i
STUDI EKSPLORASI ETNOMATEMATIKA PADA LINGKO LODOK DALAM BUDAYA MASYARAKAT MANGGARAI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika
Oleh:
Amelia Yulivania Senudin NIM : 121414071
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iii
iv
“Langkas haéng ntala
-
uwa haéng wulang”
Menerima, menjalani dan melepaskan
(Nandik Subintarto)
Skripsi ini saya persembahkan kepada Tuhan Yesus
Kedua orang tua,
KaThy, Tho dan Goido,
Prodi Pendidikan Matematika,
Semua yang membaca skipsi ini,
vi ABSTRAK
Amelia Yulivania Senudin. Studi Eksplorasi Etnomatematika pada Lingko Lodok dalam Budaya Masyarakat Manggarai. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini membahas tentang eksplorasi etnomatematika pada lingko lodok sebagai hasil budaya masyarakat Manggarai. Penelitian ini memiliki tujuan
untuk mendeskripsikan lingko lodok dari sudut pandang budaya Manggarai dan dari sudut pandang matematika.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data yaitu melakukan wawancara langsung dengan subyek penelitian, dokumentasi dan studi pustaka. Wawancara dilakukan dengan empat orang narasumber yaitu tu’a golo Meler, sekretaris Desa Meler, staff Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai dan satu orang warga Desa Meler.
Hasil dari penelitian ini yaitu lingko lodok adalah peninggalan leluhur orang Manggarai yang merupakan adaptasi dari bentuk rumah adat Manggarai yang berbentuk bundar/bulat dan lingko lodok mengandung unsur matematika seperti sistem pengukuran tradisional, membilang, dan geometri.
vii ABSTRACT
Amelia Yulivania Senudin. 2016. Study Exploration about Ethnomathematics on Lingko Lodok in Manggaraian Culture. Mini Thesis. Yogyakarta: Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University.
This research discuss about the exploration of ethnomathematics at lingko lodok as the result of Manggaraian culture. This research is aimed to describe about
lingko lodok from Manggaraian culture viewpoint and mathematics viewpoint.
The design of this research was descriptive qualitative method. The technique of data collection was directly interview with subject of research, documentation, and it is complete with the theoretical framework. The interview was conducted with four interviewees, they are tu’a golo of Meler, a secretary of Meler village, a staff of Manggaraian Tourism Department, and one of Meler Villager.
The results of this research found that lingko lodok is one of the ancestor relic of Manggaraian which is an adaptation from a traditional house of Manggaraian which have the shape round or circle and lingko lodok contains elements of traditional measurement system such as math, counting, and geometry.
ix
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan berkat dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Studi Eksplorasi Etnomatematika pada Lingko Lodok dalam Budaya Masyarakat
Manggarai.
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat
banyak bimbingan, motivasi, dan semangat dari berbagai pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini,
penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
2. Bapak Dr. Marcellinus Andy Rudhito, S.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sanata
Dharma.
3. Bapak Dr. Hongki Julie, M.Si., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Matematika, Universitas Sanata Dharma.
x
pembimbing yang telah membimbing dan memotivasi penulis selama bimbingan untuk menyelesaikan skripsi.
5. Bapak/Ibu karyawan pada Sekretariat JPMIPA Universitas Sanata Dharma. 6. Bupati Manggarai, Camat Ruteng, dan Kepala Desa Meler yang telah
memberikan ijin kepada peneliti untuk melakukan penelitian di Desa Meler. 7. Bpk. Ambros Rima, Bpk. Robertus Unggut, Bpk. Gabriel F. Gembira, dan Bpk. Maksi yang telah bersedia menjadi subyek penelitian dalam skripsi ini.
8. Bapak Amir Senudin dan Mama Petronela Kurnia (epak dan emak) tercinta yang selalu mendukung, memberi semangat dan doa yang tiada henti kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
9. Kathy Senudin, Ka Pany Su, Tho Senudin dan Goido Kurniawan,
kakak-kakak dan adikku yang terus membantu dan menyemangati penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
10.Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Ka Sera Letuna dan
Ka Evan Lahur yang telah mempermudah peminjaman buku-buku referensi. 11.Nat Hagul, Etok Sampur, Ichal Belok yang sudah bersedia menemani dan
membantu selama penelitian berlangsung, memberi semangat, masukan dan saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
12.Sahabat - sahabat : Rista Barut, Mariani Dian, Trifosa Ester, Novika, Ar,
Gery, Wan, Nandik, Arby, Pepin, Acik, Epek, dan Teofilla, yang sudah menemani saya selama ini, memberikan dukungan, dan motivasi. Terima
xi
13.Masyarakat Desa Meler dan pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu, tetapi telah memberikan bantuan, dukungan dan perhatian sampai
skripsi ini selesai.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan. Untuk itu penulis
menerima segala bentuk kritik dan saran yang membangun untuk melengkapi skripsi ini. Penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN … ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... viii
KATA PENGANTAR. ... ix
1. Pengertian dan unsur-unsur kebudayaan ... 8
2. Budaya Manggarai ... 11
B. SISTEMPENGGARAPANTANAHULAYAT(TENTE TENO) ... 25
1. Arti tente teno ... 26
2. Latar belakang tente teno... 26
3. Proses tente teno ... 28
4. Hasil tente teno ... 29
5. Randang lingko ... 30
xiii
1. Hakekat matematika ... 31
2. Etnomatematika ... 32
D. MATERI ... 34
E. KERANGKABERPIKIR ... 35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 37
A. JENISPENELITIAN ... 37
B. WAKTUDANTEMPATPENELITIAN ... 37
C. SUBYEKDANOBJEKPENELITIAN ... 38
D. SUMBERDATA ... 38
E. JENISDATA ... 38
F. METODEDANINSTRUMENPENGUMPULANDATA... 39
G. TEKNIKANALISISDATA ... 40
H. PROSEDURPELAKSANAANPENELITIANSECARA KESELURUHAN ... 42
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 44
A. DESKRIPSIPELAKSANAANPENELITIAN ... 44
B. PENYAJIANDATA ... 45
C. ANALISISDATA ... 46
D. RINGKASANHASILANALISIS ... 83
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Wawancara dengan Tu’a golo Meler………...…………. 47
Tabel 4.2 Wawancara dengan Staf Pemerintahan ………..………. 58
Tabel 4.3 Wawancara dengan Dekretaris Desa Meler ……...………….. 76
Tabel 4.4 Wawancara dengan Warga Desa Meler ……...…..………….. 79
Tabel 4.5 Masa Pemerintahan Raja-Raja di Manggarai …..……… 98
Tabel 4.6 Pengukuran Tradisional ……… 109
Tabel 4.7 Kesetaraan Lingko Lodok dan Lingkaran ………. 114
Tabel 4.8 Keterkaitan Lingko Lodok dengan Matematika dari Segi
Geometri ………...
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Peta Provinsi NTT……….……… 12
Gambar 2. 2 Lingko Lodok ……….… 25
Gambar 2. 3 Sketsa Lingko Lodok ………. 29
Gambar 2.4 Lingkaran dan Bidang Lingkaran……….. 34
Gambar 2.5 Lingkaran dan Bagiannya……….. 35
Gambar 4.1 Sketsa Lodok……….. 88
Gambar 4.2 Penancapan Kayu Teno ………. 89
Gambar 4.3 Sketsa Langang Waga …….……….. 90
Gambar 4.4 Sketsa Lengker ……….. 90
Gambar 4.5 Sketsa Lance ………. 91
Gambar 4.6 Proses Pembagian Moso ……….…... 92
Gambar 4.7 Sketsa Pembuatan Langang Menggunakan Kayu …………. 92
Gambar 4.8 Sketsa Pembuatan Langang Menggunakan Tali………….... 93
Gambar 4.9 Sketsa Langang ………. 94
Gambar 4.10 Lingko Sembong ……..……….. 94
Gambar 4.11 Sketsa Lingko Sembong dan Lingko Salang Cue ………….. 96
Gambar 4.12 Lingko Sembong………. 113
Gambar 4.13 Lingkaran……. ………. 113
xvi
Gambar 4.15 Lengker ……….………. 116
Gambar 4.16 Langang Waga..……… 116
Gambar 4.17 Sketsa Langang ……….………… 117
Gambar 4.18 Lingko Sembong dan Lingko Salang Cue……….….. 118
Gambar 4.19 Kayu Teno pada Lodok ……….……… 118
Gambar 4.20 Atap Rumah Gendang yang Berbentuk Gasing ……… 123
Gambar 4.21 Kayu Teno pada Lingko Lodok yang Berbentuk Gasing... 123
Gambar 4.22 Atap Rumah Gendang yang Berbentuk Kerucut ………... 124
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan manusia dengan kebiasaaan-kebiasaannya yang sering
dilakukan dan turun temurun pada setiap generasi dalam suatu kelompok masyarakat tertentu lambat laun akan menjadi suatu budaya yang melekat dalam kelompok masyarakat tersebut, sehingga setiap kelompok
masyarakat bisa memiliki budaya yang berbeda-beda. Manusia bisa saja hidup berpindah-pindah tetapi budaya yang dianut atau dibuat dari lahir
tidak bisa dilupakan walaupun budaya dimana tempat ia tinggal bisa mempengaruhi kehidupannya. Untuk itu, manusia yang berbudaya harus bisa merekonstruksi hal-hal yang sangat esensial dari budaya tanpa
mengurangi nilai-nilai yang terkandung dalam budaya tersebut agar budaya yang dianut atau dibuat tidak hilang eksistensinya. Mempelajari dan
mengulas secara spesifik tentang kebudayaan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan hakikat makna, wujud serta fungsi yang dapat memberikan sumbangsih atau konstribusi dalam ilmu pengetahuan (Ndia,
2012).
Manusialah pelaku kebudayaan. Ia menjalankan kegiatannya untuk
sesuatu yang berharga dengan demikian kemanusiaannya semakin nyata (Bakker, 1984). Melalui kegiatan kebudayaan sesuatu yang sebelumnya hanya kemungkinan belaka bisa menjadi sesuatu yang berharga, unik, dan
sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian. Unsur-unsur
kebudayaan ini hampir dimiliki oleh semua kebudayaan di dunia, Indonesia salah satunya. Unsur-unsur ilmu pengetahuan misalnya berhitung, keahlian
praktis untuk pelayaran laut, pembuatan rumah adat, dll. Unsur teknologi misalnya kemampuan memakai panah, pelayaran dengan perahu cadik, menenun, membatik, dll; unsur agama misalnya animise, mitologi bulan dan
matahari, pemujaan roh nenek moyang, selamatan, penghormatan pepunden, dll; unsur kesenian misalnya wayang dengan lakon-lakon
purbakala, gamelan pelog; dan unsur bahasa misalnya mengolah sastra kecil, peribahasa, dongeng, pepatah, dll; serta unsur-unsur lainnya (Bakker,
1984).
Sebagai salah satu negara yang dikenal dengan keberagaman budaya yang memiliki keunikan tersediri dari setiap etniknya, budaya Indonesia
berkembang dari kesatuan daerah yang kecil mengarah ke kesatuan lokal yang luas. Seiring dengan berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan,
kebudayaan daerah mulai hilang eksistensinya bahkan bisa lenyap karena tidak adanya generasi yang bisa mempertahankan atau mewarisi kebudayaan daerah tersebut. Salah satu budaya asli Indonesia yang masih
bertahan hingga sekarang adalah budaya menggarap tanah ulayat (tente teno atau lodok uma weru) yang berasal dari Manggarai.
tanah ulayat baru. Budaya lodok uma weru ini menjadi unik karena dalam pembagiannya, lahan tidak dibagi dalam bentuk segiempat seperti biasanya,
namun dibagi dari sentral sebuah tanah ulayat, sehingga sekilas tanah ulayat masyarakat Manggarai berbentuk seperti jaring laba-laba. Selain itu, budaya
Manggarai yang masih bertahan hingga sekarang adalah rumah adat (mbaru gendang) di Wae Rebo yang berbentuk seperti kerucut, tenun ikat (lipa
songke), tarian caci, sastra lisan, perhitungan tradisional, tukar menukar
barang kebutuhan manusia dan lain sebagainya. Hal-hal yang berkaitan dengan budaya Manggarai dalam aplikasinya mengunakan kebiasaan atau
kepercayaan setempat akan suatu hal. Setiap hasil budaya yang dihasilkan mempunyai filosofi yang diyakini berkaitan dengan moral dan nilai-nilai
kehidupan masyarakat Manggarai yang dijadikan pedoman untuk hidup bersama yang lebih sejahtera dan rukun. Selain memiliki filosofi tersendiri, kebudayaan juga mengandung nilai-nilai atau unsur ilmu pengetahuan,
salah satunya adalah matematika. Sebagai ilmu, matematika berkaitan dengan pola, baik pola bilangan maupun pola dalam geometri. Hal ini juga
berhubungan dengan pada matematika yang ada dalam budaya Manggarai, hasil-hasil budaya masyarakat Manggarai sekilas berhubungan dengan matematika dalam pola-pola geometri seperti rumah adat (mbaru gendang)
di Wae Rebo yang bentuknya seperti kerucut, motif-motif tenun ikat (lipa songke), lingko lodok, dan lain sebagainya.
setiap pengetahuan dan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Manggarai. Masalah-masalah kontekstual yang ada di masyarakat
Manggarai banyak berkaitan dengan matematika yang secara sadar dan tidak sadar telah dilakukan sejak jaman leluhur masyarakat Manggarai dan
masyarakat Manggarai hanya mengikuti tradisi, kebiasaan dan budaya yang sudah dilakukan secara turun temurun dari leluhurnya. Pada hakekatnya matematika tumbuh dari keterampilan atau aktivitas lingkungan budaya,
sehingga matematika seseorang dipengaruhi oleh latar belakang budayanya (Pinxten, 1994). Matematika yang berkembang dalam lingkungan
masyarakat atau etnomatematika merupakan adanya penerapan matematika dalam budaya suatu etnik tertentu.
Berdasarkan paparan di atas, maka peneliti mengangkat permasalahan tersebut melalui sebuah penelitian yang berjudul “STUDI EKSPLORASI ETNOMATEMATIKA PADA LINGKO LODOK
DALAM BUDAYA MASYARAKAT MANGGARAI”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti mengidentifikasikan
masalah sebagai berikut:
1. Belum ada landasan ilmiah yang tertulis pada hasil-hasil budaya
masyarakat Manggarai.
2. Kebudayaan lokal yang mulai hilang eksistensinya seiring dengan
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, peneliti
membatasi masalah yang akan diteliti agar penelitian bisa terlaksana dengan baik, yaitu:
1. Lingko lodok yang akan diteliti adalah lingko lodok yang terletak di Desa Meler, Cancar, Kab. Manggarai.
2. Landasan ilmiah atau landasan matematika tentang geometri
(khususnya pada lingkaran dan poligon) yang berkaitan dengan lingko lodok.
3. Eksplorasi keterkaitan budaya lingko lodok dengan landasan matematika.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana lingko lodok dari sudut pandang budaya Manggarai?
2. Bagaimana hubungan/kaitan lingko lodok dengan matematika dari sudut
pandang matematika?
E. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan lingko lodok dari sudut pandang budaya Manggarai.
F. Batasan Istilah
Untuk menghindari terjadinya kesalahpamahan istilah, maka peneliti perlu
memberikan batasan istilah, yaitu:
1. Etnomatematika merupakan matematika yang diterapkan atau
digunakan oleh suatu kelompok etnik tertentu.
2. Lingko lodok merupakan tanah ulayat yang dibagikan kepada
masyarakat yang berbentuk seperti jaring laba-laba.
G. Manfaat Penelitian
Lingko lodok merupakan salah satu tradisi dalam pembagian tanah ulayat
untuk dikelola oleh masyarakat yang terdapat di daerah Manggarai Raya (Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Manggarai Tengah, dan Kabupaten Manggarai Timur) yang masih dilakukan sampai sekarang.
Penelitian diharapkan bisa bermanfaat untuk menambah wawasan dan kepustakaan mengenai penelitian etnomatematika, diantaranya:
1. Manfaat teoritis
Dalam bidang matematika, penelitian ini diharapkan bisa
memberikan sumbangsih yang berguna terhadap matematika agar memperkaya pengetahuan matematika yang telah ada.
2. Manfaat praktis
Dalam bidang budaya, penelitian ini diharapkan dapat
Dalam bidang pendidikan, penelitian ini diharapkan bisa menjadi
dasar adanya penerapan budaya yang menjadi salah satu metode pembelajaran di sekolah khususnya pelajaran matematika, agar pembelajaran lebih bervariasi dan budaya Manggarai tetap bisa
dilestarikan dan dikembangkan.
Dalam bidang pariwisata dan pemerintah daerah, dimanfaatkan
8 BAB II
KAJIAN PUSTAKA A. Budaya Manggarai
1. Pengertian dan unsur-unsur kebudayaan
1.1.Pengertian
Koentjaningrat (1990: 181) mengartikan kata kebudayaan atau dalam bahasa Inggris culture berasal dari bahasa Sansekerta yaitu
buddhayah. Kata buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari
budi, dapat diartikan sebagai budi atau akal. Kebudayaan juga dapat
diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal.
Bakker (1984: 22) mendefinisikan bahwa kebudayaan adalah
keseluruhan penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani. Sedangkan dari segi antropologi kebudayaan dalam Subagyo dan Sudartomo (2009: 323) menyatakan bahwa kebudayaan
diartikan sebagai tata kehidupan, way of life, kelakuan. Dari situ dapat diartikan bahwa semua hal yang berkaitan dengan hasil
ciptaan manusia sebagai subyek masyarakat adalah kebudayaan. 1.2.Unsur–Unsur kebudayaan
Unsur-unsur kebudayaan menurut J.W.M. Bakker (1984: 37-50)
1.2.1. Kebudayaan subjektif
Dipandang dari aspirasi fundamental yang ada pada manusia,
nilai-nilai batin dalam kebudayaan subjektif terdapat dalam perkembangan kebenaran, kebajikan dan keindahan.
1.2.2. Kebudayaan objektif
Nilai-nilai objektif yang disebut juga hasil kebudayaan, alat, aspek-aspek dan unsur-unsur kebudayaan itu dapat
disistematisasikan menurut beberapa prinsip pembagian seperti berikut:
1.2.2.1. Ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan meliputi sains (ilmu-ilmu eksakta) dan
humaniora (sastra, filsafat, sejarah, dll). 1.2.2.2. Teknologi
Berdasarkan pengetahuan alam, terknik bertujuan untuk
memfaedahkan sumber-sumber alam agar terjaminlah makanan, perumahan, komunikasi, dll yang perlu untuk
derajat hidup yang layak. 1.2.2.3. Kesosialan
Kesosialan sebagai sifat, unsur, asas, dan alat
demikian erat berhubungan dengan kebudayaan, sehingga hanya dapat dibedakan secara konseptual saja.
makmur, desa dan kota, bangsa dan negara. Bahasa, dengan wujud ilmu komunikasi dan kesusteraan
mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel, dan lain sebagainya.
1.2.2.4. Ekonomi
Lapangan ekonomi lazimnya dibagi dalam tiga sektor, dan yang masing-masing sektor mencerminkan
dengan cukup baik corak suatu kebudayaan dan orientasi pokoknya. Tiga sektor tersebut saling berkaitan satu
sama lain dan melengkapi kehidupan manusia sehingga kehidupan manusia terus meningkat ke arah yang lebih
baik.
Sektor primer mencurahkan tenaga ekstraksi yang terdiri atas pertambangan, pertanian, peternakan, dan
perikanan. Sektor sekunder mengolah bahan mentah yang diproduksi dalam sektor primer dan meliputi
industri, kerajinan dan pembangunan. Sektor tersier meliputi segala macam pelayanan kepada masyarakat, meliputi pencaharian, distribusi, komunikasi, hukum,
1.2.2.5. Kesenian
Kesenian meliputi seni rupa, seni suara, seni tari, seni
sastra dan dramatik. 1.2.2.6. Agama
Agama sebagai sistem obyektif, terdiri dari bahan ajaran (pasal-pasal iman), peraturan (moral), dan
upacara-upacara (ibadat) yang menjawab kepada tuntutan zaman.
2. Budaya Manggarai
2.1. Letak Geografis – Topografi dan Iklim
Manggarai adalah suatu daerah yang terletak di barat pulau Flores, NTT. Dulunya Manggarai hanya satu kabupaten, tetapi sekarang Manggarai telah dimekarkan menjadi tiga kabupaten
(Nggoro, 2006: 23), yaitu Manggarai Timur (Borong), Manggarai (Ruteng), Manggarai Barat (Labuan Bajo). Terpecahnya Manggarai
menjadi tiga kabupaten tidak menjadi masalah dalam rasa persaudaraan, budaya, dan kecintaan terhadap Manggarai.
Adapun letak geografis daerah Manggarai yaitu sebagai berikut:
1. Bagian timur dibatasi oleh Kabupaten Ngada, 2. Bagian barat dibatasi oleh Selat Sape,
3. Bagian utara dibatasi oleh Laut Flores,
Berdasarkan data makro/pola umum pembangunan NTT
(Rahmat, 1985: 8-9), Manggarai dapat di kategorikan sebagai berikut:
1. Manggarai terbentuk sejak zaman mesozoikum (140 juta tahun lalu) dan terus ke zaman tertier (lebih dari 65 juta tahun yang lalu) dan kuarter (lebih dari 600.000 tahun yang lalu). Bahannya
terdiri dari bahan endapan vulkanik.
2. Dari segi topografi Manggarai adalah daerah yang berbukit,
bergunung dan sebagiannya dataran (padang). Dulu, moyang Manggarai mendirikan rumah-rumah (kampung) di bukit atau
gunung sehingga kampung itu dalam bahasa Manggarainya ialah beo atau golo lonto. Golo artinya: bukit, gunung, kris. Mereka
mendirikan kampung di bukit/gunung supaya terhindar dari serangan musuh. Verheijen (1991:23) menyatakan bahwa
dapatlah dimengerti bahwa orang Manggarai mendirikan kampungnya jauh dari pantai atau di pedalaman.
3. Manggarai tergolong memiliki iklim kering. Musim hujan
berkisar antara bulan Desember/Januari sampai Maret/April, sedangkan musim kemarau berkisar antara bulan Mei/Juni
sampai bulan Oktober/November. 2.2. Unsur-unsur Kebudayaan Manggarai
2.2.1. Struktur dan kehidupan sosial
Sistem kekerabatan yang berlaku di Manggarai bersifat patrilineal (garis keturunan ayah) (Verheijen, 1977: 99). Dari
segi keturunan, seluruh warga wa’u masih dibedakan atas berbagai kelompok, yaitu: kelompok keturunan sulung (wae tu’a), kelompok keturunan sesudahnya (wae shera), dan
kelompok keturunan bungsu (wae koe). Selain kekerabatan dari segi keturunan, kekerabatan dapat terjadi akibat perkawinan
(woe nelu), yaitu keluarga pemberi gadis disebut anak rona dan keluarga penerima gadis disebut anak wina. Dalam sistem
sangat dihargai oleh anak wina dalam berbagai urusan adat, baik itu perkawinan maupun kematian.
Perkawinan antara muda mudi di Manggarai dapat terjadi antara pasangan yang berasal dari keturunan yang sama (bukan
kandung) (Deki, 2011: 65). Selain perkawinan, ada juga acara kematian (tae mata) yang dikhususkan pada kematian manusia. Tae mata mempunyai susunan acara yang cukup lengkap, yaitu:
sejak kematian sampai malam saung ta’a (acara perpisahan secara resmi antara keluarga yang masih hidup dengan yang
sudah meninggal), dan kelas (pesta kenduri) (Nggoro, 2006: 167). Pada prosesi kelahiran, dikenal dengan adanya deklarasi
bayi yang baru lahir dengan munculnya istilah entap dinding/entap siding yang berarti memukul sekat/bilik rumah
pada kamar keluarga yang sedang bersalin dengan sebutan
istilah ata one (sebutan untuk anak laki-laki) yang berarti orang dalam karena akan tinggal di kampung halaman dan mendapat
warisan dari orang tua atau ata pe’ang (sebutan untuk anak perempuan), yang berarti orang luar karena setelah menikah, anak perempuan akan mengikuti suaminya.
Pelapisan sosial dalam masyarakat Manggarai pada zaman dahulu terdiri atas tiga lapisan, yaitu golongan keraeng
yang dianggap mempunyai sifat keaslian, senioritas, atau pengaruh politis. Ada juga lapisan-lapisan yang diklasifikasikan
ke dalam status dan strata sosial yang sama seperti Dalu dan Gelarang.
Ada beberapa tetua adat yang ada di masyarakat Manggarai yang menjadi penguasa atau pemimpin tradisional masyarakat Manggarai dalam suatu kampung (béo/golo) menurut Nggoro
(2006: 76-81), yaitu:
2.2.1.1. Tu’a kilo/Tu’a Panga
Tu’a kilo/tu’a panga (tu’a = ketua, kepala; kilo =
keluarga, pasangan hidup, takaran; panga = cabang kayu, ranting). Istilah tu’a kilo/tu’a panga merujuk kepada jabatan
pemimpin adat dalam masyarakat yang dipilih bersama, atau bisa berarti sebagai kepala keluarga tingkat ranting (kepala
subklan) dalam suatu kampung.
Untuk menjabat sebagai tu’a kilo/tu’a panga mestinya
memahami budaya, mampu berbicara, menetapkan adat istiadat yang tepat, arif dan bijaksana sudah menikah, mampu memimpin, dan tak memandang usia.
Dalam penerapannya, keluarga ranting (subklan) bersatu dan mempunyai tanggung jawab yang sama dalam urusan
ulayat baru), pande kintal beo (membuat pagar kompleks kampung).
2.2.1.2. Tu’a golo
Tu’a golo terdiri dari dua kata yaitu tu’a yang berarti
ketua, kepala, pemimpin dan golo yang berarti bukit, gunung, kris. Tu’a golo berarti kepala pemerintahan kampung. Kriteria untuk menjadi tu’a golo adalah sudah
mencapai usia dewasa, sudah menikah, orang asli kampung tersebut, sehat jasmani maupun rohani, memahami adat
Manggarai, mampu memimpin, yang dipilih berdasarkan musyawarah dan mufakat warga kampung atau antara tu’a -tu’a kilo, dan bisa juga dipilih secara aklamasi.
Tugas dan wewenang tu’a golo adalah untuk memimpin sidang warga kampung menyangkut kepentingan warga
kampung misalnya dalam hal membuat pagar kompleks kampung, mengadakan rehabilitasi rumah adat/membangun
rumah adat (pande cuwir kole mbaru tembong/ pande mbaru tembong weru), bersih kubur (we’ang boa), membersihkan air minum (barong wae teku).
2.2.1.3. Tu’a teno
Tu’a teno adalah kepala pembagian tanah ulayat. Tu’a berarti ketua/kepala; teno berarti kayu teno. Tu’a teno dipilih
dari kerabat lain. Tuan tanah adalah pemilik tanah dalam arti (merekalah) yang pertama tinggal, menetap di lokasi atau
sekitar tanah tersebut, sehingga dapat mamahami status kepemilikan tanah, sejarah tanah tersebut, dan biasanya
menjadi tu’a teno. Tu’a teno haruslah memiliki sikap demokrasi, fleksibel seperti ciri-ciri kayu teno yang elastis. 2.2.1.4. Tongka
Arti kata tongka adalah takaran dan juru bicara perkawinan. Kata tongka bisa digunakan dalam dua aspek
pada bahasa Manggarai. Sebagai arti juru bicara perkawinan, tongka sering dilibatkan dalam acara perkawinan baik dari
keluarga laki-laki maupun keluurga perempuan yang bertugas untuk mewakili masing-masing keluarga besar dalam acara pernikahan.
2.2.2. Ilmu pengetahuan
Masyarakat Manggarai sejak dulu sudah mengenal sastra
khususnya sastra lisan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sastra lisan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam masyarakat Manggarai. Ada dua bentuk sastra yang sudah
menjadi lazim, yakni prosa naratif yang terungkap dalam berbagai kisah rakyat (tombo nunduk dan tombo turuk) dan puisi
(dere) rakyat (Janggur, 2010). Sejarah lisan maupun tradisi lisan merupakan sebuah perilaku budaya yang harus dilakoni setiap
warga generasi sebagai jati diri sejarah tanah air dan keturunannya (Jacob, 1990: 442).
2.2.3. Bahasa Manggarai
Bahasa Manggarai menjadi umum dan hampir dikuasai oleh semua orang Manggarai di berbagai wilayah. Menurut KoO
(1984: 25), pembagian bahasa di Manggarai dapat ditelusuri dari
klasifikasi kata “tidak”. Masyarakat Manggarai Tengah dan
Manggarai Barat menggunakan kata toe untuk mengatakan tidak, masyarakat Rongga menggunakan kata mbaen, sedangkan
masyarakat Rembong menggunakan kata pae. Perbedaan yang lebih mencolok terletak pada kosa kata, dialek, dan konsonan-vokal yang dimiliki tiap daerah.
2.2.4. Teknologi
Masyarakat Manggarai di masa lalu sudah mengenal bahkan
mampu menghasilkan peralatan atau perkakas yang dibutuhkan untuk kehidupannya. Begitupun teknologi pembuatan minuman tradisional juga sudah dikenal di masyarakat Manggarai, yakni
proses pembuatan atau mencampur air enau dengan kulit damar sehingga menghasilkan alkohol berkadar tinggi seperti arak atau
misalnya londek jembu yaitu pucuk daun jambu untuk mengobati sakit perut, kayu sita untuk pengombatan disentri.
Ada beberapa unsur yang termaksud dalam peralatan dan teknologi Manggarai menurut Dagur (1990), yaitu:
1) rumah adat (mbaru tembong atau mbaru niang) yang berbentuk kerucut dan bersegi lima yang terdiri atas tiga bagian utama, yaitu ngaung (bagian bawah rumah yang memiliki
kolong), bate ka’eng (tempat tinggal), dan wuwung (atap) yang terbuat dari ijuk untuk atapnya, dan papan untuk dindingnya. 2)
alat-alat produksi tradisional, meliputi: kope (parang), beci (tofa), ngencung (lesung), alu, lewing tana (periuk dari tanah
liat). 3) senjata untuk berperang, meliputi: kope banjar (parang panjang), korung dan vokad (rombak), kiris (keris), panah. 4) pakaian dan perhiasan, meliputi baju dan kain (lipa) seperti baju
kembiang, towe mbiris, selendang slampe, towe songke, sapu curuk, lalong-ndeki, golo, dan nggorong (Verheijen, 1977: 54).
Sedangkan perhiasan yang dipakai seperti gelang (nekar, cake, meloso), tuni mbero, tubi rapa, anting-anting, bali-belo (hiasan
kepala wanita seperti mahkota), luju dan retu. 5) berbagai bentuk
wadah, meliputi: langok, joreng, cecer (tempat penyimpanan padi atau jagung yang berukuran besar), roto atau beka (wadah
transportasi umumnya menggunakan tenaga sendiri, hewan (kerbau atau kuda) dan sampan.
2.2.5. Sistem mata pencaharian
Masyarakat Manggarai sebagian besar bermata pencaharian
sebagai petani. Tahah yang digarap oleh orang Manggarai adalah unik adanya. Tanah ulayat dalam istilah Manggarai disebut lingko dan menggarap tanah ulayat disebut tente teno. Tente
teno/lodok uma weru berarti membuka kebun bundar/ kebun
ulayat baru oleh sekelompok masyarakat atau suatu warga
kampung yang dipimpin oleh tua teno (kepala pembagi tanah ulayat) (Nggoro, 2006). Terdapat tiga jenis aktivitas yang
berkaitan dengan mata pencaharian masyarakat Manggarai, yaitu: bekerja di ladang atau sawah, berburu, beternak.
2.2.6. Kesenian
Menurut Nggoro (2006), kesenian masyarakat Manggarai yang berupa seni pertunjukkan diekspresikan melalui seni
musik, seni tari, dan seni rupa. Di Manggarai juga tumbuh dan berkembang berbagai jenis kesenian khas daerah ini seperti seni pertunjukan (tari, musik, nyayian), seni arsitektur (rumah),
2.2.6.1. Seni pertunjukan 2.2.6.1.1. Caci
Menurut Nggoro, nama caci sendiri berasal dari dua kata yaitu "ca" yang berarti satu dan "ci" artinya uji. Jadi caci
bermakna uji satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah. Kelengkapan caci adalah perisai (giliq), tali (larik) yang kemudian digunakan sebagai cambuk serta
pelindung kepala (pangga).
Caci sudah merupakan puncak kebudayaan Manggarai
yang unik dan sarat makna: seni gerak (lomes), nilai etika (sopan santun), nilai estektika, muatan nilai persatuan,
ekspresi sukacita, nilai sportivitas, serta penanaman percaya diri. Tarian caci biasanya dilagakan di depan rumah adat, antara Mbaru gendang dan Compang dan ditarikan atau
dimainkan oleh para lelaki (ata reba). Diiringi musik dari gong dan gendang, sebagian besar pemusiknya adalah kaum
hawa, dan sekelompok orang memainkan danding (lagu dan tarian).
2.2.6.1.2. Tari-tarian dan Nyayian
Tari-tarian yang terdapat dalam budaya Manggarai adalah Tarian Rangkuk Alu, Sae, Ronda, Tarian Dundung
2.2.6.1.3. Alat musik
Alat musik yang digunakan dalam budaya orang
Manggarai adalah gong dan gendang. 2.2.6.2. Kerajinan
2.2.6.2.1Tenun ikat
Tenun ikat yang dimiliki oleh orang Manggarai biasa disebut dengan lipa songke. Songke ini sendiri tidak hanya
bisa dijadikan sarung (lipa songke), tetapi juga bisa dijadikan selendang songke, topi songke (songkok), dan banyak
jenisnya. Kain songke adalah hasil kerajinan tangan wanita Manggarai (Dagur, 1990).
Menurut Dagur (1990), Warna dasar hitam pada songke melambangkan sebuah arti kebesaran dan keagungan orang Manggarai serta kepasrahan bahwa semua manusia akhirnya
akan kembali pada Yang Maha Kuasa, sedangkan aneka motif pada kain songke mengandung banyak makna sesuai
motif itu sendiri seperti motif wela kawong bermakna interdependensi antara manusia dengan alam sekitarnya. Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja
keras. Motif ju’i (garis-garis batas) pertanda keberakhiran segala sesuatu, yaitu segala sesuatu ada akhirnya, ada
atau etos bahwa orang Manggarai bagaikan bunga kecil tapi memberikan keindahan dan hidup di tengah-tengah kefanaan
ini.
2.2.6.2.2Anyaman
Kerajinan wanita-wanita Manggarai lainnya selain lipa songke adalah anyaman dari daun pandan seperti loce (tikar),
tange (bantal), lancing (tempat menyimpan hasil pertanian),
luni (karung kecil), potang (sarang ayam), doku (tempat
tampi beras) (Nggoro, 2006).
2.2.7 Seni arsitektur 2.2.7.1Mbaru gendang
Mbaru gendang (mbaru: rumah). Mbaru gendang biasa
juga disebut dengan mbaru tembong (tembong: gong). Arti budaya mbaru gendang atau mbaru tembong adalah rumah
adat yang berbentuk kerucut (niang).
Konstruksi mbaru tembong ini beratapkan ijuk (wunut)
yang berbentuk sepeti kerucut, di ujung atap rumah dipasang tanduk kerbau (rangga kaba). Simbol ini sebagai lambang kejantanan dan betapa pentingnya kerbau dalam aktivitas
orang Manggarai. Selain itu, mbaru tembong ini digunakan untuk rapat umum warga kampung dan dibangun cukup
mbaru tembong langsung berhadapan dengan halaman
kampung (natas), dan berdekatan dengan compang (tempat
sesajian ditengah kampung) (Nggoro, 2006: 31-32). 2.2.7.2Compang
Compang merupakan tempat sesajian yang terletak di
halaman kampung atau sekitarnya. Compang berbentuk lingkaran yang menyerupai meja persembahan, terbuat dari
tumpukkan tanah dan batu-batuan. Di tengah compang tumbuh pohon besar (langke).
2.2.8 Kepercayaan
Masyarakat Manggarai pada tempo dulu menganut
kepercayaan animisme dan dinamisme (percaya pada roh-roh halus/dewa) (Nggoro: 2006). Diyakini bahwa roh halus itu tinggal di pohon-pohon besar (langke) seperti di sumber air (one
ulu wae), di rawa-rawa (one temek), dan di hutan lebat (puar
mese/poco), sehingga tempat tersebut dianggap mempunyai
sumber kekuatan yang disebut pong (Verheijen, 1991:233). Kemudian leluhur orang Manggarai berupaya menanam kembali bibit pohon besar itu (langke) agar tumbuh di tengah kampung
B. Sistem penggarapan tanah ulayat (tente teno)
Berbicara tentang tanah ulayat hampir sama di setiap daerah. Akan tetapi proses menggarap tanah ulayat berbeda-beda di setiap daerah,
termasuk istilah budaya yang digunakan dalam kaitan tanah ulayat tersebut. Istilah tanah ulayat di daerah Manggarai dikenal dengan sebutan lingko dan menggarap tanah ulayat (lingko) dikenal dengan istilah tente teno.
Berikut akan diuraikan empat hal penting dalam proses tente teno menurut Nggoro (2006: 179-186).
1. Arti tente teno
Tente teno terdiri dari dua kata yaitu tente yang berarti tanam,
menanam dan teno yang berarti nama sejenis kayu yaitu kayu teno. Tente teno memiliki arti membuka kebun bundar/kebun ulayat baru oleh
sekelompok masyarakat atau suatu warga kampung yang dipimpin oleh tu’a teno. Sinonim kata tente teno adalah lodok uma weru.
Lodok berarti sentral tanah ulayat (lingko) yang akan menjadi titik
awal pembagian lahan. Pada lodok inilah diadakan tente teno. Hanya satu lodok untuk satu tanah ulayat.
2. Latar belakang tente teno 2.1. Haju teno (kayu teno)
Ada beberapa keunikan dan kelebihan kayu teno, yaitu:
2.1.1 Bentuk batangnya/pohonnya lurus (heluk), menurut paham orang/moyang Manggarai bahwa ciri kayu teno yang lurus itu
adalah simbol sikap jujur, dapat dipercaya oleh orang lain (imbi lata laing).
2.1.2 Kayu teno kurang bercabang (toe danga manga panga) artinya proses pembagian tanah ulayat (lingko) dilandasi rasa keadilan.
2.1.3 Bila daunnya gugur, dapat menyuburkan tanah; juga memiliki batang pohon yang halus, lembut (hemel). Artinya,
kesabaran, tidak otoriter, tidak ada rasa dengki, dan tidak cemburu dalam hal membagi tanah.
2.1.4 Memiliki kulit kayu yang tebal (loke haju kimpur). Kulit kayu yang tebal itu dapat digunakan sebagi tali rentang batas
pembagian tanah setiap peserta yang berhak mendapat pembagian tanah. Makna kulit kayu itu dalam konteks budaya Manggarai adalah agar tanah yang digarap itu dijauhkan dari
segala penyakit, hama wereng tanaman, agar kiranya tanah tersebut mendatangkan hasil panen yang berlimpah.
2.2 Ruha manuk kampung/beo (telur ayam kampung)
Menurut tradisi moyang Manggarai, telur itu merupakan simbol
dari tuak robo (minuman alkohol dari pohon enau yang tersimpan di robo). Dahulu moyang Manggarai memakai robo untuk menyimpan
minuman tuak robo itu dan motif robo menyerupai bentuk telur
ayam.
Tuak robo dalam tente teno dilambangkan sebagai
penghormatan, penghargaan terhadap roh-roh/jin/leluhur yang dianggap empunya tanah, agar mereka dapat memberi berkat, mendatangkan hasil yang berlimpah dari hasil kerja pada tanah
ulayat itu.
Berkaitan dengan telur ayam yang disajikan waktu membuka
busuk yang memiliki arti simbol penghormatan harus dari hati yang bersih dan jujur.
2.3 Saung ngelong
Saung ngelong adalah daun ngelong yang berciri khas berdaun tipis,
kecil, dan tumbuh di tempat-tempat yang lembab, tanah humus, dan subur. Penggunaan saung ngelong ini memiliki arti, kebun yang akan digarap senantiasa subur, berhumus, agar semua tanaman dapat
tumbuh dengan subur dan mendatangkan hasil yang berlimpah.
3. Proses tente teno
Proses tente teno dimulai dengan menancapkan kayu teno yang memiliki panjang satu meter di atas permukaan tanah, satu butir telur ayam kampung, dan segenggam daun ngelong, kemudian di sekitar kayu
teno dibuatkan pagar kecil yang jumlahnya sesuai dengan jumlah peserta yang mendapat pembagian tanah ulayat tersebut. Tali
direntangkan dari kayu teno sebagai pilar sentral itu ke setiap pagar-pagar kecil dan panjang pagar-pagar kecil itu harus sama dengan panjang kayu teno. Dari tiang kayu teno tersebut direntangkan tali pada setiap pagar
kecil itu masing-masing sampai batas terluar area tanah (cicing) sehingga dengan demikian dapat membentuk area pembagian tanah
4. Hasil tente teno
4.1 Moso adalah lokasi pembagian tanah yang dimiliki secara
perorangan.
4.2 Lodok adalah titik awal membagi tanah ulayat (lingko). Hanya satu lodok untuk satu tanah ulayat. Lodok letaknya di tengah area tanah
ulayat, diharapkan panjang/luas ukuran tanah pembagian setiap orang diupayakan sama ukurannya atau hampir sama. Bisa
berbeda apabila bentuk tanahnya tak simetris. Lodok mestinya dikosongkan (tidak diolah) untuk dijadikan sebagai tempat sesajian.
.
Moso
Cicing
Gambar 2.3 Sketsa lingko lodok dan bagian-bagiannya Lodok
Galong
Banta
4.3 Cicing adalah batas ujung, luar tanah. Pada batas terluar tanah yang dimaksud yakni dibatasi oleh tanah milik pribadi atau tanah
ulayat lain. Oleh karena itu, agar tidak terjadi perebutan batas cicing, dan agar tak masuk binatang yang merusak tanaman, maka
bagian cicing tanah ulayat harus dibatasi dengan pagar (kena) dan atau got (ngali).
4.4 Banta artinya pematang yang berfungsi untuk menahan erosi,
sehingga tanah tetap humus dan subur.
4.5 Galong artinya petak. Galong ialah pecahan-pecahan dari
pembagian tanah. Ukuran satu galong hampir sama ukuran atau kapling tanah. Batas antara galong yang satu dengan galong yang
lain disebut banta/pematang.
4.6 Langang artinya batas. Langang adalah batas area tanah pembagian antara seorang demi orang dalam satu tanah ulayat dan
antara seorang/tanah ulayat dengan tanah ulayat lainnya.
5. Randang lingko
Randang lingko adalah upacara adat persembahan, syukuran,
sesajian kepada leluhur/roh yang dianggap empunya tanah dengan mengorbankan seekor kerbau jantan dalam hal membuka kebun
bundar/tanah ulayat baru.
Pada saat randang lingko juga dihadiri oleh kelompok-kelompok masyarakat sekitarnya (batas terdekat tanah ulayat itu). Tujuan
merekalah saksi jika tanah ulayat lain menyangkut status tanah ulayat itu. Tak semua pembukaan tahan ulayat melaksanakan randang lingko.
Semuanya tergantung kesanggupan masyarakat.
C. Etnomatematika
1. Hakekat matematika
Matematika dalam penggunaannya tidak pernah terlepas dari kehidupan sehari-hari. Masalah-masalah kontekstual yang sering terjadi
bisa diselesaikan menggunakan matematika. Awal ditemukannya matematika tidak bisa ditentukan, secara sadar ataupun tidak sadar,
semua orang menggunakan matematika dalam kehidupannya. Menurut Berlinghoff dan Gouvea (2004),
”anthropologist have foud many prehistoric artifacts that can, perhaps be interpreted as mathematical. The oldest such artifacts were found in Africa and date as far back as 37.000 years. They show that men and women have been engaging in mathematical activities for a long time. Modern anthropologists and the students of ethnomathematics also observe that many cultures around the world show a deep awareness of form and quantity and can often do quite sophisticated and difficult things that require some mathematical understanding. These range all the way from laying out a rectangular, base for a building to devising intricate patterns and design in weaving, basketry, and other crafts.”
Matematika dapat dipandang dalam tiga identitas, yaitu (Didi, 2014):
1.1. Matematika sebagai suatu kumpulan alat (kumpulan metode)
persoalan di dunia, termasuk persoalan pada berbagai bidang ilmu lain, misalnya fisika, kimia, ekonomi, dll.
1.2. Matematika sebagai suatu ilmu
Matematika sebagi ilmu diartikan sebagai ilmu tentang pola
dan struktur yang berlandaskan pada logika. Aktivitas matematika sebagai ilmu adalah aktivitas yang di dalamnya terjadi proses pengabstraksian dari pengalaman nyata dalam kehidupan
sehari-hari ke dalam matematika atau sebaliknya, meliputi aktivitas mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan
atau alat, membuat pola, membilang, menentukan lokasi, bermain, menjelaskan, dan sebagainya.
1.3. Matematika sebagai suatu bahasa, matematika dapat dipandang sebagai suatu perangkat aturan dan lambang yang dapat digunakan untuk berkomunikasi secara efektif dan efisien. Contoh: untuk
menyampaikan pikiran bahwa “tiga ditambah empat sama dengan
tujuh”, orang biasa menulis “3+4 = 7”, demikian juga untuk
menyampaikan informasi bahwa “produksi suatu pabrik
mengalami kenaikan”, orang biasa menggambarkan dengan
grafik.
2. Etnomatematika
Istilah etnomatematika pada dasarnya diperkenalkan oleh seorang
yang ditulis oleh Rosa dan Orey (2011) menjelaskan etnomatematika sebagai berikut,
“the prefix “ethno” is today accepted as a very broad term that refers to the socialcultural context and therefore language, jargon, and codes of behavior, myths, and symbols. The derivation of “mathema” is difficult, but tends to mean to explain, to know, to understand, and to do activities such as ciphering, measuring, classifying, inferring, and modeling. The suffix “tics” is derived from techné, and has the same root as technique.”
Chemiller (dalam Assayag, 2002: 161) mendefinisikan.
“ethnomathematics is a new that has arisen during the last two decades, at the crossroad between history of mathematics and mathematics education. This domain consists in the study of mathematical ideas shared by orally transmitted cultures. Such ideas are related to number, logic and special configurations.” Selain itu, Chemiller juga menjelaskan bahwa
“the effort made by ethnomathematicians in order to correct erroneous theory on the ability of human thought to think abstractly or logically rely greatly on the work of former ethnologists who have recorded information involving mathematical ideas while doing field work at the end of the nineteenth or during the twenrieth century. Not being especially engaged with mathematicsin their own culture, these ethnologists did not extract the whole mathematical content of their recorded material. “
Selain Chemiller, Gerdes dalam artikel Tandililing (2013) mengatakan bahwa etnomatematika adalah matematika yang diterapkan oleh kelompok budaya tertentu, kelompok buruh/petani, anak-anak dari
masyarakat kelas tertentu, kelas-kelas professional, dan lain sebagainya. Pixten (1994) mengatakan bahwa pada hakekatnya matematika
D. Materi
1. Lingkaran
1.1 Lingkaran dan bagain-bagiannya
Lingkaran adalah himpunan semua titik di bidang yang berjarak sama
terhadap suatu titik tertentu. Titik tertentu itu kemudian disebut titik pusat lingkaran (I Putu, 2014). Sebuah lingkaran dinamakan menggunakan titik pusatnya. Pada gambar 2.4, titik O adalah titik pusat
lingkaran atau lingkaran dengan titik pusat O.
Unsur-unsur lingkaran
Perhatikan lingkaran dibawah ini yang berpusat di O Gambar. 2.4 Lingkaran dan daerah lingkaran
.
Gambar 2.5 Lingkaran dan bagian-bagiannya O
A a
B
b
Berdasarkan gambar 2.5 diatas, terdapat unsur-unsur lingkaran sebagai berikut :
a. AB̅̅̅̅ merupakan diameter lingkaran.
b. �̅̅̅̅, �̅̅̅̅,dan �̅̅̅̅ merupakan jari-jari lingkaran.
c. Garis lengkung AB, AC dab BC merupakan busur lingkaran yang
dinotasikan dengan AB̂, AĈ, dan BĈ.
d. ̅̅̅̅ dan ̅̅̅̅ merupakan tali busur lingkaran. e. Daerah a merupakan juring lingkaran. f. Daerah b merupakan tembereng.
2. Poligon Sembarang dan Lingkaran Definisi (I Putu, 2014)
a. Poligon dalam atau poligon tali busur pada suatu lingkaran adalah poligon yang titik-titik sudutnya berada pada lingkaran. Lingkarannya disebut lingkaran luar dari poligon.
b. Poligon luar atau poligon garis singgung suatu lingkaran adalah poligon yang masing-masing sisinya menyinggung lingkaran. Lingkarannya disebut lingkarandalam dari poligon.
E. Kerangka Berpikir
Peneliti melakukan penelitian ini dengan alasan ingin mengetahui dan
mendeskripsikan keterkaitan lingko lodok dari sudut pandang budaya dan matematika yang ada di masyarakat Manggarai khususnya masyarakat Desa
hasil penelitian ini bisa menjadi salah satu metode dalam pembelajaran matematika di sekolah agar pembelajaran matematika bisa lebih bervariasi
37 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif
eksploratif yang berarti bahwa peneliti ingin menggali secara luas tentang sebab-akibat atau hal-hal yang mempengaruhi terjadinya sesuatu (Suharsimi, 2012).
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif karena peneliti ingin menggambarkan dan menguraikan secara
rinci dan mendalam mengenai etnomatematika dalam budaya Manggarai khususnya mengenai lingko lodok. Selain itu, peneliti juga ingin mengetahui hubungan atau kaitan antara lingko lodok dan matematika dari segi budaya
dan dari segi matematika sebagai ilmu pengetahuan.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Penelitian ini dilakukan di Desa Meler, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, NTT.
2. Pengumpulan data penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli
C. Subyek dan Objek Penelitian 1. Subyek penelitian
Subyek penelitian ini orang-orang yang dianggap bisa menjawab
rumusan masalah yang akan diteliti, seperti Tu’a golo Desa Meler,
Pemerintah Desa Meler, Pemerintah Kabupaten Manggarai, dan masyarakat setempat di Desa Meler.
2. Obyek penelitian
Obyek penelitian ini adalah lingko lodok dari sudut pandang budaya Manggarai dan matematika.
D. Sumber Data
Menurut Lofland dalam Lexy (1988) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah tambahan
dokumen dan lain-lain. Sumber data dalam penelitian ini adalah hasil dari studi lapangan yang berupa hasil wawancara, foto, video, rekaman suara,
dan buku-buku referensi. Hasil wawancara dicatat melalui catatan tertulis dan di rekam melalui rekaman suara atau video.
E. Jenis Data
Menurut Sugiyono (2012), data kualitatif adalah data yang berbentuk kata-kata, bukan dalam angka. Data kualitatif diperoleh melalui berbagai macam
teknik pengumpulan data misalnya observasi, wawancara, analisis dokumen, atau dokumentasi berupa video maupun foto. Data kualitatif ini digunakan untuk mendeskripsikan keterkaitan antara matematika dan lingko
F. Metode dan Instrumen Pengumpulan Data 1. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu studi lapangan. Dalam metode studi lapangan ini, peneliti mengumpulkan data secara
langsung ke lapangan dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mengetahui sejarah, teknis pembagian lingko lodok, dll. Jenis wawancara yang dilakukan
adalah wawancara pembicaraan informal, dimana pertanyaan yang diajukan sangat bergantung pada spontanitasnya dalam
mengajukan pertanyaan kepada terwawancara (Lexy, 1988). Hubungan pewawancara dengan terwawancara adalah dalam suasana wajar, sedangkan pertanyaan dan jawabannya berjalan
seperti pembicaraan bisa dalam kehidupan sehari-hari saja. Wawancara merupakan inti dalam penelitian ini. Wawancara
akan dilakukan sampai sudah menjawab pertanyaan dari rumusan masalah.
b. Dokumentasi
c. Studi pustaka
Studi pustaka dilakukan untuk melengkapi data-data wawancara
dan juga sebagai referensi dalam analisis data. 2. Instrumen pengumpulan data
Pedoman wawancara
Kisi-kisi pertanyaan pada wawancara
a. Pertanyaan yang berhubungan dengan budaya dan filosofi Kapan lingko lodok mulai dibangun?
Bagaimana sejarah terbentuknya lingko lodok?
Bagaimana teknis lodok uma weru?
Kapan lingko lodok akan berakhir?
b. Pertanyaan yang berhubungan dengan pengetahuan matematika Kenapa lingko lodok berbentuk seperti sekarang ini? Apa yang
mendasarinya?
Apakah ada pedoman atau landasan dalam penentuan titik
sentral lingko lodok?
Bagaimana teknis pembagian moso dalam lingko lodok?
G. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan melalui pengaturan
data secara logis dan sistematis, dan analisis data dilakukan sejak awal peneliti terjun ke lokasi penelitian hingga pada akhir penelitian (pengumpulan data) (Ghony dan Fauzan, 2014). Menurut Miles dan
menggunakan kata-kata yang selalu disusun dalam sebuah teks yang diperluas atau dideskripsikan. Langkah-langkah analisis data pada
penelitian ini mengikuti analisis data model Miles dan Huberman, yaitu: reduksi data, display data (pemaparan data), penarikan kesimpulan dan
verifikasi.
1. Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan peneliti berbentuk data dalam bentuk
catatan tertulis, catatan suara dan foto. Data yang dikumpulkan sangat banyak dan beragam dari berbagai subyek penelitian. Data ini
kemudian ditranskrip menjadi catatan deskriptif dan beberapa catatan atau pendapat dari peneliti selama penelitian berlangsung
yang berhubungan dengan objek penelitian. 2. Reduksi data
Setelah pengumpulan data dilakukan, pada tahap selanjutnya
peneliti memilih dan memilah, membuat iktisar dan membuat indeks pada data yang dianggap penting atau data yang dianggap memenuhi
tujuan penelitian. Selain itu, pada reduksi data ini, data juga dipisahkan atas data yang relevan dan data yang tidak relevan, dipisahkan atas unit-unit data, kemudian unit-unit data yang sama
3. Pemaparan data
Pada kegiatan pemaparan data, data yang sudah dipisahkan pada
reduksi data kemudian dipaparkan supaya mudah dilihat dan mudah dicari pola-pola atau kecenderungan-kecenderungannya, dan mudah
dibanding-bandingkan. Pada penelitian ini, pemaparan data menggunakan uraian singkat.
4. Penarikan kesimpulan dan verifikasi data
Data yang sudah dipaparkan dengan baik tersebut kemudian dicermati untuk ditarik kesimpulan-kesimpulan yang ada. Sebelum
disimpulkan secara final, setiap kesimpulan yang ditarik harus diverifikasi terlebih dulu kebenarannya.
H. Prosedur Pelaksanaan Penelitian Secara Keseluruhan 1. Penyusunan proposal
Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti mengajukan proposal yang
berisikan BAB I, BAB II, dan BAB III. 2. Persiapan penelitian
a. Ijin
Ijin penelitian diawali dengan mendapatkan surat permohonan penelitian dari sekretatiat JPMIPA Universitas Sanata Dharma
pemerintah Kecamatan Ruteng, dan kembali mendapat surat rujukan penelitian dari pemerintah Kecamatan Ruteng ke Desa Meler.
b. Pembuatan instrumen
Instrumen yang dibuat pada penelitian ini adalah instrumen
wawancara.
3. Pelaksanaan pengambilan data
Pengambilan data dilakukan untuk mendapatkan data keterkaitan antara
lingko lodok dari segi budaya dan matematika.
4. Analisis data
Setelah mendapatkan data wawancara, peneliti menganalisis dan mengevaluasi data tersebut.
5. Penarikan kesimpulan
Setelah melakukan analisis data, peneliti mencoba menarik kesimpulan. Kesimpulan ini menunjukkan bahwa ada lingko lodok merupakan salah
44 BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa Meler, Kecamatan Ruteng,
Kabupaten Manggarai, NTT. Penelitian diawali dengan mengurus surat ijin penelitian di Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) di
Ruteng, Kabupaten Manggarai, kemudian memberikan surat tembusan dari KPPTSP ke berbagai instansi terkait. Salah satu surat tembusan tersebut diberikan kepada Camat Kecamatan Ruteng di Cancar untuk mendapat surat
Rekomendasi Penelitian ke Desa Meler. Kemudian surat rekomendasi penelitian tersebut diberikan kepada kepala Desa Meler.
Pengambilan data dilakukan pada tanggal 23 – 27 Juni 2016 dan 10
– 12 Juli 2016. Penelitian dilaksanakan dengan melakukan wawancara
kepada tu’a golo Desa Meler, sekretaris Desa Meler, staff Dinas Pariwisata
Kabupaten Manggarai dan masyarakat setempat yang menjadi subyek penelitian. Wawancara dengan tu’a golo dan staf Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai merupakan wawancara yang digunakan untuk
mendapatkan data utama, sedangkan wawancara sekretaris desa dan masyarakat setempat digunakan untuk mendapatkan data tambahan.
Wawancara dengan tu’a golo dilaksanakan pada tanggal 26 Juni 2016 pada pukul 13.00-14.00 dan sekretaris Desa Meler pada tanggal 27 Juni 2016 pada pukul 10.00-10.45, sedangkan wawancara dengan staff
masyarakat pada tanggal 12 Juli 2016 pukul 10.00-10.30. Wawancara dilakukan secara terbuka dan mendalam untuk memperoleh data yang tepat
dan sesuai.
Perbincangan dimulai pada tangal 24 Juni 2016 dengan melaporkan
diri kepada tu’a golo selaku kepala kampung Desa Meler secara adat di rumah tu’a golo. Setelah menemukan jadwal yang tepat dengan tu’a golo, wawancara dengan dilaksanakan pada hari minggu, 26 Juni 2016.
Kemudian pada tanggal 27 Juni 2016 peneliti melakukan perbincangan dengan sekretaris Desa Meler bertempat di Kantor Desa Meler, sedangkan
perbincangan dengan dengan staff Dinas dilaksanakan pada 11 Juli 2016 bertempat di Pondok Pandang, Desa Meler. Kemudian perbincangan
dengan masyarakat Desa Meler dilaksanakan pada tanggal 12 Juni 2016 bertempat di Lingko Meler.
B. Penyajian Data
Data yang didapatkan selama penelitian di lapangan berupa transkrip wawancara, foto, rekaman pembicaraan dan video. Transkrip wawancara didapat dengan menuangkan hasil rekaman pembicaraan ke
dalam tulisan. Foto, rekaman suara dan video digunakan sebagai bukti telah diadakan wawancara lisan secara langsung kepada informan. Data yang
berupa foto, transkrip pembicaraan akan dilampirkan, sedangkan buku-buku referensi yang digunakan dalam studi pustaka berfungsi sebagai
C. Analisis Data
Analisis data yang dipakai yaitu pengumpulan data, reduksi data,
display data, dan penarikan kesimpulan.
1. Pada pengumpulan data, peneliti mengambil data langsung ke lapangan berupa wawancara langsung dengan tu’a golo Meler, staff Dinas
Pariwisata Kab. Manggarai, Sekretaris Desa Meler dan masyarakat Desa Meler, dan dokumentasi yang berkaitan dengan lingko lodok seperti foto
lingko lodok, foto rumah adat, dan foto saat melakukan wawancara
dengan narasumber.
2. Pada reduksi data, peneliti memilih dan memilah data seperti data-data hasil wawancara, dan hasil dokumentasi yang menjawab rumusan masalah.
3. Pada display data, peneliti memaparkan data-data yang telah dipilih pada reduksi data seperti, transkrip wawancara, yang dilengkapi dengan
informasi dari buku-buku refensi tentang lingko lodok yang berkaitan hasil wawancara, dan melihat hubungan lingko lodok dengan budaya dan matematika serta kaitannya menggunakan uraian, gambar dan
foto-foto.
4. Pada penarikan kesimpulan, data-data yang telah dipaparkan kemudian
dicermati untuk bisa menarik kesimpulan yang bisa menjawab rumusan masalah.
Keterangan:
P: Peneliti
N: Narasumber
Nu, enu: panggilan untuk perempuan Manggarai
Ema: Bapa atau orang yang dituakan
Ite: panggilan untuk orang yang lebih tua atau panggilan untuk menghormati lawan bicara
1. Wawancara dengan tu’a golo (Bpk. Ambros Rima )
P/N Wawancara Analisis
P Selamat siang ema, saya Melin yang hari Jumat datang kesini untuk wawancara.
Peneliti membuka wawancara dengan memperkenalkan diri dan memberi salam agar suasana bisa terasa akrab dan nyaman.
N Oh ia, saya masih ingat. Mau wawancara tentang lodok to nu?
P Io ema, kalo begitu saya mulai saja ema e, bagaimana sejarah lingko lodok ini dulu ema?
Awalnya lingko lodok ini dulu nu, warisan turun temurun dari kita punya nenek moyang. Sebelum saya cerita sejarah awalnya lingko lodok ini, enu harus tau dulu syarat untuk membuka suatu kampung. Syaratnya adalah harus ada tempat tinggal (mbaru bate ka’eng), kebun (uma bate duat), mata air (wae bate teku), halaman (natas bate labar), tempat persembahan (compang), dan kuburan (boa). Harus ada semua ini syarat dan tidak boleh
ada yang kurang. Waktu nenek moyang mau bikin kampung dulu, hutan semua daerah ini dulu, sehingga saat mereka mulai membuka kampung, mereka pikir, bagaimana cara membuat kebunnya sehingga nanti semua masyarakat kampung itu bisa dapat bagian dan adil juga. Kemudian mereka mulai musyawarah dalam forum lonto leok di rumah gendang tentang cara pembagian kebun ini supaya adil untuk semua masyarakat, gampang baginya dan sesuai dengan adat orang Manggarai. Terus mereka ikut bentuk rumah gendang yang bentuk bundar dengan satu tiang ditengahnya dan tiang-tiang lain ada di pinggir-pinggirnya.
membangun sebuah kampung, syarat lainnya adalah mbaru bate ka’eng (tempat tinggal), wae bate teku (mata air), natas bate labar
(halaman untuk acara-acara adat), compang (tempat persembahan), dan boa (kuburan). Lingko lodok ini dibuat karena nenek moyang
orang Manggarai ingin membagi tanah ulayat secara adil dan bisa dimiliki oleh semua orang Manggarai, sehingga berdasarkan adat istiadat yang sudah mereka anut sejak dulu, mereka membuat dan membagi lingko seperti lingko yang ada sekarang, atas dasar hasil kesepakatan dalam forum lonto leok di mbaru gendang di mana lingko lodok dibuat mengikuti struktur rumah gendang.
P Oh begitu ka ema, terus kenapa ikut bentuk rumah gendang? Pada lingko lodok mengandung unsur-unsur yang yang diadaptasi dari beberapa unsur rumah adat, salah satunya adalah kayu N Begini nu, di rumah gendang itu ada simbol-simbol tertentu seperti kolong
tinggal melambangkan dunia manusia, loteng dan lempa rae (tempat menyimpan bahan makanan) melambangkan perantara antara dunia manusia dan Tuhan, dan tempat mezba (ruang koe) melambangkan dunia Tuhan, terus ada siri bongkok yaitu tiang yang ada di pusat rumah gendang, di siri bongkok ini disimpan alat-alat musik tradisional. Itu bagian rumahnya nu, bagian atapnya ada makna sendirinya. Macam ada kayu yang panjangnya mungkin 50 cm yang sambungan dari ngando (bubung), di itu kayu nu, ada lukisan mukanya manusia, terus ada tanduk kerbau atau kayu yang dipotong macam tanduk kerbau yang disimpan di samping kiri kanannya itu lukisan, dan di ujung atasnya itu kayu nu potong macam bentuk gasing (mangka). Nah artinya itu lambang itu, mukanya manusia itu melambangkan kalo manusia itu adalah ciptaan yang paling tinggi dari ciptaan lain, terus itu tanduk itu melambangkan daya juang dan bersyukurnya orang Manggarai, sedangkan ujung kayu yang bentuk gasing itu nu melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan. Itu kayu bentuk gasing yang di atap rumah gendang itu nu, sama dengan bentuk ujung atas kayu teno yang ditancapkan di lodok yang biasa dinamakan tente teno. Kalau di lodok, kayu mengandung makna sebagai laki-laki dan tanah tempat tancap kayu teno itu sebagai perempuan, sehingga tente teno itu
sambungan dari bubungan rumah yang panjangnya 50 cm atau dalam perhitungan tradisional sama dengan ca ciku, kayu ini yang diukir berbentuk wajah manusia dengan tanguk kerbau serta ujung atasnya dipotong berbentuk gasing (mangka). Bentuk ujung atas kayu yang berbentuk gasing itulah yang memiliki bentuk yang sama dengan bentuk yau teno yang di tancapkan pada tanah saat pembagian lingko lodok. Setelah lingko dibuat, mereka baru