• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSPLORASI ETNOMATEMATIKA PADA MBARU NIANG DI KAMPUNG WAE REBO PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EKSPLORASI ETNOMATEMATIKA PADA MBARU NIANG DI KAMPUNG WAE REBO PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

i

EKSPLORASI ETNOMATEMATIKA PADA MBARU NIANG DI KAMPUNG WAE REBO PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh:

Maurinus Jemri Taur NIM: 161414107

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2020

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan

syukur” Filipi 4: 4

“Segelintir orang yang berhasil menjadi unggul disuatu bidang, meraih posisi tersebut bukan karena mereka meyakini diri mereka istimewa.

Sebaliknya, mereka menjadi luar biasa karena mereka terobsesi dengan perbaikan”-Mark Manson

Skripsi ini saya persembahkan kepada Tuhan Yesus Kristus Kedua orang tua tercinta Ka Linda, Ka Etin, Adik Teodora dan Keluarga Prodi Pendidikan Matematika Semua yang membaca skripsi ini, terimakasih.

(5)

v

(6)

vi ABSTRAK

Taur, Maurinus Jemri. (2020). Eksplorasi Etnomatematika pada Mbaru Niang di Kampung Wae Rebo Provinsi Nusa Tenggara Timur. Skripsi. Yogyakarta:

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini membahas tentang etnomatematika pada mbaru niang Wae Rebo sebagai hasil budaya leluhur Wae Rebo. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi mbaru niang dari sudut pandang budaya leluhur Wae Rebo dan dari sudut pandang matematika.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data melalui wawancara langsung dengan subyek penelitian, dokumentasi, dan studi pustaka. Wawancara dilakukan dengan dua orang narasumber yaitu tetua adat Wae Rebo dan tukang yang pernah membagun mbaru niang di kampung Wae Rebo.

Hasil penelitian ini adalah pada mbaru niang yang ada di kampung Wae Rebo memuat konsep matematika, seperti bentuk mbaru niang menyerupai bangun ruang kerucut, konstruksi sembilan tiang utama mbaru niang menyerupai konsep prisma segidelapan, keterkaitan posisi compang, mbaru niang dan hiri bongkok membentuk konsep elips dan konsep lingkaran, depa (satuan panjang tradisional masyarakat Wae Rebo) yang digunakan ketika membangun mbaru niang, pengga ngando (penyangga ngando) yang membentuk segitiga siku-siku dan konsep segaris (kolinear) serta penyebutan bilangan bahasa Wae Rebo dengan penyebutan bilangan Hindu-Arab. Selain itu, terdapat ilmu membangun mbaru niang yang cukup baik hanya dimiliki oleh masyarakat Wae Rebo, seperti tafsiran mata untuk melihat kelurusan ngando dengan lantai dua mbaru niang yang membentuk konsep sudut tegak lurus dan teknik membuat lingkaran menggunakan kumpulan kayu- kayu kenti.

Kata kunci: Mbaru Niang, Etnomatematika, Budaya, Wae Rebo.

(7)

vii ABSTRACT

Taur, Maurinus Jemri. (2020). Ethnomathematics Exploration on Mbaru Niang in Wae Rebo Village East Nusa Tenggara Province. Thesis. Yogyakarta: Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University.

This research discusses about ethnomatematics in mbaru niang Wae Rebo as a result of culture of Wae Rebo. This study aims to explore mbaru niang from Wae Rebo's ancestral culture point of view and from the mathematical point of view.

The method that was used in this research was descriptive qualitative method. The data collection techniques were done through direct interviews with research subjects, documentation, and literature study. Interviews were conducted with two resource persons, namely the traditional leader of Wae Rebo and the craftsman who built mbaru niang in Wae Rebo village.

The results of this research showed that mbaru niang in Wae Rebo village certain mathematical concepts, such as the form of mbaru niang resembled conical space construction, the construction of nine main pillars of mbaru niang resembled the concept of an octagonal prism, the relation of the position of the compang, mbaru niang and hiri bongkok formed an ellips concept and a circle concept, depa (the traditional unit of length of Wae Rebo people) that was used when they were building mbaru niang, pengga ngando (ngando suspension) that formed a right triangle and the concept of coliner and the term of Wae Rebo language numbers with the term of Hindu-Arabic numbers. In addition, there were good enough knowledge about how to build mbaru niang, which was only owned by the Wae Rebo community, such as the interpretation of the eye to see the alignment of ngando with the second floor of mbaru niang which formed the concept of perpendicular angles and the technique of making circles using a stack of kenti wood.

Keywords: Mbaru Niang, Ethnomathematics, Culture, Wae Rebo.

(8)

viii

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, kerena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Eksplorasi Etnomatematika Pada Mbaru Niang Di Kampung Wae Rebo Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini mendapat banyak bimbingan, motivasi, dan semangat dari berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Yohanes Harsoyo, S. Pd., M. Si., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Dr. Marcellinus Andy Rudhito, S. Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Beni Utomo, M. Sc., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma sekaligus menjadi pembimbing yang telah membimbing dan memotivasi penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Mari Suci Apriani, S. Pd., M. Sc., selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma.

5. Segenap dosen JPMIPA, khususnya dosen-dosen Pendidikan Matematika, Universitas Sanata Dharma yang telah membagikan pengetahuan,

(10)

x

membimbing, dan memberikan pengalaman berharga kepada penulis selama proses perkuliahan.

6. Bapak/Ibu karyawan Sekretariat JPMIPA Universitas Sanata Dharma.

7. Bupati Manggarai, Camat Satar Mese Barat, dan Kepala Desa Satar Lenda yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di kampung Wae Rebo.

8. Bapak Vitalis Aman dan Bapak Marcelinus Ovan yang telah bersedia menjadi subyek dalam penelitian ini.

9. Bapak Gregorius Pori dan Mama Viktoria Jemita tercinta yang selalu mendukung, memberikan motivasi, semangat dan doa kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Ka Elvis Ontas, Ka Linda Indah, Ka Etin Nganggu, Ka Yansen Manto dan kekasih hati Upik Wulandari yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Bapak Fabianus Hawun sekeluarga yang telah menerima dan memberikan penginapan kepada penulis selama melaksanakan penelitian di Wae Rebo.

12. Masyarakat Wae Rebo dan pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

13. Teman-teman PMat angkatan 2016 yang telah memberikan semangat, dukungan, dan kebahagiaan kepada penulis selama proses perkuliahan.

14. Teman-teman PMat angkatan 2016 kelas C yang setia menemani perjalanan penulis selama masa perkuliahan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima segala bentuk kritik dan saran yang membangun untuk

(11)

xi

(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERYATAAN KEASLIAN KARYA………...v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

LEMBAR PERYATAAN PERSETUJUAN……….viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Batasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Batasan Istilah ... 7

G. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN TEORI ... 9

A. Budaya Wae Rebo ... 9

1. Pengertian Budaya dan Unsur Kebudayaan ... 9

2. Budaya Wae Rebo ... 12

B. Mbaru Niang ... 23

1. Makna Mbaru Niang ... 23

2. Ruang pada Mbaru Niang ... 26

3. Struktur Mbaru Niang ... 29

C. Etnomatematika ... 30 Halaman

(13)

xiii

1. Hakikat Matematika ... 30

2. Etnomatematika ... 32

3. Kajian Teori Eksplorasi Etnomatematika ... 33

D. Materi Matematika ... 37

1. Elips ... 37

2. Kerucut ... 39

3. Lingkaran ... 41

4. Prisma ... 42

5. Segitiga ... 44

6. Pengukuran (Satuan Panjang) ... 45

7. Sudut ... 46

E. Kerangka Berpikir ... 48

F. Penelitian Relevan ... 48

BAB III METODE PENELITIAN ... 50

A. Jenis Penelitian dan Metode Penelitian ... 50

1. Jenis Penelitian ... 50

2. Metode Penelitian ... 50

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 51

C. Subjek dan Objek Penelitian ... 51

1. Subjek Penelitian ... 51

2. Objek Penelitian ... 51

D. Sumber Data ... 51

1. Data Primer ... 52

2. Data Sekunder ... 52

E. Jenis Data ... 52

F. Metode dan Instrumen Pengumpulan Data ... 53

1. Metode Pengumpulan Data ... 53

2. Instrumen Pengumpulan Data ... 54

G. Teknik Analisis Data ... 55

1. Pengumpulan Data ... 56

2. Reduksi Data ... 56

3. Penyajian Data (display data) ... 56

(14)

xiv

4. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi ... 57

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 58

A. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian ... 58

B. Penyajian Data ... 60

C. Analisis Data ... 60

1. Pengumpulan Data ... 61

2. Reduksi Data ... 61

3. Penyajian Data (display data) ... 61

4. Penarikan Kesimpulan ... 62

D. Hasil Analisis ... 62

1. Kebudayaan di Wae Rebo ... 62

2. Sejarah Wae Rebo ... 79

3. Mbaru Niang ... 85

E. Eksplorasi Aspek Matematika ... 96

1. Mbaru Niang ... 96

2. Teknik Pengukuran ... 109

3. Konstruksi Mbaru Niang ... 119

F. Keterbatasan Penelitian ... 127

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 124

A. Kesimpulan ... 124

B. Saran ... 130

DAFTAR PUSTAKA ... 132

LAMPIRAN ... 136

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jenis-jenis Prisma………43 Tabel 4.1 Kesetaraan Mbaru Niang dan Kerucut………98 Tabel 4.2 Hubungan Posisi Hiri Bongkok, Compang, dan Tujuh Buah Mbaru

Niang dari Sudut Pandang Budaya dan Matematika…..…………...105 Tabel 4.3 Kesetaraan Hiri Bongkok, Compang dan Mbaru Niang dengan

Elips………106 Tabel 4.4 Kesetaraan Hiri Bongkok, Compang dan Mbaru Niang dengan

Lingkaran………108 Tabel 4.5 Kemiripan Tafsiran Mata dan Tali Rotan dengan Sudut…………...111 Tabel 4.6 Penyebutan Bilangan dalam Bahasa Manggarai Wae Rebo dan

Penyebutan Bilangan Hindu-Arab..…...……….115 Tabel 4.7 Kesetaraan Wahe dan Lingkaran………....……...118 Tabel 4.8 Kesetaraan Sembilan Tiang Utama Mbaru Niang dan Prisma…….121 Tabel 4.9 Kemiripan Pengga Ngando dan Segitiga Siku-siku……….123 Tabel 4.10 Kemiripan proses pembuatan lantai 3, lantai 4, dan lantai 5 mbaru

niang dengan konsep segaris (kolinear)………...125 Halaman

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta Situasi Kampung Adat Wae Rebo..……….14

Gambar 2.2 Posisi Mbaru Niang Wae Rebo………...24

Gambar 2.3 Persambungan Konstruksi Mbaru Niang………25

Gambar 2.4 Sembilan Tiang Utama Mbaru Niang……….25

Gambar 2.5 Leba Telu dan Rangkung………26

Gambar 2.6 Tingkat Pertama Mbaru Niang………...27

Gambar 2.7 Tingkat Kedua Mbaru Niang………..27

Gambar 2.8 Tingkat Ketiga Mbaru Niang………..28

Gambar 2.9 Tingkat Keempat Mbaru Niang………..28

Gambar 2.10 Tingkat Kelima Mbaru Niang...………29

Gambar 2.11 Elips………...………...38

Gambar 2.12 Kerucut………...………...40

Gambar 2.13 Lingkaran………..………....41

Gambar 2.14 Prisma………...42

Gambar 2.15 Segitiga……….44

Gambar 4.1a dan Gambar 4.1b Gendang dan Gong di Mbaru Gendang……...63

Gambar 4.2 Compang (mezbah)………...………..65

Gambar 4.3 Langkar...………66

Gambar 4.4 Posisi Mbaru Niang Wae Rebo………...87

Gambar 4.5 Tanduk Kerbau di atas Mbaru Niang……….88 Halaman

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.6 Lantai Satu Mbaru Gendang (Molang Dan Lutur)……….89

Gambar 4.7 Ketika Tetua Adat Melakukan Upacara Lorang di Mbaru Gendang...89

Gambar 4.8 Lobo Mehe (loteng besar)………...90

Gambar 4.9a Tiang Utama Mbaru Niang………...91

Gambar 4.9b Sembilan Tiang Utama pada Proses Pembagunan Mbaru Niang.92 Gambar 4.10 Leba Telu………..92

Gambar 4.11a. Rangkung...93

Gambar 4.11b. Proses Pemasangan Rangkung………...93

Gambar 4.12. Likang (tungku api)………..94

Gambar 4.13a Proses Pengangkatan Ngado………....…96

Gambar 4.13b Melihat Kelurusan Ngando dengan Penampang Mbaru Niang...96

Gambar 4.14 Mbaru Niang……….97

Gambar 4.15 Kerucut………..97

Gambar 4.16 Posisi Mbaru Niang dan Compang………..104

Gambar 4.17 Ilustrasi Hubungan Hiri Bongkok dan Compang……….104

Gambar 4.18 Posisi Compang dan Hiri Bongkok………..105

Gambar 4.19 Elips……….105

Gambar 4.20 Posisi Compang dan Hiri Bongkok………..108

Gambar 4.21 Lingkaran……….108

Gambar 4.22 Persiapan Kayu Kenti………...116 Halaman

(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.23 Proses Pengangkatan Wahe..………117

Gambar 4.24 Proses Pembentukan Lingkaran Dari Wahe……….……117

Gambar 4.25 Sembilan Tiang Utama Mbaru Niang………..119

Gambar 4.26 Ilustrasi sembilan Tiang Utama Mbaru Niang……….120

Gambar 4.27 Hubungan Ilustrasi Sembilan Tiang Utama Mbaru Niang…...…121

Gambar 4.28 Prisma Segidelapan………...121

Gambar 4.29 Kerangka Mbaru Niang………....122

Gambar 4.30 Ilustrasi Segitiga yang Dibentuk oleh Pengga Ngando…….…...122

Gambar 4.31 Segitiga yang Dibentuk Oleh Pengga Ngando………...123

Gambar 4.32 Dua Buah Segitiga Siku-siku………....123

Gambar 4.33 Proses Pengikatan Tangang Pada Pengga Ngando………..……124

Gambar 4.34 Elar (balok-balok) yang Disusun Sejajar…...………..124

Gambar 4.35 Ilustrasi Pengga Ngando………...………...125

Gambar 4.36 Ilustrasi Titik Segaris (Kolinear)………..125 Halaman

(19)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia.

Secara keseluruhan Indonesia memiliki 17.504 pulau. Luas wilayah Indonesia yaitu 1.913.578, 68 𝑘𝑚2. Secara astronomi Indonesia terletak antara 60° 04’ 30” Lintang Utara dan 11° 00’ 36” Lintang Selatan dan antara 94° 58’ 21” Bujur Timur – 141° 01’ 10” Bujur Timur. Indonesia adalah negara di Asia Tenggara yang dilalui oleh garis khatulistiwa dan terletak di antara Benua Asia dan Benua Australia, serta antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Secara geografis Indonesia memiliki posisi yang strategis dan menjadi salah satu jalur lintas perdagangan. Hal ini tentu berpengaruh terhadap kehidupan sosial, ekonomi, serta kebudayaan masyarakat Indonesia (PUSDATIN, 2017).

Dari sisi budaya, letak geografis memberikan pengaruh akan keanekaragaman budaya Indonesia di masing-masing daerah. Salah satu aspek kebudayaan yang dapat dilihat adalah budaya visual. Menurut Sachari (2007: 1) budaya visual adalah wujud kebudayan konsep (nilai) dan materi (benda) yang dapat ditangkap oleh indra visual (mata) serta sebagai pemikiran yang dapat meningkatkan kualitas hidup. Sejalan dengan pengertian tersebut, wujud kebudayaan konsep (nilai) dan materi (benda) dapat ditelusuri melalui peninggalan-peninggalan budaya Indonesia. Salah

(20)

satu contoh budaya visual yang ada di Indonesia adalah Wae Rebo.

Wae Rebo adalah kampung adat tradisional yang terletak di kampung Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dikisahkan pula bahwa penduduk yang pertama kali menetap di Wae Rebo adalah Maro. Hal ini dikatakan oleh nenek moyang Wae Rebo bahwa Maro adalah orang pertama yang menetap di Wae Rebo. Maro dan saudaranya Bimbang datang dari Minangkabau, Sumatra Barat menggunakan perahu menuju pulau Flores. Mereka tiba pertama kali di Flores tepatnya di Labuan Bajo. Setelah hidup berpindah- pindah dan melewati berbagai tantangan, Maro memilih untuk menetap di lembah yang dikelilingi oleh gunung-gunung yang sekarang ini diberi nama Wae Rebo, sedangkan Bimbang menetap di kampung lain. Leluhur Wae Rebo mewariskan tujuh buah rumah adat. Tiga buah rumah adat lainnya sudah punah dimakan usia, satu buah rumah adat sudah rusak dan tidak dapat dihuni serta tiga lainnya masih berdiri kokoh. Namun pada tahun 2008, sekumpulan arsitek nusantara yang dipimpin oleh Yori Antar melakukan revitalisasi dua rumah adat Wae Rebo (Antar, 2010).

Keaslian sturuktur bangunan mbaru niang dan keunikan budaya dari Wae Rebo masih tertata rapi oleh masyarakat setempat serta telah dikenal diseluruh dunia. Hal ini telah dibuktikan dengan adanya penghargaan Award of Excelence, yaitu penghargaan untuk konservasi warisan budaya dalam ajang Asia Pasifik Award for Cultural Heritage Conservation pada 27 Agustus 2012. Rumah adat ini telah mengalahkan 42 kandidat dari 11

(21)

negara di Asia Pasifik. Keberhasilan ini membuka jalan untuk kampung Wae Rebo agar dapat dikenal oleh dunia. Selain itu juga penghargaan Aga Khan Award for Architecture, preservation of Mbaru Niang pada tahun 2013 (Keling, 2016). Penghargaan ini memberikan pelestarian bangunan bersejarah (mbaru niang) dan arsitektur lanskap (konstruksi buatan manusia). Mbaru niang berasal dari kata mbaru (rumah) dan niang (berbentuk kerucut), sehingga mbaru niang adalah rumah yang berbentuk kerucut.

Mbaru niang yang masih asli dan belum mengalami modifikasi oleh masyarakat setempat yakni berada di Wae Rebo dan di Todo, sedangkan pada daerah lain di Kabupaten Manggarai sudah mengalami modifikasi bentuk dan mengikuti pola hidup masyarakat yang semakin berkembang.

Dalam penelitian ini, objek mbaru niang yang digunakan adalah mbaru niang yang berlokasi di Wae Rebo. Rumah adat Wae Rebo lebih dikenal dengan sebutan mbaru niang (rumah bundar berbentuk seperti kerucut).

Mbaru niang terdiri atas lima tingkat yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri.

Pemilihan rumah adat Wae Rebo (mbaru niang) sebagai objek dalam penelitian ini karena keunikan dan karakteristik rumah adat yang berbeda dengan rumah adat yang berada di daerah lain di Indonesia. Mbaru niang di Wae Rebo kaya akan konsep matematika, seperti bentuk mbaru niang menyerupai bangun ruang kerucut. Terdapat kemiripan unsur-unsur kerucut dengan mbaru niang, seperti penampang/lantai mbaru niang berbentuk

(22)

lingkaran sebagai alas kerucut, tiang tengah pada lantai satu mbaru niang (disebut hiri bongkok) sebagai titik pusat lingkaran, dan persambungan antara tiang tengah mbaru niang (hiri bongkok) dengan tiang utama mbaru niang (ngando) pada lantai dua mbaru niang sebagai tinggi kerucut, dan atap sekaligus dinding mbaru niang yang terbuat dari alang-alang dan ijuk sebagai selimut kerucut.

Selain itu, ilmu membangun mbaru niang Wae Rebo hanya dimiliki oleh masyarakat Wae Rebo. Ilmu membangun mbaru niang ini diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur Wae Rebo. Orang yang memiliki ahli dalam membangun mbaru niang dikenal dengan sebutan tukang oleh masyarakat setempat. Pembangunan mbaru niang juga tidak sembarangan dilakukan karena harus melewati rangkaian upacara adat dalam budaya Wae Rebo. Selanjutnya, teknik membangun mbaru niang juga kaya akan konsep matematis. Teknik membangun mbaru niang ini hanya dapat dilakukan oleh tukang yang berasal dari Wae Rebo, seperti teknik membuat lingkaran, teknik untuk melihat kelurusan tiang ngando, dan menggunakan satuan tradisional seperti depa (satuan panjang).

Lebih lanjut, masyarakat Wae Rebo mempercayai bahwa ada keterkaitan yang tidak bisa pisahkan antara mbaru niang, kampung Wae Rebo, dan ladang mereka. Keterkaitan itu digambarkan melalui pola lingkaran berpusat. Mbaru niang berbentuk kerucut dengan penampang/lantai pada kelima lantai mbaru niang berbentuk lingkaran, susunan mbaru niang yang unik dengan tujuh gugus mbaru niang

(23)

membentuk formasi setengah lingkaran dan compang (mezbah/tempat melakukan upacara adat dengan memberikan sesajian kepada leluhur Wae Rebo) sebagai titik pusat kampung Wae Rebo, dan ladang yang berbentuk jaring laba-laba yang dibentuk berdasarkan sistem pembagian tradisional masyarakat setempat dikenal dengan istilah lingko lodok (lingko berarti tanah ulayat milik bersama dan lodok merupakan titik pusat pembagian lingko) memiliki titik pusat dengan nama lodok.

Keunikan mbaru niang yang kaya akan konsep matematis dilihat dari struktur bangunan mbaru niang dan ilmu membangun mbaru niang, mendorong peneliti untuk melakukan kajian mendalam terkait mbaru niang dan budaya Wea Rebo dilihat dari sudut pandang matematika. Oleh karena itu, peneliti mengangkat permasalahan tersebut melalui sebuah penelitian yang berjudul “EKSPLORASI ETNOMATEMATIKA PADA MBARU NIANG DI KAMPUNG WAE REBO NUSA TENGGARA TIMUR”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti melakukan identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Belum banyak kajian ilmiah yang tertulis pada hasil-hasil budaya leluhur Wae Rebo dan struktur mbaru niang sebagai kajian etnomatematika

2. Kebudayaan lokal yang mulai hilang eksistensinya seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(24)

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, peneliti membatasi masalah yang akan diteliti agar penelitian bisa terlaksana dengan baik, yaitu:

1. Mbaru niang yang akan diteliti adalah mbaru niang yang terletak di kampung Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

2. Landasan ilmiah atau landasan matematika tentang kerucut, lingkaran, prisma, segitiga, satuan (panjang) dan sudut yang berkaitan dengan mbaru niang.

3. Deskripsi keterkaitan budaya leluhur Wae Rebo dan struktur mbaru niang sebagai warisan peninggalan leluhur Wae Rebo.

D. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

1. Apa saja konsep matematika yang terdapat dalam mbaru niang?

2. Bagaimana proses pembuatan mbaru niang dilihat dari aspek matematika dan budaya masyarakat Wae Rebo?

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mengeksplorasi mbaru niang dari sudut pandang budaya dan matematika pada masyarakat Wae Rebo

2. Mengetahui konsep matematika yang digunakan oleh leluhur Wae Rebo ketika membangun mbaru niang.

(25)

F. Batasan Istilah

Pada bagian ini, penulis perlu memberikan batasan istilah untuk menghidari kesalahpahaman istilah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Etnomatematika adalah aktivitas matematika seperti mengukur, memodelkan, pengkodean, mengklasifikasi, dan menyimpulkan yang dipraktekkan oleh suatu kelompok budaya tertentu.

2. Secara etimologis, mbaru niang dalam bahasa Manggarai Wae Rebo adalah mbaru yang berarti rumah dan niang berarti berbentuk kerucut.

Sehingga mbaru niang adalah rumah yang berbentuk kerucut.

G. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan kepustakaan terkait kajian etnomatetmika, yaitu:

1. Manfaat praktis

1.1. Bidang budaya, penelitian ini diharapkan dapat melestarikan keasilan budaya Wae Rebo dan keaslian struktur mbaru niang sebagai warisan budaya leluhur Wae Rebo.

1.2. Bidang pendidikan, penelitian ini diharapkan dapat mendukung penerapan metode pembelajaran kontekstual yang menjadikan budaya sebagai metode pembelajaran di sekolah khususnya pelajaran matematika, supaya pembelajaran lebih menarik dan melestarikan budaya Wae Rebo.

(26)

1.3. Bidang pariwisata dan pemerintah daerah, penelitian bermaanfaat untuk meningkatkan pendapatan daerah Wae Rebo, yaitu sebagai tempat wisata budaya yang masih mempertahankan keaslian budaya dan mbaru niang.

2. Manfaat Teoritis

Pada bidang matematika, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat terhadap ilmu matematika supaya bisa memperkaya pengetahuan matematika yang telah ada. Selain itu, dapat digunakan pada metode pembelajaran kontekstual pada matematika untuk anak-anak di kampung Wae Rebo dan daerah Kabupaten Manggarai.

(27)

9 BAB II

KAJIAN TEORI A. Budaya Wae Rebo

Budaya Wae Rebo dalam kajian ini meliputi pengertian budaya dan unsur kebudayaan serta budaya Wae Rebo.

1. Pengertian Budaya dan Unsur Kebudayaan 1.1. Pengertian kebudayaan

Menurut Koentjaraningrat (1980: 181) kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata culture, yang berarti kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan sesuatu yang berhubungan dengan akal. Menurut Bakker (1984: 22) kebudayaan merupakan penciptaan, penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani yang memuat usaha memanusiakan bahan alam dan hasilnya. Inti dan batas kebudayaan yakni membudayakan alam, memanusiakan hidup, menyempurnakan hubungan keinsanian merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan.

Lebih lanjut, menurut (Peursen, 1988: 10) kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang- orang yang selalu merubah lingkungan hidup. Oleh karena itu, terdapat manusia yang terbenam dalam alam sekitarnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan suatu perwujudan nilai-

(28)

nilai kemanusian dan akal sehat setiap orang dan setiap kelompok terhadap alam sekitarnya demi terciptanya kehidupan yang harmonis.

1.2. Unsur-unsur Kebudayaan

Menurut Bakker (1984: 37-50), terdapat dua unsur dalam kebudayaan yakni kebudayaan subjektif dan kebudayaan objektif.

1.2.1. Kebudayaan Subjektif

Kebudayaan subjektif adalah nilai-nilai batin yang dilihat dari harapan dasar yang ada pada manusia, seperti dalam perkembangan kebenaran, kebijakan dan keindahan. Perwujudan dari nilai-nilai itu yakni tampak dalam kesehatan badan, ketenangan batin, kecerdasan pikiran, kecakapan dalam mengkomunikasikan apa yang dipikirkan kepada orang lain dan kerohanian.

1.2.2. Kebudayaan objektif

Kebudayaan objektif adalah nilai-nilai yang terdapat dalam akal budi (pikiran) manusia yang harus menunjukkan kemampuan untuk mempelajari dan menghasilkan sesuatu. Nilai-nilai itu juga disebut sebagai hasil budaya, alat (instrumen) dan unsur-unsur kebudayaan objektif dapat klasifikasikan dalam beberapa prinsip berikut, seperti:

1.2.2.1. Ilmu Pengetahuan Tujuan dari ilmu pengetahuan untuk menggambarkan asal

mula fenomena-fenomena alam secara terurut dan mengetahui

(29)

sebab akibatnya secara umum. Ilmu pengetahuan terdiri atas science (ilmu eksakta) dan humanities (sastra, filsafat, kebudayaan, sejarah, dan lain-lain).

1.2.2.2. Teknologi

Teknologi terbilang antara sikap dan budaya yang penting.

Berdasarkan pengetahuan alam, teknologi bertujuan untuk memanfaatkan sumber-sumber daya alam agar terpenuhi makanan, perumahan, komunikasi dan lain-lain untuk martabat hidup yang layak.

1.2.2.3. Kesosialan

Kesosialan dipandang sebagai sifat, unsur, asas dan alat demikian erat berhubungan dengan kebudayaan, sehingga hanya dapat dibedakan secara konseptual saja.

1.2.2.4. Ekonomi

Pada ranah kebudayaan, ekonomi meliputi pola kelakuan dan lembaga-lembaga yang melaksanakannya dalam bidang produksi, dan konsumsi keperluan-keperluan hidup serta pelayanan-pelayanannya.

1.2.2.5. Kesenian

Kesenian menunjukkan nilai kebudayaan yang direpresentasikan melalui hasil karya tangan manusia dengan alam sebagai objek yang dilukis. Alam dihias dengan gaya indah agar dapat menyejukkan mata para penikmat karya seni.

(30)

Keindahan tersebut adalah sesuatu yang dilihat atau didengar dapat dinilai dengan baik.

1.2.2.6. Agama

Agama dipandang sebagai keyakinan hidup rohani, baik perseorangan maupun kelompok, adalah tanggung jawab manusia kepada panggilan Tuhan di dalam alam. Keyakinan itu memuat iman, rasa hormat, rasa tobat dan rasa syukur yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia.

2. Budaya Wae Rebo 2.1. Letak Geografis

Secara geografis, Wae Rebo terletak di Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur.Terletak pada koordinat S 8º 46’ 09.9’’ dan E 120º 17’

02, 3’’ dengan ketinggian 1.120 mdpl. Kampung Wae Rebo diapit oleh gunung dan hutan lebat. Gunung-gunung yang mengelilingi kampung, antara lain Golo Reba (gunung Rebah) terdapat di sebelah utara, Golo Mehe (gunung Mehe) terdapat di sebelah timur laut, Golo Sunsa (gunung Sunsa), Golo Densa Tengdang (gunung Densa Tengdang), dan Golo Pontomio (gunung Pontomio) terdapat di sebelah timur, Golo Wetok Ruang (gunung madu tanah) terdapat di sebelah selatan dan Golo Tonggar Kina (gunung Tonggar Kina), Golo Ponto (gunung Ponto) serta Golo Halu (gunung Halu) terdapat di sebelah barat kampung ini.

Lebih lanjut, hutan di kampung ini merupakan hutan larangan sehingga

(31)

masyarakat tidak ada yang mengambil kayu sembarangan di hutan ini.

Oleh karena itu, kelestarian hutan ini tetap terjaga (Keling, 2016).

Perjalanan menuju Wae Rebo dapat ditempuh melalui jalur darat, dari Ruteng (kota di Kabupaten Manggarai) ditempuh dalam waktu 4-5 jam atau dari bandara udara Komodo ditempuh dalam waktu 6-7 jam menuju kampung terdekat yaitu Denge. Dari kampung ini, kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki selama 3-4 jam menuju kampung Wae Rebo. Perjalanan menuju kampung ini, kita akan melewati 3 buah ngalor (sungai), antara lain Wae Tijo (air Tijo), Wae Lomba (air Lomba) dan Wae Regang (air Regang).

Kampung Wae Rebo dikelilingi oleh gunung maupun bukit sehingga menyebabkan kondisi udara yang sangat dingin dan sejuk.

Lebih lanjut, terdapat 7 buah bentangan alam yang menjaga kampung Wae Rebo, yaitu(dalam Keling, 2016):

2.1.1. Golo Mehe: Gunung Mehe

2.1.2. Golo Polo: Gunung Cadas yang mengeluarkan air 2.1.3. Golo Ponto: Gunung Ponto

2.1.4. Hembel: hutan (nama hutan) 2.1.5. Ponto Nao: hutan (nama hutan) 2.1.6. Ulu Regang: mata air Regang 2.1.7. Ulu Wae Rebo: mata air Wae Rebo

(32)

Gambar 2.1 Peta situasi kampung adat Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, NTT. (Sumber:

Keling, 2016).

2.2. Unsur-unsur Kebudayaan Wae Rebo

Unsur-unsur kebudayaan yang beragam pada masyarakat Wae Rebo seperti, struktur dan kehidupan sosial/kekerabatan, ritual atau acara adat, bahasa Wae Rebo, kesenian, dan sistem mata pencaharian.

2.2.1. Struktur dan kehidupan sosial/kekerabatan

Sistem kehidupan sosial/kekerabatan di Wae Rebo memiliki kesamaan dengan sistem kehidupan sosial/kekerabatan yang berlaku di Manggarai pada umumnya. Menurut Verheijen (1977) sistem kehidupan sosial/kekerabatan yang berlaku di Manggarai bersifat patrilineal (garis keturuan ayah). Dilihat dari segi keturunan, kelompok warga dibedakan menjadi beberapa kelompok, yaitu kelompok keturunan sulung (wae tu’a), kelompok

(33)

keturunan sesudahnya (wae shera), dan kelompok keturunan bungsu (wae koe).

Lebih lanjut, ada tiga klasifikasi tetua adat yang ada di daerah Manggarai, seperti tu’a golo, tu’a teno, dan tongka (Nggoro, 2006).

2.2.1.1. Tu’a golo

Tu’a golo berasal dari dua kata yaitu tu’a dan golo. Tu’a berarti ketua/kepala/pemimpin dan golo berarti bukit/gunung.

Dengan demikian, tu’a golo berarti kepala pemerintahan kampung. Adapun kriteria untuk menjadi tu’a golo yakni sudah mencapai usia dewasa, memahami adat Manggarai, sehat jasmani maupun rohani, memiliki kemampuan untuk memimpin dan dipilih berdasarkan musyawarah dan mufakat warga kampung atau bisa dipilih secara aklamasi.

Tugas dan wewenang dari tu’a golo adalah memimpin sidang warga kampung menyangkut kepentingan bersama, misalnya dalam mengadakan rehabilitasi rumah adat/membangun rumah adat (pande cuwir kole mbaru tembong/pande mbaru tembong weru), bersih kubur (we’ang boa), membersihkan air minum (barong wae teku), membuat pagar kompleks kampung.

(34)

2.2.1.2. Tu’a teno

Tu’a teno berasal dari dua kata yaitu tu’a dan teno. Tu’a berarti ketua/kepala/pemimpin dan teno berarti kayu teno.

Dengan demikian tu’a teno adalah kepala pembagian tanah ulayat. Tu’a teno dipilih secara musyawarah oleh warga masyarakat setempat yang mewakili tuan tanah dari kerabat lain. Tuan tanah yang dimaksud adalah orang yang pertama tinggal/menetap di lokasi atau sekitar tanah tersebut, sehingga dapat memahami sejarah dan status kepemilikan tanah sehingga dapat dipercaya menjadi tu’a teno.

2.2.1.3. Tongka

Kata tongka berarti juru bicara dalam acara perkawinan masyarakat Manggarai. Dalam budaya masyarakat Manggarai, tongka sering dilibatkan sebagai juru bicara dalam acara perkawinan baik dari keluarga kaum laki-laki maupun keluarga kaum perempuan yang bertugas untuk mewakili masing-masing keluarga dalam acara pernikahan.

2.2.2. Ritual atau acara adat

Ritual atau acara adat yang dilakukan oleh masyarakat Wae Rebo pada umumnya, seperti acara kelahiran, pernikahan dan kematian. Pertama, acara kelahiran. Masyarakat Wae Rebo pada umumnya tidak mengenal upacara pada waktu kehamilan. Namun, terdapat upacara yang biasa dilakukan saat kelahiran oleh

(35)

masyarakat setempat. Ketika proses persalinan, satu orang bapak yang ditugaskan mengambil sebatang bambu kecil dan tipis (elung) dan dipukul-pukul di dinding luar kamar tempat persalinan serta proses persalinan dibantu oleh seorang ibu yang memiliki keahlian khusus dalam membantu persalinan. Bambu tersebut dipukulkan tiga kali sambil berkata, “ata one ko ata peang? (laki- laki atau perempuan?)”, “ata peang ko ata one?(perempuan atau laki-laki?)” dan “ata one ko ata peang?” (Keling, 2016).

Selanjutnya dari dalam kamar, seorang ibu yang bertugas membantu persalinan harus menjawab satu jawaban yaitu ata one (jika yang lahir laki-laki) dan ata peang (jika yang lahir perempuan). Setelah mendapat jawaban dari dalam, bambu yang digunakan untuk memukul dinding tadi dimasukkan ke dalam sela-sela lubang di rumah. Kemudian, bambu tersebut dipotong dan ditajamkan dan digunakan untuk memotong tali pusar bayi. Di kolong bawah kamar tempat persalinan diletakan ranting-ranting pohon untuk menampung pembuangan air ketuban.

Hari ke-7 setelah proses persalinan, diadakan upacara nori rengka dengan menggunakan sarana persembahan berupa sebutir telur. Seorang yang dituakan untuk membawa telur tersebut dan didoakan di dekat ranting tempat menampung air ketuban.

Masyarakat Wae Rebo percaya bahwa air ketuban ini adalah ase kae (saudara kembar) yang melindungi sang bayi. Doa-doa yang

(36)

dipanjatkan tadi dengan maksud mengangkat ase kae masuk ke dalam rumah bersama dengan bayi. Setelah ranting-ranting tadi didoakan, kemudian dibawa keluar dan dikubur bersama-sama dengan ari-ari dan telur yang sudah didoakan. Ada ketentuan yang harus ditaati bahwa tempat untuk menguburkan ari-ari bayi harus lurus dengan pintu kamar tempat persalinan. Ari-ari tersebut dibungkus dengan daun pisang, abu dapur dan air panas dengan maksud agar tidak diganggu semut. Selama 7 hari, tanah tempat mengubur ari-ari ini harus selalu disiram dengan air panas untuk mencegah gangguan dari hewan-hewan liar di hutan.

Kedua, acara pernikahan. Usia pernikahan masyarakat Wae Rebo umumnya terjadi pada usia 20-30 tahun. Ketika memasuki jenjang pernikahan, tahap pertama yang dilakukan oleh masyarakat setempat adalah melaksanakan acara tukar kila (tukar cicin) atau dikenal sebagai tunangan. Makna dari acara ini adalah kaum laki-laki maupun perempuan menyatakan cinta mereka di hadapan orang tua mereka. Tempat acara dan korban sembelih disiapkan oleh kaum perempuan. Tahap selanjutnya adalah kempu (pemutusan belis atau maskawin) berupa kesepakatan yang dihasilkan melalui pertemuan keluarga laki-laki dan perempuan.

Dalam acara ini, masing-masing keluarga mengutus keluarga juru bicara yang disebut tongka (juru bicara perkawinan). Hasil kesepakatan belis berupa uang (tergantung kesepakatan kedua

(37)

belah pihak) dan hewan (dua ekor kerbau dan lima ekor kuda, yang bisa berkurang tetapi bertambah tidak mungkin). Acara selanjutnya adalah wagal. Acara ini bermakna sebagai kedatangan kaum pria ke rumah perempuan membawa babi untuk di sembelih dan belis yang telah disepakati bersama. Selang waktu untuk acara kempu dan wagal bisa beragam, misalnya satu atau dua bulan bahkan mencapai tahunan. Setelah acara wagal, pasangan resmi menikah secara adat dan kaum perempuan sudah diijinkan untuk di bawah ke rumah pria (Antar, 2010).

2.2.3. Bahasa Wae Rebo

Bahasa masyarakat Wae Rebo pada umumnya sama dengan bahasa Manggarai pada umumnya. Menurut KoO (dalam Senudin, 2016), klasifikasi kata “tidak” menjadi salah satu pembeda dalam pembagian bahasa di daerah Manggarai. Kata toe diucapkan oleh Masyarakat di kabupaten Manggarai Tengah dan di kabupaten Manggarai Barat untuk mengatakan tidak, sedangkan kata mbaen diucapkan oleh masyarakat Rongga dan kata pae diucapkan oleh masyarakat Rembong yang berada di kabupaten Manggarai Timur.

Lebih lanjut, perbedaan yang paling signifikan bahasa dari ketiga kabupaten tersebut terletak pada dialek, konsonan-vokal, dan kosa kata yang ada.

(38)

2.2.4. Kesenian

Kesenian masyarakat Wae Rebo memiliki kesamaan dengan kesenian masyarakat Manggarai pada umumnya. Kesenian tersebut berupa seni pertunjukkan yang diekspresikan melalui seni musik, seni tari dan seni rupa (Nggoro, 2006). Di Wae Rebo juga tumbuh dan berkembang kesenian khas, seperti seni pertunjukkan (tari, musik, nyanyian), seni arsitektur (rumah) dan benda-benda yang memiliki nilai estetika atau kerajinan.

2.2.4.1. Seni pertunjukkan

Seni pertunjukkan masyarakat Wae Rebo berupa caci, tarian-tarian dan nyanyian serta alat musik.

2.2.4.1.1. Caci

Caci bersal dari dua kata yaitu “ca” dan “ci”.

Kata “ca” berarti satu dan kata “ci”berarti uji. Dengan demikian, kata caci berarti uji satu lawan satu untuk menunjukkan siapa yang menang dan kalah. Adapun kelangkapan-kelengkapan yang dipakai dalam permainan caci, seperti perisai (nggiling), cambuk (larik) yang digunakan untuk memukul lawan dan pelindung kepala (pangga).

Caci merupakan salah satu kebudayaan Manggarai atau Wae Rebo yang unik dan kaya akan makna budaya, seperti seni gerak (lomes), nilai etika (sopan santun),

(39)

nilai estetika, persatuan, ekspresi sukacita, percaya diri dan menjunjung tinggi sportifitas.

2.2.4.1.2. Musik dan nyanyian

Musik dan nyanyian tradisional masyarakat Wae Rebo terdiri atas beragam jenis, seperti mbata, lando, sanda, dan mbata congka.

2.2.4.1.3. Alat musik

Alat musik yang digunakan oleh masyarakat Wae Rebo adalah gong dan gendang. Gendang biasanya dimainkan sebagai alat musik utama dalam lagu-lagu masyarakat Wae Rebo.

2.2.4.2. Seni arsitektur

Seni arsitektur yang ada di kampung Wae Rebo meliputi mbaru niang dan compang.

2.2.4.2.1. Mbaru niang

Mbaru niang berasal dari dua kata yaitu “mbaru”

yang berarti rumah dan “niang” yang berarti berbentuk kerucut. Dengan demikian mbaru niang merupakan rumah adat yang berbentuk menyerupai kerucut.

Konstruksi mbaru niang ini beratapkan ijuk (wunut) dan memiliki sembilan tiang utama (hiri mehe). Sembilan tiang utama ini berada pada lantai dua mbaru niang yang disebut lutur. Makna dari sembilan tiang utama ini

(40)

adalah 9 bulan manusia ketika masih dalam kandungan.

Di depan tiang ini tetua adat duduk ketika memimpin upacara adat.

2.2.4.2.2. Compang

Compang atau batu temu gelang merupakan susunan batu berbentuk lingkaran yang ditengah- tengahnya diisi dengan tanah adapula yang diisi dengan batu-batu yang digunakan sebagai sarana pemujaan kepada leluhur. Compang di kampung Wae Rebo berdiameter 7,4 m dan tinggi 1,2 m dan berfungsi sebagai tempat melakukan upacara adat (Keling, 2016).

2.2.5. Sistem mata pencaharian

Mayoritas masyarakat Wae Rebo bermata pencaharian sebagai petani. Hal ini juga sejalan dengan mata pencaharian masyarakat Manggarai yakni mayoritas sebagai petani. Tanah yang digarap oleh masyarakat Manggarai adalah tanah ulayat dalam bahasa Manggarai di sebut lingko dan proses menggarap tanah ulayat disebut tente teno. Menurut Nggoro (dalam Senudin, 2016) proses tente teno/lodok uma weru berarti membuka kebun baru oleh sekelompok masyarakat atau suatu warga kampung yang dipimpin oleh tu’a teno (kepala pembagi tanah ulayat).

Lebih lanjut, hasil kebun masyarakat Wae Rebo antara lain kopi, jeruk, sirih, markisa, jahe dan temulawak. Masyarakat Wae

(41)

Rebo biasanya menjual hasil kebun mereka di pasar yang berada di kampung Kombo. Jarak dari kampung Wae Rebo dan kampung Kombo kurang lebih 8 Km. Pekerjaan lain masyarakat Wae Rebo adalah guru, tukang dan pemandu wisata. Potensi wisata Wae Rebo membuka lapangan pekerjaan baru seperti menjadi pembawa barang para wisatawan dan menjadi pemandu wisata (guide) untuk memperkenalkan Wae Rebo kepada pengunjung.

Kemampuan ibu-ibu, seperti kemampuan menenun juga menambah penghasilan keluarga (Antar, 2010).

B. Mbaru Niang

1. Makna Mbaru Niang

Secara etimologis, mbaru niang dalam bahasa Manggarai Wae Rebo adalah mbaru yang berarti rumah dan niang berarti berbentuk kerucut.

Sehingga mbaru niang adalah rumah yang berbentuk kerucut. Makna mbaru niang untuk masyarakat Wae Rebo adalah sebagai simbol persatuan kampung dan melambangkan seorang ibu yang selalu melindungi penghuni rumah (Keling, 2016).

Lebih lanjut, mbaru niang inti di kampung Wae Rebo berjumlah tujuh buah, dengan salah satunya merupakan rumah adat atau dalam bahasa setempat disebut mbaru tembong/mbaru gendang karena di rumah ini disimpan benda pusaka, seperti gong, gendang, dan lain-lain yang digunakan ketika acara adat. Sedangkan 6 mbaru niang lainnya disebut niang gena (rumah biasa). Penghuni mbaru tembong merupakan

(42)

perwakilan dari masing-masing keturunan leluhur Wae Rebo yang berjumlah 8 kepala keluarga. Selanjutnya, 6 niang gena di huni oleh 6 hingga 7 kepala keluarga. Selain itu, niang gena juga digunakan sebagai rumah penginapan untuk para tamu maupun wisatawan yang berkunjung ke Wae Rebo.

Gambar 2.2 Posisi mbaru niang Wae Rebo (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Struktur bangunan mbaru niang mengandung filosofi layaknya seorang ibu antara lain:

1.1. Persambungan pada konstruksi rumah melambangkan perkawinan suami dan istri yang membentuk sebuah keluarga.

Niang Gena Mando

Niang Gena Maro Niang Gena Jintam Niang Gena Ndorom Niang Gena Pirung

Mbaru Tembong

(43)

Gambar 2.3 Persambungan konstruksi mbaru niang (Sumber: Antar, 2010)

1.2. Rumah adat Wae Rebo memiliki 9 tiang utama melambangkan jumlah bulan ketika seorang ibu mengandung.

Gambar 2.4 Sembilan tiang utama mbaru niang (Sumber: Antar, 2010)

1.3. Di atas tungku perapian terdapat leba telu (tiga buah tempat penyimpanan makanan ditunjukkan oleh nomor 1, 2 dan nomor 3 pada gambar 2.4) dengan hiasan bulatan di setiap ujungnya yang menyerupai kepala, melambangkan sebuah persalinan secara normal harus didahului kepala. Ruangan ini digunakan untuk menyimpan makanan siap saji melambangkan bahwa seorang bayi sepatutnya selalu mendapat kehangatan dan dekat dengan sumber makanan yang baik.

(44)

Gambar 2.5 Leba telu dan rangkung (Sumber: Dokumentasi pribadi) 2. Ruang pada Mbaru Niang

Mbaru niang Wae Rebo memiliki lima tingkat, seperti tingkat pertama disebut lutur, tingkat kedua disebut leba, tingkat ketiga disebut lentar, tingkat keempat disebut lempa rae, dan tingkat kelima disebut hekang kode.

2.1. Tingkat pertama (lutur) merupakan tempat yang dipakai oleh para penghuni mbaru niang untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan, beristirahat, tidur menerima tamu, memasak, dsb. Lantai ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu molang dan lutur. Molang merupakan (area privat/area untuk penghuni rumah) adalah tempat untuk beraktifitas untuk penghuni rumah, seperti memasak dan beristirahat.

Di area inilah terdapat bilik-bilik (kamar) tempat masyrakat untuk istirahat dan tungku untuk memasak. Sedangkan lutur (area publik) adalah tempat untuk tamu beraktivitas dan istirahat. Adanya pembagian

1

2

3

(45)

area (molang dan lutur) di lantai satu menunjukkan rasa saling menghormati antara penduduk setempat dengan pendatang.

Gambar 2.6 Tingkat pertama mbaru niang (Sumber: Antar, 2010).

2.2. Tingkat kedua merupakan loteng atau disebut lobo yang berfungsi sebagai tempat menyimpan bahan makan dan macam-macam barang kebutuhan sehari-sehari penghuni rumah.

Gambar 2.7 Tingkat kedua mbaru niang (Sumber: Antar, 2010).

2.3. Tingkat ketiga merupakan lentar yang berfungsi untuk menyimpan benih-benih, seperti jagung, padi, dan kacang-kacangan.

(46)

Gambar 2.8 Tingkat ketiga mbaru niang (Sumber: Antar, 2010).

2.4. Tingkat keempat merupakan lempa rae yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan persediaan cadangan makanan apabila terjadi gagal panen atau kekeringan.

Gambar 2.9 Tingkat keempat mbaru niang (Sumber: Antar, 2010).

2.5. Tingkat kelima merupakan hekang kode yang digunakan untuk menyimpan langkar (anyaman bambu berbentuk persegi untuk menyimpan sesajian kepada leluhur).

(47)

Gambar 2.10 Tingkat kelima mbaru niang (Sumber : Antar, 2010)

3. Struktur Mbaru Niang

Adapun bagian-bagian yang membentuk mbaru niang adalah fondasi mbaru niang, kayu-kayu yang digunakan untuk membangun mbaru niang, dan atap mbaru niang.

3.1. Fondasi mbaru niang tersusun dari hiri haung (tiang kolong rumah) menggunakan kayu worok (salah satu jenis kayu terkeras yang tumbuh di hutan Wae Rebo). Kayu worok ditanam masuk ke dalam tanah dan ujung kayu yang ditanam dilapisi ijuk agar kayu tidak lapuk.

3.2. Kayu-kayu pada mbaru niang

Kayu-kayu yang pakai pada pembuatan mbaru niang adalah kayu yang tumbuh di hutan yang berjarak 10 km dari kampung Wae Rebo dengan umur sekitar 70 tahun digunakan untuk tiang-tiang utama mbaru niang, seperti kayu uwu dan kayu worok. Kayu worok dipakai untuk fondasi mbaru niang, sedangkan kayu worok dipakai sebagai balok untuk tenda atau lantai pertama mbaru niang. Lebih lanjut, terdapat kayu ajang yang digunakan sebagai papan pada lantai satu

(48)

mbaru niang, dan kayu rukus dan kayu moak berfungsi sebagai balok yang ditempatkan di atas hiri mehe (sembilan tiang utama mbaru niang)

3.3. Wehang (atap sekaligus diding mbaru niang) menggunakan alang- alang yang terlebih dahulu telah diikatkan pada ijuk. Untuk setiap satuan alang-alang dan ijuk akan diikatkan ke buku (kerangka terluar mbaru niang yang terbuat dari bambu) menggunakan rotan.

Pemasangan wehang dimulai dari lantai satu mbaru niang hingga terakhir pada pada lantai lima mbaru niang. Namun, sebelum wehang menutupi mbaru niang akan diadakan acara ancam bobong/raket bobong (adalah upacara untuk menutup atap sekaligus dinding mbaru niang yang menjadi kunci kekuatan atap).

C. Etnomatematika 1. Hakikat Matematika

Secara etimologis, istilah matematika berasal dari istilah bahasa Latin yaitu Mathematica yang awalnya mengambil istilah Yunani yaitu Mathematike yang berarti relating to learning yang berhubungan dengan pembelajaran. Kata Mathema dalam bahasa Latin berarti pengkajian, pembelajaran, ilmu atau pengetahuan (knowledge).

Sedangkan kata Mathematike dalam bahasa Yunani yang berarti belajar (to learn). Jadi, berdasarkan asal-usul kata matematika dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan suatu pengetahuan yang diperoleh dari hasil belajar (Haryono, 2014).

(49)

Sejarah perkembangan matematika menjelaskan bahwa matematika berasal dari penggunaan matematika dalam memecahkan masalah-masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari. Menurut P.

Hilton (dalam Prabowo, 2009) matematika lahir dan berkembang karena hasrat manusia untuk mensistematiskan pengalaman hidupnya, membuatnya mudah dimengerti, menatanya dengan baik agar dapat meramalkan serta mengendalikan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa depan. Lebih lanjut, sejarah perkembangan matematika menurut Berlinghoff dan Gouvea (2004),

“Anthropologists have found many prehistoric artifacts that can, perhaps, be interpreted as mathematical. The oldest such artifacts were found in Africa and date as far back as 37,000 years. They show that men and women have been engaging in mathematical activities for a long time. Modern anthropologists and students of ethnomathematics also observe that many cultures around the world show a deep awareness of form and quantity and can often do quite sophisticated and difficult things that require some mathematical understanding. These range all the way from laying out a rectangular base for a building to devising intricate patterns and designs in weaving, basketry, and other crafts”. Artinya, sekumpulan antropologi menemukan peninggalan artefak matematika tertua di dunia ditemukan di negara Afrika yang berusia 37.000 tahun. Mereka menjelaskan bahwa pria dan wanita telah terlibat dalam aktivitas matematika untuk waktu yang lama. Kemudian para sejarwan modern dan mahasiswa matematika mengamati bahwa banyak budaya di seluruh dunia telah menggunakan konsep matematika dalam kehidupan mereka. Misalnya, membuat dasar bangunan berbetuk persegi panjang hingga merancang pola dan desain rumit dalam tenun, keranjang, dan kerajinan lainnya.

Selain itu, Berlinghoff dan Gouvea (2004) menjelaskan bahwa:

(50)

“By about 5000 B.C., when writing was first developing in the Ancient Near East, mathematics began to emerge as a specific activity. As societies adopted various forms of centralized government, they needed ways of keeping track of what was produced, how much was owed in taxes, and so on. It became important to know the size of fields, the volume of baskets, the number of workers needed for a particular task. Units of measure, which had sprung up in a haphazard way, created many conversion problems that sometimes involved difficult arithmetic”. Artinya sekitar 5000 SM, ketika aktivitas menulis pertama kali berkembang di Timur Kuno, matematika mulai muncul sebagai aktivitas spesifik. Aktivitas spesifik yaitu merujuk pada aktivitas perdagangan yang dilakukan pada waktu itu, seperti mereka membutuhkan cara untuk melacak apa yang diproduksi, berapa banyak yang terutang pajak, dan sebagainya.

Menjadi penting untuk mengetahui ukuran ladang, volume keranjang, jumlah pekerja yang dibutuhkan untuk tugas tertentu.

2. Etnomatematika

D’Ambrssio adalah seorang matematikawan Brasil yang pertama kali memperkenalkan etnomatematika pada tahun 1977.

Secara etimologis, kata etnomatematika terdiri atas awalan “ethno”

yang berarti sebagai sesuatu yang mengacu pada konteks sosial budaya, termasuk bahasa, kode perilaku, mitos, simbol, bahkan cara- cara tertentu yang digunakan masyarakat untuk bernalar dan menyimpulkan. Sedangkan kata dasar “mathema” berarti menjelaskan, mengetahui, memahami, dan melakukan kegiatan seperti pengkodean, mengukur, mengklasifikasi, menyimpulkan, dan pemodelan. Akhiran 'tics' berasal dari kata techne dan bermakna teknik (D’Ambrosio, 1997).

(51)

Definisi etnomatematika menurut D’Ambrosio adalah:

“The prefix ethno is today accepted as a very broad term that refers to the socialcultural context and therefore includes language, jargon, and codes of behavior, myths, and symbols.

The derivation of mathema is difficult, but tends to mean to explain, to know, to understand, and to do activities such as ciphering, measuring, classifying, inferring, and modeling.

The suffix tics is derived from techné, and has the same root as technique” (Rosa & Orey, 2011).

Lebih lanjut, etnomatematika berarti: “The mathematics which is practiced among identifiable cultural groups such as national - tribe societies, labour groups, children of certain age brackets and professional classes”. Artinya matematika yang dipraktekkan diantara kelompok budaya diidentifikasi seperti masyarakat nasional, suku, kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu dan kelas professional (D’Ambrosio, 1985). Lebih lanjut, menurut D’Ambrosio (1985) etnomatematika adalah studi tentang matematika yang memperhitungkan pertimbangan budaya dimana matematika muncul dengan memahami penalaran dan sistematika matematika.

3. Kajian Teori Eksplorasi Etnomatematika

Bishop (1988) mengemukakan 6 fundamental mathematical activities (6 aktivitas dasar matematika), yang dapat digunakan untuk membantu kita mengeksplorasi aspek-aspek matematika apa saja yang

(52)

ada dalam suatu budaya tertentu. Keenam aktivitas dasar matematika itu adalah:

3.1. Counting (perhitungan)

Aktivitas ini pada awal mulanya berkembang dikarenakan adanya kebutuhan dari masyarakat untuk membuat suatu catatan yang didasarkan pada harta dan benda yang dimilikinya. Oleh karena itu, aktivitas ini awalnya untuk membantu masyarakat dalam merepresentasikan suatu objek yang dimilikinya dengan objek lain yang memiliki nilai yang sama. Pada aktivitas counting terdapat beberapa hal yang ada yaitu kuantifikasi/kuantor, nama- nama bilangan, penggunaan jari dan bagian tubuh untuk menghitung, bilangan, nilai tempat, basis 10, operasi bilangan, akurasi, pendekatan, kesalahan dalam membilang, desimal, positif, negatif, besar tidak terhingga, kecil tidak terhingga, limit, pola bilangan, pangkat, diagram panah, representasi aljabar, probabilitas, representasi frekuensi.

3.2. Locating (lokasi)

Aktivitas ini pada awalnya untuk membantu masyarakat dalam menentukan lokasi berburu yang cocok, menentukan arah dengan menggunakan kompas pada saat melakukan perjalanan, serta dengan menentukan lokasi yang didasarkan pada objek benda langit. Pada aktivitas locating terdapat beberapa hal yaitu preposisi (misalnya letaknya di luar atau di dalam) dalam hal ini bisa dalam

(53)

bentuk titik maksimum, titik minimum, deskripsi rute/lintasan, lokasi lingkungan, arah mata angin, atas/bawah, depan/belakang, jarak, garis lurus/garis lengkung, sudut sebagai penanda perputaran, sistem lokasi, koordinat kutub, koordinat 2D/3D, pemetaan, lintang/bujur, tempat kedudukan (lokus), penghubungan, lingkaran, elips, dan spiral.

3.3. Measuring (pengukuran)

Aktivitas ini pada awalnya untuk membandingkan suatu objek dengan objek lainnya yang dilakukan oleh masyarakat untuk menentukan suatu berat, volume, kecepatan, waktu, serta hal-hal lainnya. Pada aktivitas measuring terdapat beberapa hal yaitu pembanding kuantitas (misalnya lebih cepat atau lebih kurus), mengurutkan, kualitas, pengembangan dari satuan, keakuratan satuan, estimasi, waktu, volume, area, temperatur, berat, satuan konvensional, satuan standar, sistem satuan, uang, satuan majemuk.

3.4. Designing (desain)

Aktivitas ini pada awalnya untuk melihat bentuk dari keanekaragaman bentuk suatu objek yang berupa gedung atau untuk melihat pola-pola yang berkembang dalam berbagai tempat yang ada. Pada aktivitas designing ada beberapa hal yaitu rancangan, abstraksi, bentuk (geometris), bentuk secara umum, estetika/keindahan, objek yang dibandingkan berdasarkan

(54)

bentuknya yang besar maupun kecil, kesebangunan, kekongruenan, sifat-sifat dari bangun, bentuk geometri yang umum, jaringan, gambar dan benda, permukaan, pengubinan, simetri, proporsi, perbandingan, pembesaran dengan skala, kepadatan dari suatu benda.

3.5. Playing (permainan)

Awalnya aktivitas ini untuk melihat suatu keanekaragaman yang terdapat pada permainan anak-anak yang berupa aspek-aspek matematis seperti bentuk bangun datar, sehingga melalui proses pengamatan tersebut maka anak-anak diajak untuk berpikir lebih kritis mengenai objek-objek yang membangun permainan tersebut.

Pada aktivitas playing ada beberapa hal yaitu puzzle, memodelkan, aktivitas yang didasarkan pada aturan, paradoks, prosedur, permainan, permainan berkelompok, permainan secara sendiri, strategi, pilihan, prediksi, penentuan hipotesis misalnya peluang.

3.6. Explaining (penjelasan)

Awalnya aktivitas ini untuk membantu masyarakat dalam menganalisis pola grafik, diagram, maupun hal lainnya yang memberikan suatu arahan untuk menuntun masyarakat dalam mengolah suatu representasi yang diwujudkan oleh keadaan yang ada. Pada aktivitas explaining ada beberapa hal yaitu kesamaan dalam bentuk benda-benda, klasifikasi, klasifikasi yang didasarkan pada hierarki, penjelasan cerita, logika koneksi (misalnya dan,

(55)

atau, serta yang lainnya), eksplanasi/penjelasan, penjelasan dengan simbol-simbol, diagram, matriks, pemodelan matematika.

D. Materi Matematika

Mbaru niang yang terdapat di kampung Wae Rebo kaya akan konsep matematika, seperti bentuk mbaru niang menyerupai bangun ruang kerucut, konstruksi mbaru niang menyerupai konsep prisma segi delapan, keterkaitan posisi compang, mbaru niang dan hiri bongkok membentuk konsep lingkaran serta terdapat ilmu membangun mbaru niang yang cukup baik hanya dimiliki oleh masyarakat Wae Rebo.

Sehingga mendorong penulis untuk mengkaji mbaru niang dan budaya Wae Rebo dengan matematika dalam penelitian ini melalui materi Kerucut, Kesebangunan, Lingkaran, Prisma, Segitia, Satuan, dan Sudut.

1. Elips

1.1. Definisi elips

Elips adalah tempat kedudukan titik-titik sedemikian hingga jumlah jaraknya dari pasangan dua titik tertentu (titik fokus/titik api) adalah konstan (Suarsana, 2014).

(56)

Gambar 2.11 Elips 1.2. Unsur-unsur Elips

Berdasarkan gambar 2.11, terdapat unsur-unsur elips sebagai berikut:

1.2.1. Garis yang melalui kedua fokus elips dinamakan sumbu utama elips.

1.2.2. Segmen garis yang menghubungkan kedua titik puncak disebut sumbu mayor (sumbu panjang) elips dengan panjang 2𝑎 satuan (𝑎 adalah satuan setengah panjang sumbu mayor).

1.2.3. Segmen garis yang menghubungkan titik potong elips dengan sumbu 𝑦 yaitu titik 𝐶(0, −𝑏) dan 𝐷(0, 𝑏) disebut sumbu minor (sumbu pendek) elips, dengan panjang 2𝑏 satuan (𝑏 adalah panjang setengah sumbu minor).

𝐹(−𝑐, 0) 𝐹(𝑐, 0)

𝐷(0, 𝑏)

𝑀(0,0)

𝑐 𝑐

𝑎 𝑎

𝑃(𝑥, 𝑦)

𝐶(0, 𝑏)

𝐴(−𝑎, 0) 𝐵(𝑎, 0)

𝑌

𝑋 𝐿

𝑀 𝑁

𝑀

(57)

1.2.4. Titik-titik tetap 𝐹 (𝑐, 0) dan 𝐹(−𝑐, 0) terletak pada sumbu mayor disebut titik fokus (titik api) elips.

1.2.5. Titik persekutuan elips dengan sumbu utamanya disebut titik puncak elips, seperti titik 𝐴(−𝑎, 0) dan titik 𝐵(𝑎, 0).

1.2.6. Titik pada sumbu utama yang terletak di tengah-tengah kedua titik puncak disebut titik pusat elips (titik 𝑀(0,0)).

1.2.7. Titik 𝑃(𝑥, 𝑦) adalah sembarang titik yang terletak pada elips.

1.2.8. Tali busur yang melalui salah satu titik fokus elips dan tegak lurus dengan sumbu mayor disebut latus rektum (tali busur 𝐿𝑀̅̅̅̅ dan 𝑁𝑂̅̅̅̅, dimana panjang latus rektum |𝐿𝑀̅̅̅̅| = |𝑁𝑂̅̅̅̅| =

2𝑏2 𝑎 .

1.2.9. Persamaan elips pada gambar 2.11 adalah 𝑥

2 𝑎 +𝑦2

𝑏 = 1.

2. Kerucut

2.1. Definisi kerucut

Kerucut adalah suatu garis lurus yang bergerak, yang selalu melalui puncak bidang kerucut (titik T pada gambar 2.11) dan memotong suatu garis lengkung yang diketahui (alas kerucut).

Kerucut dapat dibentuk oleh suatu segitiga siku-siku TOA yang berputar mengelilingi sisi siku-siku TO dan terdapat garis lurus TA yang bergerak, yang selalu melalui titik T dan memotong suatu garis lengkung yang diketahui disebut garis pelukis (Thijn, 1953).

(58)

Gambar 2.12 Kerucut 2.2. Unsur-unsur kerucut

Berdasarkan gambar 2.12, diperoleh unsur-unsur kerucut sebagai berikut:

2.2.1. Titik A melukis lingkaran (alas kerucut) yang disebut rusuk kerucut

2.2.2. Garis TA yang melukis suatu bagian dari bidang kerucut disebut garis pelukis (s).

2.2.3. T adalah puncak kerucut

2.2.4. Suatu bagian dari bidang kerucut yang dilukis oleh garis TA (garis pelukis) adalah selimut kerucut.

2.2.5. TO merupakan tinggi kerucut

(59)

3. Lingkaran

3.1. Definisi lingkaran

Lingkaran adalah himpunan semua titik pada bidang datar yang berjarak sama dari suatu titik tertentu atau titik pusat lingkaran (Alexander & Koeberlein, 2011).

3.2. Unsur-unsur lingkaran

Gambar 2.13 Lingkaran

Berdasarkan gambar 2.13, diperoleh unsur-unsur lingkaran sebagai berikut (Thijn, 1953):

3.2.1. 𝐵𝐷̅̅̅̅ adalah diameter lingkaran

3.2.2. 𝐴𝐵̅̅̅̅ , 𝐴𝐶̅̅̅̅, dan 𝐴𝐷̅̅̅̅ adalah jari-jari lingkaran 3.2.3. 𝐸𝐹̅̅̅̅ adalah tali busur lingkaran

3.2.4. Garis lengkung diantara titik E dan titik F adalah busur lingkaran

(60)

3.2.5. Juring adalah bagian luas lingkaran yang dibatasi oleh dua buah jari-jari dan sebuah busur, seperti juring BAC.

3.2.6. Tembereng adalah bagian luas lingkaran yang dibatasi oleh tali busur dan sebuah busur, seperti tembereng EF.

3.2.7. Apotema adalah garis tegak lurus yang ditarik dari pusat lingkaran kesebuah tali busur, seperti garis AD

4. Prisma

4.1. Definisi prisma

Prisma adalah suatu benda yang dibatasi oleh dua buah bidang yang sejajar dan kongruen serta oleh beberapa bidang dengan garis-garis potong sejajar (Thijn, 1953).

Gambar 2.14 Prisma segilima

Bidang-bidang yang sejajar itu dinamakan bidang alas dan bidang atas. Berdasarkan gambar 2.14, ABCDE adalah bidang alas dan FGHIJ adalah bidang atas dan AF, BG, CH, DI, dan EJ dinamkan rusuk tegak. Dikatakan segilima karena mempunyai lima buah sisi tegak.

Gambar

Tabel 2.1 Jenis-jenis Prisma……………………………………………………43  Tabel 4.1 Kesetaraan Mbaru Niang dan Kerucut………………………………98  Tabel 4.2 Hubungan Posisi Hiri Bongkok, Compang, dan Tujuh Buah Mbaru
Gambar 2.1 Peta situasi kampung adat Wae Rebo, Desa Satar Lenda,  Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, NTT
Gambar 2.11 Elips  1.2. Unsur-unsur Elips
Tabel 2.1 Jenis-jenis prisma
+7

Referensi

Dokumen terkait

Baterai pun akan menyuplai keperluan listrik yang dibutuhkan kapal untuk dapat memfasilitasi penumpang dan menggunakan seluruh perlatan yang berada di atas kapal..

[r]

Projek ternakan ikan marin yang diusahakan oleh Pertubuhan Peladang Kawasan (PPK) Sungai Petani Kedah merupakan pemenang Anugerah Pengurusan Projek Terbaik bagi kategori

Yang dibuat untuk melengkapi persyaratan menjadi Sa{ana Teknik pada Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta,

c. Koordinator pelayanan Klinis, Administrasi Manajemen/ Ka.TU dan koordnator Upaya Puskesmas memberi masukan tentang Kompetensi Klinis dan tenaga non klinis lainnya,

dari hasil penelitiannya diketahui tenaga kerja yang bekerja di perusahaan tersebut melebihi beban kerja seharusnya, yaitu jumlah karyawan saat ini pada porter shift I

Wasiat Wajibah bagi Ahli Waris beda Agama menurut Perspektif Hukum Positif di Indonesia .... Pendapat ulama mengenai wasiat wajibah bagi ahli waris beda

PROGRAM STUDI TEKNIK TELEKOMUNIKASI JURUSAN TEKNIK ELEKTRO.. POLITEKNIK