• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

A. Budaya Wae Rebo

1. Pengertian Budaya dan Unsur Kebudayaan

Menurut Koentjaraningrat (1980: 181) kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata culture, yang berarti kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan sesuatu yang berhubungan dengan akal. Menurut Bakker (1984: 22) kebudayaan merupakan penciptaan, penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani yang memuat usaha memanusiakan bahan alam dan hasilnya. Inti dan batas kebudayaan yakni membudayakan alam, memanusiakan hidup, menyempurnakan hubungan keinsanian merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan.

Lebih lanjut, menurut (Peursen, 1988: 10) kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang yang selalu merubah lingkungan hidup. Oleh karena itu, terdapat manusia yang terbenam dalam alam sekitarnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan suatu perwujudan

nilai kemanusian dan akal sehat setiap orang dan setiap kelompok terhadap alam sekitarnya demi terciptanya kehidupan yang harmonis.

1.2. Unsur-unsur Kebudayaan

Menurut Bakker (1984: 37-50), terdapat dua unsur dalam kebudayaan yakni kebudayaan subjektif dan kebudayaan objektif.

1.2.1. Kebudayaan Subjektif

Kebudayaan subjektif adalah nilai-nilai batin yang dilihat dari harapan dasar yang ada pada manusia, seperti dalam perkembangan kebenaran, kebijakan dan keindahan. Perwujudan dari nilai-nilai itu yakni tampak dalam kesehatan badan, ketenangan batin, kecerdasan pikiran, kecakapan dalam mengkomunikasikan apa yang dipikirkan kepada orang lain dan kerohanian.

1.2.2. Kebudayaan objektif

Kebudayaan objektif adalah nilai-nilai yang terdapat dalam akal budi (pikiran) manusia yang harus menunjukkan kemampuan untuk mempelajari dan menghasilkan sesuatu. Nilai-nilai itu juga disebut sebagai hasil budaya, alat (instrumen) dan unsur-unsur kebudayaan objektif dapat klasifikasikan dalam beberapa prinsip berikut, seperti:

1.2.2.1. Ilmu Pengetahuan Tujuan dari ilmu pengetahuan untuk menggambarkan asal

mula fenomena-fenomena alam secara terurut dan mengetahui

sebab akibatnya secara umum. Ilmu pengetahuan terdiri atas science (ilmu eksakta) dan humanities (sastra, filsafat, kebudayaan, sejarah, dan lain-lain).

1.2.2.2. Teknologi

Teknologi terbilang antara sikap dan budaya yang penting.

Berdasarkan pengetahuan alam, teknologi bertujuan untuk memanfaatkan sumber-sumber daya alam agar terpenuhi makanan, perumahan, komunikasi dan lain-lain untuk martabat hidup yang layak.

1.2.2.3. Kesosialan

Kesosialan dipandang sebagai sifat, unsur, asas dan alat demikian erat berhubungan dengan kebudayaan, sehingga hanya dapat dibedakan secara konseptual saja.

1.2.2.4. Ekonomi

Pada ranah kebudayaan, ekonomi meliputi pola kelakuan dan lembaga-lembaga yang melaksanakannya dalam bidang produksi, dan konsumsi keperluan-keperluan hidup serta pelayanan-pelayanannya.

1.2.2.5. Kesenian

Kesenian menunjukkan nilai kebudayaan yang direpresentasikan melalui hasil karya tangan manusia dengan alam sebagai objek yang dilukis. Alam dihias dengan gaya indah agar dapat menyejukkan mata para penikmat karya seni.

Keindahan tersebut adalah sesuatu yang dilihat atau didengar dapat dinilai dengan baik.

1.2.2.6. Agama

Agama dipandang sebagai keyakinan hidup rohani, baik perseorangan maupun kelompok, adalah tanggung jawab manusia kepada panggilan Tuhan di dalam alam. Keyakinan itu memuat iman, rasa hormat, rasa tobat dan rasa syukur yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia.

2. Budaya Wae Rebo 2.1. Letak Geografis

Secara geografis, Wae Rebo terletak di Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur.Terletak pada koordinat S 8º 46’ 09.9’’ dan E 120º 17’

02, 3’’ dengan ketinggian 1.120 mdpl. Kampung Wae Rebo diapit oleh gunung dan hutan lebat. Gunung-gunung yang mengelilingi kampung, antara lain Golo Reba (gunung Rebah) terdapat di sebelah utara, Golo Mehe (gunung Mehe) terdapat di sebelah timur laut, Golo Sunsa (gunung Sunsa), Golo Densa Tengdang (gunung Densa Tengdang), dan Golo Pontomio (gunung Pontomio) terdapat di sebelah timur, Golo Wetok Ruang (gunung madu tanah) terdapat di sebelah selatan dan Golo Tonggar Kina (gunung Tonggar Kina), Golo Ponto (gunung Ponto) serta Golo Halu (gunung Halu) terdapat di sebelah barat kampung ini.

Lebih lanjut, hutan di kampung ini merupakan hutan larangan sehingga

masyarakat tidak ada yang mengambil kayu sembarangan di hutan ini.

Oleh karena itu, kelestarian hutan ini tetap terjaga (Keling, 2016).

Perjalanan menuju Wae Rebo dapat ditempuh melalui jalur darat, dari Ruteng (kota di Kabupaten Manggarai) ditempuh dalam waktu 4-5 jam atau dari bandara udara Komodo ditempuh dalam waktu 6-7 jam menuju kampung terdekat yaitu Denge. Dari kampung ini, kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki selama 3-4 jam menuju kampung Wae Rebo. Perjalanan menuju kampung ini, kita akan melewati 3 buah ngalor (sungai), antara lain Wae Tijo (air Tijo), Wae Lomba (air Lomba) dan Wae Regang (air Regang).

Kampung Wae Rebo dikelilingi oleh gunung maupun bukit sehingga menyebabkan kondisi udara yang sangat dingin dan sejuk.

Lebih lanjut, terdapat 7 buah bentangan alam yang menjaga kampung Wae Rebo, yaitu(dalam Keling, 2016):

2.1.1. Golo Mehe: Gunung Mehe

2.1.2. Golo Polo: Gunung Cadas yang mengeluarkan air 2.1.3. Golo Ponto: Gunung Ponto

2.1.4. Hembel: hutan (nama hutan) 2.1.5. Ponto Nao: hutan (nama hutan) 2.1.6. Ulu Regang: mata air Regang 2.1.7. Ulu Wae Rebo: mata air Wae Rebo

Gambar 2.1 Peta situasi kampung adat Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, NTT. (Sumber:

Keling, 2016).

2.2. Unsur-unsur Kebudayaan Wae Rebo

Unsur-unsur kebudayaan yang beragam pada masyarakat Wae Rebo seperti, struktur dan kehidupan sosial/kekerabatan, ritual atau acara adat, bahasa Wae Rebo, kesenian, dan sistem mata pencaharian.

2.2.1. Struktur dan kehidupan sosial/kekerabatan

Sistem kehidupan sosial/kekerabatan di Wae Rebo memiliki kesamaan dengan sistem kehidupan sosial/kekerabatan yang berlaku di Manggarai pada umumnya. Menurut Verheijen (1977) sistem kehidupan sosial/kekerabatan yang berlaku di Manggarai bersifat patrilineal (garis keturuan ayah). Dilihat dari segi keturunan, kelompok warga dibedakan menjadi beberapa kelompok, yaitu kelompok keturunan sulung (wae tu’a), kelompok

keturunan sesudahnya (wae shera), dan kelompok keturunan bungsu (wae koe).

Lebih lanjut, ada tiga klasifikasi tetua adat yang ada di daerah Manggarai, seperti tu’a golo, tu’a teno, dan tongka (Nggoro, 2006).

2.2.1.1. Tu’a golo

Tu’a golo berasal dari dua kata yaitu tu’a dan golo. Tu’a berarti ketua/kepala/pemimpin dan golo berarti bukit/gunung.

Dengan demikian, tu’a golo berarti kepala pemerintahan kampung. Adapun kriteria untuk menjadi tu’a golo yakni sudah mencapai usia dewasa, memahami adat Manggarai, sehat jasmani maupun rohani, memiliki kemampuan untuk memimpin dan dipilih berdasarkan musyawarah dan mufakat warga kampung atau bisa dipilih secara aklamasi.

Tugas dan wewenang dari tu’a golo adalah memimpin sidang warga kampung menyangkut kepentingan bersama, misalnya dalam mengadakan rehabilitasi rumah adat/membangun rumah adat (pande cuwir kole mbaru tembong/pande mbaru tembong weru), bersih kubur (we’ang boa), membersihkan air minum (barong wae teku), membuat pagar kompleks kampung.

2.2.1.2. Tu’a teno

Tu’a teno berasal dari dua kata yaitu tu’a dan teno. Tu’a berarti ketua/kepala/pemimpin dan teno berarti kayu teno.

Dengan demikian tu’a teno adalah kepala pembagian tanah ulayat. Tu’a teno dipilih secara musyawarah oleh warga masyarakat setempat yang mewakili tuan tanah dari kerabat lain. Tuan tanah yang dimaksud adalah orang yang pertama tinggal/menetap di lokasi atau sekitar tanah tersebut, sehingga dapat memahami sejarah dan status kepemilikan tanah sehingga dapat dipercaya menjadi tu’a teno.

2.2.1.3. Tongka

Kata tongka berarti juru bicara dalam acara perkawinan masyarakat Manggarai. Dalam budaya masyarakat Manggarai, tongka sering dilibatkan sebagai juru bicara dalam acara perkawinan baik dari keluarga kaum laki-laki maupun keluarga kaum perempuan yang bertugas untuk mewakili masing-masing keluarga dalam acara pernikahan.

2.2.2. Ritual atau acara adat

Ritual atau acara adat yang dilakukan oleh masyarakat Wae Rebo pada umumnya, seperti acara kelahiran, pernikahan dan kematian. Pertama, acara kelahiran. Masyarakat Wae Rebo pada umumnya tidak mengenal upacara pada waktu kehamilan. Namun, terdapat upacara yang biasa dilakukan saat kelahiran oleh

masyarakat setempat. Ketika proses persalinan, satu orang bapak yang ditugaskan mengambil sebatang bambu kecil dan tipis (elung) dan dipukul-pukul di dinding luar kamar tempat persalinan serta proses persalinan dibantu oleh seorang ibu yang memiliki keahlian khusus dalam membantu persalinan. Bambu tersebut dipukulkan tiga kali sambil berkata, “ata one ko ata peang? (laki-laki atau perempuan?)”, “ata peang ko ata one?(perempuan atau laki-laki?)” dan “ata one ko ata peang?” (Keling, 2016).

Selanjutnya dari dalam kamar, seorang ibu yang bertugas membantu persalinan harus menjawab satu jawaban yaitu ata one (jika yang lahir laki-laki) dan ata peang (jika yang lahir perempuan). Setelah mendapat jawaban dari dalam, bambu yang digunakan untuk memukul dinding tadi dimasukkan ke dalam sela-sela lubang di rumah. Kemudian, bambu tersebut dipotong dan ditajamkan dan digunakan untuk memotong tali pusar bayi. Di kolong bawah kamar tempat persalinan diletakan ranting-ranting pohon untuk menampung pembuangan air ketuban.

Hari ke-7 setelah proses persalinan, diadakan upacara nori rengka dengan menggunakan sarana persembahan berupa sebutir telur. Seorang yang dituakan untuk membawa telur tersebut dan didoakan di dekat ranting tempat menampung air ketuban.

Masyarakat Wae Rebo percaya bahwa air ketuban ini adalah ase kae (saudara kembar) yang melindungi sang bayi. Doa-doa yang

dipanjatkan tadi dengan maksud mengangkat ase kae masuk ke dalam rumah bersama dengan bayi. Setelah ranting-ranting tadi didoakan, kemudian dibawa keluar dan dikubur bersama-sama dengan ari-ari dan telur yang sudah didoakan. Ada ketentuan yang harus ditaati bahwa tempat untuk menguburkan ari-ari bayi harus lurus dengan pintu kamar tempat persalinan. Ari-ari tersebut dibungkus dengan daun pisang, abu dapur dan air panas dengan maksud agar tidak diganggu semut. Selama 7 hari, tanah tempat mengubur ari-ari ini harus selalu disiram dengan air panas untuk mencegah gangguan dari hewan-hewan liar di hutan.

Kedua, acara pernikahan. Usia pernikahan masyarakat Wae Rebo umumnya terjadi pada usia 20-30 tahun. Ketika memasuki jenjang pernikahan, tahap pertama yang dilakukan oleh masyarakat setempat adalah melaksanakan acara tukar kila (tukar cicin) atau dikenal sebagai tunangan. Makna dari acara ini adalah kaum laki-laki maupun perempuan menyatakan cinta mereka di hadapan orang tua mereka. Tempat acara dan korban sembelih disiapkan oleh kaum perempuan. Tahap selanjutnya adalah kempu (pemutusan belis atau maskawin) berupa kesepakatan yang dihasilkan melalui pertemuan keluarga laki-laki dan perempuan.

Dalam acara ini, masing-masing keluarga mengutus keluarga juru bicara yang disebut tongka (juru bicara perkawinan). Hasil kesepakatan belis berupa uang (tergantung kesepakatan kedua

belah pihak) dan hewan (dua ekor kerbau dan lima ekor kuda, yang bisa berkurang tetapi bertambah tidak mungkin). Acara selanjutnya adalah wagal. Acara ini bermakna sebagai kedatangan kaum pria ke rumah perempuan membawa babi untuk di sembelih dan belis yang telah disepakati bersama. Selang waktu untuk acara kempu dan wagal bisa beragam, misalnya satu atau dua bulan bahkan mencapai tahunan. Setelah acara wagal, pasangan resmi menikah secara adat dan kaum perempuan sudah diijinkan untuk di bawah ke rumah pria (Antar, 2010).

2.2.3. Bahasa Wae Rebo

Bahasa masyarakat Wae Rebo pada umumnya sama dengan bahasa Manggarai pada umumnya. Menurut KoO (dalam Senudin, 2016), klasifikasi kata “tidak” menjadi salah satu pembeda dalam pembagian bahasa di daerah Manggarai. Kata toe diucapkan oleh Masyarakat di kabupaten Manggarai Tengah dan di kabupaten Manggarai Barat untuk mengatakan tidak, sedangkan kata mbaen diucapkan oleh masyarakat Rongga dan kata pae diucapkan oleh masyarakat Rembong yang berada di kabupaten Manggarai Timur.

Lebih lanjut, perbedaan yang paling signifikan bahasa dari ketiga kabupaten tersebut terletak pada dialek, konsonan-vokal, dan kosa kata yang ada.

2.2.4. Kesenian

Kesenian masyarakat Wae Rebo memiliki kesamaan dengan kesenian masyarakat Manggarai pada umumnya. Kesenian tersebut berupa seni pertunjukkan yang diekspresikan melalui seni musik, seni tari dan seni rupa (Nggoro, 2006). Di Wae Rebo juga tumbuh dan berkembang kesenian khas, seperti seni pertunjukkan (tari, musik, nyanyian), seni arsitektur (rumah) dan benda-benda yang memiliki nilai estetika atau kerajinan.

2.2.4.1. Seni pertunjukkan

Seni pertunjukkan masyarakat Wae Rebo berupa caci, tarian-tarian dan nyanyian serta alat musik.

2.2.4.1.1. Caci

Caci bersal dari dua kata yaitu “ca” dan “ci”.

Kata “ca” berarti satu dan kata “ci”berarti uji. Dengan demikian, kata caci berarti uji satu lawan satu untuk menunjukkan siapa yang menang dan kalah. Adapun kelangkapan-kelengkapan yang dipakai dalam permainan caci, seperti perisai (nggiling), cambuk (larik) yang digunakan untuk memukul lawan dan pelindung kepala (pangga).

Caci merupakan salah satu kebudayaan Manggarai atau Wae Rebo yang unik dan kaya akan makna budaya, seperti seni gerak (lomes), nilai etika (sopan santun),

nilai estetika, persatuan, ekspresi sukacita, percaya diri dan menjunjung tinggi sportifitas.

2.2.4.1.2. Musik dan nyanyian

Musik dan nyanyian tradisional masyarakat Wae Rebo terdiri atas beragam jenis, seperti mbata, lando, sanda, dan mbata congka.

2.2.4.1.3. Alat musik

Alat musik yang digunakan oleh masyarakat Wae Rebo adalah gong dan gendang. Gendang biasanya dimainkan sebagai alat musik utama dalam lagu-lagu masyarakat Wae Rebo.

2.2.4.2. Seni arsitektur

Seni arsitektur yang ada di kampung Wae Rebo meliputi mbaru niang dan compang.

2.2.4.2.1. Mbaru niang

Mbaru niang berasal dari dua kata yaitu “mbaru”

yang berarti rumah dan “niang” yang berarti berbentuk kerucut. Dengan demikian mbaru niang merupakan rumah adat yang berbentuk menyerupai kerucut.

Konstruksi mbaru niang ini beratapkan ijuk (wunut) dan memiliki sembilan tiang utama (hiri mehe). Sembilan tiang utama ini berada pada lantai dua mbaru niang yang disebut lutur. Makna dari sembilan tiang utama ini

adalah 9 bulan manusia ketika masih dalam kandungan.

Di depan tiang ini tetua adat duduk ketika memimpin upacara adat.

2.2.4.2.2. Compang

Compang atau batu temu gelang merupakan susunan batu berbentuk lingkaran yang ditengah-tengahnya diisi dengan tanah adapula yang diisi dengan batu-batu yang digunakan sebagai sarana pemujaan kepada leluhur. Compang di kampung Wae Rebo berdiameter 7,4 m dan tinggi 1,2 m dan berfungsi sebagai tempat melakukan upacara adat (Keling, 2016).

2.2.5. Sistem mata pencaharian

Mayoritas masyarakat Wae Rebo bermata pencaharian sebagai petani. Hal ini juga sejalan dengan mata pencaharian masyarakat Manggarai yakni mayoritas sebagai petani. Tanah yang digarap oleh masyarakat Manggarai adalah tanah ulayat dalam bahasa Manggarai di sebut lingko dan proses menggarap tanah ulayat disebut tente teno. Menurut Nggoro (dalam Senudin, 2016) proses tente teno/lodok uma weru berarti membuka kebun baru oleh sekelompok masyarakat atau suatu warga kampung yang dipimpin oleh tu’a teno (kepala pembagi tanah ulayat).

Lebih lanjut, hasil kebun masyarakat Wae Rebo antara lain kopi, jeruk, sirih, markisa, jahe dan temulawak. Masyarakat Wae

Rebo biasanya menjual hasil kebun mereka di pasar yang berada di kampung Kombo. Jarak dari kampung Wae Rebo dan kampung Kombo kurang lebih 8 Km. Pekerjaan lain masyarakat Wae Rebo adalah guru, tukang dan pemandu wisata. Potensi wisata Wae Rebo membuka lapangan pekerjaan baru seperti menjadi pembawa barang para wisatawan dan menjadi pemandu wisata (guide) untuk memperkenalkan Wae Rebo kepada pengunjung.

Kemampuan ibu-ibu, seperti kemampuan menenun juga menambah penghasilan keluarga (Antar, 2010).

Dokumen terkait