• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara konflik peran dengan kepuasan kerja pada karyawati PT. Garuda Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara konflik peran dengan kepuasan kerja pada karyawati PT. Garuda Indonesia"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

Di susun Oleh :

lndi Astarika

NIM: 1010170022974

Skripsi ini diajukan untuk memcnuhi scbagian pcrsyaratan dalam

mcmpcrolch gclar sarjana Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSIT AS ISLAM NEGERI SY ARIF HIDAY ATULLAH

.JAKARTA

(2)

Skripsi

Diajukan untuk mcmcnuhi scbagian syarat-syarat

mcncapai gclar Sarjana Psikologi

Pcmbimbing I

Olch:

lndi Astarika

NIIVI: 1010170022974

Di Bawah bim bingan

セュ「ゥュ「ゥBァ@

tr

セセ@

D

rui. )-,,

Za

Ii ro tun

IJrcA'scp Clrncru!Bani, Psi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAIVI NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

.JAKARTA

(3)

NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 November· 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Jakarta, 14 Juli 2006

Sidang Munaqasyah

Dra. Hartati M. Si

Anggota:

Drs. AIGul Rahman Shaleh, M. Si

nipZGᄋQセゥᄃ@

293 224

Pembimbing I

NIP. 150 238 773

Dra. H". Zahr

Penguji II

I

fhayah, M. Si

Pembimbing II

Drs. Asep Chaerul Gani

(4)

(D) Hubungan Konflik Peran dengan Kepuasan Kerja

(F) Terdapat banyak hal yang membuat perempuan mernutuskan untuk mengarnbil peran sebagai ibu rurnah tangga atau menjadi ibu yang bekerja. Kedua-duanya tentu saja memiliki konsekuensi tersendiri, terlebih bagi perempuan yang menjalani peran tersebut secara

bersamaan. Pada kenyataannya ketika peran-peran l:ersebut berasal dari domain yang berbeda serta menuntut untuk dilaksanakan secara

bersamaan, munculah konflik peran dan bila keadaan tersebut tidak berjalan selaras biasanya akan timbul kecemasan dan juga stress yang dalam hal ini penulis golongkan dalam terjadinya konflik peran.

Penelitian tentang kepuasan kerja menjadi penting dalam suatu organisasi karena kepuasan kerja yang tinggi pada gilirannya akan meningkatkan efiktivitas perusahaan secara keseluruhan. Kepuasan dan ketidakpuasan kerja memiliki akibat langsung terhadap efektivitas

organisasi. Beberapa penelitian dilakukan untuk membuktikan pengaruh kepuasan kerja terhadap variabel organisasi tertentu.

Populasi penelitian ini berjumlah 150 orang. Sample penelitian ini berjumlah 105 orang kariawati PT. Garuda Indonesia Gate, dimana populasi dan sample memiliki kesamaan khususnya dalam hal

manajemen perusahaan. lntrumen penelitian yang difJUnakan adalah skala model liker! yang terdiri dari 18 item mengenai konfik peran dengan indeks diperoleh koefisien relyabilitas 0,8007, 13 item mengenai

kepuasan kerja aspek harapan diperoleh indeks koefisien reliabilitas 0.7692 dan 15 item mengenai kepuasan kerja aspek kenyataan diperoleh indeks koefisien reliabilitas 0,840 Adapun analisis data menggunakan analisa product moment dengan tehnik pengumpulan data random sampling.

Dari hasil pengolahan data di simpulkan bahwa terdapat keragaman hal yang menyebabgan terjadinya konfik peran baik dalam harapan terhadap pekerjaan yang kariawati hadapi maupun dalam kenyatan yang kariawati terima. Namun pada akh1rnya tidak terdapat hubungan antara konflik peran dengan kepuasan kerja.

(5)

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

ABSTRAK ... v

KA TA PENGANT AR ... vi

DAFTAR ISi ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 BAB 2 PENDAHULUAN ... . 1.1. Latar Be/akang Masalah ... . 1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1. Pembatasan Masalah 1.2. 2. ldentifikasi Masalah ... . 1.2. 3. Perumusan Masalah ... . 1.3. Tujuan Penelitian ... . 1.4. Manfaat Penelitian ... . 1.5. Sistematika Penulisan ... .. 1 1 8 8 8 9 9 9 9 KAJIAN TEORI ... 11

2.1. Perempuan Bekerja . .. . . ... . .. .. . .. .. .. . . .. . ... ... . .. ... .... .. .. .... 11

(6)

BAB 3

2.2.3. Faktor-faktor yar.g m・ュー・ョセQ。イオィゥ@ Konflik Peran 2.2.4. Sumber Konflik Peran ... .

2.2.5. Cara Mengatasi Peran Ganda ... . 2.2.6. Kategori Penyesuaian Peran ... . 2.3. Definisi Kepuasan Kerja ... . 2.4. Faktor-faktor yang Mempangaruhi l<epuasan Kerja ... . 2.5. Kerangka Berpikir

2.6. Hipotesa ... .. 31 33 36 38 41 44 48 50 METODOLOGI PENELITIAN ... 51 3.1. Jenis Penelitian ... .. 3.2. Populasi dan Sample Penelitian ... .

3.2.1. Populasi ... . 3.2.2. Sample ... . 3.2.3. Teknik Pengambilan Sample ... . 3.3. Desain Penelitian ... .. 3.4. Variabel Peneltian dan Definisi Operasional. ... .

3.4.1. Variabel ...

3.4.2. Definisi Operasional ... . 3.5. Metode dan lnstrumen ... .

(7)

3.7.2. Skala Kepuasan Kerja ... ... 59

3.8. Tehnik Pengumpulan d。セ。@ ... ... 63

3.9 Prosedur Penelitian ... 63

3.9.1. Pra Penelitian ... 63

3.9.2. Penelitian ... ... ... 64

3.9.3. Post Penelitian ... ... .... ... 64

3.10. Analisa Data ... ... ... ... ... ... .. .... ... 64

3.11.Uji lnstrumen Penelitian ... 66

3.11.1.Uji Persyaratan... 69

3.11.2 ... ··· ··· 64

BAB 4 PRESENTASI DAN ANALISJS DATA... 73

4.1. Gambaran Umum Responden ... 73

4.2. Presentasi Data... 74

BAB 5 PENUTUP ... 73

5.1. Kesimpulan ... ... 73

5.2. Diskusi ... 74

(8)
(9)

1.1. Latar Beiakang Masalah

Terjadinya revolusi industri menjadi awal pembagian tugas kerja antara

laki-laki dan perempuan. Sejak terjadinya revolusi lndustri, tugas pencari nafkah

keluarga menjadi tugas pria, sedangkan tugas mengurus rumah dan

mengurus keluarga menjadi tugas perempuan. Setelah revolusi terjadi

pekerjaan rumah menJadi pekerJaan yang diberi upah dan pekerja harus

meninggalkan rumah untuk bekerja dalam pabrik-pabrik atau kantor. Namun

sifat penurut, sederhana, submisif, yang merupakan karakteristik feminin

membuat perempuan akan terancam dalam dunia pekerjaan.

Pembagian kerja ini cenderung memperkuat ketergantungan perempuan

terhadap laki-laki, baik secara ekonomi maupun secara emosional. Karena

berdasarkan fungsi perempuan untuk melahirkan dan mengasuh anak, maka

pekerjaan perempuan hanya berkisar dalam rumah. Jadi tempat yang pantas

(10)

perempuan adalah menikah dengan laki-laki yang 。セ。イL@ mencari nafkah dan

menjadi kepala rumah tangga (Goldman dan Milna, 1909:76).

Pada saat ini pembagian kerja berdasarkan jenis kel?min tidak lagi dapat di

terima begitu saja oleh kaum perempuan. Mere:<a merasa bahwa dengan

pemhagian kerja ini, di mana kaum perempuan di rumah dan kaum lnki-laki r'

bekerja di Juar rumah, akan ュ・ョセゥオョエオョァヲZ。ョ@ kaurn lal<.i-laki saja. Perempuan

menjadi tidak berkembang sebagai manusia karena dunianya serba terbatas

sedangkan kaum pri3 dapat mengembangk<Jn c'irinya ᄋセ・」」ゥイ。@ optimal

(Budiman, 1958:2). Selain itu pekerjaan rumah tangga merupakan pekerjaan

berat, membosankan dan ini tida1< saja pandangan perempuan tapi juga

rnerupakan pandangan suami-suami mereka. Pekerjaan rumail :::ingga juga

merupakan pekerjcian yang yang terisoli:· dan mernbuat perernpuar: tidak

berkembang. (Berg, 1968: 162) .... ••

Kenyataannya saat ini terda;:iat banyak alasan yang membuat perempuan

memutuskan untuk bekerja. Kebutuhan finansial, ke'·1utuhan sosial relasional.

セ@ . セ@ / ' .

セ・「オエオィ。ョ@ akan aktualisasi diri, dan lain lain adalah benerapa alasan yano

. .

..

'

--

- セ@ . .

ュ・ョケ・「N。「セ。ョ@ .Vf.qnita ュ・NャャIゥセャQ@ untuk bekerj? (Rini, 2002). 0 ara perernpuan

beranggapan bahwa dengan hekcorja rnereka akan mendapatkan baberapci

manfaat r:Jiantaranya adalah manfaat linansial. lbu yang t "kerja akan

(11)

menikmati kualitas hidup yang leuih baik, seperti gizi, pendidikan, tempat

tinggal, sandang, hiburan, dan fasilitas kesehatan.

Tujuan lain wanita bekerja adalah untuk ュ・セゥイゥアォ。エャ\Z。⦅ョ@ har_ga d'.r.i セ・ャオセAjャ。@

gan oeman!apan identitas. Dengan bekerja memun9kinkan wanita

mengekspresikan dirinya dangan cara yang produktif dan kre2tif. Melalui

bekerja, wanita berusaha menemukan arti dan identitas dirinya dan

pencapaian tersebut mendatangkan rnsa percayci cliri dar. kebahagiaan.

Relasi yang sehat dan positif dengan keluarga dap<.t terJadi karena wanita

pekerja memiliki wawasan yang luas, pola berfikir yang terbuf:a, dan lecih

dinamis. lstri dapat dijadikan sebagai partner untuk bertukar pikiran, saling

I.

membagi harnpan, pandangan dan l8nggung jawab. Pemenuhan kebu'uhar

sosial dapat diperoleh para ibu dengan menjalin hubungan dengan orang

lain. Melalui :\egiatan bertemu rekan kerja ibu bekerja dapat berbagi

perasaan, pandangan dan pemecahan IT'asalah. Peningkatan keterampilan

dan kompetensi didapatkan oleh para pernmpuan pek'3rja dengan

menyesuaikan diri terhadap tuntutan pel\erjaan. PeninQkcitan keterampilan ini

akan meningkatkan rasa percaya diri dc.n mendatang!,an ni'ai yang lebih tagi

(12)

Rini (2002) juga memaparkan beberapa penelitian rnengenai studi tentang

kepuasan hidup wanita bekerja yang pernah dilakukan oleh Ferree (1976)

menunjukkan bahwa wanita yang bekerja menunjukkan tingkat kepuasan

hidup sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja,

meski ada beberapa faktor lain yang ikut menentukan. Dalam studi lain masih

menyangkut kebahagiaan kehidupan para ibu bekerja, yang dilakukan oleh

Walters dan Mc Kenry (1985) menunjukkan, bahwa rnereka cenderung

merasa bahagia selama para ibu bekerja tersebut dapat mengintegrasikan

kehidupan keluarga dan kehidupan kerja secara harmonis.

Faktor-faktor di atas tentu saja tergantung pendekatan perempuan tersebut

terhadap pekerjaan. Frieze et al (1978:369) menambahkan, seorang

perempuan dapat bekerja karena ingin memelihara standar hidup tertentu

bagi keluarganya. Bagi perempuan ini, pekerjaan hanya memberi sedikit

kepuasan tertentu karena waktu yang dibutuhkan untuk bekerja dan untuk

mengurus rumah tangga merupakan beban yang cukup berat. Ada

perempuan yang bekerja untuk memperkaya pribadinya (personal

enrichment). Perempuan ini juga ingin memberikan suasana yang baik bagi

anak-anaknya tetapi sebenarnya ia merasa bahwa mengurus rumah tangga

sepanjang waktu adalah membosankan dan tidak memenuhi

(13)

memerlukan rangsangan dengan bekerja di luar rumah saat anak-anaknya

berkembang dewasa.

\,'\

Dari penjabaran di alas dapat disimpulkan, menjadi ibu rumah tangga atau

menjadi ibu yang bekerja keduanya memiliki konsekuensi dan kelebihan bagi

yang menjalaninya. Bagi perempuan yang menjalani peran ganda menjadi

ibu rumah tangga sekaligus perempuan bekerja, tentunya memiliki

konsekuensi tersendiri.

_Terkadang keadaan tersebut menimbulkan kecemasan bagi wa_nita vanq

menicilani peran fillnda. Linakunaan dan dirinva menqin_ginkan peremou<'ln

11ntuk mPni<'lrli ihu sPk<'lliaus istri vana baik dan daoat memenuhi sem1m

セ@

-kebutuhan. Di saat yang sama perempuan juga menginginkan agar

pekerjaannya berjalan dengan baik, dan ketika peran-peran tersebut berasaj

dari domain yang berbeda serta menuntut untuk dilaksanakan secara,

bersamaan, munculah konflik peran dan bila keadaan tersebut tidak berjala,n

selaras biasanya akan timbldl_kecemasan dan juqa stress (waspada.co.id).

Secara um um orang berpendapat jika seseorang dihadapkan pada pekerjaan

yang melampaui kemampuan individu tersebut, maka dikatakan individu

tersebut mengalami strees kerja. Menurut Philip L Rice (seperti dikutip Rini

2002) seseorang dapat dikatakan mengalami stress kerja jika urusan stress

(14)

memerlukan rangsangan dcrngan bekerja di luar rumah saat anak-anaknya

berkembang dewasa.

Dari penjabaran di atas dapat dis;mpulkan, menjadi it>u rumah tangga atau

menjadi ibu yang bekerja keduanya n1emiliki konsekuensi dan kelebihan bagi

yang rnenjalaninya. Bagi perempuan yang menjalani peran ganda menjadi

ibu rumah tangga sekaligus perempuan bekerja, エ・ョセオョケS@ memiliki

korisekuensi tersendiri.

Ter'.\adang keadaan tersebut menimbulkan kecemasan bagi wanita yang

menjalani peran ganda. Lingkungan dan dirinya menginginkan p€:rempuan

untuk menjadi ibu sekaligus istri yang baik dr-m dapat memenuhi semua

kebutuhan. Di saat yang sama perempuan juga menginginkan agar

pekerjaannya berjalan dengan baik, dan ketika prxan-peran tersebut berasal

dari domain yang berbeda serta menuntut untuk dil::iksanakan secara

bersa;naan, munculah konflik peran clan bil<.i keadaa11 tersebut tidak berjalan

selaras biasanya akan timbul kecemasan dan juga strr3:3s (waspacla.co.id).

Secara um um orang berpendapat jika seseorang dihadapkan pada pekerjaan

yang melampaui kemampuan individu tersebut, maka dikataka,1 individu

tersebut mengalami strees kerja. Menurut Philip L Rice (saperti dikutip Rini

2002) seseorang dapat dikatakan mengal;:i:ni stress kerja jika urusan stress

(15)

individu bekerja. Namun penyebabnya tidak hanya didalam perusahaan,

karena masalah rumah tangga yang terbawa ke pekerjaan dan masalah

pekerjaan yang terbawa ke rumah tangga juga menjadi penyebab stress

kerja.

Adanya konfik peran memang tidak langsung berpengaruh kepada kepuasan

kerja. Namun penelitian tentang konflik peran menjadi penting dalam suatu

organisasi karena kepuasan kerja yang tinggi akan mendorong peningkatan

kerja individu (karyawan) dan kelompok, yang pada gilii·annya akan

meningkatkan efektivitas perusahaan sacara keseluruhan.

Adanya konflik peran yang dialami oleh ibu bekerja dan tak mampu dikelola

dengan baik, akan menghambat kepuasan kerja pun kepuasan hidupnya.

Perasaan bersalah (meninggalkan perannya sementara waktu sebagai ibu

rumah tangga) yang tersimpan, membuat sang ibu tersebut tidak dapat

menikmati perannya dalam dunia kerja.

Untuk mengatasi stress kerja tersebut telah banyak kiat yang dikeluarkan

oleh beberapa ahli untuk menanggulangi masalah tersebut, namun sejauh ini

tidak dapat dipastikan semua perempuan bekerja telah memahaminya

sehingga mereka mampu mengatasi konfik peran tersebut dan pada

kenyataannya setiap orang belum tentu dapat menyelesaikan satu masalah

(16)

Lebih jauh lagi konflik peran juga diketahui tidak mempengaruhi kepuasan_

kerja secara langsung. Kenyataannya konflik peran lebill dipengaruhi oleh

oleh hal-hal yang berhubungan langsung dengan masalah internal organisasi.

Sedanqkan kepuasan kerja lebih berkaitan dengan harapan seseorang

terhadap organisasi yang ia geluti. Seorang akan merasa.<.<in kepuasa1 kerja

jika harapannya terhadap organisasi sesuai dengan ャセ・ョケ。エ。。ョ@ yang ia

had a pi.

Namun renelitian tentang kepuasan kerja menjadi pznting dalam suatu

organisasi karena kepuasan kerja yang tinggi akan rnendorong peningkatan

kinerja individu (karyawan) dan kelompoi<:, yang pada !Jilirannya akcin

meningkatkan efikt1vitas perusahaan secara keselurul1an. Kepuasan dan

ketidcikpuasan kerja memiliki akibat langsung terhada;-. efektivitas organisasi.

Beberapa penelitian dilakukan untuk membuktikan peni;,2ruh kepuasan kerja

terhadao variaoel organisasi ter\8ntu. Kepentingan para rnanajer pada

keputusar. kerja cenderung berpusat pada efek\ivitasnya terhad::ip kinerja

karyawan. Para peneliti telah mengenali kepentingan ini, jwJi kita

mendapatkan banyak sekali studi yan9 clirancang untuk menilai dampak

kepuasan kerja pada produkt1vitas, absensi dan keluarga karyawan

(Robbinson 1996)

Dan fenomena diatas peneliti tertarik untuk mengambil judul penelitian

(17)

1.2. Pembatasan dan perumusan masalah

1.2.1 Pembata:3an masalah

Agar penelitian ini lebih terarah oan te,fokus, maka penulis perlu memberikan

batas::in sebagai berikut:

.---·

Konflik peran adalah situasi psikologis di mana harapun-harapan peran

seseorang pada saat yang bersamaan, baik dari individu sendiri maupun

lingkungan, saling bertentangan.

Kepuasan kerja merupakan sikap mengenai perasaan seseorang terhadap

pekerjaan dan kondisi yang terka1t dengan pekerjaan. seperti lin;ikungan

pekerjaan, hubungan dengan rekan kerja dan atasan. sert::i pek:')rjaan itu

sendiri.

1.2.2 ldentifikasi Masalah

a. Adakah l<onflik peran yang dialami oleh karyawa+i Garuda Indonesia?

b. Adakah jenis kon'lik pe.-an yang dialami oleh kary.awati GarucJa

Indonesia?

c. Bagaimana kepuasan kerja karya'Nati Garuda lndooei;ia?

d. Adcikah jenis kepuasan yang dialami oleh ォ。イケ。キ。エゥセPQ、。@ lndone;;ia?

(18)

1.2.3 Perumusan Masalah

Dari seJumlah masalah di atas peneliti membatasi permasalahan ini pada

Hubungan antara Konflik Peran dengan Kepuasan KerJa.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah hubungan

Konflik Peran dengan Kepuasan Kerja Karyawati PT. Garuda Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan guna memberi masukan guna mengP.rnbangkan teori

aplikasi psikologi industri dan organisasi (PIO) dan psikologi sosial.

Secara prnktis, dapat dijadikan bilhan gambaran mengenai konflik peran

yang dialami perempuan, serta pengaruhnya terhadap kepuasan kerja.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini menggunakan APA style

BAB 1: Bau pertama penulis membagi ke dalam beberapa bagian yaitu latar

belakang masalah, pembatasan, dan perumusan masal8h, tujuan

manfaat, dan sistematika penulisan.

/

(19)

BAB 2: Bab dua merupakan kerangka konsep penulisan untuk sub bab

pertama tentang Perempuan Bekerja, serta peran perempuan.

Berikutnya Konflik peran yang terdiri dari definisi konflik peran, jenis,

jenis konflik peran, faktor-faktor yang mempengaruhi konflik peran,

sumber-sumber konflik peran, cara mengatasi peran ganda, kategori

dan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja. Sub bab ke

empat berisi hubungan antara konflik peran dengan kepuasan kerja.

Sub bab kelima berisi skema penelitian. Sedangkan sub bab terakhir

berisi hipotesis.

BAB 3: Bab ini berisikan beberapa bagian yaitu metode dan pendekatan

penelitian, metode pengumpulan data, variabel dan definisi

operasional, teknik pengambilan sampel, subjek penelitian,

instrumen pengumpulan data, dan analisis data.

BAB 4: Bab ini berisikan gambaran umum responden serta deskripsi hasil

penelitian utama

(20)
(21)

2.1.

Perempuan Bekerja

Semiati lbnu Umar (1982) mel".gatakan bahwa kerja 11erupakan asµek positif

yang penting karena bekerja membuat segalenya lebih berarti. lstirahat

misalnya, lebih berarti bila kita bekerja. Sadar atau tidal< manusia tidal< lepas

dari bekerja karena bekerja merupakan aktivitas y;·1ng sentral dari manusia.

Menu rut Peter dan Hansen (seperti dikutip lbnu Urnar, 1982) dengan bekPrja

seseorang dapat:

1. Mencapai identitas diri.

2. Mencapai tingkat sosial tertentu dalarn ュ。ウケ。イョZセ。エN@

3. Merasa senang dan terlepas dari rasa bosan.

4. Melakukan sesuatu yang konstruktif dan kreatif jan dapat

menyumbangkan ide-ide.

5. Sembuh dari situasi yang m•3nekan dan rutin.

Hal tersebut tentu sa1a tergantung pada pend,ckatan p8rempuan terhadap

(22)

dapat bekerja karena ia membutuhkan uang tambahan, dan memelihara

standard hidup tertentu bagi keluarganya. Bagi perempuan ini, pekerjaan

hanya memberi sedikit kepuasan karena waktu yang dibutuhkan untuk

bekerja dan untuk mengurus keluarga merupakan beban berat. Ada

perempaun yang bekerja untuk memperkaya pribadinya (personal

enrichment). Perempuan ini juga ingin memberikan suasana rumah yang baik

bagi anak-anaknya. Tetapi sebetulnya ia merasa dengan mengurus rumah

sepanjang waktu adalah membosankan dan tidak memenuhi

kebutuhan-kebutuhan pribadinya. Ada perempuan yang merasa mereka membutuhkan

rangsangan dengan bekerja di luar rumah setelah anak-anak berkertlbang

dewasa.

Bagi perempuan yang bekerja dengan alasan memperkaya pribadinya dan

bukan karena minat akan pekerjaan itu sendiri, mungkin tidak begitu tertarik

pada pengembangan karir dan hanya bekerja bila jadwal pekerjaannya dapat

disesuaikan dengan jadwal tanggung jawab terhadap keluarga. Bagi mereka,

walaupun bekerja di luar rumah meminta lebih banyak energi, mereka

cenderung mengakomodasikan hal ini dengan sukarela karena ia memilih

untuk bekerja. Dari penelitian yang dilakukan oleh Nye dan Hoffman (Frieze

et al. 1978 : 370) penyesuaian diri dilaku"an dengan mengurangi

hiburan-hiburan, mengurangi menonton televisi dan mengurangi kegiatan sosialnya.

(23)

hanya mengalami waktu yang sedikit dengan keluaqJanya. Sebenarnya ia

mengorbankan kepuasan yang didapat dari pengembangan karir.

Perempuan lain bekerja karena mendapatkan kepuasan utama dari karir

mereka. (Frize et al 1987:371) Perempuan yang tertarik dengan karirnya

mungkin sudah berkeluarga dan mempunyai anak, mengurus rumah tangga

dan tugas mengasuh anak telah menjadi sama atau kurang penting baginya

dibanding pekerjaannya. la terkadang harus bekerja berat untuk

mengembangkan dan menghabiskan banyak waktu jauh dari keluarga.

Dari uraian diatas, dapat diasumsikan bahwa perempuan yang bekerja

dengan alasan memenuhi kebutuhan ekonorni dan alasan memperkaya

pribadinya paling mendapat kesulitan dalam mengatur tugas rumah tangga

dan pekerjaan karena baginya pekerjaan adalah tambahan beban baginya.

Sebenarnya tugas yang penting baginya adalah ュ・ョセQオイオウ@ keluarga. Sedang

bagi perempuan yang bekerja karena karir, kurang mendapat kesulitan

karena karir yang paling utama atau setidaknya sama pentingnya dengan

keluarga.

Pada umumnya pekerjaan memiliki dampak terhadap keluarga. Nieva dan

Gutek (1981: 45-47) mengemukakan pendapat-pendapat dari beberapa ahli

(24)

1. Adanya peningkatan perasaan kompeten dc.n wei/.-being

Ada 「・「・セ。ー。@ bukti bahwa bekerja memiliki efek rehStbilitas le1·hadap

kesehatan mental bila diukur berdasarkan stress p.:.ikologis. Bernald (1971

dan 1972) mP-mperlihatl<an bahwa perempuan yang bekerja memiliki

frekuensi simptom stress yang lebih rendah daripad :i ibu rum ah tangg<i. f Z。セ@

untuk bekerh. bebas dari rasa bosan clan temissihnya perempuan dari _

_ kegiatan rum ah tangg_a memba11tu tercaoainva ket ahagiaan dan

self-_[ulfi!imenj perempuan.

Menurut Barnet dan Barunch (1979), bekerja meni11gkatkan rasa well-being

bagi perempuan. Perempuan r.1endapatkar rasa korr.peten melalui bekerja

untuk mendapatkan up3/1. Kendatipun manfaat finansial /\arena be/\erja jug<J

neningkatkan kedew;3saan dan r·erasaan l.l;ihwa din rnarnpu. Efek-e,ek

inipun mempengaruhi tingkah ャ。ォセQョケ。@ da:am keluargEJ. Rasa percaya diri

yang meningkat membuatnya Jetih asseriif dalam mernutuskan kapan

memiliki anak. Deng<.Jn peningkatan perasC1a11 v.e/,'-bei11g ini perempuan

meminta orang lain untuk menghargainya. Meskipun belt.:m tentu lingkungan

dapat menerima ha/ itu dan hal ir i dapat membuatnya konflik.

2. Adanya peningkatan kekua:;<1an d<tlam keluar')a.

Sfillios-Rothschild dan Dijkers (1978) dan Blood (1965) mengatak:rn bahwa

(25)

kekuasaan dalarr, keluarga. He;T (1953), Blood d2'1 Wolfe (1960) serta

Geiken (1964) menemukan bahwa pasangan-pasangan yang s::ima-sama

bekerja cenderung berdiskusi untuk inemutuskl111 pernbelian-p211belian besilr

daripada pasangan-pasangan oimana suarni merupakan satu-satunya

pencari nafkah dala:n keluar9a. Dalam kasus-kasu:; tertentu, ketidak

tergantungan finansial berarti bahwa istri tidak dapat lagi memJapat uang

saku atau meminta persetujuan suami atau lingkungan tidal< dapat menerima

pengurangan kekuasaan ini. Menurut Sawhill (10"T6), salah satu efek yar.g

mungki:1 timbul dari meningkat11ya jumlah perempuan yJng bekerja adal:.:ih

meningkatnya angka perceraian.

3. Bekerja rnempengaruhi kepuasan pet kawinan

Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Hoffert dan More (1979) serta

Staines (1980) menunjukkan bal1wa ibu rumah trn9ga yang bekerja

mempunyai.efek yang sangat kPcil te;hadap kepuasan atau penyesuaian

ョセイォ。キゥョ。ョN@ Campbell, Confersc dan rtog0rs (197<3) menAm11kan bah"'"'

. pekerjaan di luar rumah tirlak meningl\atl{an atau menurunkan a.ii

...Q.§rlrnwin_ari bila dilihat dari sudut pandang istri. Staines et al (1978) setuju

dengan hasil penelitian ini, mereka tidak menemukan odanya perbedaan

penyesuaian perkawinan antara ibu rumah tangga vang hekerja di luar rurnah

dengan ibu rumah tangga yang tidak bekerja. HoffrT,an ("1978) mengal<.1kan

(26)

istri untuk bekerja dan istri mevakini pilihan untuk bekeria maka terda :lat

peninqkatan kepuasan oerkawinari.

4. 81:iknrja meningkat.kan beban kerja perempuan

lbu rumah tangga yang bekerj<i ternyata tidak bertagi tugas rumilh tangga

dengan suami mereka. Hegdes dan Barnet (1972) ュNセNQ・ZZュオォ。ョ@ bahwa istri

menghabiskan lebih banyak waktu, baik untuk pei(erjaan yw1:;; menghasilk<.in

uang maupuntidak. Bryson dan Jonson (1978) menemukan bahwa

perempuan yang bersuamikan Psikolog tidak puas 、セョァ。ョ@ jumlah waktu \

yang harus mereka sisihkan untuk pekerjaan rumah tangga dibandhgkan

dergan suami merel<a.

Gutek dan Stever ( 1978) dan Bryson et al ( 19·, 6: mene.mukan bahwa selain

melakukan tugas mengasuh dan mengurus rumah tangga, perempuan yang

bekerja juga harus mendukung pekerjaan suami Kanter (1971)

memerinciny2 lebih jauh untuk mengatakan bahwa oerempuan diharapkan

mengikuti suami mereka bila SL'ami mendapat tawara;i bekerja yang

lebih-bail<, mereka diharapkan menghadiri resepsi-resepsi yang.d1adak2n kantor

suami dan harus mau ciiajak berdisk•Jsime:igenai masalah-m8c>alah

(27)

Dari penelitian-penelitian para ahli di atas jelas bahwa perempuan yang

bekerja memiliki beban tugas yang lebih besar karena mereka harus bekerja

pun harus melaksanakan tugas rumah tangga dan menunjang karir suami.

Selain efek kumulatif dari bekerja, Nieva dan Guteek mengemukakan efek

harian yang disebut Plecck sebagai Work spill-over, yaitu :

1. Perempuan yang bekerja tidak dapat mengunakan waktu sebagaimana

yang ia inginkan dan fleksibelitas jadwal kerja mempengaruhi kehidupan

keluarga.

2. Waktu yang digunakan untuk transportasi juga merupakan faktor penting

karena jarak antara tempat kerja dan rumah akan membatasi alokasi

waktu perempuan, semakin kecil kemungkinan bagi perempuan yang

bekerja untuk menghadiri pembagian raport anak, mengantar anak ke

tempat les, dan sebagainya.

3. Jumlah upah dan prestasi yang diperoleh dari pekerjaan juga salah satu

faktor penting. Keluarga yang dapat rekreasi bersama dapat

menggunakan jasa pembantu.

4. Kondisi fisik dan emosional perempuan bekerja yang sudah lelah

sesampainya di rumah akan mempengaruhi pembawaan perannya

(28)

Sepertiga sampel penelitian Pleck (1979) terpengaruh effek harian ini dalam

tingkat yang sedang. Work spil!-overdapat berpengaruh pada

1. Waktu kerja suami yang berlebihan karena selain ia harus bekerja, suami

juga harus membantu pekerjaan rumah tangga.

2. Orang tua tunggal/ singe! parent mengalami ketidaksesuaian antara

jadwal kerja dengan tugas-tugas rumar tangga. la harus berperan sebagai

ayah dan sebagai ibu.

3. Perempuan yang bekerja mengalami waktu kerja yang berlebihan dan

terdapat ketidaksesuaian jawal kerja dengan urusan rumah tangga.

Mereka menjadi terlalu letih, dan mudah tersinggung (Nieva dan Gutek,

1981: 46-47)

Andrisani dan Shapiro (Nieva dan Gutek, 1981 ;48) menemukan bahwa

tuntutan yang yang bertentangan antara keluarga dan pekerjaan

menyebabkan penuturan kepuasan kerja dan kehadiran anak yang masih

kecil memperbesar masalah. Tetapi walaupun demikian, sebagian besar

perempuan tidak bersedia melepaskan taggung jawab mengasuh anak.

Di pihal< lain, sebagian besar suami tidak bersedia mengambil alih lebih

banyak tanggung jawab keluarga. Tugas-tugas yang mereka lakukan adalah

tugas-tugas yang paling tidak mengancam maskulinitas mereka. Mereka lebih

(29)

ringan padahal istri bekerja menginginkan suami meningkatkan keterlibatan

mereka dalam tanggung jawab keluarga (Nieva dan Gutek, 1981 : 48)

Potter dan Rhoads lebih jauh lagi menemukan bal1wa keterlibatan suami

tidak dapat diukur dari segi materi tetapi lebih pada waktu dan tanggung

jawab. Suami dan istri dalam berbagai tugas mencari nafkah dan urusan

rumah tangga. Suami akan berpartisipasi asalkan mereka mulai terlibat pada

awal perkawinan tersebut dan asalkan mereka percaya bahwa mereka harus

membantu. Kesediaan istri, jumlah anak atau tanggung jawab pekerjaan juga

bukan merupakan faktor yang mempengaruhi jumlah waktu yang diluangkan

suami untuk urusan rumah tangga. Harkas (1976) menyatakan bahwa jumlah uang yang diperoleh istri bukan merupakan predil<tor keterlibatan suami

dengan tugas-tugas rumah tangga. (Neeva dan Gutek, 1981 : 49)

Melihat pembahasan di atas jelaslah bahwa jika perempuan memilih untuk

bekerja maka masalah yang dihadapinya tidak hanya dari kantor saja tetapi

banyak efek-efek kerja yang berpengaruh pada kehidupan berkeluarga.

Peran ganda perempuan, yaitu sebagai perempuan bekerja tidak selamanya

sejalan dengan perannya sebagai ibu rumah tangga.

(30)

keluarga. Berg mengilustrasikan kesulitan tersebut dalam beberapa ucapan

perempuan yang bekerja :

"diving my attention is a major problem. Always making decisions wether i

will focus on work, children or husband. And whatever i choose, i feel

guilty about the other"

" ... On Friday night, I'm exhaused and need the weeekend to rechange my

self. I feel guilty that I'm not with my children, but feel a great sense of

satisfaction and fulfillment from my career. I never expected to feel so

torn.

Ternyata dari ilustras1 diatas, banyak perempuan yang merasa bersalah atas

keputusan yang diambilnya, apapun bentuknya. Dibalik perasaan bersalah itu

juga ada rasa puas dari hasil kerjanya. l<arena dua perasan yang

bertentangan ini, ia merasa terombang-ambing.

Menurut Berg (1968: 113), kata-kata yang biasa digunakan untuk

menggambarkan perasaan perempuan adalah kata-kata mengenai kesulitan

dan dilema yang dihadapinya, seperti : 'jug/ing misalnya, seorang perempuan

bekerja harus mengurus pendaftaran anaknya masuk SMP sedang pada hari

itu ada rapat dimana ia harus memberi laporan keuangan bulanan. Kata

lainnya adalah balancing, dimana berusaha agar waktu yang dihabiskan di

kantor dapat dikompensir dengan berkumpul bersarna keluarga pada hari

(31)

Kata 'matryred, juga digunakan perempuan untuk menggambarkan perasaan

dimana ia merasa harus mengorbankan kemajuan karirnya demi kemajuan

anak dan suaminya. Dengan kata 'torn', perempuan menggambarkan

bagaimana ia merasa terbagi antara mengejar kebutuhan untuk memperkaya

pribadinya dengan bekerja dan kebutuhan untuk dapat memperhatikan

anaknya yang sedang remaja. Sedang kata 'puled, menggambarkan

bagaimana ia merasa tertarik pada dua macam kegiatan yang sama-sama

membutuhkan perhatian, wakti dan energinya, yaitu kerja dan mengurus

keluarga. Kata lain, yaitu feeling split in two digunakan perempuan untuk

keadaan dimana ia merasa harus berada didekat anaknya yang sedang

mendapat Iuka karena jatuh di sekolah dan pada saat yang sama ia harus

menghadiri pertemuan dengan klien di kantornya.

Dengan adanya tuntutan-tuntutan yang sangat besar pada seorang ibu

rumah tangga yang bekerja, perempuan harus memiliki kejelasan tujuan,

energi yang besar, dan keyakinan akan diri sendiri untuk berhasil. Tetapi

menurut Berg, perasaan bersalah mempengaruhi sikap dan tert<dang

tindakan mereka. Hal ini terjadi karena dalam hati mmeka, perempuan

mene.rima batasan-batasan dari stereotype yang berlaku dalam masyarakat

(dalam hal ini lebih bersifat tradisional) bahwa perempuan tidak boleh

(32)

Edheim (Berg, 1968; 127), seorang terapis mengataf:an bahwa istri yang

bekerja menyambut keberhasilan mereka dengan melakukan sesuatu yang

dapat merusak dirinya sendiri justru pada saat-saat dimana dia harus

melakukan sesuatu yang produktif. Hal ini justru semakin sulit karena

perempuan sibuk memenuhi berbagai tuntutan dal.arn kehidupannya

sehingga ia tidak dapat melihat bahwa perasaan bersalah yang tidak disadari

itu membuat perempuan merasa perlu dihukum dan dengan demikian mereka

secara tidak sadar menjadi destruktif terhadap karir mereka. Bila mereka

menghadapi kegagalan, mereka menjadi tidak baha9ia dan frustrasi. Hal ini

selanjutnya mempengaruhi interaksi mereka dengan anak mereka atau

dengan kolega atau bawahan mereka. lbu rumah tangga yang bekerja

merasa ba[lwa anaknya sendiri tidak mendapat kasih sayang. Dengan

demikian ia menekan empatinya terhadap kolega atau bawahannya. Menurut

Cohen (Berg, 1968: 135), karena ibu yang merasa bersal.ah maka banyak di

antara mereka yang menyabot rasa senang yang clidapatnya dari bekerja

dengan menjadi sakit, seperti kram ketika haid, migrane, sakit punggung,

sakit perut dan lain-lain yang membuat mereka tidak dapat merasa bahagia.

Selain itu perempuan yang bekerja merasa bahwa ia tidak dapat mengontrol

hidupnya. la harus membagi tanggung jawab mengasuh anak dengan

(33)

tidak bekerja maka anaknya akan terjatuh dari tangga, padahal hal ini dapat

terjadi pad a anak-anak dari istri-istri yang tidak bekerja jug a. (Berg, 1968:141)

Selain perasaan bersalah dan gaga/ yang menyebabkan perempuan tegang

dalam pekerjaan, tidak bahagia dan membuatnya tidak dapat bekerja secara

efektif, ada perempuan yang merasa bahwa sejak ia menjadi ibu rumah

tangga ia menjadi /ebih sensitif terhadap masalah teman sekantor, lebih

mengerti kebutuhan orang lain, lebih perseptif, lebih terorganisir, dalam

bekerja dan lebih memperhatikan detail-detail. Minatnya menjadi bertambah

/uas, empati dan insight menjadi lebih berkembang dan ia menjadi lebih

sabar. Ada juga perempuan yang merasa bahwa dengan bekerja ia menjadi

lebih obyektifdalam menilai keluarga (Berg, 1968:151)

2.1.1. Peran Perempuan

Lewis, seperti dikutip Rohayati (2000:26) menje/askan mengenai beberapa

peran utama yang dimi/iki oleh wanita yang berperan Aセ。ョ、。N@ Peran-peran ini

dimiliki oleh perempuan sehubungan dengan aktivitasnya dalam dua

lingkungan kehidupan yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan pekerjaan.

a. Sebagai /bu

Peran sebagai ibu yang terpenting adalah memberikan kasih sayang dan

(34)

dan membimbing belajar anak-anaknya. Seorang ibu merupakan tempat

sang anak mencurahkan segala isi dan permasalahannya.

b. Sebagai lstri

Peran sebagai istri dimulai ketika perempuan melangsungkan pernikahan.

Dimana seorang istri harus dapat menjalankan kewajibannya sebagai

seorang istri diantaranya melayani suami baik lahir maupun batin serta

menyiapkan keperluan suami.

c. Sebagai lbu Rumah Tangga

lbu rumah tangga identik dengan seorang perempuan yang telah menikah

dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dimana pekerjaan domestik ini

selalu dilimpahkan kepadAkaum perempuan.

d. s・「。ァ。ゥp・ォ・セ。@

Peran sebagal pekerja adalah peran dalam pekerjaari yang selalu ditampilkan

oleh seorang yang menduduki suatu posisi dalam organisasi pekerjaan.

Sebagai pekerja, perempuan akan ditunlut untuk memenuhi kewajiban

perannya sebagai pekerja sesuai dengan jenis pekerjaannya dengan

melakukan seluruh tugas-tugasnya dengan baik sesuai dengan jam kerja

(35)

2.2.1. Definisi

Linton, mendefinisikan peran sebagai berikut:

" ... the pattern of behavior expected of an individual by virtue of the

position he or she occupies within the society" (clalam Goldman dan

Milman 1969 : 80)

Shaw dan Costanzo mendefinisikan peran sebagai

" the function a person performs when occupyinQ a particular

characteristic (positions) within a particular social context"

Menurut Goldman dan Milman (1969:80), konflik peran adalah situasi dimana

harapan-harapan peran seseorang pada saat yang bersamaan, baik dari

individu sendiri maupun dari lingkungan, tetapi bersifat bertentangan.

Sedangkan Fisher memberikan definisi sebagai berikut: "(Role is) the pattern

of behavior that we perform when we occupy a particular position in the sicoal

system".

Jadi dapat disimpulkan yang dimaksud peran adalah pola tingkah laku yang

diharapkan pada seseorang sebagai pemilik posisi tertentu dalam suatu

masyarakat. Untuk setiap peran melekat harapan peran (role expectation)

(36)

Siti Royani, 2002 dalam ensiklopedi psikologi menyatakan konflik merupakan

keadaan psikologi tentang kebimbangan yang terjadi bila seseorang secara

serentak dipengaruhi oleh dua daya kekuatan yang saling berlawanan

dengan kekuatan yang kira-kira sama.

Situasi konflik mengharuskan seseorang memilih atau mengambil keputusan

(Halord J Leafith, 1997). Beberapa situasi konflik melibatkan

kebutuhan-kebutuhan pokok yang penting, yang saling bertantangan, dan tidak dapat

dihindarkan. Konflik timbul dalam situasi dimana terdapat dua atau lebih

kebutuhan, harapan, keinginan dan tujuan yang tidak bersesuaian saling

bersaing sehingga menyebabkan salah satu organisme merasa ditarik ke

arah dua jurusan yang berbeda sekaligus menimbu\kan perasaan yang tidak

enak (Linda I Davidoff, 1991; 178)

Sedangkan peran adalah rangkaian pola yang mempelajari tindakan dan

perbuatan yang ditatnpillkan seseorang dalam situasi interaksi (Gardner

Lindzey, 1959). Peran menurut Linton (dalam Geor(Jaldman, 1959) ada\ah

pola tingkah laku yang diharapkan dari individu den9an melihat posisi yang

ditempati di dalam masyarakat. Menurut Park dan Burgess (dalam Gardner

Lindzey, 1959) peran merupakan pola sikap dan tindakan yang seseorang

(37)

lstilah peran ini diambil dari dunia teater (Sarlito Wirawari. 2001). DalBm

!eater, seorang aktor harus bermc:•n sebagai tokoh tertentu dan dalam

posisinya dalam tokoh itu ia diharapl<an untuk berperilak..i secara エ・イエ・ョセオN@

l<emudian posisi aktor dalam !eater (sandiwara dianalogikan dangan posisi

seseorang dalam masyarakat.

Penulis menyimpulkan peran merupakan pola sikap yang dilakuakn

seseorang dalam menempati posisinya dalam masyarakat. Masing-masing

peran yang ditempati dalam masyarakat seperti ibu, istri, pei<2rjR, dan

lain-lain memiliki harapan-ha1--;ipan alas perannya masinu-masing. Seorang ibu

rumah tangga memiliki harapan-harapan atas perannya masjng-masing.

Seorang ibu rumah tangga memiliki harapan peran yakni harus dapat

mengurus pekerjaan rum<01h tangga seorang ibu yang harus memberikan

perlindungan bagi anak-anaknya. Harapan peran adalah harapar,- harapa11

orang lain pada umumnya tentang perilaku-perilaku pantas, yang

seyogyanya ditunjukkan oler, seseorang yang merniliki peran tertentu

(Sarwono, 2001 ). Harapan peran merupakan hara pan yang dimili'<i

masyarakat mengenai tingkah laku yang sesuai dengan hak dan kewajiban

yang harus ditampilkan individu yang memiliki peratl.

Dua jenis harapan yang umum adalan hak dan kewajiban (Gardner Lindzey,

(38)

c. Konflik mendekat-menghindar (approach-avoidance conflict) akan terjadi

bila seseorang menghadapi serempak antara yang menarik dan yang

tidak menarik dan harus memilih salah satu diantaranya.

d. Konflik mendekat-menghindar ganda (approach-avoidance double

conflict) melibatkan dua tujuan dan masing-masing sama-sama

mengandung kebaikan dan keburukan sekaligus.

Konflik para ibu pekerja khususnya para buruh pabrik perempuan terjadi

karena keadaan yang memaksa termasuk contoh kasus konflik

mendekat-menghindar ganda. Seorang ibu harus memilih antara bekerja diluar rumah

dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Bekerja akan membuatnya tidak

dapat menjadi istri dan ibu seutuhnya. Sedangkan di rumah saja tidak akan

mendapatkan uang tambahan.

Seseorang mengalami konflik karena adanya kebututlan-kebutuhan tertentu

yang tidak dapat dihindarkan satu sama lain. Konflik akan teratasi apabila

(Harold J. Leavith, 1997 :56) :

a. la dapat menemukan beberapa cara baru yang belum diketahui

sebelumnya untuk memuaskan kedua kebutuhan itu secara penuh.

b. la dapat merubah pikirannya tentang salah satu kebutuhan-kebutuhan itu

(39)

c. la dapat mengatur kembali persepsinya tentang dunia dengm1 SE lah satu

dari sekian banyak cara untuk menempatkan konflik itu di dal<im

perspektif baru dan kurang berarti.

Adapun tipe konflik peran dibagi menjadi dua (Theodore

R.

Sarbin, 1968 : 540):

a. lnterrole conflict yaitu seseorang mengalami konflik ketika menempati dua

posisi atau lebih dimana harapan atas perannya saling berteritangan.

Contohnya, seseorang peremouan yang memiliki peran sebr:1gai ibu dan

pekerja. Perannya sebagai ibu menuntutnya untul( rnenjaga anak-anak,

sedangkan perannya sebagai pekerja menuntutnya agar bekerja dengcin

bail< sesuai dengan jadwal dan peraturan yang a<Jc..

b. :ntrarole conf!ictyaitu seseorang mengalami konflik ketika dJa kelompok

atau lebih memiliki harapan peran 1ang bertentangan terhadap satu peran

yang sama. Contohnya, peran orang tua dalarn 'nenQasuh anak-anak.

Ada kelompok yang mengharapkan orang tua harus bersikap demokratis

tetapi kelompok lain menuntut orang tua harus bersikap otoriter agar

ana/(-anak rnudah diatur.

Sesuai dengan dua tipe konflik peran di atas Eric Hoyl8, seperti dikutip

(40)

a. Konflik peran terjadi ketika kelompol<-kelornpok y;:mg berbeda mempunyai

harapan yang beragam terhadai:; perari yang sarna.

b. Konflik peran terjadi ketika dua harapan peran a'.<iu lebih yang di tempati

oleh seseorang mengalami konflik_

Konflik peran yang tepat dalam penelitian in1 adalah konflik peran yang terjadi

ketika dua harapan atau lebih yang ditempati seseorang rnengalami konflik.

Dapat disimpulkan bahwa seorang wanita bekerja yang berperan lebiil dari

dua akan mengalami konflik peran ketika mereka mengcilami kesulitan dalam

menampill<an perannya dalam keluarga dan dnlam pekerjaan yang

bertentangan secara bersamaan.

2.2.3. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Konflik Peran

Khan dikuti;- v:;sephin Dwi Eka S (2000:61) menunjul<kan bahwa faktor

organisasi dan faktor karakteristik individual dapat n.empengaruhi faktor

peran yang dihadapi penyandang peran.

a. Faktor Organisasi

Menurut Kahan faktor organisasi yang mempengaruhi konflik peran adalah

persyaratan peran (ro/Ci requirement), rnisalnya kewajiban untuk berhubungan

dengan lingkungan luar. Peran organisasi yang khusus dalam berl1ubungan

dengan lingkungan luar tersebut dikenal sebagai peran batas (boundary

(41)

Dalam mnnjalankan perannya sebagai pemera11 bE.tas (bcndery agent),

lndividu yang bersangkutan dituntut untuk selalu berperilaku mewakili

p8rusahaan atau organisasinya sckaligus mempengaruhi lingkungan luar

agar lebih mengenal pt:rusahaan dimana ia bekerja. Konflik peran terjadi

karena adanya tuntutan dari perusahaan dan lingkungan luar :yang saling

bertentangan sa1u dengan lainnya.

b ᄋセ。N。ォエ・イゥウエゥォ@ pada penyandang

Menurut Khan karakteristik individual perlu dipertimbangkan dalar.1 rnenelaah

tentang konflik peran karena beberapa alasan.

Pertama, karakteristik individual mempengaruhi harapan rlan jenis tuntutan yang diberikan pemberi peran terhadap penyandanfl peran. Jenis tuntutan

yang diberif·.an pemberi peran itu tergantung perilaku penyandang perar

dalam menjalcinkan peran menjalankan peranriyE. Jika penyandang peran

dipandang sebagai indi•1idu y11ng tinggi tingkat keluwesannya dan cukup

mempu menghadapi konflik yang terji.ldi, pemberi pe.-Ern akan memi:>erikan

kepadanya segala jenis tugas dan tuntutan. Sebaiknyc,, Jika penyandang

peran dipandang sebagai indi11irlu yang kaku, kemur1gkinan besar pemberi

peran akan memberikan tanggung jawab da11 tuntutan te:rtentu saja yang

(42)

Kedua, karakteristik individual merupakan mediator l1ubungan antara

tuntutan yang diberikan oleh pemberi peran denga11 oengalaman/

penghayatan penyandang peran. Melalui perantara karakteristik individu itu,

reaksi emosi menyandang peran terhadap tuntut.:in atau stress ak<in

berbeda-beda.

Ketiga, karakteristik individu juga mempengaruhi pernilihan coping

mechanism. Beberapa penyc.ndang pemn mungkin rnemerlukan cope

terhadap situasi yang menegangkan dangari regulasi ernosi sedangkan

penyandang peran yang lainnya mungkin melakukan cope dengan pola

pemecahan masalah.

Selain fak\or di atas, besar kecilnya l<onflik diper.gGruhi oleh faktor budaya.

Konflik 11ang d.ialami disebabkan adanya tuntutan terhad<:lp suatu peran dan

tuntutan tersebut ditentukan oleh harapan atau normc1 yang berlaku di

lingkungan sosial tersebut (Ninik Wul;mdari, 1997). Dengan demikian fa!<tor

---

·---·

bud a ya di li::;:;.;ngan sosial memrengaruhi besar kerjlnya konflik.

2.2.4 Surnber Konflik Pernn

Secara teoritis konflil< ::ieran yang dialami ibu bekerja adalah konflik antara

peran dalam keluarga (sebagai istri dan ibu) cJengan peran dalam pekerjaan

(43)

oleh Greenhaus dan Beutell (dalam E. B Goldsmith, 1989) yang

mendefinisikan konflik peran keluarga dan pekerjaan (work-family conflict)

sebagai bentuk dari interrole conflict dimana tekanan peran dari pekerjaan

dan keluarga satu sama lain bertentangan dalam beberapa aspek.

Barbara Harris (1930) mengemukakan bahwa seora11g pekerja perempuan

akan mengalami konflik jika mereka juga berperan ウQセ「。ァ。ゥ@ istri dan ibu. Dan

Baruch dkk (1983) mengungkapkan bahwa konflik peran yang dialami ibu

bekerja disebabkan karena perempuan tersebut tidak hanya memainkan satu

peran, melainkan tiga peran, yaitu peran istri, ibu dan pekerja. Burr dkk

(dalam P. Voydanooff, 1987) menyebutkan bahwa semakin besar jumlah total

peran yang dimainkan individu, semakin besar pula pertentangan dalam hal

·- waktu, tenaga, dan komitmen.

Greenhaus dan Beutell (dalam E.B. Goldsmith, 1983) menyatakan bahwa

kekurangan waktu merupakan dasar konflik peran antara keluarga dan

pekerjaan. Seseorang yang mengalami kesulitan dalam membagi waktu

antara pekerjaan dengan keluarga disebabkan karena tidak tersedianya

waktu untuk memenuhi tuntutan tugas dari peran-perannya baik sebagai ibu

(44)

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori Baruch dirk dalam

pembuatan alat ukur yaitu membcigi konflik peran sehanai wanita bekJrja,

istri, dan sebagai ibu.

Dalam hal peran sebagai ibu, peneliti membagi c..u<l, y&1t11 peran sebagai

orang tua dan peran sebagai ibu rumah tangga. Peran se'Jagai orang tua

rnerupakan konfllik peran yang dominan dialami ibu bekerja ad&lah

pengasuhan an:ik terutama yang memiliki anak kecil. Ras:J bers&!ah karena

meninggalkan anak untuk seharian bekerja merupak-;m persoalan yang sering

terpendarn oleh para ibu bekerja. Sebagai ibu rumah tangga mereka harus

dapat mengerjakan pekerjaan rumah tangga seti2:p harinya, meskipun

kadang mereka telah memiliki perigasuh anak maupun pembantu rumah

tangga yang bertugas mengurusi masalah kasar dalc.,r1 rumah tangga.

Konflik peran sebagai istri diantarnnya adalah karena rnereka rnerasa

bersalah karena tidak dapat memt:)nuhi seluruh kew<Jjit>annya sebagai istri.

Dan konfl:k sebagai pekerja diantc.iranya adalah teman ker.ia yang tidak dapat

bekerja sama, pekerjaan yc;ng melelahkan dan membosankan, serta

peraturan yang kaku. Situasi seperti itulah yang membuat sang ibu menjadi

amat lelah sememtara kehadiranr.ya sangat cinantikan oleh keluarga di

rumah. Kelelahan fisik dan psikis itulah yang sering rnembuat mereka sensil1f

(45)

casting' dan menurut Weistaian dan Deutshberger ( 1963) sebagai

altercasting.

c. Multi peran mungkin dibawakan secara bergantian pada suatu periode tanpa adanya kata-kata yang menunjukkan pergantian peran yang eksplisit. Misalnya, seorang memberi saran sebagai teman, dan pada saat selanjutnya, sebagai pengacara tanpa adanya kata-kata yang menunjukkan terjadinya pergantian peran

Kesulitan peran muncul dalam situasi dimana terdapat kebingungan atau konflik dalam persepsi individu mengenai peran-peran dan harapan peran masyarakat. Bila hal ini terjadi, maka terjadi pembawaan peran yang tidak efektif dan timbul perasaan bingung pada diri individu.

Menurut Kolb, dalam diri individu yang sedang konflik terjadi pertentangan antara dua response tendencies yang tidak sesuai yaitu antara sikap, kebiasaan dan nilai-nilai yang ia dapat dari keluarganya, sekolahnya, dan pranata-pranata sosial lainnya yang mengajarnya standar moral dan tradisi, dengan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan yang tidak

(46)

memuaskan keinginan-keinginan individu yang bertentnngan tacii. Bila tidak

berhasil, maka individu mengalami kecemasan.

2.2.6 Ka·iegori Penyesuaian Peran

Sarbin mengemukakan lim3 kategori penyesuaian diri ( Lindzey dan Aronson,

1969; 541 ):

1. Tingkah laku instrumental dan ritual (instrurnentnl and ritual act)

Tingkah laku instrume'1tal merupakan tingkah laku yang ditujukan pada

lingkungan luar dirinya dalam usahanya untuk men9ubsh

ke1adian-kejadian utama yang menyebabkan ketegangan mental.

2. Penyebaran Perhatian (deployment of attention)

Teknik ini beroperasi pada sinyal sensoris bukan pada l\ejadian-kejadian

yang menyebabkan ketegangan mental. Penggunaan teknik ini juga tidak

mengubah sumber konflik karena ketegangan konflik hanya diperkecil

dengar. mengabaikan salah satu dari input yang bertentangan.

3. Perubahan dalam keyak'nan (change in the belief si3tem)

lndividu mengubah keyakinan yang relevan mengc:nai perannya yang

menimbulkan konflik. Sinyal yang menimbulkan konflik dijadil<an kongruer,

dengan mengubah keyakinan individu mengenai S<ilu atau kedua input

terse but.

(47)

Dengan teknik ini individu menurunkan efek konflik dan bukan penyebab/anteseden konflik. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan 'Tranquilize1' yang berfungsi mengurangi aspek-aspek pengalaman yang menimbulkan konfik untuk waktu yang terbatas. Conteh

'tranquilizer' adalah : obat-obatan, tidur, makan. Sedangkan releazer

adalah keterlibatan indiv1du dalam aktivitas otot dan motorik yang intens seperti berolahraga, dan mengikuti pertandingan olah raga yang formal.

5 . Kegagalan Penyesua1an d1r1

Ada kemungkinan individu tidak berhasil ketika menc:oba keempat cara penyesuian diri di atas atau mungkin ia tidak mencobanya sama sekali. Ketegangan mental tetap berada pada tingkat tinggi dan kemampuan individu untuk menguranginya menyebabkan timbulnya berbagai efek somatik dan tingkah laku seperti, kepuasan kerja yang rendah, kurang percaya pada manajemen, ketegangan yang berhubungan dengan pekerjaan (Kahn et. al 1968) Selain itu juga terjadi penurunan efektivitas dalam membawakan peran.

2.3.

Definisi Kepuasan Kerja

(48)

penelitian mengenai kepuasan kerja mengakibatkan banyak pula pengertian tentang kepuasan kerja. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan reaksi afektif individu terhadap pekeqaan dan lingkungan kerja, yang juga meliputi sikap dan penilaian terhadap pekerjaan (Rambo dikutip Haryono, 2001). Locke (1976) Mendefinisikan kepuasan kerja sebagai keadaan emosional yang positif atau menyenangkan yang merupakan hasil dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerJa seseorang. Davis dan Newstrom (1989) mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan pegawai yang menyenangkan (favorable) atau tidak menyenangkan (unfavorable), terhadap pekerjaaan mereka. Ada perbedaan penting antara perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan dan dua elemen sikap pegawai atau sikap umum suatu kelompok.

Spector (1997,2000) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah variabel sikap yang merefleksikan bagaimana perasan seseorans1 mengenai

pekerjaan dan berbaga1 aspek dari pekerjaan, yaitu perasaan mengenai apa yang disukai (kepuasan) atau yang tidak disukai (ketidakpuasan) terhadap pekerjaannya. Robins (1998) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sikap umum individu terhadap pekerjaannya.

(49)

employee feel about his or her job. It is a generalizer attitide toward the job

based on evaluation of d1ffereent aspect of the job".

Definisi di atas menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan cara

seseorang (karyawan) merasakan peker1aannya. Variasi perasaan tersebut

merupakan penilaian karyawan terhadap aspek-aspek kerja. Aspek kerja

yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja adalah gaji, kondisi kerja,

pemimpin, promosi, job content, dan keselamatan kerja. (Waxley dan Yulk

1977). Hal ini berarti, hasil penilaian karyawan terhadap aspek-aspek

tersebut akan mempengaruhi perasaanya. Pernyataan ini sesuai dengan

definisi kepuasan kerja yang dikemukakan oleh Lockey (1976) sebagai

berikut:

Job satisfaction may be defined as an pleasurable or positive emotional state

resulting from the appraisal of one's job or job experiences

Dari definisi ini berarti, penila1an terhadap aspek-aspek yang berkaitan

dengan pekerjaan berperan penting dalam menentukan kepuasan kerja. Hal

ini diperkuat dengan definisi kepuasan kerja yang dikemukakan oleh Kahn

dan Schooler (seperti dikutip Jayaratne1993;114) sebagai berikut:

.. measure men's satisfaction or dissatisfaction with those aspects or their

(50)

Kepuasan kerja selalu disamakan dengan sikap kerja, tetapi yang penting

untuk mengenali perbedaan keduanya yang disebabkan karena perbedaan

orientasi teoritis yang berbeda pula. Kepuasan kerja dapat juga diartikan

sebagai bentuk dari pekerJaan yang terlihat sebagai penyediaan sesuatu

dimana seseorang menyadari keseJahteraan yang kondusif. Sedangkan

pandangan lain menyatakan kepuasan kerja merupakan respon emosi

terhadap suatu kerja (Miler, 1992)

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa

kepuasan kerja merupakan sikap mengenai perasaan seseorang terhadap

pekerjaan dan kondisi yang terkait dengan pekerjaan, seperti lingkungan

pekerjaan, hubungan antara rekan kerja dan atasan, serta pekerjaan itu

sendiri.

2.4.

Faktor-faktor yang Mernpengaruhi Kepuasan Kerja

Ada dua pendekatan dalam penelit1an kepuasan kerja, yailu pendekatan

global dan pendekatan faset. Pendekatan global membahas kepuasan kerja

sebagai perasaan yang um um mengenai pekerjaan atau sekumpulan tingkah

laku yang berhubungan dalam berbagai aspek pekerjaan. Pendekatan global

digunakan ketika semua sikap karyawan merupakan minat, misalnya ketika

seorang menemukan akibat dari suka atau tidak sukanya terhadap pekerjaan.

(51)

pekerjaan yang merupakan sumber kepuasan atau ketidakpuasan. Hal ini

dapat bermanfaat bagi organisasi yang ing1n ュ・ョァゥ、・ョエゥヲゥャセ。ウゥォ。ョ@

sumber-sumber ketidakpuasan sehingga mereka dapat memperbaikinya. Terkadang

kedua pedekatan tersebut dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran

yang jelas atau lengkap mengenai kepuasan kerja karyawan.

Kepuasan faset meliputi kepuasan terhadap imbalan seperti gaji atau

kompensasi lain (fringe benefits), orang lain seperti rekan kerja atau penyelia

pekerjaan itu sendiri, dan organisasi. Pendekatan faset akan memberikan

gambaran yang lengkap mengenai kepuasan kerja darip21da pendekatan

global. Tiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda pada tiap faset

pekerjaan. Misalnya, seseorang tidak merasa puas dengan imbalan yang di

terima tetapi pada saat yang bersamaan dia sangat puas dengan

pekerjaannya dan penyelia. Spector (1997,2000) menyatakan bahwa

karyawan tidak hanya berbeda tingkat kepuasan antar faset, tetapi faset-faset

tersebut juga berkorelasi tidak terlalu tinggi satu sama lain. Hal ini

membuktikan bahwa setiap orang dapat memiliki perasaan yang berbeda

terhadap faset dalam pekerjaan. Mereka berusaha untuk mempunyai

perasaan global yang memiliki tingkat yang sama pada setiap aspek

(52)

Spector (1997) mengatakan bahwa korelasi faset kepuasan yang berbeda

pada struktur yang sama akan lebih tinggi dibandingkan dengan korelasi

faset kepuasan dari struktur yang berbeda. Misalnya, kepuasan terhadap

tuntutan gaji yang merupakan faset dari imbalan berkorelasi lebih kuat satu

sama lain dibandingkan dengan kepuasan terhadap komunikasi atau

prosedur kerja yang merupakan faset dari konteks organisasional.

Sedangkan Lockey (1976) menganalisis berbagai penelitian mengenai

struktur dari faset-faset kepuasan kerja dalam empat kelompok besar yaitu,

imbalan, orang lain, sifat pekerjaan, dan konteks organisasional.

Selanjutnya kepuasan kerja dipengaruhi oleh ha! hal yang berkaitan dengan

kondisi pekerjaan, individu yang berperan penting dalam pekerjaan tersebut.

Lockey menyatakan bahwa hal yang berkaitan dengan kondisi pekerjaan

dapat menciptakan kepuasan kerja adalah sebagai berikut:

1. Pekerjaan

Wexley dan Yulk ( 1977) menyatakan bahwa kesesuaian antara keterampilan

dan bakat individu dengan pekerjaan juga akan menciptakan kepuasan kerja.

Menurut Chandwick dan Jones (1969 dalam sirigel dan Lane, 1982)

Tantangan (chalange) pekerjaan juga berpengaruh dalam menentukan

kepuasan kerja.

(53)

Gaji yang diterima dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Hal ini karena gaji

memuaskan kebutuhan fisik. simbol status. dan rasa aman. Hal ini sesuai

dengan pendapat Goodman (dalam dalam sirigel dan Lane, 1977) bahwa

kepuasan terhadap gaji dipengaruhi oleh kebuutuhan dan nilai pekerjaan

tersebut. Apabila gaji yang diterima tenaga kerja bernilai positif dan

memuaskan kebutuhannya, maka ia akan merasa puas.

3. Promosi

Timbulnya peraan puas terhadap promosi dipengaruhi oleh gaji, pengakuan

dan perasaan dihargai. Timbulnya perasaaan puas ini dipengaruhi oleh

kenaikan gaji, pengakuan, dan perasaan dihargai, perasaan puas terhadap

promosi berkaitan dengan keinginan dan tingkat kepentingan promosi

tersebut bagi tenaga ker1a

4. Pengakuan secara Verbal

Menurut Locke (1976). Pengakuan adalah faktor yang menimbulkan

perasaan puas dan lldak puas lni dimungkinkan karena 'pengakuan'

merupakan umpan balik atau isyarat bagi tenaga kerja alas keberhasilannya

menampilkan tingkah laku sasaran, misalnya pujian dari pemimpin

merupakan isyarat bagi bawahan bahwa pekerjaannya memuaskan.

(54)

1. Faktor Personal

Adalah faktor yang ada dalam diri karyawan Dengan kat Jain faktor personal

adlah perbedaan-perbedaan individu yang ada pada diri kariawan yang

mempengaruhi kepuasan kerja (Landy, 1985 dan greenberg & Baron 1993). Faktor personal tersebut meliputi

1. Demografis

Faktor demografis yang dimaksud disini adalah karakteristik pada

kariawan yang mencakup usia, jenis, kelamin, dan tingkat pendidikan.

2. Faktor Organisasional

Faktor organisasional adalah fktor-faktor yang berada dalm lingkungan

organisasi yang mempengaruhi tingkat kepuasan kerja seorang lndividu

(Greenberg & Baron, 1993). Yang dimaksud fktor-faktor organisasional adalah tugas dalam pekerjaan, sistim penggajian, promosi, pengakuan

Verbal, Kondisi lingkungan kerja, desentralisasi kekusan, supervisi, rekan

kerja, dan bawahan, kebijakan organisasi

2.5

Kerangka Berfikir

Mengingat konflik peran yang kemudian mengakibatkan dinamika stress pada

pekerja dapat melibatkan juga pihak organisasi atau perusahaan tempat

individu bekerja, maka penelitian ini dirasa perlu dilakukan oleh perusahaan.

(55)

individu (karyawan) dan kelompok, yang pada giliranny21 akan meningkatkan efektivitas perusahaan secara keseluruhan. Maka adanya konflik peran pada karyawati 1uga merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi oleh perusahaan selain oleh ibu yang menjalan1 posisi gand21 sebagai ibu rumah tangga, sebagai istri, maupun sebagai pekerja.

2.6

Hipotesa

(56)

Bagan Konfik Peran

Pengasuhan anak

Sebagai

II> Sebagai Orang

...

Komunikasi dan interaksi

!bu Tua dengan anak

Pemenuhan kebutuhan anak

Sebagai lbu

セ@

[:

Pekerjaan Rumah Tangga

Rumah Tangga Waktu untuk Keluarga

Pemenuhan kewajiban Sebagai lstri

\---+

sebagai istri

Komunikasi dan interakasi dengan suami

Tuntutan suami

Hubungan emosional

[:

Waktu dan peraturan kerja

Sebagai Rekan-rekan kerja

(57)

Keahlian

Gaji

Pengembanga n Diri

Atasan

Rekan Kerja

2.6

Hipotesa

Bagan Kepuasan Kerja

I ·: __

rMMオエMゥョMゥエ⦅。⦅ウセセセセMMMMG@

Kepuasan pada keahlian ketepatan

Pembayaran yang seharusnya

Gaji yang tidak memadai Gaji yang kurang dari

i:-oh'°'r11n\1..,,

1 ·: ·--T-id_a_k_a_d_a_p_e_n_g_e_m_b_a-ng_a_n---' Promosi yang tidak sewajarnya

Drl"'\mr.ci \#<":'ll"V'• COUl<":'li.-:orn\I ....

I ": __

Ujian

k⦅・⦅ウMッー⦅。⦅ョ⦅。⦅ョMMセMMMセ@

Ketidakpuasan pada atasan

I ":

--K-e-bo_s_a_n_a_n _ _ _ _ _ _ Tanggungjawab Kesesuaian intelegensi __,
(58)
(59)

3.1.

Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam peelitian ini adalah pendekatan

kuantitatif, dimana validitas didapatkan berdasarkan perhitungan data

kuantitatif. Sedangkan, metode penelitian yang digunakan adalah metode

kuesioner.

3.2

Populasi dan Sample Penelitian

3.2.1 Populasi

Adapun populasi dalam penelitian ini adalah para pekerja perempuan.

Adapun karakteristik subjek adalah sebagai berikut

a. lbu berusia antara 20-45 tahun dengan pertimbangan usia rata-tara

wanita bekerja yang telah menikah

b. lbu rumah tangga yang sudah memiliki minimal seorang anak dengan

pertimbangan agar mereka sudah berperan sebagai ibu.

c. Telah bekerja minimal satu tahun dengan pertimbangan mereka sedah

dapat merasakan adanya konflik atau tidak

(60)

3.2.2 Sample

Gay (dalam Consuelo G. Selivia, 1993) menawarkan untuk populasi yang

sangat kecil pada penelitian deskriptif diperlukan minimum 20% dari populasi.

Tetapi penulis mengambil 70% dari populasi dengan pertimbangan agar

penelitian ini lebih mendekati kebenaran. Peneliti mengambil sample 105

orang kariawati perempuan

3.2.3 Teknik pengambilan sampel

Dalam penelitian ini sample yang digunakan adalah tehnik pengambilan

sample purposif ( Puposive Sampling Method) yaitu cara pengambilan subjek

didasarkan atas tujuan tertentu dengan syarat pengambilan sample harus

didasarkan atas ciri, sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan

ciri-ciri pokok populasi (Suharsini Ari Kunto, 1989: 113)

3.3 Desain Penelitian

Rancangan penelitian yang dilakukan ini adalah design penelitian deskriptif,

dimana desain ini bertujuan untuk menentukan fakta dengan interpretasi yang

tepat, termasuk desain untuk studi kumulatif dan eksploratif yang

berkehendak hanya untuk mengenal fenomena-fenomena untuk keperluan

(61)

Dalam penelitian deskriptif juga termasuk

1. Studi untuk melakukan secara akurat sifat-sifat dari beberapa fenomena,

kelompok dan individu

2. Studi untuk menentukan frekuensi terjadinya suatu keadaan untuk

meminimalisasi bias dan memaksimumkan reliabilitas.

3.4 Variable Penelitian dan Definisi Operasional

Penelitian ni terdiri dari dua variabel. Variabel bebasnya adalah konflik peran

dan variabel terikatnya adalah kepuasan keqa.

3.4.1 Variabel

Penelitian ini menggunakan tiga veriabel. Variabel bebasnya adalah konflik

peran, dan fariabel terikatnnya adalah kepuasan kerja clitinjau dari aspek

harapan dan kenyataan.

3.4.2 Definisi operasional

a. Konflik peran adalah konflik yang dialami oleh seorang ibu yang

memerankan tiga peran yaitu sebagai ibu, istri, dan pekerja. Konflik peran

ini karena mereka clituntut untuk memenuhi tugas perannya dalam waktu

(62)

Referensi

Dokumen terkait

Kepuasan kerja yang rendah dapat menyebabkan karyawan bosan dengan tugas- tugasnya dan prestasi kerja yang buruk, sehingga karyawan memiliki keinginan untuk

Kepuasan kerja yang rendah dapat menyebabkan karyawan bosan dengan tugas-tugasnya dan prestasi kerja yang buruk, sehingga karyawan memiliki keinginan untuk

disimpulkan tidak terdapat hubungan negatif yang signifikan antara konflik peran ganda wanita dengan kepuasan pernikahan... KATA

Apabila iklim organisasi memberikan suasana yang kondusif dan menyenangkan, tentunya akan menimbulkan tingkah laku yang sesuai dengan harapan organisasi atau

menyebabkan turnover karyawan, ialah prestasi kerja yang negatif, serta. harapan individu tidak dapat di penuhi diperusahaan tersebut,

Dari ketegangan yang muncul akibat konflik peran ganda yang dialami perawat wanita yang sudah menikah di RSUD Banyumas ini, dapat memicu munculnya stres kerja dimana

Penelitian yang dilakukan oleh Amanda dan Mujiasih (2017) dengan subjek perawat wanita yang susah berkeluarga menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara

Sedangkan untuk hipotesis ketiga secara simul- tan dapat dilihat dari hasil penelitian diperoleh bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara konflik peran ganda dan