagi menjadi 3 golongan (Nabib 1987) :

1. Racun-racun kimia, termasuk didalamnya antara lain tetrachloroethylene dan carbontetrachloride yang keduanya digunakan sebagai obat antihelmintik. Efek toksik dari kedua racun tersebut diantaranya menyebabkan sel-sel parenkim hati mengalami nekrosa sentrolobular yang dapat berakibat pada terbentuknya tumor dan kanker hati. Oleh karena efek toksiknya yang berbahaya maka sekarang kedua racun tersebut jarang digunakan.

2. Racun tanaman, diantaranya yang terdapat pada leguminosa pohon yang diduga memiliki efek imunomodulator.

3. Racun metabolik, termasuk didalamnya bentuk-bentuk gastroenteritis tertentu diduga dapat menimbulkan efek hepatotoksik.

Tingginya kadar lipid peroksida dapat menjadi indikasi awal rusaknya sel hati. Peningkatan kadar lipid peroksida lebih jauh akan menyebabkan akumulasi trigliserida pada sel hati dan kemudian menyebabkan terjadinya nekrosis hati. Oleh karena itu, kadar lipid peroksida dapat digunakan sebagai parameter kerusakan awal hati (Ruswandi 2005).

Kerusakan sel hati membuat proses pencernaan dan metabolisme terganggu. Lancarnya proses pencernaan sangat membantu proses penyembuhan penyakit, sebab tubuh mendapat asupan protein yang mampu meningkatkan daya tahan tubuh. Bahkan dengan membaiknya metabolisme sangat membantu hati meregenerasi sel-sel hati yang rusak akibat hepatitis (Budi dan Paimin 2005).

Karakteristik dan Data Biologis Mencit

Mencit (Mus musculus) sebagai hewan percobaan

Hewan percobaan atau yang sering disebut sebagai hewan laboratorium adalah semua jenis hewan dengan persyaratan tertentu untuk dipergunakan sebagai salah satu sarana dalam berbagai kegiatan penelitian biologi dan kedokteran (Sulaksono et al. 1986). Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetik atau keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, disamping faktor

9

ekonomi, mudah tidaknya diperoleh dan mampu memberikan reaksi biologis. Hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian dan pengamatan laboratorik.

Mencit merupakan salah satu hewan laboratorium atau hewan percobaan. Hewan ini merupakan hewan percobaan kecil yang tersebar di seluruh dunia dan dapat ditemukan pada tempat tinggal manusia seperti di rumah dan gedung (Mangkoewidjojo dan Smith 1998). Mencit adalah hewan pengerat (rodentia) yang cepat berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak dan variasi genetiknya cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik.

Sistem taksonomi mencit (Ballenger 1999): Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Rodensia Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

Data biologis mencit

Lama hidup : 1-2 tahun, bisa sampai 3 tahun Lama produksi ekonomis : 9 bulan

Lama kebuntingan : 19-21 hari Kawin sesudah beranak : 1-24 jam Umur disapih : 21 hari Umur dewasa : 35 hari

Umur dikawinkan : 8 minggu (jantan dan betina) Siklus estrus : 4-5 hari

Siklus kelamin : poli estrus Lama estrus : 12-14 jam

10

Perkawinan : pada waktu estrus

Ovulasi : dekat akhir periode estrus Fertilisasi : 2 jam sesudah kawin

Berat dewasa : jantan 20-40 gram, betina 18-35 gram Berat lahir : 0,5-1,0 gram

Jumlah anak : rata-rata 6, bisa sampai 15 Implantasi : 4-5 hari sesudah fertilisasi Uterus : bikornua bermuara di cerviks

Suhu : 35-39oC

Pernafasan : 140-180/menit, turun menjadi 80/menit dengan anastesi, naik sampai 230/menit jika stress Denyut Jantung : 600-650/menit, turun hingga 350/menit dengan

anastesi dan naik 750/menit jika stress Tekanan darah : 130-160 sistol

(Mangkoewidjojo dan Smith 1998)

Parasetamol (Asetaminofen) Rumus Kimia

Salah satu obat yang bersifat hepatotoksik adalah parasetamol. Senyawa ini merupakan turunan fenasetin. Parasetamol mempunyai beberapa nama generik antara lain N-hidroksi asetanilida, N-asetil-p-aminofenol dan asetaminofen. Parasetamol digunakan sebagai obat analgesik dan antipiretik di seluruh dunia (Sumioka et al. 2004). Parasetamol berbentuk serbuk kristal berwarna putih, tidak berbau, rasanya sedikit pahit, peka terhadap udara dan cahaya serta mempunyai pH 5,3-6,5, karena toksisitas dan daya antiinflamasinya yang lemah menjadikan parasetamol sebagai alternatif aspirin. Parasetamol relatif aman pada dosis terapi, walaupun demikian overdosis akut parasetamol dapat menyebabkan hepatotoksik, kerusakan (nekrosis) sentrilobular hati yang fatal (Anonimus 2006).

Penggunaan parasetamol didasarkan pada dugaan bahwa fenasetin dalam tubuh akan dioksidasi menjadi senyawa paraaminofenol. Kemampuan parasetamol sebagai antipiretik terdapat pada struktur aminobenzena senyawa ini. Menurut Goodman et al. (1980), parasetamol adalah obat yang memiliki daya

11

analgesik dan antipiretik melalui mekanisme penghambatan prostaglandin dalam tubuh (Susana 1987). Struktur kimia parasetamol dan struktur aminobenzena senyawa parasetamol dapat dilihat pada Gambar di bawah ini :

Gambar 1. Bagan Struktur Kimia Parasetamol (Anonimus 2006)

Acetanilide Paracetamol Aniline

Gambar 2. Bagan Struktur Aminobenzena Senyawa Parasetamol (Anonimus 2006)

12

Farmakodinamik

Parasetamol telah lama diketahui mempunyai mekanisme yang sama dengan aspirin oleh karena persamaan struktur kedua zat tersebut. Parasetamol bekerja menghambat enzim cyclooxygenase (COX) sehingga dapat mengurangi produksi prostaglandin, yang terlibat di dalam proses demam dan sakit. Bagaimanapun, ada perbedaan penting antara efek aspirin dan parasetamol. Aspirin mengandung prostaglandin yang berperan di dalam proses peradangan, tetapi parasetamol tidak dapat berfungsi sebagai antiinflamasi. Selain itu, aspirin bekerja menghambat enzim COX yang tidak dapat diubah, secara langsung menghalangi lokasi aktif enzim dan mempunyai efek merugikan pada lapisan perut. Parasetamol secara tidak langsung menghalangi enzim COX sehingga menjadi tidak efektif terhadap peroksida. Hal ini menyebabkan parasetamol menjadi efektif bekerja pada susunan saraf pusat dan sel endotel, tetapi bukan pada platelet dan sel imun yang mempunyai tingkat peroksida tinggi.

Pada tahun 2002 telah dilaporkan bahwa parasetamol selektif dalam menghalangi varian dari enzim COX yang berbeda, dikenal varian COX-1 dan COX-2. Enzim ini hanya bereaksi di otak dan sumsum tulang, sekarang dikenal sebagai COX-3. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa administrasi parasetamol meningkatkan bioavibilitas dari serotonin (5-HT) di tikus, tetapi mekanismenya belum diketahui (Anonimus 2006).

Farmakokinetik

Parasetamol dimetabolisme terutama oleh enzim-enzim mikrosomal sel hati. Di dalam saluran pencernaan, asetaminofen dengan cepat diserap dan dalam waktu 30 menit akan mencapai konsentrasi puncak dalam plasma. Pada dosis yang menyebabkan toksisitas akut, ikatan parasetamol terhadap protein plasma bervariasi dari 20-50%. Pada dosis normal, 90-100% dari senyawa obat ini mungkin akan dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran senyawa obat ini terjadi setelah melewati fase konjugasi dengan asam glukoronat (sekitar 60%), asam sulfat (35%) dan sistein (3%) serta sejumlah kecil metabolit dalam bentuk terhidroksilasi dan terdeasetilasi (Anonimus 2006). Berdasarkan hasil penelitian Wilson dan Gilfod dalam Susana 1987 menunjukkan bahwa di dalam hati,

13

parasetamol akan mengalami biotransformasi melalui reaksi konjugasi dengan asam glukoronat atau glutation dan hasilnya diekskresi melalui urin. Sisa parasetamol mengalami biotransformasi dengan sistem sitokrom P-450. Sitokrom P-450, suatu sistem enzim di retikulum endoplasma segera melakukan biotransformasi oksidatif pada 5-10% parasetamol yang masuk ke dalam tubuh. Parasetamol yang teroksidasi berubah menjadi N-asetil p-benzokuinon imin (NAPQI), suatu senyawa yang toksik dan reaktif (Susana 1987). Senyawa radikal ini dapat bereaksi dengan molekul penyusun membran sel hati contohnya fosfolipid. Oksidasi senyawa ini akan menghasilkan suatu radikal bebas yang dapat mengoksidasi molekul fosfolipid lainnya sehingga terjadi reaksi oksidasi berantai. Reaksi ini dapat menyebabkan berubahnya komposisi membran sel hati. Menurut Manson, perubahan membran sel menyebabkan kerusakan sel hati dan kemudian dapat menimbulkan nekrosis hati (Susana 1987). Metabolisme parasetamol dapat dilihat pada Gambar 3.

+

metabolit + protein hati centralobular hepatic necrosis

14

Toksikologi

Hasil penelitian Katzung menunjukkan bahwa penggunaan parasetamol dalam dosis yang besar dapat menyebabkan gangguan fungsi hati yang disebut nekrosis hati (Susana 1987). Dosis parasetamol sebanyak 7 g/hari atau lebih dapat menimbulkan nekrosis hati sedangkan dosis 15 g/hari dapat menimbulkan kerusakan hati yang lebih luas (Lelo dan Arbie 1982). Hasil penelitian oleh Silvana menunjukkan mencit yang diberi parasetamol dengan dosis 500 mg/kg BB menunjukkan kerusakan hati mencit tersebut (Susana 1987).

Kerusakan hati menyebabkan meningkatnya lipid peroksida darah karena lipid peroksida tubuh tidak dapat lagi didetoksifikasi dalam hati. Menurut Thomas

dalam Susana 1987, hati memiliki mekanisme antioksidasi radikal bebas (asetilimin benzokuinon) melalui reaksi konjugasi dengan beberapa senyawa dalam hati seperti glutation, asam glukoronat, glisin dan asetat. Jumlah radikal bebas yang melebihi ketersediaan senyawa-senyawa penetralisir dalam hati memungkinkan terjadinya reaksi antara radikal bebas dan membran sel hati (Susana 1987).

Parasetamol akan dikonversikan menjadi inaktif melalui metabolisme fase II yang dikonjugasikan dengan sulfat dan glukuronida, yang akan beroksidasi dalam jumlah kecil melalui sistem enzim sitokrom P450. Sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) akan mengkonversikan parasetamol menjadi metabolit reaktif yang tinggi, N-acetyl-p-benzo-quinone imine (NAPQI). Dalam kondisi dibawah normal, NAPQI akan detoksifikasi oleh konjugasi dengan glutation. Pada kasus toksikasi parasetamol, jalur sulfat dan glukuronida menjadi terurai sehingga parasetamol merangsang sistem sitokrom P450 memproduksi NAPQI yang banyak. Konsekuensinya NAPQI yang dikonjugasi oleh glutation (GSH) bertambah banyak sedangkan hepatoseluler kekurangan glutation sehingga ketika melewati kapasitas konjugasi GSH, NAPQI akan berikatan kovalen dengan makromolekul vital sel hati (seperti lipid dan protein membran sel) dan menyebabkan nekrosis hati (Sumioka et al. 2004). Pada kasus-kasus hewan, 70% kekurangan glutation pada sel hati dapat menyebabkan hepatotoksisitas.

Adanya kerusakan sel-sel parenkim hati atau permebialitas membran akan mengakibatkan enzim ALT, AST, alkalin fosfatase, laktat dehidrogenase dan γ

-15

glutamiltransferase bebas keluar sel, sehingga enzim yang masuk ke pembuluh darah melebihi keadaan normal dan kadarnya dalam darah meningkat. Selain itu parasetamol juga dapat mengalami hidroksilasi dan hasilnya dapat menimbulkan methemoglobinemia (Hb diubah menjadi met-Hb) dan Hemolisis eritrosit (Anonimus 2006).

Dokumen terkait