• Tidak ada hasil yang ditemukan

Toksikopatologi Hati Mencit (Mus musculus) Pada Pemberian Parasetamol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Toksikopatologi Hati Mencit (Mus musculus) Pada Pemberian Parasetamol"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

TOKSIKOPATOLOGI HATI MENCIT (

Mus musculus

) PADA

PEMBERIAN PARASETAMOL

HEIRMAYANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

HEIRMAYANI. Toksikopatologi Hati Mencit (Mus musculus) Pada Pemberian Parasetamol. Dibimbing oleh DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan SRI ESTUNINGSIH.

Parasetamol adalah obat yang digunakan secara meluas di masyarakat. Digolongkan obat yang berlabel bebas terbatas, bisa dibeli secara bebas. Penggunaannya kadang menyalahi aturan pakai yang tertera pada pembungkus obat tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efek parasetamol dosis normal optimum selama 6 minggu pada organ hati mencit. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat melengkapi informasi dasar tentang toksikopatologi hati akibat obat-obatan kimiawi. Penelitian ini menggunakan 36 ekor mencit yang diberi 500 mg/ 50 kgBB parasetamol intragastric. Parameter histopatologi hati yang dipakai adalah dengan menghitung persentase sel yang mengalami degenerasi dan yang mengalami nekrosa pada kelompok yang diberi parasetamol. Data yang diperoleh dianalisa menggunakan analisis sidik ragam acak lengkap (ANOVA) dilanjutkan dengan uji Tukey (α = 0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejalan dengan pertambahan waktu, pemberian parasetamol dosis normal optimum menyebabkan terjadinya peningkatan lesio kematian hepatosit berupa nekrosa sementara lesio degeneratifnya menurun.

Kata kunci : Parasetamol, hepatotoksikopatologi, toksikopatologi hati

ABSTRACT

HEIRMAYANI. Toxicopathology of mice liver (Mus musculus) received paracetamol. Under the direction of DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and

SRI ESTUNINGSIH.

Paracetamol is drugs that common used widely by many people. Paracetamol classify as limited free labling drugs so that everybody can it without prescription. Many people use this drug sometimes were not follow the direction written on the label. The aim of this research was to study the effect of normal optimum dose of paracetamol for 6 weeks application within mice liver. Thirty six mice were used in this research and given 500 mg/ 50kgBW of paracetamol intragastrically. Histopathology parameters that used to evaluate the hepatocytes lesion is to count the percentage of lesion degeneration and necrosis exist. The data then were analysed statistically using Analysis of Variance (ANOVA), continued by Tukey test (α = 0,05). The result showed, as the time of paracetamol application increase, there were also increase of necrosis hepatocytes percentage while the percentage of degeneration hepatocytes were decreased.

(3)

TOKSIKOPATOLOGI HATI MENCIT (

Mus musculus

) PADA

PEMBERIAN PARASETAMOL

HEIRMAYANI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul Skripsi : Toksikopatologi Hati Mencit (Mus musculus) Pada Pemberian Parasetamol

Nama : Heirmayani

NRP : B04103128

Disetujui

Pembimbing Skripsi I Pembimbing Skripsi II

Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD. Dr. Drh. Sri Estuningsih, MSi. NIP. 131 760 839 NIP. 131 878 929

Diketahui

Wakil Dekan FKH IPB

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS. NIP. 131 129 090

(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai bulan Juli 2007 ini

adalah Toksikopatologi Hati Mencit (Mus musculus) Pada Pemberian

Parasetamol.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Drh. Dewi Ratih Agungpriyono,

PhD dan Ibu Dr. Drh. Sri Estuningsih, MSi selaku pembimbing, Bapak Drh.

Hernomoadi Huminto, MVS selaku dosen penguji serta Bapak Dr. Drh. Eko

Sugeng Pribadi, MS yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, ucapan

terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu Dosen beserta staf di

Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas

Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor yang telah membantu dalam

pelaksanaan penelitian ini.

Terima kasih tak terhingga dan penuh hormat penulis ucapkan kepada

Bapak Enceng Suherman dan Mama Nuryani tercinta yang selalu mengasuh,

mendidik dan membimbing dengan penuh kasih sayang serta senantiasa

mendo’akan dan memberikan dorongan penuh baik moril maupun materil sampai

saat ini. Keluarga di Jakarta (Ndhe, Aa, De ira, Nenek, Engki, Om, Ante dan

semua sepupuku), terima kasih telah memberikan semangat, perhatian dan warna

dalam senyum cerianya. Achmad Isfar Shaffan Adlim dan Erly Pratita, terima

kasih atas kesabaran dan pengertian yang diberikan selama ini serta pelajaran

tentang hidup dan kedewasaan. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada

teman-teman seperjuangan Au, Ika, Reny, Bayu atas bantuannya selama ini serta

seluruh teman-teman angkatan 40, kosan Zulfa dan teman-teman yang tidak dapat

disebutkan namanya satu-persatu.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Juli 2007

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 Februari 1986 sebagai anak

pertama dari empat bersaudara, anak dari pasangan Enceng Suherman dan

Nuryani.

Tahun 2003 penulis lulus SMU Negeri 49 Jakarta dan pada tahun yang

sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB

(USMI). Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif menjadi anggota

Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (2004/2005), Himpunan Minat

Profesi Satwa Liar (2004/2005), Himpunan Minat Profesi Ornithologi dan Unggas

(2005/2006) serta Forum Ilmiah Mahasiswa (2005/2006). Praktik lapangan yang

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN... i x PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA Hati ... 3

Karakteristik dan data biologis mencit ... 8

Parasetamol (asetaminofen) ... 10

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian ... 16

Alat dan bahan ... 16

Metode penelitian ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Derajat Keparahan Lesio Hepatosit Mencit Pada Pemberian

Parasetamol Dosis Normal Optimum Dalam Waktu 6 Minggu ... 20

2. Derajat Keparahan Perubahan Hepatosit Mencit Pada Vena Porta (VP) Dan Vena Sentralis (VS)

Akibat Pemberian Parasetamol Dosis Normal Optimum ... 23

3. Pengaruh Pemberian Parasetamol Dosis Normal Optimum Terhadap Jumlah Sel Radang Pada Vena Porta (VP) Dan

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Bagan Struktur Kimia Parasetamol ... 11

2. Bagan Struktur Aminobenzena Senyawa Parasetamol ... 11

3. Bagan Metabolisme Parasetamol ... 13

4. Perbandingan Perubahan Persentase Lesio Hepatosit Kelompok Kontrol (K) dan Perlakuan (P) ... ... 20

5. Pengaruh Pemberian Parasetamol Dosis Normal Optimum Terhadap Perubahan Hepatosit Mencit Pada Vena Porta (VP) Dan Vena Sentralis (VS) ... 23

6. Gambaran Histopatologi Jaringan Hati Kelompok Kontrol ... 25

7. Gambaran Histopatologi Jaringan Hati Kelompok Perlakuan ... 25

8. Perubahan Pada Bagian Interstitium Hati Berupa Kongesti ... 27

9. Infiltrasi Dan Akumulasi Sel Radang Perivaskuler Vena Sentralis ... 28

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Bagan Pembuatan Sediaan Histopatologi ... 37

2. Bagan Pewarnaan Haematoksilin Eosin ... 38

(11)

TOKSIKOPATOLOGI HATI MENCIT (

Mus musculus

) PADA

PEMBERIAN PARASETAMOL

HEIRMAYANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

ABSTRAK

HEIRMAYANI. Toksikopatologi Hati Mencit (Mus musculus) Pada Pemberian Parasetamol. Dibimbing oleh DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan SRI ESTUNINGSIH.

Parasetamol adalah obat yang digunakan secara meluas di masyarakat. Digolongkan obat yang berlabel bebas terbatas, bisa dibeli secara bebas. Penggunaannya kadang menyalahi aturan pakai yang tertera pada pembungkus obat tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efek parasetamol dosis normal optimum selama 6 minggu pada organ hati mencit. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat melengkapi informasi dasar tentang toksikopatologi hati akibat obat-obatan kimiawi. Penelitian ini menggunakan 36 ekor mencit yang diberi 500 mg/ 50 kgBB parasetamol intragastric. Parameter histopatologi hati yang dipakai adalah dengan menghitung persentase sel yang mengalami degenerasi dan yang mengalami nekrosa pada kelompok yang diberi parasetamol. Data yang diperoleh dianalisa menggunakan analisis sidik ragam acak lengkap (ANOVA) dilanjutkan dengan uji Tukey (α = 0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejalan dengan pertambahan waktu, pemberian parasetamol dosis normal optimum menyebabkan terjadinya peningkatan lesio kematian hepatosit berupa nekrosa sementara lesio degeneratifnya menurun.

Kata kunci : Parasetamol, hepatotoksikopatologi, toksikopatologi hati

ABSTRACT

HEIRMAYANI. Toxicopathology of mice liver (Mus musculus) received paracetamol. Under the direction of DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and

SRI ESTUNINGSIH.

Paracetamol is drugs that common used widely by many people. Paracetamol classify as limited free labling drugs so that everybody can it without prescription. Many people use this drug sometimes were not follow the direction written on the label. The aim of this research was to study the effect of normal optimum dose of paracetamol for 6 weeks application within mice liver. Thirty six mice were used in this research and given 500 mg/ 50kgBW of paracetamol intragastrically. Histopathology parameters that used to evaluate the hepatocytes lesion is to count the percentage of lesion degeneration and necrosis exist. The data then were analysed statistically using Analysis of Variance (ANOVA), continued by Tukey test (α = 0,05). The result showed, as the time of paracetamol application increase, there were also increase of necrosis hepatocytes percentage while the percentage of degeneration hepatocytes were decreased.

(13)

TOKSIKOPATOLOGI HATI MENCIT (

Mus musculus

) PADA

PEMBERIAN PARASETAMOL

HEIRMAYANI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)

Judul Skripsi : Toksikopatologi Hati Mencit (Mus musculus) Pada Pemberian Parasetamol

Nama : Heirmayani

NRP : B04103128

Disetujui

Pembimbing Skripsi I Pembimbing Skripsi II

Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD. Dr. Drh. Sri Estuningsih, MSi. NIP. 131 760 839 NIP. 131 878 929

Diketahui

Wakil Dekan FKH IPB

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS. NIP. 131 129 090

(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai bulan Juli 2007 ini

adalah Toksikopatologi Hati Mencit (Mus musculus) Pada Pemberian

Parasetamol.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Drh. Dewi Ratih Agungpriyono,

PhD dan Ibu Dr. Drh. Sri Estuningsih, MSi selaku pembimbing, Bapak Drh.

Hernomoadi Huminto, MVS selaku dosen penguji serta Bapak Dr. Drh. Eko

Sugeng Pribadi, MS yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, ucapan

terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu Dosen beserta staf di

Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas

Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor yang telah membantu dalam

pelaksanaan penelitian ini.

Terima kasih tak terhingga dan penuh hormat penulis ucapkan kepada

Bapak Enceng Suherman dan Mama Nuryani tercinta yang selalu mengasuh,

mendidik dan membimbing dengan penuh kasih sayang serta senantiasa

mendo’akan dan memberikan dorongan penuh baik moril maupun materil sampai

saat ini. Keluarga di Jakarta (Ndhe, Aa, De ira, Nenek, Engki, Om, Ante dan

semua sepupuku), terima kasih telah memberikan semangat, perhatian dan warna

dalam senyum cerianya. Achmad Isfar Shaffan Adlim dan Erly Pratita, terima

kasih atas kesabaran dan pengertian yang diberikan selama ini serta pelajaran

tentang hidup dan kedewasaan. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada

teman-teman seperjuangan Au, Ika, Reny, Bayu atas bantuannya selama ini serta

seluruh teman-teman angkatan 40, kosan Zulfa dan teman-teman yang tidak dapat

disebutkan namanya satu-persatu.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Juli 2007

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 Februari 1986 sebagai anak

pertama dari empat bersaudara, anak dari pasangan Enceng Suherman dan

Nuryani.

Tahun 2003 penulis lulus SMU Negeri 49 Jakarta dan pada tahun yang

sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB

(USMI). Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif menjadi anggota

Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (2004/2005), Himpunan Minat

Profesi Satwa Liar (2004/2005), Himpunan Minat Profesi Ornithologi dan Unggas

(2005/2006) serta Forum Ilmiah Mahasiswa (2005/2006). Praktik lapangan yang

(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN... i x PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA Hati ... 3

Karakteristik dan data biologis mencit ... 8

Parasetamol (asetaminofen) ... 10

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian ... 16

Alat dan bahan ... 16

Metode penelitian ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Derajat Keparahan Lesio Hepatosit Mencit Pada Pemberian

Parasetamol Dosis Normal Optimum Dalam Waktu 6 Minggu ... 20

2. Derajat Keparahan Perubahan Hepatosit Mencit Pada Vena Porta (VP) Dan Vena Sentralis (VS)

Akibat Pemberian Parasetamol Dosis Normal Optimum ... 23

3. Pengaruh Pemberian Parasetamol Dosis Normal Optimum Terhadap Jumlah Sel Radang Pada Vena Porta (VP) Dan

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Bagan Struktur Kimia Parasetamol ... 11

2. Bagan Struktur Aminobenzena Senyawa Parasetamol ... 11

3. Bagan Metabolisme Parasetamol ... 13

4. Perbandingan Perubahan Persentase Lesio Hepatosit Kelompok Kontrol (K) dan Perlakuan (P) ... ... 20

5. Pengaruh Pemberian Parasetamol Dosis Normal Optimum Terhadap Perubahan Hepatosit Mencit Pada Vena Porta (VP) Dan Vena Sentralis (VS) ... 23

6. Gambaran Histopatologi Jaringan Hati Kelompok Kontrol ... 25

7. Gambaran Histopatologi Jaringan Hati Kelompok Perlakuan ... 25

8. Perubahan Pada Bagian Interstitium Hati Berupa Kongesti ... 27

9. Infiltrasi Dan Akumulasi Sel Radang Perivaskuler Vena Sentralis ... 28

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Bagan Pembuatan Sediaan Histopatologi ... 37

2. Bagan Pewarnaan Haematoksilin Eosin ... 38

(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perubahan pola konsumsi masyarakat telah menyebabkan munculnya

berbagai penyakit. Studi menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah yang terlalu

banyak mengkonsumsi protein, lemak, gula dan garam misalnya, ternyata lebih

banyak ditemukan penderita penyakit-penyakit degeneratif seperti arteriosklerosis

dan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan organ pencernaan (hati, pankreas

dan gastrointestinal) dibandingkan masyarakat di wilayah yang banyak

mengkonsumsi karbohidrat, serat dan vitamin (Ruswandi 2005).

Salah satu fungsi hati yang penting ialah melindungi tubuh terhadap

terjadinya penumpukan zat berbahaya yang masuk dari luar, misalnya obat.

Banyak diantara obat yang bersifat larut dalam lemak dan tidak mudah

diekskresikan oleh ginjal. Untuk itu maka sistem enzim pada mikrosom hati akan

melakukan biotransformasi sedemikian rupa sehingga metabolit yang terbentuk

menjadi lebih mudah larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin atau

empedu. Dengan faal tersebut, tidak mengherankan bila hati mempunyai

kemungkinan yang cukup besar untuk dirusak oleh obat. Hepatitis karena obat

(HKO) pada umumnya tidak menimbulkan kerusakan permanen, tetapi

kadang-kadang dapat berlangsung lama dan fatal (Dalimartha 2005).

Di Indonesia, obat-obatan yang mengandung parasetamol dosis tinggi

telah bebas dijual dan beredar di masyarakat seperti Panadol® dan Mixagrip®.

Banyak masyarakat yang menggunakan parasetamol sebagai obat sakit kepala.

Konsumsi obat (parasetamol) dosis berlebih merupakan salah satu penyebab

rusaknya membran sel hati. Nekrosis hati terjadi karena interaksi radikal bebas

hasil metabolisme obat dan metabolisme tubuh dengan biomolekul penyusun

membran sel hati. Interaksi radikal bebas ini menyebabkan perubahan dan

merusak membran sel (Anonimus 2006). Menurut Clark, penggunaan obat yang

mengandung parasetamol berlebihan dalam jangka waktu tertentu akan

menyebabkan terjadinya kerusakan sel hati (Sutanto 1996).

Kerusakan sel hati yang diakibatkan parasetamol menyerupai kerusakan

(22)

2

Kerusakan sel hati menyebabkan meningkatnya lipid peroksida darah karena lipid

peroksida tubuh tidak dapat lagi didetoksifikasi dalam hati. Jumlah radikal bebas

yang melebihi ketersediaan senyawa-senyawa penetralisir dalam hati

memungkinkan terjadinya reaksi antara radikal bebas dan membran sel hati. Hal

ini mendasari dugaan mengenai kemampuan parasetamol sebagai hepatotoksikan.

Kerusakan hati yang disebabkan oleh parasetamol pada penelitian ini, diketahui

dengan cara menghitung persentase sel yang mengalami degenerasi dan nekrosa

sehingga pengaruh pemberian parasetamol dosis normal optimum terhadap

gambaran histopatologi hati mencit (Mus musculus) dapat dianalisa. Kerusakan

hati jika terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kematian.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian parasetamol

dosis normal optimum terhadap gambaran histopatologi hati mencit (Mus

musculus).

Hipotesa

H0 : Parasetamol dapat menyebabkan kerusakan hati. H1 : Parasetamol tidak dapat menyebabkan kerusakan hati.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar

mengenai kerusakan hati yang ditimbulkan pada pemakaian parasetamol dosis

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Hati

Anatomi dan Histologi Hati

Salah satu organ yang sering menderita karena adanya zat-zat toksik

adalah hati. Hati merupakan organ tubuh yang besar, kompleks dan terdapat di

dalam rongga perut kanan atas, tepat di bawah diafragma kanan dan dilindungi

tulang iga kanan bawah serta diselubungi oleh peritoneum. Organ ini berwarna

coklat tua dan berbobot antara 1.200-1.600 gram atau 2.5% dari bobot total orang

dewasa. Hati terbagi menjadi dua bagian dan bagian kanan besarnya enam kali

bagian kirinya (Ganong 2003).

Hati terdiri dari beberapa lobus, tergantung pada spesiesnya. Pada mencit

terdapat empat lobus (lobus medial, lobus lateral kiri, lobus lateral kanan dan

lobus kaudal (Harada et al. 1999). Di dalamnya mengalir darah yang melewati

sel-sel hati melalui sinusoid dari cabang vena porta hepatika ke dalam vena

sentralis tiap lobulus (Ganong 2003). Setiap lobulus hati terdiri dari berbagai

komponen, yaitu sel-sel parenkim hati (hepatosit), vena sentralis, sinusoid,

cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel Kupffer dan

kanalikuli biliaris (Handoko 2003). Vena porta, arteri hepatika dan saluran

empedu akan bergabung dalam satu daerah vena porta (segitiga Kiernaan).

Empedu akan disalurkan dari hati ke duodenum melalui saluran empedu

intrahepatik dan ekstrahepatik (Guyton 1997). Di dalam hati juga ditemukan

banyak sel-sel RES (Reticulo Endothelial System), yakni sel-sel Kupffer yang

terdapat dalam dinding-dinding kapiler dan sinusoid-sinusoid hati, berfungsi

untuk membersihkan benda-benda asing dari darah (fagositik) (Ganong 2003).

Sel hati (hepatosit) berbentuk polyhedral, berdiameter 20-25 mikron pada

hewan dewasa, sedangkan pada hewan muda sekitar 2-7 mikron. Inti bulat

ditengah-tengah dan kadang-kadang tampak lebih dari satu inti akibat pembelahan

sitoplasma yang tidak sempurna (Hartono 1992). Hepatosit tersusun radial di

sekeliling vena sentralis. Di antara sederetan hepatosit terdapat suatu saluran

sinusoid yang menuju vena sentralis. Saluran ini merupakan sistem sinusoidal,

(24)

4

empedu. Lobus hati secara histologis dibungkus oleh kapsula. Kapsula lobus hati

terdiri dari kapsula fibrosa dan kapsula serosa. Asinus hepatik dibagi lagi menjadi

tiga zona: periportal, midzonal dan sentrolobular. Hepatosit pada zona periportal

menerima darah kaya oksigen dan nutrisi karena berdekatan dengan pembuluh

afferent sedangkan sel di sekitar zona sentrolobular terletak di distal, dekat

mikrosirkulasi penerima darah yang mengandung gas dan metabolit. Hal ini yang

menyebabkan zona sentrolobular tingkat sensitifitasnya lebih tinggi. Midzonal

merupakan zona transisi dari kedua zona lain (Harada et al. 1999).

Fisiologi Hati

Fungsi hati adalah mendetoksifikasi produk buangan metabolisme,

merusak sel darah merah tua, sintesis dan sekresi lipoprotein plasma serta

mempunyai fungsi metabolisme (sintesis glikogen, glukoneogenesis, menyimpan

glikogen, beberapa vitamin dan lipid) (Burkitt et al. 1995). Fungsi detoksifikasi

sangat berhubungan erat dengan fungsi ekskresi, karena hati mempunyai

kemampuan untuk mengekskresikan berbagai macam substansia sederhana,

seperti logam berat yang tidak diubah lewat empedu (Kelly 1993). Hati juga

mempunyai fungsi dalam mengatur kadar glukosa dalam darah. Makanan berupa

glukosa akan diabsorbsi di usus, kemudian diteruskan ke hati melalui vena portal.

Sebagian dari glikogen yang disimpan akan dipecah dalam hati menjadi glukosa.

Dalam keadaan normal kadar glikogen dalam hati cukup untuk mempertahankan

kadar glukosa darah. Jika terjadi gangguan hati, dapat menyebabkan terjadinya

hiperglikemia atau hipoglikemia (Ganiswara 1995).

Aliran darah masuk ke hati melalui dua sumber. Bagian terbesar darah

masuk melalui vena porta sedangkan aliran darah yang lain melalui arteri hepatika

Darah balik seluruhnya dialirkan keluar hati melalui vena hepatika yang masuk ke

dalam vena cava caudalis. Keistimewaan hati ialah karena sirkulasinya berlainan

dari alat tubuh lain. Darah yang mengalir didalamnya terdiri dari 2/3 darah balik

dan 1/3 darah nadi (Ressang 1984). Vena porta dan arteri hepatika merupakan

pembuluh darah dari usus yang membawa nutrisi dan zat-zat lain yang diserap

oleh usus. Nutrisi yang sampai di hati melalui aliran darah portal diolah dan

(25)

5

masuk berbagai bakteri, darah merah yang sudah tua dan toksin yang harus diolah,

dihancurkan atau mungkin juga disimpan. Sebanyak 75-80% darah pada organ

hati berasal dari vena porta sedangkan dari arteri hepatika mengalir sekitar

20-25% darah yang kaya oksigen (Lu 1995).

Toksikopatologi Hati

Hati merupakan organ sekresi terbesar dan mungkin merupakan kelenjar

pertahanan yang terpenting dalam tubuh. Sel hati dapat rusak hingga lebih dari

80% tanpa menyebabkan gejala klinis yang berat dan dapat sembuh kembali

secara sempurna.

Kerusakan pada hati dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu onset

pemaparan yang terlalu lama atau terlalu singkat, durasi pemaparan, dosis dan sel

inang yang rentan (Jubb 1993). Kerusakan yang terjadi pada sel hati dapat

bersifat sementara dan tetap. Sel akan mengalami perubahan untuk beradaptasi

mempertahankan hidup pada kerusakan yang bersifat sementara. Perubahan ini

biasa disebut degenerasi. Degenerasi terjadi karena adanya gangguan biokimiawi

yang disebabkan oleh iskemia, anemia, metabolisme abnormal dan zat kimia yang

bersifat toksik. Hal ini menyebabkan membran sel normal akan mengalami

kerusakan sehingga keseimbangan pengeluaran K+ dan pemasukan ion Na+, Ca+

dan air akan terganggu. Kerusakan membran sel menyebabkan terjadinya

peningkatan jumlah air ke dalam sel, sehingga menyebabkan sitoplasma menjadi

bengkak dan dipenuhi butiran-butiran air. Apabila kerusakan membran sel terus

berlangsung, maka sitoplasma sel akan berisi cairan yang membentuk

vakuola-vakuola, sehingga sitoplasma terlihat lebih pucat, keadaan ini dinamakan

degenerasi hidropis (Cheville 1999).

Pada degenerasi lemak terjadi penumpukan lemak di lobuli hati yang

sering terlihat pada akhir masa kebuntingan karena kekurangan oksigen dan

adanya bahan toksik dan lain-lain. Hal ini terjadi karena adanya gangguan

keseimbangan antara trigliserida misel dan lemak globular. Ketidakseimbangan

lemak terjadi karena pengangkutan lemak ke hati meningkat, sintesis lemak di hati

meningkat dan penggunaan lemak dalam sel hati yang berkurang sehingga jumlah

(26)

6

diangkut melalui plasma ke dalam hati dalam bentuk chylomicron (butir lemak

yang sangat halus) yang sebagian besar terdiri dari trigliserida, tetapi mengandung

juga sedikit protein dan fosfolipid. Di dalam hati, trigliserida di hidrolisa menjadi

asam lemak dan gliserol. Protein yang dibentuk oleh retikulum endoplasma

mengadakan ikatan dengan trigliserida untuk membentuk lipoprotein yang

dikeluarkan ke dalam plasma. Adanya zat toksik dapat mengganggu produksi

protein sehingga lipoprotein tidak terbentuk. Hal inilah yang menyebabkan lemak

tidak bisa disekresikan sehingga menjadi terakumulasi dalam sel hati. Pada hati

secara histopatologis degenerasi lemak tampak seperti bulatan di dalam

sitoplasma yang mirip vakuol, berbentuk bundar dan kosong. Selain degenerasi

lemak, sel juga sering mengalami akumulasi terutama akumulasi protein di dalam

sitoplasmanya (Carlton dan McGavin 1995).

Kerusakan sel secara terus-menerus akan mencapai suatu titik sehingga

terjadi kematian sel. Mekanisme kematian sel terjadi melalui dua proses: yaitu

apoptosis dan nekrosa. Pada apoptosis terjadi kematian sel yang terprogram yang

dipicu oleh fragmentasi DNA dan biasanya terjadi pada satu atau sekelompok sel

saja. Lain halnya dengan nekrosa, kematian sel bersifat menyeluruh. Pada nekrosa

biasanya ditemukan sel radang dan sitoplasma sel akan terlihat asidofilik. Nekrosa

ini ada yang bersifat lokal dan ada yang bersifat difus (Lu 1995).

Hati dapat mengalami nekrosa yang disebabkan oleh dua hal yaitu 1).

Toksopatik, disebabkan oleh pengaruh langsung agen yang bersifat toksik, 2).

Trofopatik, akibat kekurangan oksigen, zat-zat makanan dan sebagainya (Ressang

1984). Degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosa merupakan stadium

permulaan dari proses kelainan dalam hati yang kemudian menjurus kearah suatu

proses peradangan (Harold 1971). Peradangan di dalam hati dapat terjadi secara

infeksius maupun non infeksius. Peradangan secara non infeksius secara umum

disebabkan oleh toksin. Hepatitis non infeksius atau toksik dapat terjadi secara

akut maupun kronis. Secara mikroskopis sifat nekrosis disini adalah koagulatif

yang ditandai dengan piknosis dan sitoplasma yang asidofilik yang dilanjutkan

dengan penguraian dan menghilangnya komponen-komponen sel. Menurut lokasi

(27)

7

1. Nekrosa yang difus, dimana perubahan-perubahan meliputi bagian yang luas

tanpa batas-batas lobuler yang jelas.

2. Sarang-sarang nekrosis (fokal), dimana terdapat sarang-sarang nekrosis kecil

dalam ukuran sublobular di sana-sini dalam lobuli. Hal ini khas pada infeksi

yang tersebar dan sering terlihat pada hewan-hewan percobaan.

3. Nekrosa perifer, dalam hal ini terdapat nekrosis pada daerah tepi dari lobuli.

Hal ini tidak begitu sering terjadi, hanya bila toksin-toksin keras tiba dalam

lobuli melalui aliran darah tanpa menimbulkan gangguan sirkulasi dan

pemberian oksigen pada sel-sel. Sel-sel dibagian perifer inilah yang terkena

pengaruh racun dan menderita kerusakan terlebih dahulu.

4. Nekrosis bagian pertengahan lobuli (midzone), nekrosis terjadi di daerah

pertengahan antara bagian perifer lobuli dengan vena sentralis. Bentuk ini

jarang terjadi pada hewan.

5. Nekrosa sentrolobular, dalam hal ini kerusakan terutama terjadi di sekitar vena

sentralis karena pengaruh toksin dalam aliran darah dan stagnasi dari aliran

darah dengan gejala-gejala anoxianya. Bentuk ini yang biasanya terlihat pada

hepatitis toksik akut.

Gambaran mikroskopis umum dari hepatitis toksik akut ialah suatu

nekrosa sentrolobular dengan lenyapnya sebagian besar sel-sel yang terletak di

sekitar vena sentralis dan tempatnya diambil alih oleh darah. Sel-sel yang terletak

lebih perifer mengalami degenerasi lemak dan lebih perifer lagi degenerasi

hidropis. Bila keadaan berjalan beberapa hari, terdapat infiltrasi sel-sel limfosit ke

dalam tenunan ikat periportal (Harold 1971).

Makroskopis hati yang menderita hepatitis toksik akut memperlihatkan

gambaran seperti umumnya pada perubahan degenerasi hidropis, degenerasi

lemak dan nekrosis. Umumnya hati bengkak, pucat, belang sedangkan gambaran

lobular terlihat jelas. Ukuran besar dari hati cenderung untuk mengecil karena

sejumlah sel-sel parenkhimnya menghilang akibat nekrosis, tetapi pembendungan

oleh darah dan penimbunan lemak cenderung memperbesar volumenya, sehingga

secara positif tidak bisa memberikan gambaran mengenai besarnya hati yang

menderita hepatitis toksik akut, meskipun pada kasus-kasus yang parah, hati

(28)

8

Penyebab hepatitis toksik akut adalah berbagai macam toksin, sebagian

besar diantaranya masih belum diketahui. Bahan toksik tersebut dapat dibagi

menjadi 3 golongan (Nabib 1987) :

1. Racun-racun kimia, termasuk didalamnya antara lain tetrachloroethylene dan

carbontetrachloride yang keduanya digunakan sebagai obat antihelmintik.

Efek toksik dari kedua racun tersebut diantaranya menyebabkan sel-sel

parenkim hati mengalami nekrosa sentrolobular yang dapat berakibat pada

terbentuknya tumor dan kanker hati. Oleh karena efek toksiknya yang

berbahaya maka sekarang kedua racun tersebut jarang digunakan.

2. Racun tanaman, diantaranya yang terdapat pada leguminosa pohon yang

diduga memiliki efek imunomodulator.

3. Racun metabolik, termasuk didalamnya bentuk-bentuk gastroenteritis tertentu

diduga dapat menimbulkan efek hepatotoksik.

Tingginya kadar lipid peroksida dapat menjadi indikasi awal rusaknya sel

hati. Peningkatan kadar lipid peroksida lebih jauh akan menyebabkan akumulasi

trigliserida pada sel hati dan kemudian menyebabkan terjadinya nekrosis hati.

Oleh karena itu, kadar lipid peroksida dapat digunakan sebagai parameter

kerusakan awal hati (Ruswandi 2005).

Kerusakan sel hati membuat proses pencernaan dan metabolisme

terganggu. Lancarnya proses pencernaan sangat membantu proses penyembuhan

penyakit, sebab tubuh mendapat asupan protein yang mampu meningkatkan daya

tahan tubuh. Bahkan dengan membaiknya metabolisme sangat membantu hati

meregenerasi sel-sel hati yang rusak akibat hepatitis (Budi dan Paimin 2005).

Karakteristik dan Data Biologis Mencit

Mencit (Mus musculus) sebagai hewan percobaan

Hewan percobaan atau yang sering disebut sebagai hewan laboratorium

adalah semua jenis hewan dengan persyaratan tertentu untuk dipergunakan

sebagai salah satu sarana dalam berbagai kegiatan penelitian biologi dan

kedokteran (Sulaksono et al. 1986). Hewan sebagai model atau sarana percobaan

haruslah memenuhi persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetik atau

(29)

9

ekonomi, mudah tidaknya diperoleh dan mampu memberikan reaksi biologis.

Hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk

dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai

macam bidang ilmu dalam skala penelitian dan pengamatan laboratorik.

Mencit merupakan salah satu hewan laboratorium atau hewan percobaan.

Hewan ini merupakan hewan percobaan kecil yang tersebar di seluruh dunia dan

dapat ditemukan pada tempat tinggal manusia seperti di rumah dan gedung

(Mangkoewidjojo dan Smith 1998). Mencit adalah hewan pengerat (rodentia)

yang cepat berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak dan variasi

genetiknya cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi

dengan baik.

Sistem taksonomi mencit (Ballenger 1999): Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodensia

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

Data biologis mencit

Lama hidup : 1-2 tahun, bisa sampai 3 tahun

Lama produksi ekonomis : 9 bulan

Lama kebuntingan : 19-21 hari

Kawin sesudah beranak : 1-24 jam

Umur disapih : 21 hari

Umur dewasa : 35 hari

Umur dikawinkan : 8 minggu (jantan dan betina)

Siklus estrus : 4-5 hari

Siklus kelamin : poli estrus

(30)

10

Perkawinan : pada waktu estrus

Ovulasi : dekat akhir periode estrus

Fertilisasi : 2 jam sesudah kawin

Berat dewasa : jantan 20-40 gram, betina 18-35 gram

Berat lahir : 0,5-1,0 gram

Jumlah anak : rata-rata 6, bisa sampai 15

Implantasi : 4-5 hari sesudah fertilisasi

Uterus : bikornua bermuara di cerviks

Suhu : 35-39oC

Pernafasan : 140-180/menit, turun menjadi 80/menit dengan

anastesi, naik sampai 230/menit jika stress

Denyut Jantung : 600-650/menit, turun hingga 350/menit dengan

anastesi dan naik 750/menit jika stress

Tekanan darah : 130-160 sistol

(Mangkoewidjojo dan Smith 1998)

Parasetamol (Asetaminofen) Rumus Kimia

Salah satu obat yang bersifat hepatotoksik adalah parasetamol. Senyawa

ini merupakan turunan fenasetin. Parasetamol mempunyai beberapa nama generik

antara lain N-hidroksi asetanilida, N-asetil-p-aminofenol dan asetaminofen.

Parasetamol digunakan sebagai obat analgesik dan antipiretik di seluruh dunia

(Sumioka et al. 2004). Parasetamol berbentuk serbuk kristal berwarna putih, tidak

berbau, rasanya sedikit pahit, peka terhadap udara dan cahaya serta mempunyai

pH 5,3-6,5, karena toksisitas dan daya antiinflamasinya yang lemah menjadikan

parasetamol sebagai alternatif aspirin. Parasetamol relatif aman pada dosis terapi,

walaupun demikian overdosis akut parasetamol dapat menyebabkan hepatotoksik,

kerusakan (nekrosis) sentrilobular hati yang fatal (Anonimus 2006).

Penggunaan parasetamol didasarkan pada dugaan bahwa fenasetin dalam

tubuh akan dioksidasi menjadi senyawa paraaminofenol. Kemampuan

parasetamol sebagai antipiretik terdapat pada struktur aminobenzena senyawa ini.

(31)

11

analgesik dan antipiretik melalui mekanisme penghambatan prostaglandin dalam

tubuh (Susana 1987). Struktur kimia parasetamol dan struktur aminobenzena

[image:31.595.184.439.177.402.2]

senyawa parasetamol dapat dilihat pada Gambar di bawah ini :

Gambar 1. Bagan Struktur Kimia Parasetamol (Anonimus 2006)

[image:31.595.214.409.467.605.2]

Acetanilide Paracetamol Aniline

Gambar 2. Bagan Struktur Aminobenzena Senyawa Parasetamol (Anonimus

(32)

12

Farmakodinamik

Parasetamol telah lama diketahui mempunyai mekanisme yang sama

dengan aspirin oleh karena persamaan struktur kedua zat tersebut. Parasetamol

bekerja menghambat enzim cyclooxygenase (COX) sehingga dapat mengurangi

produksi prostaglandin, yang terlibat di dalam proses demam dan sakit.

Bagaimanapun, ada perbedaan penting antara efek aspirin dan parasetamol.

Aspirin mengandung prostaglandin yang berperan di dalam proses peradangan,

tetapi parasetamol tidak dapat berfungsi sebagai antiinflamasi. Selain itu, aspirin

bekerja menghambat enzim COX yang tidak dapat diubah, secara langsung

menghalangi lokasi aktif enzim dan mempunyai efek merugikan pada lapisan

perut. Parasetamol secara tidak langsung menghalangi enzim COX sehingga

menjadi tidak efektif terhadap peroksida. Hal ini menyebabkan parasetamol

menjadi efektif bekerja pada susunan saraf pusat dan sel endotel, tetapi bukan

pada platelet dan sel imun yang mempunyai tingkat peroksida tinggi.

Pada tahun 2002 telah dilaporkan bahwa parasetamol selektif dalam

menghalangi varian dari enzim COX yang berbeda, dikenal varian COX-1 dan

COX-2. Enzim ini hanya bereaksi di otak dan sumsum tulang, sekarang dikenal

sebagai COX-3. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa administrasi parasetamol

meningkatkan bioavibilitas dari serotonin (5-HT) di tikus, tetapi mekanismenya

belum diketahui (Anonimus 2006).

Farmakokinetik

Parasetamol dimetabolisme terutama oleh enzim-enzim mikrosomal sel

hati. Di dalam saluran pencernaan, asetaminofen dengan cepat diserap dan dalam

waktu 30 menit akan mencapai konsentrasi puncak dalam plasma. Pada dosis

yang menyebabkan toksisitas akut, ikatan parasetamol terhadap protein plasma

bervariasi dari 20-50%. Pada dosis normal, 90-100% dari senyawa obat ini

mungkin akan dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran senyawa obat ini terjadi

setelah melewati fase konjugasi dengan asam glukoronat (sekitar 60%), asam

sulfat (35%) dan sistein (3%) serta sejumlah kecil metabolit dalam bentuk

terhidroksilasi dan terdeasetilasi (Anonimus 2006). Berdasarkan hasil penelitian

(33)

13

parasetamol akan mengalami biotransformasi melalui reaksi konjugasi dengan

asam glukoronat atau glutation dan hasilnya diekskresi melalui urin. Sisa

parasetamol mengalami biotransformasi dengan sistem sitokrom P-450. Sitokrom

P-450, suatu sistem enzim di retikulum endoplasma segera melakukan

biotransformasi oksidatif pada 5-10% parasetamol yang masuk ke dalam tubuh.

Parasetamol yang teroksidasi berubah menjadi N-asetil p-benzokuinon imin

(NAPQI), suatu senyawa yang toksik dan reaktif (Susana 1987). Senyawa radikal

ini dapat bereaksi dengan molekul penyusun membran sel hati contohnya

fosfolipid. Oksidasi senyawa ini akan menghasilkan suatu radikal bebas yang

dapat mengoksidasi molekul fosfolipid lainnya sehingga terjadi reaksi oksidasi

berantai. Reaksi ini dapat menyebabkan berubahnya komposisi membran sel hati.

Menurut Manson, perubahan membran sel menyebabkan kerusakan sel hati dan

kemudian dapat menimbulkan nekrosis hati (Susana 1987). Metabolisme

parasetamol dapat dilihat pada Gambar 3.

+

[image:33.595.122.508.426.668.2]

metabolit + protein hati centralobular hepatic necrosis

(34)

14

Toksikologi

Hasil penelitian Katzung menunjukkan bahwa penggunaan parasetamol

dalam dosis yang besar dapat menyebabkan gangguan fungsi hati yang disebut

nekrosis hati (Susana 1987). Dosis parasetamol sebanyak 7 g/hari atau lebih dapat

menimbulkan nekrosis hati sedangkan dosis 15 g/hari dapat menimbulkan

kerusakan hati yang lebih luas (Lelo dan Arbie 1982). Hasil penelitian oleh

Silvana menunjukkan mencit yang diberi parasetamol dengan dosis 500 mg/kg

BB menunjukkan kerusakan hati mencit tersebut (Susana 1987).

Kerusakan hati menyebabkan meningkatnya lipid peroksida darah karena

lipid peroksida tubuh tidak dapat lagi didetoksifikasi dalam hati. Menurut Thomas

dalam Susana 1987, hati memiliki mekanisme antioksidasi radikal bebas

(asetilimin benzokuinon) melalui reaksi konjugasi dengan beberapa senyawa

dalam hati seperti glutation, asam glukoronat, glisin dan asetat. Jumlah radikal

bebas yang melebihi ketersediaan senyawa-senyawa penetralisir dalam hati

memungkinkan terjadinya reaksi antara radikal bebas dan membran sel hati

(Susana 1987).

Parasetamol akan dikonversikan menjadi inaktif melalui metabolisme fase

II yang dikonjugasikan dengan sulfat dan glukuronida, yang akan beroksidasi

dalam jumlah kecil melalui sistem enzim sitokrom P450. Sitokrom P450 2E1

(CYP2E1) akan mengkonversikan parasetamol menjadi metabolit reaktif yang

tinggi, N-acetyl-p-benzo-quinone imine (NAPQI). Dalam kondisi dibawah normal,

NAPQI akan detoksifikasi oleh konjugasi dengan glutation. Pada kasus toksikasi

parasetamol, jalur sulfat dan glukuronida menjadi terurai sehingga parasetamol

merangsang sistem sitokrom P450 memproduksi NAPQI yang banyak.

Konsekuensinya NAPQI yang dikonjugasi oleh glutation (GSH) bertambah

banyak sedangkan hepatoseluler kekurangan glutation sehingga ketika melewati

kapasitas konjugasi GSH, NAPQI akan berikatan kovalen dengan makromolekul

vital sel hati (seperti lipid dan protein membran sel) dan menyebabkan nekrosis

hati (Sumioka et al. 2004). Pada kasus-kasus hewan, 70% kekurangan glutation

pada sel hati dapat menyebabkan hepatotoksisitas.

Adanya kerusakan sel-sel parenkim hati atau permebialitas membran akan

(35)

-15

glutamiltransferase bebas keluar sel, sehingga enzim yang masuk ke pembuluh

darah melebihi keadaan normal dan kadarnya dalam darah meningkat. Selain itu

parasetamol juga dapat mengalami hidroksilasi dan hasilnya dapat menimbulkan

methemoglobinemia (Hb diubah menjadi met-Hb) dan Hemolisis eritrosit

(36)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik,

Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian dimulai pada bulan Februari sampai bulan Juli 2007.

Alat dan Bahan

A. Mencit (Mus musculus) yang digunakan dalam penelitian sebanyak 36 ekor,

berumur 2 bulan dan berkelamin jantan.

B. Pengambilan sampel dan pengawetan jaringan. Alat dan bahan yang

digunakan pada proses ini adalah mencit (Mus musculus), pisau, silet, skalpel,

pinset anatomis, pinset sirurgis, gunting besar, gunting kecil, tali, label, botol

wadah spesimen, alkohol 70% atau larutan fiksatif Buffered Neutral Formalin

(BNF 10%).

C. Proses pembuatan sediaan histopatologi. Bahan dan alat yang digunakan

adalah alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol absolut, xylol, paraffin, bunsen,

inkubator, cetakan paraffin dan mikrotom.

D. Proses pewarnaan. Alat dan bahan yang digunakan adalah wadah dari gelas

untuk tempat pewarnaan (staining jar), Mayer hematoksilin eosin, air dingin,

alkohol absolut, alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, 100%, aquadest serta xylol.

E. Mounting menggunakan Permount® dan cover glass.

Metode

A. Parasetamol

Dosis normal optimum parasetamol yang digunakan adalah 500 mg/

50kgBB berdasarkan dosis yang umum digunakan oleh manusia dewasa.

B. Perlakuan

Penelitian ini menggunakan 36 ekor mencit (Mus musculus) yang dibagi

dalam 2 kelompok besar. Satu kelompok mencit menerima pemberian

(37)

17

berdasarkan konversi bobot badan masing-masing mencit dan satu kelompok

kontrol negatif yang diberi aquadestilata. Berdasarkan waktu pengambilan

sampel, kedua kelompok besar tersebut kemudian masing-masing dibagi menjadi

6 kelompok kecil dan masing-masing kelompok kecil terdiri dari 3 ekor mencit.

Pada awal penelitian, mencit (Mus musculus) diadaptasikan selama 2 minggu

untuk menghindari stress dan untuk menyeragamkan pola hidup masing-masing

kelompok perlakuan. Pada masa adaptasi ini, mencit (Mus musculus) hanya diberi

pakan standar, air minum adlibitum, obat cacing yang mengandung pirantel

palmoate dosis 0,5 ml/kg BB peroral dan antibiotik (ampicillin) dosis 8 mg/kg

BB peroral. Pemberian parasetamol dilakukan peroral setiap hari selama 6

minggu. Mulai minggu pertama hingga minggu ke-6, 3 ekor mencit dari

masing-masing kelompok perlakuan di euthanasia menggunakan inhalasi eter over dosis,

kemudian hatinya diambil sebagai sampel dan difiksasi dalam larutan BNF 10%.

C. Pembuatan Preparat Histopatologis

Sampel hati mencit (Mus musculus) yang telah difiksasi dalam larutan

fiksatif BNF 10%, diproses melalui serangkaian tahapan antara lain proses

dehidrasi, clearing atau penjernihan, embedding atau penanaman jaringan dalam

paraffin, pemotongan dengan menggunakan mikrotom setebal 5 µm. Proses ini

dilanjutkan dengan proses pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin) dan yang terakhir

adalah mounting atau penutupan dengan gelas penutupnya (Humason 1985).

Pembuatan, identifikasi dan pengamatan preparat dilakukan di Bagian Patologi,

Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan,

Institut Pertanian Bogor.

D. Parameter Pengamatan Histopatologi

Pada hati yang menjadi perhatian pada pengamatan histopatologi adalah

perubahan-perubahan yang terjadi pada sitoplasma dan inti dari hepatosit,

sinusoid dan pembuluh darah. Parameter pengamatan histopatologi dilakukan

pada sediaan hati dengan menghitung persentase hepatosit normal, degenerasi

hidropis dan kematian sel serta jumlah sel radang dalam satu lapang pandang

(38)

18

buah di sekitar vena sentralis dan 5 buah di sekitar vena porta, total 10 lokasi

lapang pandang.

E. Evaluasi Data

Evaluasi data dilakukan dengan membandingkan kondisi hati dari

kelompok perlakuan dan kontrol serta membandingkan kondisi hati pada daerah

di sekitar vena porta dan vena sentralis. Data yang diperoleh dianalisa

menggunakan analisis sidik ragam acak lengkap (ANOVA) dilanjutkan dengan uji

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini memberikan informasi dasar mengenai kerusakan hati yang

ditimbulkan akibat pemberian parasetamol dosis normal optimum. Berdasarkan

hasil pengamatan histopatologi hati mencit pada kelompok kontrol maupun

perlakuan ditemukan adanya perubahan pada interstitium dan parenkim. Pada

interstitium perubahan yang terlihat yaitu kongesti dan perluasan sinusoid

sedangkan pada parenkim ditemukan adanya degenerasi hidropis dan nekrosa.

Persentase berbagai perubahan pada parenkhim hepatosit selama perlakuan (6

[image:39.595.116.514.343.512.2]

minggu) disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 4.

Tabel 1. Derajat keparahan lesio hepatosit mencit pada pemberian parasetamol dosis normal optimum dalam waktu 6 minggu.

Minggu ke- Kelompok Normal (%) Degenerasi hidropis (%)

Nekrosa (%)

1 Perlakuan 46 ± 11.866abc 42 ± 9.725a 11 ± 27.668cd Kontrol 35 ± 33.030bc 51 ± 43.288b 14 ± 8.159a 2 Perlakuan 38 ± 8.841abc 44 ± 12.215ab 18 ± 15.359de

Kontrol 25 ± 11.990abc 50 ± 16.154ab 25 ± 5.922ab 3 Perlakuan 41 ± 25.758ab 33 ± 17.799a 25 ± 25.605def

Kontrol 22 ± 23.456abc 59 ± 21.305ab 19 ± 10.80ab 4 Perlakuan 41 ± 34.564a 30 ± 19.010ab 29 ± 14.376f Kontrol 13 ± 10.647abc 62 ± 5.788ab 25 ± 5.742ab 5 Perlakuan 38 ± 11.325a 28 ± 12.660ab 34 ± 16.585ef

Kontrol 17 ± 17.406abc 61 ± 19.633ab 23 ± 6.870bc 6 Perlakuan 49 ± 20.559ab 24 ± 26.553ab 27 ± 13.423f Kontrol 17 ± 16.248c 66 ± 8.658ab 17 ± 9.559ab

(40)

20 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

%

ker

usakan hep

a

to

si

t

P K P K P K P K P K P K

I 2 3 4 5 6

Minggu

Gambar 4. Perbandingan perubahan persentase lesio hepatosit kelompok kontrol (K) dan perlakuan (P). Warna kuning menunjukkan nekrosa, warna merah menunjukkan degenerasi hidropis dan warna biru menunjukkan hepatosit normal.

Hasil analisis statistik persentase hepatosit normal minggu ke-1 sampai

minggu ke-5 pada kelompok perlakuan tidak berbeda nyata dibandingkan

kelompok kontrol (p>0,05). Pada pengamatan minggu ke-6, terlihat bahwa

persentase hepatosit normal kelompok perlakuan nyata lebih tinggi dibandingkan

kelompok kontrol (p<0,05). Hal ini membuktikan bahwa parasetamol dosis

normal optimum aman dikonsumsi dalam jangka waktu hingga 6 minggu.

Hasil analisis statistik persentase hepatosit minggu ke-1 yang mengalami

degenerasi hidropis pada kelompok perlakuan lebih rendah secara signifikan

(p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol (Tabel 1, Gambar 4). Pada

minggu-minggu berikutnya, persentase hepatosit kelompok kontrol dan perlakuan yang

(41)

21

Peningkatan waktu pemberian parasetamol dosis normal optimum tidak diiringi

dengan peningkatan persentase hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis.

Hal ini disebabkan sebagian hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis

berubah kembali menjadi normal dan sebagian lagi menjadi nekrosa. Hepatosit

ini dapat kembali menjadi normal karena terkait dengan cara kerja parasetamol

sebagai analgesik dan antipiretik melalui mekanisme penghambatan enzim

cyclooxygenase (COX). Penghambatan terhadap enzim ini menyebabkan

berkurangnya produksi prostaglandin yang mengatur regulasi rasa nyeri dan

penurun panas (Goodman et al. 1980). Sedangkan peningkatan lesio hepatosit

menjadi nekrosa disebabkan adanya gangguan metabolisme sel dan akumulasi zat

toksik yang terus-menerus sehingga menyebabkan terbentuknya radikal bebas

N-asetil p-benzokuinon imin (NAPQI), suatu senyawa yang bersifat racun dan

reaktif. Senyawa radikal bebas ini akan mengoksidasi fosfolipid pada membran

sel hati dan menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi berantai yang akhirnya dapat

merusak hepatosit (Goodman et al. 1980). Persentase hepatosit kelompok kontrol

yang mengalami degenerasi hidropis kemungkinan disebabkan adanya gangguan

metabolisme baik pada organ hati maupun pada organ lain yang tidak spesifik.

Hal ini mungkin saja terjadi karena mencit yang digunakan bukan mencit Specific

Pathogen Free (SPF).

Kondisi hepatosit minggu ke-1 dan minggu ke-2 pada kelompok perlakuan

cenderung lebih baik dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini dikarenakan jumlah

sel hepatosit yang mengalami nekrosa pada kelompok perlakuan lebih rendah

secara signifikan (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol. Pada pengamatan

minggu ke-3, terlihat bahwa nekrosa nyata lebih tinggi (p<0,05) terjadi pada

kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol. Fenomena yang terjadi pada

minggu ke-3 terus berlangsung sampai minggu-minggu berikutnya. Semakin lama

waktu pemberian parasetamol dosis normal optimum maka semakin tinggi

persentase hepatosit yang mengalami kematian. Hal ini terjadi karena parasetamol

di dalam hati akan mengalami biotransformasi melalui reaksi konjugasi dengan

asam glukoronat atau glutation dan hasilnya diekskresi melalui urin. Sisa

parasetamol mengalami biotransformasi dengan sistem sitokrom P-450. Sitokrom

(42)

22

biotransformasi oksidatif pada 5-10% parasetamol yang masuk ke dalam tubuh.

Parasetamol yang teroksidasi berubah menjadi N-asetil p-benzokuinon imin

(NAPQI), suatu senyawa yang toksik dan reaktif (Susana 1987). Senyawa radikal

ini dapat bereaksi dengan molekul penyusun membran sel hati contohnya

fosfolipid. Oksidasi senyawa ini akan menghasilkan suatu radikal bebas yang

dapat mengoksidasi molekul fosfolipid lainnya sehingga terjadi reaksi oksidasi

berantai. Reaksi ini dapat menyebabkan berubahnya komposisi membran sel hati.

Menurut Manson, perubahan membran sel menyebabkan kerusakan sel hati dan

kemudian dapat menimbulkan nekrosis hati (Susana 1987).

Perubahan histopatologi tersebut dapat diamati pada seluruh bagian hati

baik di sekitar vena porta maupun vena sentralis. Persentase berbagai perubahan

hepatosit di sekitar vena porta dan vena sentralis disajikan pada Tabel 2 dan

[image:42.595.113.511.413.567.2]

Gambar 5.

Tabel 2. Derajat keparahan perubahan hepatosit mencit pada vena porta (VP) dan vena sentralis (VS) akibat pemberian parasetamol dosis normal optimum.

Minggu ke- Lokasi Normal (%) Degenerasi Hidropis (%) Nekrosa (%) 1 VP 34 ± 14.000a 14 ± 13.013a 52 ± 41.328bcdefgh

VS 36 ± 12.490a 13 ± 8.145a 51 ± 6.083defghij

2 VP 29 ± 6.245a 24 ± 8.021a 47 ± 9.018cdefghi

VS 21 ± 4.041a 25 ± 17.098a 53 ± 19.858efghij

3 VP 20 ± 18.583a 20 ± 10.504a 60 ± 28.378ghij

VS 24 ± 35.679a 18 ± 25.697a 58 ± 28.290fghij

4 VP 13 ± 43.155a 26 ± 24.576a 60 ± 18.771ij

VS 12 ± 33.486a 23 ± 17.010a 65 ± 4.163j

5 VP 22 ± 8.286a 19 ± 2.646a 59 ± 6.807hij

VS 12 ± 11.930a 26 ± 11.504a 62 ± 21.197ij

6 VP 16 ± 21.932a 20 ± 33.382a 64 ± 19.698ij

VS 19 ± 23.544a 14 ± 23.245a 67 ± 7.638ij

(43)

23 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% % ker usa kan hepa tosi t

VP VS VP VS VP VS VP VS VP VS VP VS

1 2 3 4 5 6

[image:43.595.141.492.89.343.2]

Minggu

Gambar 5. Pengaruh pemberian parasetamol dosis normal optimum terhadap perubahan hepatosit mencit pada vena porta (VP) dan vena sentralis (VS). Warna kuning menunjukkan nekrosa, warna merah menunjukkan degenerasi hidropis dan warna biru menunjukkan hepatosit normal.

Hasil analisis statistik persentase hepatosit normal, hepatosit yang

mengalami degenerasi hidropis dan nekrosa pada seluruh kelompok perlakuan di

vena porta tidak berbeda nyata (p>0,05) dibandingkan di vena sentralis. Hal ini

membuktikan secara histopatologis bahwa kadar toksik parasetamol sebelum

dimetabolisme dan setelah dimetabolisme di dalam hati mempunyai tingkat

toksisitas yang sama terhadap sel.

Pada kasus masuknya zat toksik melalui saluran pencernaan, degenerasi

hidropis umumnya dimulai dari daerah pinggir/daerah portal yang meluas menuju

vena sentralis. Hal ini disebabkan karena suplai darah hati diperoleh dari saluran

pencernaan. Darah yang mengandung toksin dibawa dari usus, masuk ke hati

melalui vena porta kemudian melewati sinusoid menuju vena sentralis

(MacFarlane et al. 2000). Hepatosit perilobuler merupakan hepatosit paling awal

(44)

24

hepatosit ini yang pertama kali kontak dengan zat-zat toksin dari usus (Harada et

al. 1999).

Degenerasi hidropis merupakan perubahan yang bersifat sementara

(reversible), ditandai dengan kehadiran vakuol-vakuol di sitoplasma, sehingga

apabila paparan bahan toksik dihentikan sel yang mengalami kerusakan akan

kembali normal. Sel membutuhkan ATP-ase untuk mengaktifkan pompa

sodium-potasium dalam pengaturan keluar dan masuknya ion. Infeksi akut sel akan

menyebabkan air dan protein tetap berada dalam sitoplasma. Pompa lapisan

membran akan memindahkan ion dan air dengan cepat keluar dari sitosol dan

masuk ke dalam retikulum endoplasma. Hal ini akan menyebabkan kebengkakan

sel yang disebut degenerasi hidropis (Cheville 1999). Perubahan sel pada tahap ini

merupakan respon adaptasi agar sel tetap bertahan hidup.

Kerusakan sel hati akan menginduksi kenaikan konsentrasi lipid peroksida

darah mencit. Pada level tertentu jika jumlah sel hati yang rusak terlalu tinggi

maka kerusakan sel akan bersifat permanen dan akhirnya terjadi kematian sel

(apoptosis dan nekrosa). Artinya, apabila hepatosit sudah mengalami kerusakan

maka tidak akan diganti oleh hepatosit yang baru, tetapi sebagai gantinya akan

terbentuk jaringan ikat. Apoptosis dapat terjadi pada proses normal (fisiologis)

atau abnormal (patologis). Nekrosa dapat terjadi akibat bahan beracun, aktivitas

mikroorganisme, defisiensi pakan dan kadang-kadang gangguan metabolisme

termasuk hipoksia. Kematian sel secara apoptosis mencakup proses destruksi

seluler aktif yang ditandai dengan penyusutan jumlah sel, kerusakan membran dan

fragmentasi DNA inti. Nekrosis merupakan kematian sel atau kelompok sel yang

masih merupakan bagian dari organisme hidup dengan penyebab yang bervariasi.

Umumnya, hepatosit yang mengalami nekrosis menunjukkan perubahan pada inti

dan sitoplasma. Inti akan mengecil dan berwarna biru (lebih gelap), mirip sel

limfosit, akibat penggumpalan kromatin inti. Proses ini disebut piknosis. Inti juga

mungkin pecah (karyorhexis) dan bahkan menghilang (karyolisis), sedangkan

pada sitoplasma akan terlihat lebih asidofilik (Jubb et al. 1993). Gambaran

(45)

25

[image:45.595.144.482.85.304.2]

2µm

Gambar 6a. Gambaran histopatologi jaringan hati kelompok kontrol. Lesio hepatosit berupa degenerasi hidropis (panah hijau), nekrosa (panah hitam) dan hepatosit normal (panah biru). Pewarnaan HE. Perbesaran 40X.

2µm

Gambar 6b. Gambaran histopatologi jaringan hati kelompok perlakuan. Lesio hepatosit berupa degenerasi hidropis (panah hijau), nekrosa (panah hitam) dan hepatosit normal (panah biru). Pewarnaan HE. Perbesaran 40X.

Pada kelompok perlakuan, sel-sel hati tidak mampu mencegah reaksi

oksidasi yang dilakukan oleh radikal bebas asetilimin benzokuinon. Proses

[image:45.595.140.484.386.620.2]
(46)

26

tubuh yang jumlahnya lebih sedikit daripada jumlah radikal bebas yang terbentuk.

Hal ini menyebabkan kelompok mencit yang diberi parasetamol mengalami

gangguan fungsi hati oleh radikal bebas parasetamol. Enzim dalam hati yang

digunakan sebagai petunjuk adanya kerusakan hati setelah pemberian parasetamol

adalah kadar enzim alanin aminotransferase (ALT) dan aspartat aminotransferase

(AST) yang meningkat (Anonimus 2006). Pada penelitian ini hewan coba yang

digunakan adalah mencit yang memiliki jumlah volume darah sedikit sehingga

tidak dilakukan penghitungan terhadap kadar enzim ALT dan AST dalam darah.

Selain perubahan pada jaringan parenkim hati, perubahan juga terjadi pada

bagian interstitiumnya yaitu ditemukannya kongesti dan perluasan sinusoid

(Gambar 7) dengan derajat yang sama disetiap kelompok perlakuan. Menurut

Abrams (1992), kongesti adalah keadaan dimana terdapat darah secara berlebihan

di dalam pembuluh darah pada daerah tertentu. Akibat dari kongesti maka

sirkulasi darah menjadi lambat sehingga oksigenasi ke jaringan menurun. Sel hati

sangat peka terhadap kekurangan oksigen atau anoksia. Adanya kongesti

menyebabkan terganggunya fungsi hati sebagai tempat metabolisme protein dan

lemak. Pada kongesti akut, hati membengkak dan terisi darah sedangkan pada

kongesti yang berjalan kronik menimbulkan penggenangan eritrosit di vena

sentralis dan di sinusoid-sinusoid sekitarnya. Apabila terjadi kongesti kronik maka

sinusoid yang melebar akan menggencet deretan sel hati (hepatosit) sekitar vena

sentralis sehingga hepatosit mengalami atrofi (mengecil). Adanya kongesti dan

perluasan sinusoid, mungkin terjadi akibat pembiusan dengan eter sebelum mencit

dimatikan. Perubahan ini terjadi pada semua kelompok kontrol dan perlakuan,

sehingga tidak dijadikan parameter dalam perubahan mikroskopis akibat

pemberian parasetamol. Menurut Ganiswara (1995), eter merupakan anastetik

yang sangat kuat, dapat menekan kontraktilitas otot jantung, menyebabkan dilatasi

(47)
[image:47.595.142.483.84.312.2]

27

Gambar 7. Perubahan pada bagian interstitium hati berupa kongesti (panah kuning). Pewarnaan HE.

Perubahan lain yang ditemukan adalah adanya infiltrasi sel radang limfosit

dan makrofag sehingga membentuk fokus-fokus peradangan di sekitar vena

sentralis maupun vena porta di seluruh jaringan hati (Gambar 8).

[image:47.595.139.482.457.685.2]
(48)

28

Fokus-fokus peradangan tersebut terdiri dari berbagai ukuran dengan

jumlah sel limfosit dan makrofag yang bervariasi. Hasil rataan jumlah sel radang

yang diberi parasetamol dosis normal optimum dan kontrol dapat dilihat pada

Tabel 3 dan Gambar 9.

0 500 1000 1500 2000 2500

P K P K P K P K P K P K

1 2 3 4 5 6

Minggu

J

u

ml

ah se

l r

a

da

ng

[image:48.595.123.509.214.474.2]

VS VP

(49)
[image:49.595.115.478.116.411.2]

29

Tabel 3. Pengaruh pemberian parasetamol dosis normal optimum terhadap jumlah sel radang pada vena porta (VP) dan vena sentralis (VS).

Minggu ke- Kelompok Σ Sel Radang

1 Perlakuan VP 992 ± 75.368ab

Perlakuan VS 745 ± 73.921ab

Kontrol VP 626 ± 49.339ab

Kontrol VS 642 ± 55.651ab

2 Perlakuan VP 977 ± 48.346ab

Perlakuan VS 635 ± 60.666ab

Kontrol VP 1202 ± 89.366b

Kontrol VS 939 ± 70.164ab

3 Perlakuan VP 878 ± 59.467ab

Perlakuan VS 815 ± 36.116ab

Kontrol VP 1136 ± 29.263ab

Kontrol VS 885 ± 24.576ab

4 Perlakuan VP 700 ± 44.377ab

Perlakuan VS 569 ± 19.553ab

Kontrol VP 1121 ± 165.561ab

Kontrol VS 969 ± 132.842ab

5 Perlakuan VP 576 ± 18.735ab

Perlakuan VS 505 ± 30.006a

Kontrol VP 959 ± 32.716ab

Kontrol VS 1012 ± 17.156ab

6 Perlakuan VP 617 ± 53.463ab

Perlakuan VS 582 ± 23.259ab

Kontrol VP 1110 ± 112.010ab

Kontrol VS 761 ± 50.567ab

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Hasil analisis statistik jumlah sel radang seluruh kelompok perlakuan tidak

berbeda nyata (p>0,05) dibandingkan kelompok kontrol pada tiap minggunya.

Keadaan ini mengindikasikan bahwa fungsi parasetamol sebagai antiinflamasi

kurang signifikan. Hal tersebut sesuai dengan Goodman et al. (1980), aktivitas

antiinflamasi parasetamol sangat rendah sehingga jarang digunakan untuk terapi

klinik.

Infiltrasi sel radang limfosit dan makrofag hampir terjadi di seluruh

perlakuan, termasuk kontrol. Hal ini dikarenakan migrasi sel radang merupakan

reaksi tanggap kebal umum terhadap zat toksik yang masuk ke dalam tubuh dan

merupakan reaksi patofisiologis untuk melawan segala bentuk agen yang

merugikan. Limfosit sering menyebar dalam jaringan dan berfungsi untuk

memelihara ketahanan tubuh. Limfosit terlihat sebagai sel-sel kecil dengan inti

bulat, menyerap warna haematoksilin dan memiliki sitoplasma tipis bersifat

basofil lemah. Sel limfosit sering ditemukan pada peradangan kronis yang

(50)

30

dengan sitoplasma yang jelas dan ditengahnya terlihat nukleus yang

kebulat-bulatan, berbentuk kacang atau melekuk. Makrofag berperan dalam fagositosis

dan penghancuran partikel asing serta mengolah bahan asing sehingga dapat

membangkitkan tanggap kebal. Sel lain yang juga ditemukan adalah sel kupffer

yang berperan dalam membentuk pertahanan makrofag-monosit yang berfungsi

mengeluarkan eritrosit dan runtuhan jaringan (debris) lainnya dalam peredaran

darah, serta bersifat fagositik terhadap benda asing (Harold 1971).

Hati berperan dalam proses detoksifikasi dan ekskresi bahan xenobiotic

(zat-zat toksik) namun dalam jumlah yang terbatas. Bila dosis zat toksik melebihi

batas kemampuan detoksifikasi, maka akan timbul berbagai gangguan misalnya

lipidosis, nekrosa dan fibrosis.

Pemberian parasetamol dosis 500 mg/ 50kgBB selama 6 minggu, dapat

menurunkan persentase degenerasi hepatosit pada mencit karena sebagian

hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis berubah kembali menjadi normal,

hal ini terkait cara kerja parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik. Sedangkan

sebagian lagi menjadi nekrosa akibat adanya gangguan metabolisme sel dan

akumulasi zat toksik yang terus-menerus sehingga menyebabkan terbentuknya

radikal bebas N-asetil p-benzokuinon imin (NAPQI) yang akan mengoksidasi

fosfolipid pada membran sel hati dan menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi

berantai yang akhirnya dapat merusak hepatosit. Berdasarkan hasil analisis

statistik persentase hepatosit normal, hepatosit yang mengalami degenerasi

hidropis dan nekrosa serta jumlah sel radang pada seluruh kelompok perlakuan di

vena porta tidak berbeda nyata (p>0,05) dibandingkan di vena sentralis pada tiap

minggunya. Hal ini membuktikan bahwa toksisitas parasetamol sebelum

dimetabolisme dan setelah dimetabolisme di dalam hati mempunyai tingkat

toksisitas yang sama terhadap sel hati. Jumlah sel radang di sekitar vena porta dan

vena sentralis tidak berbeda nyata, merupakan bukti bahwa indikasi parasetamol

sebagai antiinflamasi kurang signifikan, tidak cukup digunakan untuk

(51)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Sejalan dengan pertambahan waktu hingga 6 minggu, parasetamol dosis

normal optimum adalah (500 mg/ 50kgBB) menyebabkan terjadinya peningkatan

lesio kematian hepatosit berupa nekrosa sementara lesio degeneratif menurun.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan dosis bertingkat dan dengan

waktu pemberian yang lebih lama untuk mengetahui batas optimum

penggunaan parasetamol yang menyebabkan kerusakan hati.

2. Perlu digunakan hewan coba jenis lain agar dapat diperiksa enzim-enzim yang

(52)

DAFTAR PUSTAKA

Abrams GD. 1992. Gangguan Sirkulasi, dalam Price, SA dan LM. Wilson.

Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Terjemahan. Anugerah, P. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. pp: 92-93.

Anonimus. 2006. Parasetamol. http://en.wikipedi.org/wiki/Paracetamol. [6

Agustus 2006].

Ballenger L. 1999. Mus musculus (house mouse). http://www.animaldiversity

umm2.umich.edu/sitc/account/information/Mus musculus.htm. [18 Maret

2006].

Budi IM, Paimin FR. 2005. Buah Merah. Jakarta: Penebar Swadaya. Hlm 7-8, 22, 41-50.

Burkitt HG, Osweiler GD. 1995. Clinical and Diagnostic Veterinary Toxicology. Edisi ke-2. Kendal/Hunt Publishing Company. Pp. 333-334.

Carlton WW, McGavin MD. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. Edisi ke-2. Mosby: St. louis. Pp. 209-245.

Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-2. Iowa: Iowa State University Press. Hlm 5-25.

Dalimartha S. 2005. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Hepatitis. Jakarta: Penebar Swadaya. Hlm 33.

Donatus IA. 2001. Toksikologi Dasar. Yokyakarta: Universitas Gadjah Mada. Hlm 89.

Ganiswara SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4. Jakarta: Farmakologi Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Jakarta. pp: 116.

Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology. Penerjemah: Widjajakusumah D; Editor Widjajakusumah D. San Fransisco: University of California. Hlm 486.

Goodman LS, Gilman A, Gilman AG. 1980. The Pharmacological Basic of Therapeutic Sixth Ed. New York: Macmillan co. inc. Pp. 682-723.

Guyton CA, John EH. 1997. Fisiologi Kedokteran. Penerjemah: Suryawan, Irawati. Ed-9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm 1028,1030,1105-1108.

(53)

33

Harada T, Enotomo A, Boorman G and Maronpot RR. Liver and Gallbladder. In: Maronpot RR. 1999. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. 1st ed. Cache River Press. Hlm 120-171.

Harold AB. 1971. Pathology and Introduction. San Fransisco. Hlm 49.

Hartono. 1992. Histologi Veteriner. Organologi. Bogor: Laboratorium Histologi Jurusan Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Hlm 90.

Humason GL. 1985. Animal Tissue Techniques. 4rd ed. San Francisco: W.N. Freeman and Company, USA. Pp. 1-169.

Jubb KVF, Kennedy PC and Peter C. 1993. Pathology of Domestic Animal. London: Academic Press. Hlm 325-346.

Lelo A, Arbie R. 1982. Hepatotoksisitas parasetamol. Majalah Dokter Keluarga

2(1) : 24-27.

Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. Edisi ke-2. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Pp. 206-223.

Macfarlane PS, Reid R and Callander. 2000. Pathology Illustrated. Toronto: Huerchill Livingstone.

Mangkoewidjojo S, Smith JB. 1998. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. UI Press. Jakarta. Hlm 10-12.

Nabib R. 1987. Patologi Khusus Veteriner. Edisi ke-2. Bogor: Laboratorium Patologi Jurusan Parasitologi dan Patologi Fakultas Kedokteran Veteriner Institut Pertanian Bogor. Hlm 115-117.

Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi ke-2. Denpasar: Percetakan Bali. Hlm 45-81.

Ruswandi D. 2005. Penghambatan peroksida lipid oleh ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) pada gangguan fungsi hati tikus akibat parasetamol [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Al

Gambar

Gambar 1. Bagan Struktur Kimia Parasetamol (Anonimus 2006)
Gambar 3. Bagan Metabolisme Parasetamol
Tabel 1. Derajat keparahan lesio hepatosit mencit pada pemberian parasetamol dosis normal optimum dalam waktu 6 minggu
Tabel 2. Derajat keparahan perubahan hepatosit mencit pada vena porta (VP) dan vena sentralis (VS) akibat pemberian parasetamol dosis normal optimum
+6

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol daun kenikir dalam melindungi sel hepar (hepatosit) mencit (Mus musculus L.) dari kerusakan akibat

Pengaruh Pemberian Ekstrak Meniran (Phyllanthus niruri Linn.) terhadap Kerusakan Struktur Histologis Hepar Mencit (Mus musculus Linn.) yang Diinduksi Parasetamol..

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol Daun Kenikir dalam melindungi sel hepar (hepatosit) mencit (Mus musculus L.) dari

kerusakan histologis hepar mencit yang diinduksi parasetamol dan peningkatan dosis ekstrak daun Salam dapat meningkatkan efek proteksinya terhadap kerusakan histologis hepar

Ekstrak Etanol Pegagan ( Centella Asiatica L. Urban ) dapat mencegah kerusakan struktur histologis sel ginjal mencit yang diinduksi dengan parasetamol dosis toksik dan

Selanjutnya, untuk mengetahui aktivitas antipiretik parasetamol, pada penelitian ini dilakukan pengujian aktivitas antipiretik senyawa O-(valil)parasetamol pada mencit

Hal ini berarti pemberian sari wortel dengan dosis 260 mg/20 grBB mencit (dosis II) sebelum pemberian parasetamol tidak mampu mencegah kerusakan sel hepar yang

Dari hasil pengamatan diperoleh bahwa rerata jumlah, viabilitas, morfologi dan motilitas spermatozoa mencit pada kelompok yang diberi parasetamol tanpa pemberian ekstrak