• Tidak ada hasil yang ditemukan

TOKSIKOPATOLOGI HATI MENCIT (Mus musculus) PADA PEMBERIAN PARASETAMOL HEIRMAYANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TOKSIKOPATOLOGI HATI MENCIT (Mus musculus) PADA PEMBERIAN PARASETAMOL HEIRMAYANI"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERIAN PARASETAMOL

HEIRMAYANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007

(2)

HEIRMAYANI. Toksikopatologi Hati Mencit (Mus musculus) Pada Pemberian

Parasetamol. Dibimbing oleh DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan SRI

ESTUNINGSIH.

Parasetamol adalah obat yang digunakan secara meluas di masyarakat. Digolongkan obat yang berlabel bebas terbatas, bisa dibeli secara bebas. Penggunaannya kadang menyalahi aturan pakai yang tertera pada pembungkus obat tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efek parasetamol dosis normal optimum selama 6 minggu pada organ hati mencit. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat melengkapi informasi dasar tentang toksikopatologi hati akibat obat-obatan kimiawi. Penelitian ini menggunakan 36 ekor mencit yang diberi 500 mg/ 50 kgBB parasetamol intragastric. Parameter histopatologi hati yang dipakai adalah dengan menghitung persentase sel yang mengalami degenerasi dan yang mengalami nekrosa pada kelompok yang diberi parasetamol. Data yang diperoleh dianalisa menggunakan analisis sidik ragam acak lengkap (ANOVA) dilanjutkan dengan uji Tukey (α = 0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejalan dengan pertambahan waktu, pemberian parasetamol dosis normal optimum menyebabkan terjadinya peningkatan lesio kematian hepatosit berupa nekrosa sementara lesio degeneratifnya menurun.

Kata kunci : Parasetamol, hepatotoksikopatologi, toksikopatologi hati

ABSTRACT

HEIRMAYANI. Toxicopathology of mice liver (Mus musculus) received paracetamol. Under the direction of DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and SRI ESTUNINGSIH.

Paracetamol is drugs that common used widely by many people. Paracetamol classify as limited free labling drugs so that everybody can it without prescription. Many people use this drug sometimes were not follow the direction written on the label. The aim of this research was to study the effect of normal optimum dose of paracetamol for 6 weeks application within mice liver. Thirty six mice were used in this research and given 500 mg/ 50kgBW of paracetamol intragastrically. Histopathology parameters that used to evaluate the hepatocytes lesion is to count the percentage of lesion degeneration and necrosis exist. The data then were analysed statistically using Analysis of Variance (ANOVA), continued by Tukey test (α = 0,05). The result showed, as the time of paracetamol application increase, there were also increase of necrosis hepatocytes percentage while the percentage of degeneration hepatocytes were decreased.

(3)

HEIRMAYANI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007

(4)

NRP : B04103128

Disetujui

Pembimbing Skripsi I Pembimbing Skripsi II

Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD. Dr. Drh. Sri Estuningsih, MSi. NIP. 131 760 839 NIP. 131 878 929

Diketahui

Wakil Dekan FKH IPB

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS. NIP. 131 129 090

(5)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai bulan Juli 2007 ini adalah Toksikopatologi Hati Mencit (Mus musculus) Pada Pemberian Parasetamol.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD dan Ibu Dr. Drh. Sri Estuningsih, MSi selaku pembimbing, Bapak Drh. Hernomoadi Huminto, MVS selaku dosen penguji serta Bapak Dr. Drh. Eko Sugeng Pribadi, MS yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu Dosen beserta staf di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

Terima kasih tak terhingga dan penuh hormat penulis ucapkan kepada Bapak Enceng Suherman dan Mama Nuryani tercinta yang selalu mengasuh, mendidik dan membimbing dengan penuh kasih sayang serta senantiasa mendo’akan dan memberikan dorongan penuh baik moril maupun materil sampai saat ini. Keluarga di Jakarta (Ndhe, Aa, De ira, Nenek, Engki, Om, Ante dan semua sepupuku), terima kasih telah memberikan semangat, perhatian dan warna dalam senyum cerianya. Achmad Isfar Shaffan Adlim dan Erly Pratita, terima kasih atas kesabaran dan pengertian yang diberikan selama ini serta pelajaran tentang hidup dan kedewasaan. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan Au, Ika, Reny, Bayu atas bantuannya selama ini serta seluruh teman-teman angkatan 40, kosan Zulfa dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Juli 2007

(6)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 Februari 1986 sebagai anak pertama dari empat bersaudara, anak dari pasangan Enceng Suherman dan Nuryani.

Tahun 2003 penulis lulus SMU Negeri 49 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif menjadi anggota Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (2004/2005), Himpunan Minat Profesi Satwa Liar (2004/2005), Himpunan Minat Profesi Ornithologi dan Unggas (2005/2006) serta Forum Ilmiah Mahasiswa (2005/2006). Praktik lapangan yang pernah diikuti penulis diantaranya di Taman Burung TMII dan Ragunan.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN... i x PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA Hati ... 3

Karakteristik dan data biologis mencit ... 8

Parasetamol (asetaminofen) ... 10

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian ... 16

Alat dan bahan ... 16

Metode penelitian ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Derajat Keparahan Lesio Hepatosit Mencit Pada Pemberian

Parasetamol Dosis Normal Optimum Dalam Waktu 6 Minggu ... 20 2. Derajat Keparahan Perubahan Hepatosit Mencit

Pada Vena Porta (VP) Dan Vena Sentralis (VS)

Akibat Pemberian Parasetamol Dosis Normal Optimum ... 23 3. Pengaruh Pemberian Parasetamol Dosis Normal Optimum

Terhadap Jumlah Sel Radang Pada Vena Porta (VP) Dan

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Bagan Struktur Kimia Parasetamol ... 11

2. Bagan Struktur Aminobenzena Senyawa Parasetamol ... 11

3. Bagan Metabolisme Parasetamol ... 13

4. Perbandingan Perubahan Persentase Lesio Hepatosit Kelompok Kontrol (K) dan Perlakuan (P) ... ... 20

5. Pengaruh Pemberian Parasetamol Dosis Normal Optimum Terhadap Perubahan Hepatosit Mencit Pada Vena Porta (VP) Dan Vena Sentralis (VS) ... 23

6. Gambaran Histopatologi Jaringan Hati Kelompok Kontrol ... 25

7. Gambaran Histopatologi Jaringan Hati Kelompok Perlakuan ... 25

8. Perubahan Pada Bagian Interstitium Hati Berupa Kongesti ... 27

9. Infiltrasi Dan Akumulasi Sel Radang Perivaskuler Vena Sentralis ... 28

10. Perbandingan Jumlah Sel Radang Pada Vena Porta Dan Vena Sentralis Akibat Pemberian Parasetamol Dosis Normal Optimum ... 29

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Bagan Pembuatan Sediaan Histopatologi ... 37 2. Bagan Pewarnaan Haematoksilin Eosin ... 38 3. Hasil Analisis Statistik ... 39

(11)

Latar Belakang

Perubahan pola konsumsi masyarakat telah menyebabkan munculnya berbagai penyakit. Studi menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah yang terlalu banyak mengkonsumsi protein, lemak, gula dan garam misalnya, ternyata lebih banyak ditemukan penderita penyakit-penyakit degeneratif seperti arteriosklerosis dan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan organ pencernaan (hati, pankreas dan gastrointestinal) dibandingkan masyarakat di wilayah yang banyak mengkonsumsi karbohidrat, serat dan vitamin (Ruswandi 2005).

Salah satu fungsi hati yang penting ialah melindungi tubuh terhadap terjadinya penumpukan zat berbahaya yang masuk dari luar, misalnya obat. Banyak diantara obat yang bersifat larut dalam lemak dan tidak mudah diekskresikan oleh ginjal. Untuk itu maka sistem enzim pada mikrosom hati akan melakukan biotransformasi sedemikian rupa sehingga metabolit yang terbentuk menjadi lebih mudah larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin atau empedu. Dengan faal tersebut, tidak mengherankan bila hati mempunyai kemungkinan yang cukup besar untuk dirusak oleh obat. Hepatitis karena obat (HKO) pada umumnya tidak menimbulkan kerusakan permanen, tetapi kadang-kadang dapat berlangsung lama dan fatal (Dalimartha 2005).

Di Indonesia, obat-obatan yang mengandung parasetamol dosis tinggi telah bebas dijual dan beredar di masyarakat seperti Panadol® dan Mixagrip®. Banyak masyarakat yang menggunakan parasetamol sebagai obat sakit kepala. Konsumsi obat (parasetamol) dosis berlebih merupakan salah satu penyebab rusaknya membran sel hati. Nekrosis hati terjadi karena interaksi radikal bebas hasil metabolisme obat dan metabolisme tubuh dengan biomolekul penyusun membran sel hati. Interaksi radikal bebas ini menyebabkan perubahan dan merusak membran sel (Anonimus 2006). Menurut Clark, penggunaan obat yang mengandung parasetamol berlebihan dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan terjadinya kerusakan sel hati (Sutanto 1996).

Kerusakan sel hati yang diakibatkan parasetamol menyerupai kerusakan yang ditimbulkan akibat infeksi virus hepatitis pada organ hati yaitu sirosis hati.

(12)

Kerusakan sel hati menyebabkan meningkatnya lipid peroksida darah karena lipid peroksida tubuh tidak dapat lagi didetoksifikasi dalam hati. Jumlah radikal bebas yang melebihi ketersediaan senyawa-senyawa penetralisir dalam hati memungkinkan terjadinya reaksi antara radikal bebas dan membran sel hati. Hal ini mendasari dugaan mengenai kemampuan parasetamol sebagai hepatotoksikan. Kerusakan hati yang disebabkan oleh parasetamol pada penelitian ini, diketahui dengan cara menghitung persentase sel yang mengalami degenerasi dan nekrosa sehingga pengaruh pemberian parasetamol dosis normal optimum terhadap gambaran histopatologi hati mencit (Mus musculus) dapat dianalisa. Kerusakan hati jika terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kematian.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian parasetamol dosis normal optimum terhadap gambaran histopatologi hati mencit (Mus

musculus).

Hipotesa

H0 : Parasetamol dapat menyebabkan kerusakan hati.

H1 : Parasetamol tidak dapat menyebabkan kerusakan hati.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai kerusakan hati yang ditimbulkan pada pemakaian parasetamol dosis normal optimum.

(13)

Hati

Anatomi dan Histologi Hati

Salah satu organ yang sering menderita karena adanya zat-zat toksik adalah hati. Hati merupakan organ tubuh yang besar, kompleks dan terdapat di dalam rongga perut kanan atas, tepat di bawah diafragma kanan dan dilindungi tulang iga kanan bawah serta diselubungi oleh peritoneum. Organ ini berwarna coklat tua dan berbobot antara 1.200-1.600 gram atau 2.5% dari bobot total orang dewasa. Hati terbagi menjadi dua bagian dan bagian kanan besarnya enam kali bagian kirinya (Ganong 2003).

Hati terdiri dari beberapa lobus, tergantung pada spesiesnya. Pada mencit terdapat empat lobus (lobus medial, lobus lateral kiri, lobus lateral kanan dan lobus kaudal (Harada et al. 1999). Di dalamnya mengalir darah yang melewati sel-sel hati melalui sinusoid dari cabang vena porta hepatika ke dalam vena sentralis tiap lobulus (Ganong 2003). Setiap lobulus hati terdiri dari berbagai komponen, yaitu sel-sel parenkim hati (hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel Kupffer dan kanalikuli biliaris (Handoko 2003). Vena porta, arteri hepatika dan saluran empedu akan bergabung dalam satu daerah vena porta (segitiga Kiernaan). Empedu akan disalurkan dari hati ke duodenum melalui saluran empedu intrahepatik dan ekstrahepatik (Guyton 1997). Di dalam hati juga ditemukan banyak sel-sel RES (Reticulo Endothelial System), yakni sel-sel Kupffer yang terdapat dalam dinding-dinding kapiler dan sinusoid-sinusoid hati, berfungsi untuk membersihkan benda-benda asing dari darah (fagositik) (Ganong 2003).

Sel hati (hepatosit) berbentuk polyhedral, berdiameter 20-25 mikron pada hewan dewasa, sedangkan pada hewan muda sekitar 2-7 mikron. Inti bulat ditengah-tengah dan kadang-kadang tampak lebih dari satu inti akibat pembelahan sitoplasma yang tidak sempurna (Hartono 1992). Hepatosit tersusun radial di sekeliling vena sentralis. Di antara sederetan hepatosit terdapat suatu saluran sinusoid yang menuju vena sentralis. Saluran ini merupakan sistem sinusoidal, yang membawa darah dari pembuluh portal menuju vena sentralis dan pembuluh

(14)

empedu. Lobus hati secara histologis dibungkus oleh kapsula. Kapsula lobus hati terdiri dari kapsula fibrosa dan kapsula serosa. Asinus hepatik dibagi lagi menjadi tiga zona: periportal, midzonal dan sentrolobular. Hepatosit pada zona periportal menerima darah kaya oksigen dan nutrisi karena berdekatan dengan pembuluh afferent sedangkan sel di sekitar zona sentrolobular terletak di distal, dekat mikrosirkulasi penerima darah yang mengandung gas dan metabolit. Hal ini yang menyebabkan zona sentrolobular tingkat sensitifitasnya lebih tinggi. Midzonal merupakan zona transisi dari kedua zona lain (Harada et al. 1999).

Fisiologi Hati

Fungsi hati adalah mendetoksifikasi produk buangan metabolisme, merusak sel darah merah tua, sintesis dan sekresi lipoprotein plasma serta mempunyai fungsi metabolisme (sintesis glikogen, glukoneogenesis, menyimpan glikogen, beberapa vitamin dan lipid) (Burkitt et al. 1995). Fungsi detoksifikasi sangat berhubungan erat dengan fungsi ekskresi, karena hati mempunyai kemampuan untuk mengekskresikan berbagai macam substansia sederhana, seperti logam berat yang tidak diubah lewat empedu (Kelly 1993). Hati juga mempunyai fungsi dalam mengatur kadar glukosa dalam darah. Makanan berupa glukosa akan diabsorbsi di usus, kemudian diteruskan ke hati melalui vena portal. Sebagian dari glikogen yang disimpan akan dipecah dalam hati menjadi glukosa. Dalam keadaan normal kadar glikogen dalam hati cukup untuk mempertahankan kadar glukosa darah. Jika terjadi gangguan hati, dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemia atau hipoglikemia (Ganiswara 1995).

Aliran darah masuk ke hati melalui dua sumber. Bagian terbesar darah masuk melalui vena porta sedangkan aliran darah yang lain melalui arteri hepatika Darah balik seluruhnya dialirkan keluar hati melalui vena hepatika yang masuk ke dalam vena cava caudalis. Keistimewaan hati ialah karena sirkulasinya berlainan dari alat tubuh lain. Darah yang mengalir didalamnya terdiri dari 2/3 darah balik dan 1/3 darah nadi (Ressang 1984). Vena porta dan arteri hepatika merupakan pembuluh darah dari usus yang membawa nutrisi dan zat-zat lain yang diserap oleh usus. Nutrisi yang sampai di hati melalui aliran darah portal diolah dan keluar sebagai bahan baru dalam aliran darah (Hartono 1992). Selain nutrisi, turut

(15)

masuk berbagai bakteri, darah merah yang sudah tua dan toksin yang harus diolah, dihancurkan atau mungkin juga disimpan. Sebanyak 75-80% darah pada organ hati berasal dari vena porta sedangkan dari arteri hepatika mengalir sekitar 20-25% darah yang kaya oksigen (Lu 1995).

Toksikopatologi Hati

Hati merupakan organ sekresi terbesar dan mungkin merupakan kelenjar pertahanan yang terpenting dalam tubuh. Sel hati dapat rusak hingga lebih dari 80% tanpa menyebabkan gejala klinis yang berat dan dapat sembuh kembali secara sempurna.

Kerusakan pada hati dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu onset pemaparan yang terlalu lama atau terlalu singkat, durasi pemaparan, dosis dan sel inang yang rentan (Jubb 1993). Kerusakan yang terjadi pada sel hati dapat bersifat sementara dan tetap. Sel akan mengalami perubahan untuk beradaptasi mempertahankan hidup pada kerusakan yang bersifat sementara. Perubahan ini biasa disebut degenerasi. Degenerasi terjadi karena adanya gangguan biokimiawi yang disebabkan oleh iskemia, anemia, metabolisme abnormal dan zat kimia yang bersifat toksik. Hal ini menyebabkan membran sel normal akan mengalami kerusakan sehingga keseimbangan pengeluaran K+ dan pemasukan ion Na+, Ca+ dan air akan terganggu. Kerusakan membran sel menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah air ke dalam sel, sehingga menyebabkan sitoplasma menjadi bengkak dan dipenuhi butiran-butiran air. Apabila kerusakan membran sel terus berlangsung, maka sitoplasma sel akan berisi cairan yang membentuk vakuola-vakuola, sehingga sitoplasma terlihat lebih pucat, keadaan ini dinamakan degenerasi hidropis (Cheville 1999).

Pada degenerasi lemak terjadi penumpukan lemak di lobuli hati yang sering terlihat pada akhir masa kebuntingan karena kekurangan oksigen dan adanya bahan toksik dan lain-lain. Hal ini terjadi karena adanya gangguan keseimbangan antara trigliserida misel dan lemak globular. Ketidakseimbangan lemak terjadi karena pengangkutan lemak ke hati meningkat, sintesis lemak di hati meningkat dan penggunaan lemak dalam sel hati yang berkurang sehingga jumlah lemak dalam sel hati meningkat (Donatus 2001). Lemak yang terserap usus halus

(16)

diangkut melalui plasma ke dalam hati dalam bentuk chylomicron (butir lemak yang sangat halus) yang sebagian besar terdiri dari trigliserida, tetapi mengandung juga sedikit protein dan fosfolipid. Di dalam hati, trigliserida di hidrolisa menjadi asam lemak dan gliserol. Protein yang dibentuk oleh retikulum endoplasma mengadakan ikatan dengan trigliserida untuk membentuk lipoprotein yang dikeluarkan ke dalam plasma. Adanya zat toksik dapat mengganggu produksi protein sehingga lipoprotein tidak terbentuk. Hal inilah yang menyebabkan lemak tidak bisa disekresikan sehingga menjadi terakumulasi dalam sel hati. Pada hati secara histopatologis degenerasi lemak tampak seperti bulatan di dalam sitoplasma yang mirip vakuol, berbentuk bundar dan kosong. Selain degenerasi lemak, sel juga sering mengalami akumulasi terutama akumulasi protein di dalam sitoplasmanya (Carlton dan McGavin 1995).

Kerusakan sel secara terus-menerus akan mencapai suatu titik sehingga terjadi kematian sel. Mekanisme kematian sel terjadi melalui dua proses: yaitu apoptosis dan nekrosa. Pada apoptosis terjadi kematian sel yang terprogram yang dipicu oleh fragmentasi DNA dan biasanya terjadi pada satu atau sekelompok sel saja. Lain halnya dengan nekrosa, kematian sel bersifat menyeluruh. Pada nekrosa biasanya ditemukan sel radang dan sitoplasma sel akan terlihat asidofilik. Nekrosa ini ada yang bersifat lokal dan ada yang bersifat difus (Lu 1995).

Hati dapat mengalami nekrosa yang disebabkan oleh dua hal yaitu 1). Toksopatik, disebabkan oleh pengaruh langsung agen yang bersifat toksik, 2). Trofopatik, akibat kekurangan oksigen, zat-zat makanan dan sebagainya (Ressang 1984). Degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosa merupakan stadium permulaan dari proses kelainan dalam hati yang kemudian menjurus kearah suatu proses peradangan (Harold 1971). Peradangan di dalam hati dapat terjadi secara infeksius maupun non infeksius. Peradangan secara non infeksius secara umum disebabkan oleh toksin. Hepatitis non infeksius atau toksik dapat terjadi secara akut maupun kronis. Secara mikroskopis sifat nekrosis disini adalah koagulatif yang ditandai dengan piknosis dan sitoplasma yang asidofilik yang dilanjutkan dengan penguraian dan menghilangnya komponen-komponen sel. Menurut lokasi dari perubahan-perubahannya nekrosa dalam hati bisa berbentuk (Nabib 1987) :

(17)

1. Nekrosa yang difus, dimana perubahan-perubahan meliputi bagian yang luas tanpa batas-batas lobuler yang jelas.

2. Sarang-sarang nekrosis (fokal), dimana terdapat sarang-sarang nekrosis kecil dalam ukuran sublobular di sana-sini dalam lobuli. Hal ini khas pada infeksi yang tersebar dan sering terlihat pada hewan-hewan percobaan.

3. Nekrosa perifer, dalam hal ini terdapat nekrosis pada daerah tepi dari lobuli. Hal ini tidak begitu sering terjadi, hanya bila toksin-toksin keras tiba dalam lobuli melalui aliran darah tanpa menimbulkan gangguan sirkulasi dan pemberian oksigen pada sel-sel. Sel-sel dibagian perifer inilah yang terkena pengaruh racun dan menderita kerusakan terlebih dahulu.

4. Nekrosis bagian pertengahan lobuli (midzone), nekrosis terjadi di daerah pertengahan antara bagian perifer lobuli dengan vena sentralis. Bentuk ini jarang terjadi pada hewan.

5. Nekrosa sentrolobular, dalam hal ini kerusakan terutama terjadi di sekitar vena sentralis karena pengaruh toksin dalam aliran darah dan stagnasi dari aliran darah dengan gejala-gejala anoxianya. Bentuk ini yang biasanya terlihat pada hepatitis toksik akut.

Gambaran mikroskopis umum dari hepatitis toksik akut ialah suatu nekrosa sentrolobular dengan lenyapnya sebagian besar sel-sel yang terletak di sekitar vena sentralis dan tempatnya diambil alih oleh darah. Sel-sel yang terletak lebih perifer mengalami degenerasi lemak dan lebih perifer lagi degenerasi hidropis. Bila keadaan berjalan beberapa hari, terdapat infiltrasi sel-sel limfosit ke dalam tenunan ikat periportal (Harold 1971).

Makroskopis hati yang menderita hepatitis toksik akut memperlihatkan gambaran seperti umumnya pada perubahan degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosis. Umumnya hati bengkak, pucat, belang sedangkan gambaran lobular terlihat jelas. Ukuran besar dari hati cenderung untuk mengecil karena sejumlah sel-sel parenkhimnya menghilang akibat nekrosis, tetapi pembendungan oleh darah dan penimbunan lemak cenderung memperbesar volumenya, sehingga secara positif tidak bisa memberikan gambaran mengenai besarnya hati yang menderita hepatitis toksik akut, meskipun pada kasus-kasus yang parah, hati umumnya lebih kecil dari normal (Ressang 1984).

(18)

Penyebab hepatitis toksik akut adalah berbagai macam toksin, sebagian besar diantaranya masih belum diketahui. Bahan toksik tersebut dapat dibagi menjadi 3 golongan (Nabib 1987) :

1. Racun-racun kimia, termasuk didalamnya antara lain tetrachloroethylene dan carbontetrachloride yang keduanya digunakan sebagai obat antihelmintik. Efek toksik dari kedua racun tersebut diantaranya menyebabkan sel-sel parenkim hati mengalami nekrosa sentrolobular yang dapat berakibat pada terbentuknya tumor dan kanker hati. Oleh karena efek toksiknya yang berbahaya maka sekarang kedua racun tersebut jarang digunakan.

2. Racun tanaman, diantaranya yang terdapat pada leguminosa pohon yang diduga memiliki efek imunomodulator.

3. Racun metabolik, termasuk didalamnya bentuk-bentuk gastroenteritis tertentu diduga dapat menimbulkan efek hepatotoksik.

Tingginya kadar lipid peroksida dapat menjadi indikasi awal rusaknya sel hati. Peningkatan kadar lipid peroksida lebih jauh akan menyebabkan akumulasi trigliserida pada sel hati dan kemudian menyebabkan terjadinya nekrosis hati. Oleh karena itu, kadar lipid peroksida dapat digunakan sebagai parameter kerusakan awal hati (Ruswandi 2005).

Kerusakan sel hati membuat proses pencernaan dan metabolisme terganggu. Lancarnya proses pencernaan sangat membantu proses penyembuhan penyakit, sebab tubuh mendapat asupan protein yang mampu meningkatkan daya tahan tubuh. Bahkan dengan membaiknya metabolisme sangat membantu hati meregenerasi sel-sel hati yang rusak akibat hepatitis (Budi dan Paimin 2005).

Karakteristik dan Data Biologis Mencit

Mencit (Mus musculus) sebagai hewan percobaan

Hewan percobaan atau yang sering disebut sebagai hewan laboratorium adalah semua jenis hewan dengan persyaratan tertentu untuk dipergunakan sebagai salah satu sarana dalam berbagai kegiatan penelitian biologi dan kedokteran (Sulaksono et al. 1986). Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetik atau keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, disamping faktor

(19)

ekonomi, mudah tidaknya diperoleh dan mampu memberikan reaksi biologis. Hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian dan pengamatan laboratorik.

Mencit merupakan salah satu hewan laboratorium atau hewan percobaan. Hewan ini merupakan hewan percobaan kecil yang tersebar di seluruh dunia dan dapat ditemukan pada tempat tinggal manusia seperti di rumah dan gedung (Mangkoewidjojo dan Smith 1998). Mencit adalah hewan pengerat (rodentia) yang cepat berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak dan variasi genetiknya cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik.

Sistem taksonomi mencit (Ballenger 1999):

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Rodensia Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

Data biologis mencit

Lama hidup : 1-2 tahun, bisa sampai 3 tahun Lama produksi ekonomis : 9 bulan

Lama kebuntingan : 19-21 hari Kawin sesudah beranak : 1-24 jam Umur disapih : 21 hari Umur dewasa : 35 hari

Umur dikawinkan : 8 minggu (jantan dan betina) Siklus estrus : 4-5 hari

Siklus kelamin : poli estrus Lama estrus : 12-14 jam

(20)

Perkawinan : pada waktu estrus

Ovulasi : dekat akhir periode estrus Fertilisasi : 2 jam sesudah kawin

Berat dewasa : jantan 20-40 gram, betina 18-35 gram Berat lahir : 0,5-1,0 gram

Jumlah anak : rata-rata 6, bisa sampai 15 Implantasi : 4-5 hari sesudah fertilisasi Uterus : bikornua bermuara di cerviks

Suhu : 35-39oC

Pernafasan : 140-180/menit, turun menjadi 80/menit dengan anastesi, naik sampai 230/menit jika stress Denyut Jantung : 600-650/menit, turun hingga 350/menit dengan

anastesi dan naik 750/menit jika stress Tekanan darah : 130-160 sistol

(Mangkoewidjojo dan Smith 1998)

Parasetamol (Asetaminofen) Rumus Kimia

Salah satu obat yang bersifat hepatotoksik adalah parasetamol. Senyawa ini merupakan turunan fenasetin. Parasetamol mempunyai beberapa nama generik antara lain N-hidroksi asetanilida, N-asetil-p-aminofenol dan asetaminofen. Parasetamol digunakan sebagai obat analgesik dan antipiretik di seluruh dunia (Sumioka et al. 2004). Parasetamol berbentuk serbuk kristal berwarna putih, tidak berbau, rasanya sedikit pahit, peka terhadap udara dan cahaya serta mempunyai pH 5,3-6,5, karena toksisitas dan daya antiinflamasinya yang lemah menjadikan parasetamol sebagai alternatif aspirin. Parasetamol relatif aman pada dosis terapi, walaupun demikian overdosis akut parasetamol dapat menyebabkan hepatotoksik, kerusakan (nekrosis) sentrilobular hati yang fatal (Anonimus 2006).

Penggunaan parasetamol didasarkan pada dugaan bahwa fenasetin dalam tubuh akan dioksidasi menjadi senyawa paraaminofenol. Kemampuan parasetamol sebagai antipiretik terdapat pada struktur aminobenzena senyawa ini. Menurut Goodman et al. (1980), parasetamol adalah obat yang memiliki daya

(21)

analgesik dan antipiretik melalui mekanisme penghambatan prostaglandin dalam tubuh (Susana 1987). Struktur kimia parasetamol dan struktur aminobenzena senyawa parasetamol dapat dilihat pada Gambar di bawah ini :

Gambar 1. Bagan Struktur Kimia Parasetamol (Anonimus 2006)

Acetanilide Paracetamol Aniline

Gambar 2. Bagan Struktur Aminobenzena Senyawa Parasetamol (Anonimus 2006)

(22)

Farmakodinamik

Parasetamol telah lama diketahui mempunyai mekanisme yang sama dengan aspirin oleh karena persamaan struktur kedua zat tersebut. Parasetamol bekerja menghambat enzim cyclooxygenase (COX) sehingga dapat mengurangi produksi prostaglandin, yang terlibat di dalam proses demam dan sakit. Bagaimanapun, ada perbedaan penting antara efek aspirin dan parasetamol. Aspirin mengandung prostaglandin yang berperan di dalam proses peradangan, tetapi parasetamol tidak dapat berfungsi sebagai antiinflamasi. Selain itu, aspirin bekerja menghambat enzim COX yang tidak dapat diubah, secara langsung menghalangi lokasi aktif enzim dan mempunyai efek merugikan pada lapisan perut. Parasetamol secara tidak langsung menghalangi enzim COX sehingga menjadi tidak efektif terhadap peroksida. Hal ini menyebabkan parasetamol menjadi efektif bekerja pada susunan saraf pusat dan sel endotel, tetapi bukan pada platelet dan sel imun yang mempunyai tingkat peroksida tinggi.

Pada tahun 2002 telah dilaporkan bahwa parasetamol selektif dalam menghalangi varian dari enzim COX yang berbeda, dikenal varian COX-1 dan COX-2. Enzim ini hanya bereaksi di otak dan sumsum tulang, sekarang dikenal sebagai COX-3. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa administrasi parasetamol meningkatkan bioavibilitas dari serotonin (5-HT) di tikus, tetapi mekanismenya belum diketahui (Anonimus 2006).

Farmakokinetik

Parasetamol dimetabolisme terutama oleh enzim-enzim mikrosomal sel hati. Di dalam saluran pencernaan, asetaminofen dengan cepat diserap dan dalam waktu 30 menit akan mencapai konsentrasi puncak dalam plasma. Pada dosis yang menyebabkan toksisitas akut, ikatan parasetamol terhadap protein plasma bervariasi dari 20-50%. Pada dosis normal, 90-100% dari senyawa obat ini mungkin akan dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran senyawa obat ini terjadi setelah melewati fase konjugasi dengan asam glukoronat (sekitar 60%), asam sulfat (35%) dan sistein (3%) serta sejumlah kecil metabolit dalam bentuk terhidroksilasi dan terdeasetilasi (Anonimus 2006). Berdasarkan hasil penelitian Wilson dan Gilfod dalam Susana 1987 menunjukkan bahwa di dalam hati,

(23)

parasetamol akan mengalami biotransformasi melalui reaksi konjugasi dengan asam glukoronat atau glutation dan hasilnya diekskresi melalui urin. Sisa parasetamol mengalami biotransformasi dengan sistem sitokrom P-450. Sitokrom P-450, suatu sistem enzim di retikulum endoplasma segera melakukan biotransformasi oksidatif pada 5-10% parasetamol yang masuk ke dalam tubuh. Parasetamol yang teroksidasi berubah menjadi N-asetil p-benzokuinon imin (NAPQI), suatu senyawa yang toksik dan reaktif (Susana 1987). Senyawa radikal ini dapat bereaksi dengan molekul penyusun membran sel hati contohnya fosfolipid. Oksidasi senyawa ini akan menghasilkan suatu radikal bebas yang dapat mengoksidasi molekul fosfolipid lainnya sehingga terjadi reaksi oksidasi berantai. Reaksi ini dapat menyebabkan berubahnya komposisi membran sel hati. Menurut Manson, perubahan membran sel menyebabkan kerusakan sel hati dan kemudian dapat menimbulkan nekrosis hati (Susana 1987). Metabolisme parasetamol dapat dilihat pada Gambar 3.

+

metabolit + protein hati centralobular hepatic necrosis

(24)

Toksikologi

Hasil penelitian Katzung menunjukkan bahwa penggunaan parasetamol dalam dosis yang besar dapat menyebabkan gangguan fungsi hati yang disebut nekrosis hati (Susana 1987). Dosis parasetamol sebanyak 7 g/hari atau lebih dapat menimbulkan nekrosis hati sedangkan dosis 15 g/hari dapat menimbulkan kerusakan hati yang lebih luas (Lelo dan Arbie 1982). Hasil penelitian oleh Silvana menunjukkan mencit yang diberi parasetamol dengan dosis 500 mg/kg BB menunjukkan kerusakan hati mencit tersebut (Susana 1987).

Kerusakan hati menyebabkan meningkatnya lipid peroksida darah karena lipid peroksida tubuh tidak dapat lagi didetoksifikasi dalam hati. Menurut Thomas

dalam Susana 1987, hati memiliki mekanisme antioksidasi radikal bebas

(asetilimin benzokuinon) melalui reaksi konjugasi dengan beberapa senyawa dalam hati seperti glutation, asam glukoronat, glisin dan asetat. Jumlah radikal bebas yang melebihi ketersediaan senyawa-senyawa penetralisir dalam hati memungkinkan terjadinya reaksi antara radikal bebas dan membran sel hati (Susana 1987).

Parasetamol akan dikonversikan menjadi inaktif melalui metabolisme fase II yang dikonjugasikan dengan sulfat dan glukuronida, yang akan beroksidasi dalam jumlah kecil melalui sistem enzim sitokrom P450. Sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) akan mengkonversikan parasetamol menjadi metabolit reaktif yang tinggi, N-acetyl-p-benzo-quinone imine (NAPQI). Dalam kondisi dibawah normal, NAPQI akan detoksifikasi oleh konjugasi dengan glutation. Pada kasus toksikasi parasetamol, jalur sulfat dan glukuronida menjadi terurai sehingga parasetamol merangsang sistem sitokrom P450 memproduksi NAPQI yang banyak. Konsekuensinya NAPQI yang dikonjugasi oleh glutation (GSH) bertambah banyak sedangkan hepatoseluler kekurangan glutation sehingga ketika melewati kapasitas konjugasi GSH, NAPQI akan berikatan kovalen dengan makromolekul vital sel hati (seperti lipid dan protein membran sel) dan menyebabkan nekrosis hati (Sumioka et al. 2004). Pada kasus-kasus hewan, 70% kekurangan glutation pada sel hati dapat menyebabkan hepatotoksisitas.

Adanya kerusakan sel-sel parenkim hati atau permebialitas membran akan mengakibatkan enzim ALT, AST, alkalin fosfatase, laktat dehidrogenase dan

(25)

γ-glutamiltransferase bebas keluar sel, sehingga enzim yang masuk ke pembuluh darah melebihi keadaan normal dan kadarnya dalam darah meningkat. Selain itu parasetamol juga dapat mengalami hidroksilasi dan hasilnya dapat menimbulkan methemoglobinemia (Hb diubah menjadi met-Hb) dan Hemolisis eritrosit (Anonimus 2006).

(26)

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai pada bulan Februari sampai bulan Juli 2007.

Alat dan Bahan

A. Mencit (Mus musculus) yang digunakan dalam penelitian sebanyak 36 ekor, berumur 2 bulan dan berkelamin jantan.

B. Pengambilan sampel dan pengawetan jaringan. Alat dan bahan yang digunakan pada proses ini adalah mencit (Mus musculus), pisau, silet, skalpel, pinset anatomis, pinset sirurgis, gunting besar, gunting kecil, tali, label, botol wadah spesimen, alkohol 70% atau larutan fiksatif Buffered Neutral Formalin (BNF 10%).

C. Proses pembuatan sediaan histopatologi. Bahan dan alat yang digunakan adalah alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol absolut, xylol, paraffin, bunsen, inkubator, cetakan paraffin dan mikrotom.

D. Proses pewarnaan. Alat dan bahan yang digunakan adalah wadah dari gelas untuk tempat pewarnaan (staining jar), Mayer hematoksilin eosin, air dingin, alkohol absolut, alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, 100%, aquadest serta xylol. E. Mounting menggunakan Permount® dan cover glass.

Metode

A. Parasetamol

Dosis normal optimum parasetamol yang digunakan adalah 500 mg/ 50kgBB berdasarkan dosis yang umum digunakan oleh manusia dewasa.

B. Perlakuan

Penelitian ini menggunakan 36 ekor mencit (Mus musculus) yang dibagi dalam 2 kelompok besar. Satu kelompok mencit menerima pemberian parasetamol dosis normal optimum sebanyak 500 mg/ 50 kgBB yang ditentukan

(27)

berdasarkan konversi bobot badan masing-masing mencit dan satu kelompok kontrol negatif yang diberi aquadestilata. Berdasarkan waktu pengambilan sampel, kedua kelompok besar tersebut kemudian masing-masing dibagi menjadi 6 kelompok kecil dan masing-masing kelompok kecil terdiri dari 3 ekor mencit. Pada awal penelitian, mencit (Mus musculus) diadaptasikan selama 2 minggu untuk menghindari stress dan untuk menyeragamkan pola hidup masing-masing kelompok perlakuan. Pada masa adaptasi ini, mencit (Mus musculus) hanya diberi pakan standar, air minum adlibitum, obat cacing yang mengandung pirantel palmoate dosis 0,5 ml/kg BB peroral dan antibiotik (ampicillin) dosis 8 mg/kg BB peroral. Pemberian parasetamol dilakukan peroral setiap hari selama 6 minggu. Mulai minggu pertama hingga minggu ke-6, 3 ekor mencit dari masing-masing kelompok perlakuan di euthanasia menggunakan inhalasi eter over dosis, kemudian hatinya diambil sebagai sampel dan difiksasi dalam larutan BNF 10%.

C. Pembuatan Preparat Histopatologis

Sampel hati mencit (Mus musculus) yang telah difiksasi dalam larutan fiksatif BNF 10%, diproses melalui serangkaian tahapan antara lain proses dehidrasi, clearing atau penjernihan, embedding atau penanaman jaringan dalam paraffin, pemotongan dengan menggunakan mikrotom setebal 5 µm. Proses ini dilanjutkan dengan proses pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin) dan yang terakhir adalah mounting atau penutupan dengan gelas penutupnya (Humason 1985). Pembuatan, identifikasi dan pengamatan preparat dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

D. Parameter Pengamatan Histopatologi

Pada hati yang menjadi perhatian pada pengamatan histopatologi adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada sitoplasma dan inti dari hepatosit, sinusoid dan pembuluh darah. Parameter pengamatan histopatologi dilakukan pada sediaan hati dengan menghitung persentase hepatosit normal, degenerasi hidropis dan kematian sel serta jumlah sel radang dalam satu lapang pandang seluas 176 µm2 (lensa objektif 40x). Lapang pandang yang digunakan adalah 5

(28)

buah di sekitar vena sentralis dan 5 buah di sekitar vena porta, total 10 lokasi lapang pandang.

E. Evaluasi Data

Evaluasi data dilakukan dengan membandingkan kondisi hati dari kelompok perlakuan dan kontrol serta membandingkan kondisi hati pada daerah di sekitar vena porta dan vena sentralis. Data yang diperoleh dianalisa menggunakan analisis sidik ragam acak lengkap (ANOVA) dilanjutkan dengan uji Tukey (α = 0,05).

(29)

Penelitian ini memberikan informasi dasar mengenai kerusakan hati yang ditimbulkan akibat pemberian parasetamol dosis normal optimum. Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi hati mencit pada kelompok kontrol maupun perlakuan ditemukan adanya perubahan pada interstitium dan parenkim. Pada interstitium perubahan yang terlihat yaitu kongesti dan perluasan sinusoid sedangkan pada parenkim ditemukan adanya degenerasi hidropis dan nekrosa. Persentase berbagai perubahan pada parenkhim hepatosit selama perlakuan (6 minggu) disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 4.

Tabel 1. Derajat keparahan lesio hepatosit mencit pada pemberian parasetamol dosis normal optimum dalam waktu 6 minggu.

Minggu ke- Kelompok Normal (%) Degenerasi

hidropis (%) Nekrosa (%) 1 Perlakuan 46 ± 11.866abc 42 ± 9.725a 11 ± 27.668cd Kontrol 35 ± 33.030bc 51 ± 43.288b 14 ± 8.159a 2 Perlakuan 38 ± 8.841abc 44 ± 12.215ab 18 ± 15.359de Kontrol 25 ± 11.990abc 50 ± 16.154ab 25 ± 5.922ab 3 Perlakuan 41 ± 25.758ab 33 ± 17.799a 25 ± 25.605def Kontrol 22 ± 23.456abc 59 ± 21.305ab 19 ± 10.80ab 4 Perlakuan 41 ± 34.564a 30 ± 19.010ab 29 ± 14.376f Kontrol 13 ± 10.647abc 62 ± 5.788ab 25 ± 5.742ab 5 Perlakuan 38 ± 11.325a 28 ± 12.660ab 34 ± 16.585ef Kontrol 17 ± 17.406abc 61 ± 19.633ab 23 ± 6.870bc 6 Perlakuan 49 ± 20.559ab 24 ± 26.553ab 27 ± 13.423f Kontrol 17 ± 16.248c 66 ± 8.658ab 17 ± 9.559ab Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata

(30)

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

%

ker

usakan hep

a

to

si

t

P K P K P K P K P K P K I 2 3 4 5 6

Minggu

Gambar 4. Perbandingan perubahan persentase lesio hepatosit kelompok kontrol (K) dan perlakuan (P). Warna kuning menunjukkan nekrosa, warna merah menunjukkan degenerasi hidropis dan warna biru menunjukkan hepatosit normal.

Hasil analisis statistik persentase hepatosit normal minggu ke-1 sampai minggu ke-5 pada kelompok perlakuan tidak berbeda nyata dibandingkan kelompok kontrol (p>0,05). Pada pengamatan minggu ke-6, terlihat bahwa persentase hepatosit normal kelompok perlakuan nyata lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (p<0,05). Hal ini membuktikan bahwa parasetamol dosis normal optimum aman dikonsumsi dalam jangka waktu hingga 6 minggu.

Hasil analisis statistik persentase hepatosit minggu ke-1 yang mengalami degenerasi hidropis pada kelompok perlakuan lebih rendah secara signifikan (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol (Tabel 1, Gambar 4). Pada minggu-minggu berikutnya, persentase hepatosit kelompok kontrol dan perlakuan yang mengalami degenerasi hidropis tidak berbeda secara signifikan (p>0,05).

(31)

Peningkatan waktu pemberian parasetamol dosis normal optimum tidak diiringi dengan peningkatan persentase hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis. Hal ini disebabkan sebagian hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis berubah kembali menjadi normal dan sebagian lagi menjadi nekrosa. Hepatosit ini dapat kembali menjadi normal karena terkait dengan cara kerja parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik melalui mekanisme penghambatan enzim cyclooxygenase (COX). Penghambatan terhadap enzim ini menyebabkan berkurangnya produksi prostaglandin yang mengatur regulasi rasa nyeri dan penurun panas (Goodman et al. 1980). Sedangkan peningkatan lesio hepatosit menjadi nekrosa disebabkan adanya gangguan metabolisme sel dan akumulasi zat toksik yang terus-menerus sehingga menyebabkan terbentuknya radikal bebas N-asetil p-benzokuinon imin (NAPQI), suatu senyawa yang bersifat racun dan reaktif. Senyawa radikal bebas ini akan mengoksidasi fosfolipid pada membran sel hati dan menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi berantai yang akhirnya dapat merusak hepatosit (Goodman et al. 1980). Persentase hepatosit kelompok kontrol yang mengalami degenerasi hidropis kemungkinan disebabkan adanya gangguan metabolisme baik pada organ hati maupun pada organ lain yang tidak spesifik. Hal ini mungkin saja terjadi karena mencit yang digunakan bukan mencit Specific

Pathogen Free (SPF).

Kondisi hepatosit minggu ke-1 dan minggu ke-2 pada kelompok perlakuan cenderung lebih baik dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini dikarenakan jumlah sel hepatosit yang mengalami nekrosa pada kelompok perlakuan lebih rendah secara signifikan (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol. Pada pengamatan minggu ke-3, terlihat bahwa nekrosa nyata lebih tinggi (p<0,05) terjadi pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol. Fenomena yang terjadi pada minggu ke-3 terus berlangsung sampai minggu-minggu berikutnya. Semakin lama waktu pemberian parasetamol dosis normal optimum maka semakin tinggi persentase hepatosit yang mengalami kematian. Hal ini terjadi karena parasetamol di dalam hati akan mengalami biotransformasi melalui reaksi konjugasi dengan asam glukoronat atau glutation dan hasilnya diekskresi melalui urin. Sisa parasetamol mengalami biotransformasi dengan sistem sitokrom P-450. Sitokrom P-450, suatu sistem enzim di retikulum endoplasma segera melakukan

(32)

biotransformasi oksidatif pada 5-10% parasetamol yang masuk ke dalam tubuh. Parasetamol yang teroksidasi berubah menjadi N-asetil p-benzokuinon imin (NAPQI), suatu senyawa yang toksik dan reaktif (Susana 1987). Senyawa radikal ini dapat bereaksi dengan molekul penyusun membran sel hati contohnya fosfolipid. Oksidasi senyawa ini akan menghasilkan suatu radikal bebas yang dapat mengoksidasi molekul fosfolipid lainnya sehingga terjadi reaksi oksidasi berantai. Reaksi ini dapat menyebabkan berubahnya komposisi membran sel hati. Menurut Manson, perubahan membran sel menyebabkan kerusakan sel hati dan kemudian dapat menimbulkan nekrosis hati (Susana 1987).

Perubahan histopatologi tersebut dapat diamati pada seluruh bagian hati baik di sekitar vena porta maupun vena sentralis. Persentase berbagai perubahan hepatosit di sekitar vena porta dan vena sentralis disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 5.

Tabel 2. Derajat keparahan perubahan hepatosit mencit pada vena porta (VP) dan vena sentralis (VS) akibat pemberian parasetamol dosis normal optimum.

Minggu ke- Lokasi Normal (%) Degenerasi Hidropis (%) Nekrosa (%) 1 VP 34 ± 14.000a 14 ± 13.013a 52 ± 41.328bcdefgh VS 36 ± 12.490a 13 ± 8.145a 51 ± 6.083defghij 2 VP 29 ± 6.245a 24 ± 8.021a 47 ± 9.018cdefghi VS 21 ± 4.041a 25 ± 17.098a 53 ± 19.858efghij 3 VP 20 ± 18.583a 20 ± 10.504a 60 ± 28.378ghij VS 24 ± 35.679a 18 ± 25.697a 58 ± 28.290fghij 4 VP 13 ± 43.155a 26 ± 24.576a 60 ± 18.771ij VS 12 ± 33.486a 23 ± 17.010a 65 ± 4.163j 5 VP 22 ± 8.286a 19 ± 2.646a 59 ± 6.807hij VS 12 ± 11.930a 26 ± 11.504a 62 ± 21.197ij 6 VP 16 ± 21.932a 20 ± 33.382a 64 ± 19.698ij VS 19 ± 23.544a 14 ± 23.245a 67 ± 7.638ij

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

(33)

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% % ker usa kan hepa tosi t VP VS VP VS VP VS VP VS VP VS VP VS 1 2 3 4 5 6 Minggu

Gambar 5. Pengaruh pemberian parasetamol dosis normal optimum terhadap perubahan hepatosit mencit pada vena porta (VP) dan vena sentralis (VS). Warna kuning menunjukkan nekrosa, warna merah menunjukkan degenerasi hidropis dan warna biru menunjukkan hepatosit normal.

Hasil analisis statistik persentase hepatosit normal, hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis dan nekrosa pada seluruh kelompok perlakuan di vena porta tidak berbeda nyata (p>0,05) dibandingkan di vena sentralis. Hal ini membuktikan secara histopatologis bahwa kadar toksik parasetamol sebelum dimetabolisme dan setelah dimetabolisme di dalam hati mempunyai tingkat toksisitas yang sama terhadap sel.

Pada kasus masuknya zat toksik melalui saluran pencernaan, degenerasi hidropis umumnya dimulai dari daerah pinggir/daerah portal yang meluas menuju vena sentralis. Hal ini disebabkan karena suplai darah hati diperoleh dari saluran pencernaan. Darah yang mengandung toksin dibawa dari usus, masuk ke hati melalui vena porta kemudian melewati sinusoid menuju vena sentralis (MacFarlane et al. 2000). Hepatosit perilobuler merupakan hepatosit paling awal mengalami degenerasi hidropis dibandingkan dengan vena sentralis karena

(34)

hepatosit ini yang pertama kali kontak dengan zat-zat toksin dari usus (Harada et

al. 1999).

Degenerasi hidropis merupakan perubahan yang bersifat sementara (reversible), ditandai dengan kehadiran vakuol-vakuol di sitoplasma, sehingga apabila paparan bahan toksik dihentikan sel yang mengalami kerusakan akan kembali normal. Sel membutuhkan ATP-ase untuk mengaktifkan pompa sodium-potasium dalam pengaturan keluar dan masuknya ion. Infeksi akut sel akan menyebabkan air dan protein tetap berada dalam sitoplasma. Pompa lapisan membran akan memindahkan ion dan air dengan cepat keluar dari sitosol dan masuk ke dalam retikulum endoplasma. Hal ini akan menyebabkan kebengkakan sel yang disebut degenerasi hidropis (Cheville 1999). Perubahan sel pada tahap ini merupakan respon adaptasi agar sel tetap bertahan hidup.

Kerusakan sel hati akan menginduksi kenaikan konsentrasi lipid peroksida darah mencit. Pada level tertentu jika jumlah sel hati yang rusak terlalu tinggi maka kerusakan sel akan bersifat permanen dan akhirnya terjadi kematian sel (apoptosis dan nekrosa). Artinya, apabila hepatosit sudah mengalami kerusakan maka tidak akan diganti oleh hepatosit yang baru, tetapi sebagai gantinya akan terbentuk jaringan ikat. Apoptosis dapat terjadi pada proses normal (fisiologis) atau abnormal (patologis). Nekrosa dapat terjadi akibat bahan beracun, aktivitas mikroorganisme, defisiensi pakan dan kadang-kadang gangguan metabolisme termasuk hipoksia. Kematian sel secara apoptosis mencakup proses destruksi seluler aktif yang ditandai dengan penyusutan jumlah sel, kerusakan membran dan fragmentasi DNA inti. Nekrosis merupakan kematian sel atau kelompok sel yang masih merupakan bagian dari organisme hidup dengan penyebab yang bervariasi. Umumnya, hepatosit yang mengalami nekrosis menunjukkan perubahan pada inti dan sitoplasma. Inti akan mengecil dan berwarna biru (lebih gelap), mirip sel limfosit, akibat penggumpalan kromatin inti. Proses ini disebut piknosis. Inti juga mungkin pecah (karyorhexis) dan bahkan menghilang (karyolisis), sedangkan pada sitoplasma akan terlihat lebih asidofilik (Jubb et al. 1993). Gambaran histopatologi jaringan hati disajikan pada Gambar 6a dan 6b.

(35)

2µm

Gambar 6a. Gambaran histopatologi jaringan hati kelompok kontrol. Lesio hepatosit berupa degenerasi hidropis (panah hijau), nekrosa (panah hitam) dan hepatosit normal (panah biru). Pewarnaan HE. Perbesaran 40X.

2µm

Gambar 6b. Gambaran histopatologi jaringan hati kelompok perlakuan. Lesio hepatosit berupa degenerasi hidropis (panah hijau), nekrosa (panah hitam) dan hepatosit normal (panah biru). Pewarnaan HE. Perbesaran 40X.

Pada kelompok perlakuan, sel-sel hati tidak mampu mencegah reaksi oksidasi yang dilakukan oleh radikal bebas asetilimin benzokuinon. Proses antioksidasi hanya dilakukan secara alami oleh enzim-enzim yang terdapat dalam

(36)

tubuh yang jumlahnya lebih sedikit daripada jumlah radikal bebas yang terbentuk. Hal ini menyebabkan kelompok mencit yang diberi parasetamol mengalami gangguan fungsi hati oleh radikal bebas parasetamol. Enzim dalam hati yang digunakan sebagai petunjuk adanya kerusakan hati setelah pemberian parasetamol adalah kadar enzim alanin aminotransferase (ALT) dan aspartat aminotransferase (AST) yang meningkat (Anonimus 2006). Pada penelitian ini hewan coba yang digunakan adalah mencit yang memiliki jumlah volume darah sedikit sehingga tidak dilakukan penghitungan terhadap kadar enzim ALT dan AST dalam darah.

Selain perubahan pada jaringan parenkim hati, perubahan juga terjadi pada bagian interstitiumnya yaitu ditemukannya kongesti dan perluasan sinusoid (Gambar 7) dengan derajat yang sama disetiap kelompok perlakuan. Menurut Abrams (1992), kongesti adalah keadaan dimana terdapat darah secara berlebihan di dalam pembuluh darah pada daerah tertentu. Akibat dari kongesti maka sirkulasi darah menjadi lambat sehingga oksigenasi ke jaringan menurun. Sel hati sangat peka terhadap kekurangan oksigen atau anoksia. Adanya kongesti menyebabkan terganggunya fungsi hati sebagai tempat metabolisme protein dan lemak. Pada kongesti akut, hati membengkak dan terisi darah sedangkan pada kongesti yang berjalan kronik menimbulkan penggenangan eritrosit di vena sentralis dan di sinusoid-sinusoid sekitarnya. Apabila terjadi kongesti kronik maka sinusoid yang melebar akan menggencet deretan sel hati (hepatosit) sekitar vena sentralis sehingga hepatosit mengalami atrofi (mengecil). Adanya kongesti dan perluasan sinusoid, mungkin terjadi akibat pembiusan dengan eter sebelum mencit dimatikan. Perubahan ini terjadi pada semua kelompok kontrol dan perlakuan, sehingga tidak dijadikan parameter dalam perubahan mikroskopis akibat pemberian parasetamol. Menurut Ganiswara (1995), eter merupakan anastetik yang sangat kuat, dapat menekan kontraktilitas otot jantung, menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit juga menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah.

(37)

Gambar 7. Perubahan pada bagian interstitium hati berupa kongesti (panah kuning). Pewarnaan HE.

Perubahan lain yang ditemukan adalah adanya infiltrasi sel radang limfosit dan makrofag sehingga membentuk fokus-fokus peradangan di sekitar vena sentralis maupun vena porta di seluruh jaringan hati (Gambar 8).

Gambar 8. Infiltrasi dan akumulasi sel radang kronis perivaskuler vena sentralis (panah kuning). Pewarnaan HE.

(38)

Fokus-fokus peradangan tersebut terdiri dari berbagai ukuran dengan jumlah sel limfosit dan makrofag yang bervariasi. Hasil rataan jumlah sel radang yang diberi parasetamol dosis normal optimum dan kontrol dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 9.

0 500 1000 1500 2000 2500 P K P K P K P K P K P K 1 2 3 4 5 6 Minggu J u ml ah se l r a da ng VS VP

Gambar 9. Perbandingan jumlah sel radang pada vena porta dan vena sentralis akibat pemberian parasetamol dosis normal optimum.

(39)

Tabel 3. Pengaruh pemberian parasetamol dosis normal optimum terhadap jumlah sel radang pada vena porta (VP) dan vena sentralis (VS).

Minggu ke- Kelompok Σ Sel Radang 1 Perlakuan VP 992 ± 75.368ab Perlakuan VS 745 ± 73.921ab Kontrol VP 626 ± 49.339ab Kontrol VS 642 ± 55.651ab 2 Perlakuan VP 977 ± 48.346ab Perlakuan VS 635 ± 60.666ab Kontrol VP 1202 ± 89.366b Kontrol VS 939 ± 70.164ab 3 Perlakuan VP 878 ± 59.467ab Perlakuan VS 815 ± 36.116ab Kontrol VP 1136 ± 29.263ab Kontrol VS 885 ± 24.576ab 4 Perlakuan VP 700 ± 44.377ab Perlakuan VS 569 ± 19.553ab Kontrol VP 1121 ± 165.561ab Kontrol VS 969 ± 132.842ab 5 Perlakuan VP 576 ± 18.735ab Perlakuan VS 505 ± 30.006a Kontrol VP 959 ± 32.716ab Kontrol VS 1012 ± 17.156ab 6 Perlakuan VP 617 ± 53.463ab Perlakuan VS 582 ± 23.259ab Kontrol VP 1110 ± 112.010ab Kontrol VS 761 ± 50.567ab

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Hasil analisis statistik jumlah sel radang seluruh kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05) dibandingkan kelompok kontrol pada tiap minggunya. Keadaan ini mengindikasikan bahwa fungsi parasetamol sebagai antiinflamasi kurang signifikan. Hal tersebut sesuai dengan Goodman et al. (1980), aktivitas antiinflamasi parasetamol sangat rendah sehingga jarang digunakan untuk terapi klinik.

Infiltrasi sel radang limfosit dan makrofag hampir terjadi di seluruh perlakuan, termasuk kontrol. Hal ini dikarenakan migrasi sel radang merupakan reaksi tanggap kebal umum terhadap zat toksik yang masuk ke dalam tubuh dan merupakan reaksi patofisiologis untuk melawan segala bentuk agen yang merugikan. Limfosit sering menyebar dalam jaringan dan berfungsi untuk memelihara ketahanan tubuh. Limfosit terlihat sebagai sel-sel kecil dengan inti bulat, menyerap warna haematoksilin dan memiliki sitoplasma tipis bersifat basofil lemah. Sel limfosit sering ditemukan pada peradangan kronis yang berfungsi sebagai mediator peradangan. Makrofag umumnya berbentuk bundar

(40)

dengan sitoplasma yang jelas dan ditengahnya terlihat nukleus yang kebulat-bulatan, berbentuk kacang atau melekuk. Makrofag berperan dalam fagositosis dan penghancuran partikel asing serta mengolah bahan asing sehingga dapat membangkitkan tanggap kebal. Sel lain yang juga ditemukan adalah sel kupffer yang berperan dalam membentuk pertahanan makrofag-monosit yang berfungsi mengeluarkan eritrosit dan runtuhan jaringan (debris) lainnya dalam peredaran darah, serta bersifat fagositik terhadap benda asing (Harold 1971).

Hati berperan dalam proses detoksifikasi dan ekskresi bahan xenobiotic (zat-zat toksik) namun dalam jumlah yang terbatas. Bila dosis zat toksik melebihi batas kemampuan detoksifikasi, maka akan timbul berbagai gangguan misalnya lipidosis, nekrosa dan fibrosis.

Pemberian parasetamol dosis 500 mg/ 50kgBB selama 6 minggu, dapat menurunkan persentase degenerasi hepatosit pada mencit karena sebagian hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis berubah kembali menjadi normal, hal ini terkait cara kerja parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik. Sedangkan sebagian lagi menjadi nekrosa akibat adanya gangguan metabolisme sel dan akumulasi zat toksik yang terus-menerus sehingga menyebabkan terbentuknya radikal bebas N-asetil p-benzokuinon imin (NAPQI) yang akan mengoksidasi fosfolipid pada membran sel hati dan menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi berantai yang akhirnya dapat merusak hepatosit. Berdasarkan hasil analisis statistik persentase hepatosit normal, hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis dan nekrosa serta jumlah sel radang pada seluruh kelompok perlakuan di vena porta tidak berbeda nyata (p>0,05) dibandingkan di vena sentralis pada tiap minggunya. Hal ini membuktikan bahwa toksisitas parasetamol sebelum dimetabolisme dan setelah dimetabolisme di dalam hati mempunyai tingkat toksisitas yang sama terhadap sel hati. Jumlah sel radang di sekitar vena porta dan vena sentralis tidak berbeda nyata, merupakan bukti bahwa indikasi parasetamol sebagai antiinflamasi kurang signifikan, tidak cukup digunakan untuk menurunkan symptom peradangan.

(41)

Kesimpulan

Sejalan dengan pertambahan waktu hingga 6 minggu, parasetamol dosis normal optimum adalah (500 mg/ 50kgBB) menyebabkan terjadinya peningkatan lesio kematian hepatosit berupa nekrosa sementara lesio degeneratif menurun.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan dosis bertingkat dan dengan waktu pemberian yang lebih lama untuk mengetahui batas optimum penggunaan parasetamol yang menyebabkan kerusakan hati.

2. Perlu digunakan hewan coba jenis lain agar dapat diperiksa enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme hati.

(42)

Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Terjemahan.

Anugerah, P. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. pp: 92-93.

Anonimus. 2006. Parasetamol. http://en.wikipedi.org/wiki/Paracetamol. [6

Agustus 2006].

Ballenger L. 1999. Mus musculus (house mouse). http://www.animaldiversity umm2.umich.edu/sitc/account/information/Mus musculus.htm. [18 Maret 2006].

Budi IM, Paimin FR. 2005. Buah Merah. Jakarta: Penebar Swadaya. Hlm 7-8, 22, 41-50.

Burkitt HG, Osweiler GD. 1995. Clinical and Diagnostic Veterinary Toxicology. Edisi ke-2. Kendal/Hunt Publishing Company. Pp. 333-334.

Carlton WW, McGavin MD. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. Edisi ke-2. Mosby: St. louis. Pp. 209-245.

Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-2. Iowa: Iowa State University Press. Hlm 5-25.

Dalimartha S. 2005. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Hepatitis. Jakarta: Penebar Swadaya. Hlm 33.

Donatus IA. 2001. Toksikologi Dasar. Yokyakarta: Universitas Gadjah Mada. Hlm 89.

Ganiswara SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4. Jakarta: Farmakologi Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Jakarta. pp: 116.

Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Terjemahan dari: Review of

Medical Physiology. Penerjemah: Widjajakusumah D; Editor

Widjajakusumah D. San Fransisco: University of California. Hlm 486. Goodman LS, Gilman A, Gilman AG. 1980. The Pharmacological Basic of

Therapeutic Sixth Ed. New York: Macmillan co. inc. Pp. 682-723.

Guyton CA, John EH. 1997. Fisiologi Kedokteran. Penerjemah: Suryawan, Irawati. Ed-9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm 1028,1030,1105-1108.

Handoko IS. 2003. Organ Hati. http://www.klinikku.com/pustaka/lab/hati/tes-t-hati.htlm. [21 Januari 2003].

(43)

Harada T, Enotomo A, Boorman G and Maronpot RR. Liver and Gallbladder. In: Maronpot RR. 1999. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. 1st ed. Cache River Press. Hlm 120-171.

Harold AB. 1971. Pathology and Introduction. San Fransisco. Hlm 49.

Hartono. 1992. Histologi Veteriner. Organologi. Bogor: Laboratorium Histologi Jurusan Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Hlm 90.

Humason GL. 1985. Animal Tissue Techniques. 4rd ed. San Francisco: W.N. Freeman and Company, USA. Pp. 1-169.

Jubb KVF, Kennedy PC and Peter C. 1993. Pathology of Domestic Animal. London: Academic Press. Hlm 325-346.

Lelo A, Arbie R. 1982. Hepatotoksisitas parasetamol. Majalah Dokter Keluarga 2(1) : 24-27.

Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. Edisi ke-2. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Pp. 206-223.

Macfarlane PS, Reid R and Callander. 2000. Pathology Illustrated. Toronto: Huerchill Livingstone.

Mangkoewidjojo S, Smith JB. 1998. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan

Hewan Percobaan di Daerah Tropis. UI Press. Jakarta. Hlm 10-12.

Nabib R. 1987. Patologi Khusus Veteriner. Edisi ke-2. Bogor: Laboratorium Patologi Jurusan Parasitologi dan Patologi Fakultas Kedokteran Veteriner Institut Pertanian Bogor. Hlm 115-117.

Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi ke-2. Denpasar: Percetakan Bali. Hlm 45-81.

Ruswandi D. 2005. Penghambatan peroksida lipid oleh ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) pada gangguan fungsi hati tikus akibat parasetamol [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Hlm 4.

Sulaksono ME, Pudjoprajitno, Yuwono SS, Patra K. 1986. Keadaan dan Masalah

Hewan Percobaan di Indonesia. Volume ke-14(3). Departemen Kesehatan

Republik Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Buletin Penelitian Kesehatan. Hlm 18-24.

Sumioka I, Matsura T & Yamada K. 2004. Acetaminophen-Induced Hepatotoxicity: Still an Important Issue. Acta Medica; 47: 17-28.

(44)

Susana N. 1987. Pengaruh pemberian seduhan rimpang temulawak terhadap hepatotoksisitas parasetamol pada mencit jantan [skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada.

Sutanto J. 1996. Pengaruh isoflavin pada resistensi lipoprotein berdensitas rendah (LDL) terhadap oksidasi kimia [skripsi]. Bogor: Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

(45)
(46)

Lampiran 1. Bagan Pembuatan Sediaan Histopatologi Sampling organ/triming Fiksasi BNF 10% selama 6-48 jam ↓ Dehidrasi

Alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I, II masing-masing 2 jam ↓

Clearing

Xylol I dan xylol II masing-masing 2 jam ↓

Embeding

Penanaman jaringan dalam parafin, pada suhu 560 C ↓

Sectioning

Pemotongan jaringan dengan menggunakan mikrotom setebal 2µm ↓

Mounting

Penempelan jaringan pada gelas objek ↓

Staining

(47)

Lampiran 2. Bagan Pewarnaan Haematoksilin Eosin

Xylol I, 2 menit ↓

Xylol II, 2 menit ↓

Alkohol absolut, 2 menit ↓

Alkohol 95%, 1 menit ↓

Alkohol 80%, 1 menit ↓

Cuci dengan air kran, 1 menit ↓

Mayer’s Haematoksilin, 8 menit ↓

Cuci dengan air kran, 30 detik ↓

Lithium carbonat, 15-30 detik ↓

Cuci dengan air kran, 2 menit ↓

Eosin 2-3 menit ↓

Cuci dengan air kran, 30-60 detik ↓

Alkohol 95%, 10 celupan ↓

Alkohol absolut I, 10 celupan ↓

Alkohol absolut II, 2 menit ↓

Xylol I, 1 menit ↓

Xylol II, 2 menit ↓

(48)

Lampiran 3 Hasil Analisis Statistik

Descriptives

NORMAL

95% Confidence Interval for Mean

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum

P1 6 58.00 11.866 4.844 45.55 70.45 * * K1 6 72.83 33.030 13.484 38.17 107.50 * * P2 6 41.17 8.841 3.609 31.89 50.44 * * K2 6 47.83 11.990 4.895 35.25 60.42 * * P3 6 38.33 25.758 10.516 11.30 65.36 1 * K3 6 67.17 23.456 9.576 42.55 91.78 * * P4 6 27.33 34.564 14.111 -8.94 63.61 0 * K4 6 54.83 10.647 4.347 43.66 66.01 * * P5 6 32.33 11.325 4.624 20.45 44.22 * * K5 6 58.17 17.406 7.106 39.90 76.43 * * P6 6 32.67 20.559 8.393 11.09 54.24 6 * K6 6 81.00 16.248 6.633 63.95 98.05 * * Total 72 50.97 25.191 2.969 45.05 56.89 0 *

(49)

NORMAL

Tukey HSD

Subset for alpha = .05

PERLAKUAN N 1 2 3 P4 6 27.33 P5 6 32.33 P6 6 32.67 32.67 P3 6 38.33 38.33 P2 6 41.17 41.17 41.17 K2 6 47.83 47.83 47.83 K4 6 54.83 54.83 54.83 P1 6 58.00 58.00 58.00 K5 6 58.17 58.17 58.17 K3 6 67.17 67.17 67.17 K1 6 72.83 72.83 K6 6 81.00 Sig. .057 .053 .057

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

(50)

Descriptives

HIDROPIS

95% Confidence Interval for Mean

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum

P1 6 24.17 9.725 3.970 13.96 34.37 * * K1 6 68.67 43.288 17.672 23.24 114.09 * * P2 6 41.00 12.215 4.987 28.18 53.82 * * K2 6 56.83 16.154 6.595 39.88 73.79 * * P3 6 28.00 17.799 7.266 9.32 46.68 * * K3 6 50.50 21.305 8.698 28.14 72.86 * * P4 6 47.17 19.010 7.761 27.22 67.12 * * K4 6 39.50 5.788 2.363 33.43 45.57 * * P5 6 40.33 12.660 5.168 27.05 53.62 * * K5 6 40.67 19.633 8.015 20.06 61.27 * * P6 6 30.67 26.553 10.840 2.80 58.53 7 * K6 6 37.83 8.658 3.535 28.75 46.92 * * Total 72 42.11 22.062 2.600 36.93 47.30 7 *

(51)

HIDROPIS

Tukey HSD

Subset for alpha = .05

PERLAKUAN N 1 2 P1 6 24.17 P3 6 28.00 P6 6 30.67 30.67 K6 6 37.83 37.83 K4 6 39.50 39.50 P5 6 40.33 40.33 K5 6 40.67 40.67 P2 6 41.00 41.00 P4 6 47.17 47.17 K3 6 50.50 50.50 K2 6 56.83 56.83 K1 6 68.67 Sig. .203 .071

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

(52)

Descriptives

NEKROSA

95% Confidence Interval for Mean

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum

P1 6 75.50 27.668 11.295 46.46 104.54 * * K1 6 16.83 8.159 3.331 8.27 25.40 7 * P2 6 81.50 15.359 6.270 65.38 97.62 * * K2 6 23.33 5.922 2.418 17.12 29.55 * * P3 6 96.00 25.605 10.453 69.13 122.87 * * K3 6 38.67 10.801 4.410 27.33 50.00 * * P4 6 125.33 14.376 5.869 110.25 140.42 * * K4 6 36.17 5.742 2.344 30.14 42.19 * * P5 6 110.33 16.585 6.771 92.93 127.74 * * K5 6 50.00 6.870 2.805 42.79 57.21 * * P6 6 122.17 13.423 5.480 108.08 136.25 * * K6 6 44.17 9.559 3.902 34.14 54.20 * * Total 72 68.33 39.722 4.681 59.00 77.67 7 *

(53)

NEKROSA

Tukey HSD

Subset for alpha = .05

PERLAKUAN N 1 2 3 4 5 6 K1 6 16.83 K2 6 23.33 23.33 K4 6 36.17 36.17 K3 6 38.67 38.67 K6 6 44.17 44.17 K5 6 50.00 50.00 P1 6 75.50 75.50 P2 6 81.50 81.50 P3 6 96.00 96.00 96.00 P5 6 110.33 110.33 P6 6 122.17 P4 6 125.33 Sig. .094 .113 .153 .446 .061 .053

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

(54)

Descriptives

NORMAL

95% Confidence Interval for Mean

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum

PP1 3 58.00 14.000 8.083 23.22 92.78 * * PS1 3 58.00 12.490 7.211 26.97 89.03 * * KP1 3 73.00 21.000 12.124 20.83 125.17 * * KS1 3 72.67 47.816 27.606 -46.11 191.45 * * PP2 3 48.00 6.245 3.606 32.49 63.51 * * PS2 3 34.33 4.041 2.333 24.29 44.37 * * KP2 3 51.33 13.051 7.535 18.91 83.75 * * KS2 3 44.33 12.342 7.126 13.67 74.99 * * PP3 3 34.67 18.583 10.729 -11.50 80.83 * * PS3 3 42.00 35.679 20.599 -46.63 130.63 1 * KP3 3 61.67 24.379 14.075 1.11 122.23 * * KS3 3 72.67 26.274 15.169 7.40 137.94 * * PP4 3 28.33 43.155 24.915 -78.87 135.54 0 * PS4 3 26.33 33.486 19.333 -56.85 109.52 7 * KP4 3 52.00 8.660 5.000 30.49 73.51 * * KS4 3 57.67 13.577 7.839 23.94 91.39 * * PP5 3 38.33 8.386 4.842 17.50 59.17 * * PS5 3 26.33 11.930 6.888 -3.30 55.97 * * KP5 3 64.00 1.000 .577 61.52 66.48 * * KS5 3 52.33 25.580 14.769 -11.21 115.88 * * PP6 3 30.00 21.932 12.662 -24.48 84.48 6 * PS6 3 35.33 23.544 13.593 -23.15 93.82 * * KP6 3 81.33 3.055 1.764 73.74 88.92 * * KS6 3 80.67 25.502 14.723 17.32 144.02 * * Total 72 50.97 25.191 2.969 45.05 56.89 0 *

(55)

NORMAL Tukey HSD Subset for alpha = .05 PERLAKUAN N 1 PS4 3 26.33 PS5 3 26.33 PP4 3 28.33 PP6 3 30.00 PS2 3 34.33 PP3 3 34.67 PS6 3 35.33 PP5 3 38.33 PS3 3 42.00 KS2 3 44.33 PP2 3 48.00 KP2 3 51.33 KP4 3 52.00 KS5 3 52.33 KS4 3 57.67 PP1 3 58.00 PS1 3 58.00 KP3 3 61.67 KP5 3 64.00 KS1 3 72.67 KS3 3 72.67 KP1 3 73.00 KS6 3 80.67 KP6 3 81.33 Sig. .339

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

Referensi

Dokumen terkait

Unit produksi roti yang ada di SMKN 1 Kuningan sudah berjalan sejak tahun 2007 dengan koordinasi yang cukup baik dan dapat dikatakan sebagai industri kecil

Dari hasil tersebut sapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kecerdasan spiritual pada siswa SMA yang bersekolah di pesantren dengan siswa SMA yang bersekolah

Therefore, this study attempted to develop English speaking materials for the staff of Bank Mandiri in Yogyakarta using the principles of task- based learning.. The

yang mengacu ke berbagai substrala kebu dayaan Jawa yang terbentuk lanlararl per- gaulan wong Jawa dan orang dan kebu. dayaan

[r]

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari respon perbanyakan terubuk secara kultur jaringan dengan prosedur awal mengeksplorasi bagian tanaman yang dapat

Hasil pemeriksaan adanya badan Negri, lesi spongiform, dan perivascular cuffing pada otak bagian cerebellum , cerebrum, dan hippocampus pada masing-masing sampel kasus

Hasil dari penelitian ini yaitu lingko lodok adalah peninggalan leluhur orang Manggarai yang merupakan adaptasi dari bentuk rumah adat Manggarai yang berbentuk bundar/bulat